"Situ blunder dan saya nggak mau."
Prinsipku menulis Sakura Kiss masih sama seperti Mereka Bilang, Aku Kemlinthi dan My Adorable Sister: Aku ingin menulis cerita yang ketika ditulis membuatku senang, dan saat dibaca membuat pembaca senang.
Konsepnya juga sama. Konflik sederhana dengan penyelesaian natural. Interaksi romansanya lebih condong ke cute/heartwarming alih-alih panas/seksi. Bedanya, Sakura Kiss akan disajikan dengan latar belakang broadcasting keliling Jepang. Semoga suka yaaa.
Terima kasih dan selamat membaca 💕
•°•°•
"PIT, standby segmen dua in any minute. Begitu denger cue* lo masuk terus duduk sebelah Hans."
* aba-aba
Imbauan Bang Gandi membuat mataku melebar. Dari balik tirai hitam yang membatasi show area dan backstage, aku mengintip tempat yang dimaksud, yang harus kududuki. Sebuah sofa panjang untuk dua orang yang satu sisi kanannya ditempati Hans yang masih berbincang dengan sang host.
Duh! Kuhampiri Bang Gandi yang sedang mengawasi kamera utama bersama kameramen.
"Bang, boleh nggak saya duduk di tempat lain? Itu single sofa ada dua," tawarku, berusaha nggak menunjukkan emosi dengan tersenyum. Dua sofa yang kumaksud berada di sebelah kiri sisi kosong sofa Hans.
Produser acara By The Way itu beralih padaku dengan satu alis melengkung. "Maksud lo gimana? Lo bakal lebih jauh dari Agung." Bang Gandi menyebutkan sang host yang duduk di sofa utama, posisinya menyiku dari sofa Hans. "Lagian aneh banget di kamera kalau ada space duduk antara guest star pertama dan kedua. Viewers bakal mikir lo ada masalah sama Hans."
Emang! makiku, dalam hati doang.
Aku cuma bisa beralasan mau mengamankan kakiku yang lagi sakit dari singgungan yang mungkin terjadi. Itu nggak sepenuhnya bohong, minggu lalu kakiku memang terkilir dan kadang masih berdenyut. Bang Gandi mengatasinya dengan memperingatkan via earpiece pada Hans supaya meminimalkan gerakan kaki selama aku duduk bersamanya.
"Tahan, ya, Pit. Nggak sampai dua jam ini doang. Worst case seandainya kaki lo memburuk, kita atur setelah lo atau Hans perform, atau pas ganti segmen, supaya lo bisa geser." Bang Gandi menepuk bahuku, mendukung dengan senyuman.
Aku meringis berterima kasih atas solusi cerdasnya yang nggak menolong.
Waktuku habis ketika cue dari salah satu staf panggung sudah terdengar. Kutegakkan punggung lagi, menepuk kulot tujuh-perdelapanku, lalu kembali mendekati tirai. Aku menajamkan pendengaran saat Bang Agung mengawali segmenku.
"By the way, tamu kedua gue adalah cewek yang beberapa bulan ini sosok cantiknya akrab di mata kita dan suara serak-serak smooth-nya lekat di telinga kita. Salah satu jagoan gue di The Super Show tahun ini sekaligus pemenang utamanya. Gila, gue sampai lompat waktu final result hasil voting dia tertinggi. Ada yang bisa nebak?"
Penonton satu studio berseru nyaring, "Pita Janari!"
"Alright! Ladies and gentlemen, please welcome the winner of The Super Show ... Pita Janari!"
Musik intro dan gemuruh tepuk tangan mengiringi langkahku memasuki show area di mana Bang Agung dan Hans sudah beranjak menyambut kedatanganku. Sekali lagi, kupamerkan senyum tenang sambil berkali-kali mensugesti diri.
It's fine. Hansel van de Jager nggak mungkin mengenaliku hanya dengan duduk bersebelahan selama dua jam.
•°•°•
"Pita Janari, selamat datang! Wow, gue excited banget waktu lo bilang bersedia gabung di By The Way malam ini. Apa kabar lo, Pit?" sapa Bang Agung setelah penayangan profile video-ku.
Aku merespons begitu tepuk tangan penonton surut. "Alhamdulillah baik, Bang Gung. Asli, justru saya yang kaget pas nerima undangan ke sini." Aku tertawa pelan, berusaha tetap fokus pada Bang Agung alih-alih melirik Hans yang tersenyum mengamatiku.
Beberapa menit awal kulalui dengan basa-basi bertukar kabar, disusul interview berdasarkan topik yang sudah disepakati sebelumnya. Aku cukup puas dengan jawabanku atas pertanyaan basic seperti rutinitas harian dan kesibukan menyanyi. Diamnya Hans diam-diam membuatku lega, yang rupanya cuma sementara.
Agar kesan real makin kuat, tentu saja Bang Agung perlu berimprovisasi dengan mengaitkan topik antar-guest star dan ini di luar antisipasiku.
"By the way, Pit, lo bener-bener baru belajar tarik suara waktu audisi The Super Show kemarin atau sebelumnya udah ada pengalaman lain? Secara nama lo termasuk baru nih di jagad hiburan tanah air."
"Hmm, nggak, sih," keningku berkerut sesaat, "pertama kali saya kenal nyanyi sejak SMA, sejak gabung sama paduan suara. Cuma emang jarang menang, kalaupun menang bawa nama sekolah, Bang, bukan personal kayak TSS kemarin."
Tawa pelanku disambut senyum semringah Bang Agung. "Wait. Paduan suara?" Dia memastikan, aku mengangguk. "Hans, tadi lo bilang lo juga anak padus, bukan?"
Mampus.
Bang Agus menoleh Hans dan mampus aku. Bego. Ngapain juga aku bilang aku anak padus?!
"I am, waktu SMA juga," sahut Hans enteng, tersenyum bergantian pada Bang Agung dan aku. Senyum yang agak ... menggigit?
Nggak. Cuma perasaanku. Mustahil dia mengenaliku.
"Wow! Jebolan padus emang luar biasa, ya?" Aplaus Bang Agung menular ke penonton, diiringi alunan keyboard singkat. "Tapi serius, pas jaman gue SMA juga ekskul padus tuh termasuk ngetop di samping basket, paskib, dan sebagainya. Setiap nonton anak-anak padus nyanyi di upacara, gue suka merinding sendiri. Kulit gue jadi bintik-bintik kasar, gitu. Bisa, ya, nyanyi ada suara satu, dua, tiga—gue denger bisa sampai enam suara—tapi pas digabungin harmoninya dapet. Berasa mini opera, ya?"
Hans dan aku tertawa. Kenapa barengan segala, njir!
"Ini yang gue suka dari padus, Bang. Yang dengerin aja goosebump apalagi yang bawain. Iya nggak, sih, Pit?"
Mataku melebar. Hans? Ngomong sama aku?
"I-iya, Kak," jawabku. "Saya juga ngerasa gitu."
'Kakak' adalah sapaan universal, kan? Hans nggak mungkin mengingatku hanya karena 'Kak' biasa, kan? Please.
"Tapi lo berdua bedanya nggak jauh, kan, ya?" Bang Agung memastikan, kemudian Hans dan aku menyebutkan angkatan kami yang memang terpaut dua tahun. "Dan sekolah lo berdua kalau nggak salah sama-sama di Kebayoran, bener nggak, sih? Nggak pernah ketemu dalam satu event bareng antar-SMA gitu, misalnya?"
Sekarang Hans terang-terangan mencermati wajahku hingga keningnya berkerut. "Sebenernya, gue ngerasa pernah—"
"Ya bisa jadi, sih, Bang, tapi event padus antarsekolah gitu seringnya skala besar dan tiap grup anggotanya banyak. Kalaupun pernah kebetulan bareng di satu event, pastinya waktu itu saya belum kenal Kak Hans," jawabku, melirik Hans sekilas sebelum kembali pada Bang Agung.
Host itu manggut-manggut sambil mengusap dagu. "Bener juga, SMA di Kebayoran nggak cuma satu." Dia beralih pada pria di sebelahku. "Lo tadi mau ngomong apa, Hans?"
"Nothing." Hans mengangkat bahu, tersenyum padaku, "Gue sepakat sama Pita," tapi tatapannya seolah berkata sebaliknya.
Aku menelan ludah sebab tenggorokanku mendadak gatal, terlebih ketika Bang Agung bertanya lagi.
"Eh tapi serius lo baru kenal Hans di sini? Hans juga perform waktu grand final The Super Show, lho. Lo berdua nggak ada interaksi pas geladi bersih atau backstage moment, gitu?"
Mampus ronde dua.
"Karena mepet sama jadwal lain, gue cuma bisa geladi bersih 15 menitan. Dan waktu grand final gue hampir nggak pernah ke backstage kecuali sebelum dan setelah perform. Sisanya duduk-duduk nobar sama yang lain."
Respons Hans menyelamatkanku sesaat sebelum dia menambahkan, "Padahal waktu itu gue nyariin Pita, Bang, karena nyokap dan adik gue getol banget jagoin dia."
Aku memejam sesaat, teringat saat grand final kemarin aku memang mati-matian menghindari Hans. Cie-cie nggak jelas yang terdengar dari tribun penonton membuatku makin kicep.
"Really?" Bang Agung membulatkan mata. "Samaan gue, dong. Adik yang tadi kata lo kuliah di Singapura? Dia nonton dari sana?"
"No, kalau yang ini cewek adik asuh di rumah gue, Bang."
Arahan Bang Gandi terdengar via earpiece, menyudahi improvisasi Bang Agung sekaligus mengembalikan fokus interview segmen dua padaku. Lega rasanya. Sambil menyimak pertanyaan, aku meraih segelas air putih jatah guest star yang tersedia di meja. Kulemaskan otot tenggorokan dengan minum.
Setelah beberapa teguk, Hans menolehku dan mengernyit. "Pita, itu gelas gue."
***
Rundown talkshow By The Way malam ini ditutup dengan foto bersama seluruh staf di show area setelah studio bersih dari penonton. Begitu selesai, segera kuhampiri Bang Gandi yang sedang mengemasi barang-barangnya. Kutunjukkan tampang sememelas mungkin sambil mengatupkan kedua tangan di dada.
"Bang, yang tadi saya salah minum bisa di-cut, kan?"
Bang Gandi tertawa spontan yang sialnya malah menular ke staf lain di sekitar. "Malah bagus kali, Pit, humor-humor fresh out of script kayak lo tadi dibutuhkan buat nunjukin bahwa By The Way emang se-real itu."
Aku meremas dahi frustrasi. "Astaga, saya batuk-batuk sampai muncrat, Bang!"
"Nggak masalah, Pit, gue lihat dari kamera normal-normal aja, bukan yang disgusting gimana. Lagian spontanitas Hans ngasih tisu dan nepuk-nepuk punggung lo sambil minta maaf tuh gentle banget, penonton bakal suka."
Heleh, mbel.
Kalau dia gentle harusnya nggak usah ngomong begitu dan bikin aku kelihatan tolol di depan orang satu studio. Nunggu pas ganti segmen bisa kali!
"Pit, gue jujur, ya. Tadi lo kelihatan nervous pas duduk bareng Hans. Nggak mengganggu dan sama sekali nggak masalah sebenernya, tapi gue rasa Hans cuma bermaksud nyairin suasana. Dia nggak expect lo bakal sampai keselek," tambah Bang Gandi lagi. "Nanti sebelum tayang gue share dulu hasil edit-nya ke elo, gimana? Gue jamin lo oke karena bakal dibikin smoother sama editor kita."
Aku pasrah meniup poni.
Bukannya aku malu jika kejadian itu disiarkan ke publik. Bagiku itu masalah receh. Hanya saja, aku cemas memikirkan kemungkinan berinteraksi dengan Hans bisa memicu kemunculan orang-orang dari masa laluku yang membawa perkara serius. Itu nggak boleh terjadi.
Kuharap aku cuma terlalu paranoid.
•°•°•
Benda putih yang melingkar di pergelangan kiriku menunjukkan waktu hampir mencapai tengah malam. Aku mempercepat langkah, melewati resepsionis, dan bergegas menuju drop zone di luar gedung utama Panorama TV. Dingin angin malam yang lumayan menggigit di kulit membuatku memeluk tubuh, sementara tanganku sibuk dengan ponsel, menonaktifkan airplane mode, lalu mengakses aplikasi taksi online.
Sebelum sempat mencari driver, aku merasakan seseorang mendekat dari belakang yang otomatis membuatku berputar.
Laki-laki bertopi baseball dan varsity itu tersenyum tenang. "Hai, Pit."
Yang nggak tenang adalah jantungku. Mau apa dia? Tolong, ya, nggak usah sok kenal pat-pit-pat-pit segala.
"Hai," balasku seperlunya. Kupikir dia sudah pulang duluan, tapi kenapa masih di sini?
"Gue nungguin lo." Langkahnya berhenti tepat di sisiku.
Dia cenayang apa gimana? Aku berusaha nggak menoleh dan hanya melirik.
"Ada perlu apa, Kak?"
"Boleh gue foto bareng lo?"
Pertanyaan lugas itu berhasil memancingku menoleh. Hans tersenyum miring di bawah topinya. Aku harus sedikit mendongak karena perbedaan tinggi kami yang mencolok.
"Gue beneran punya adik cewek yang setia ngikutin perjalanan lo sejak babak audisi The Super Show. Sebelum gue ke sini, dia minta oleh-oleh gue foto bareng sama lo. So, may I?"
Normalnya, aku nggak berpikir dua kali untuk mengiyakan ajakan foto bersama para senior dunia hiburan, kecuali, tentu saja, Hansel van de Jager. Dia bukan sekadar seniorku. Dia ....
"Lo boleh menolak kalau keberatan, gue ngerti and so does my sister. Jadi public figure memang perlu waspada terutama soal privacy karena lo nggak pernah tahu kekuatan hengpon jadul sedang mengintai dari mana. Bener, nggak?" Tambahan Hans membuatku mengerjap.
Aku meringis kaku. Tawa dan sorot mata lelah Hans sama sekali nggak menyiratkan intensi buruk, aku tahu itu. Hanya saja, seperti katanya, aku memang keberatan.
Jadi, kuberi pilihan lain. Aku mengulurkan telapak tangan.
"Sini ponselnya, Kak," pintaku. Meski terlihat bingung, Hans menurutiku. "Boleh tahu nama adiknya? Sama kalau ada satu struggle besar di depan mata saat ini."
Setelah mendapat jawaban Hans, kunyalakan video kamera depan dan melambaikan kelima jari di depan layar.
"Hello, Srikandi, this is Pita Janari. Thank you for supporting me, ya. Kamu juga nggak boleh kalah sama UN, harus makin semangat belajarnya! Fighting!"
Kuakhiri rekaman dengan finger heart sign dan melambaikan jari. Cukup. Kukembalikan ponsel pada pemiliknya setelah menghapus semua senyum tanpa sisa. Kutatap Hans lekat-lekat.
"For her eyes only," tekanku.
Kubenahi posisi sling bag di bahu lantas berjalan meninggalkan Hans. Di belakang, dia menyerukan terima kasih yang hanya kurespons dengan lambaian satu tangan. Tanganku yang lain akan merogoh ponsel dari saku jaket, tapi denyut tiba-tiba dan keras di pergelangan kaki membuatku hilang keseimbangan.
Aku nyaris terjatuh andai nggak ada seseorang yang lebih gesit memegangi lenganku dari belakang.
"Kaki lo masih sakit, ternyata."
Aku menegakkan diri dan menampik Hans. Kakiku memang masih sakit, tapi sial, aroma woody laki-laki ini mengganggu banget. Terlebih dia nggak menutup-nutupi kecemasan di matanya meski dinaungi topi.
"Lo mau pesan taksi? Bareng gue aja gimana, Pit? Gue khawatir kaki lo—"
Tawaran itu membuatku mendelik kemudian terkekeh. Yang benar saja.
"Takut sama kekuatan hengpon jadul tapi out of blue nawarin cewek pulang bareng? Maaf, Kak, situ blunder dan saya nggak mau."
•°•°•
Minami-Kusatsu, Shiga, 12 Desember 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top