"Shinjitsu wa itsumo hitotsu."

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

"DULU. Sekarang nggak."

And here it is, the worst feeling I'm talking about. Dia pernah suka sama gue, okay, nggak kaget, sudah gue prediksi. Gue hanya nggak mengira dia bakal mengatakannya sevokal ini di depan hidung gue. Apa karena perasaan itu sudah terlalu usang makanya dia buang?

"I'm not talking about the past."

"So do I. Apa yang barusan saya bilang kurang jelas? Saya sudah nggak punya perasaan itu buat Kak Hans. Apa ini sudah menjawab pertanyaan Kakak mengenai alasan di balik sikap aneh saya selama ini?"

Gue menyeringai. "Karena dulu aku punya pacar jadi kamu berpikir aku PHP, ghostingor whatever you call it—dan kamu masih sakit hati?"

"Exactly."

"Jadi kamu masih suka sama aku?"

"Ya—" dia melotot, "what?"

"Logikanya gini. Kalau perasaanmu itu sudah hilang sama sekali kenapa masih sakit hati sampai sekarang?"

Bola matanya berputar malas. "Ngomongin perasaan pakai logika itu sama kayak makan soto pakai tangan langsung. Ancur. Saya sakit hati karena Kakak mengingatkan saya dengan hal-hal nggak menyenangkan selama di padus. Paham? Don't flatter yourself."

Nah.

"Hal-hal nggak menyenangkan yang membuat kamu keluar dari padus?" tebak gue.

Pita mengatup mulut. Gue tahu gue benar. Lalu dia merespons, "Ya. Dan hal-hal nggak menyenangkan itu adalah Kakak. Saya tahu Kakak memang friendly ke semua orang, termasuk saya yang akhirnya jadi baper. I'm pretty sure saya bukan satu-satunya cewek yang pernah diam-diam baper kena sihir keramahan Kakak."

Bohong. She's lying.

"So, that's it? Kamu sakit hati karena dulu pernah bertepuk sebelah tangan? Cuma itu?"

"Cuma itu?" Matanya memicing. "Bagi saya itu nggak cuma. Jelas-jelas Kakak sudah punya pacar tapi Kakak bikin saya berharap. Apa namanya kalau bukan berengsek?"

"Yang ngasih harapan siapa? Kamu tahu aku nggak single waktu itu, kenapa berharap lebih?"

Dia menjentikkan jari. "Nah, ini. Selain Kakak berengsek sayanya juga bego. Saya cupu, nggak ada cowok yang mau deketin saya kecuali Kak Hans. Oh, ralat, Kakak cuma support saya supaya memenuhi kualifikasi center diva, bukan deketin. Saya aja yang berharap lebih."

"Okay. Center diva-ku yang cupu," gue melipat tangan di depan dada, "I mean, center diva pilihanku. Ada salam dari Sashi, center diva tunggal kita waktu itu. Masih ingat?"

Pita menelan ludah. Perubahan rautnya yang menunjukkan kegelisahan membuat gue mengernyit, tapi hanya sedetik sebelum dia kembali menguasai diri, lalu mengangkat senyum percaya diri.

"Ya, pacarmu, Kak. Salam juga dari Pita Janari." Dia menoleh rombongan kami yang masih menunggu. "Itu intinya. Saya sudah nggak punya perasaan itu buat Kak Hans, jadi tolong jangan ikut campur sama hidup saya. Let's get back to work, shall we, Mr. Diggory?"

Pita melompat-lompat kecil sambil melambaikan tongkatnya, kembali ke karakter Bellatrix Lestrange, ninggalin gue.

Meskipun mungkin benar dia pernah suka ke gue, tapi yang barusan itu jelas-jelas dia memaksa gue menerima semua ucapannya, which means, ada kebenaran yang dia sembunyikan rapat-rapat dari gue.

•°•°•

Berdasarkan luas area dan jumlah atraksinya, Universal Studios Japan lebih unggul daripada Singapore. Pantesan dengkul gue berasa mau copot. Pikiran gue melayang ke bangku-bangku panjang yang tersedia di banyak titik, pengin selonjoran at least satu-dua menit, tapi ego lelaki gue menahan ... karena Pita.

Cewek satu itu gila. Absolutely. Waktu di LEGOLAND pas dia sakit kemarin, dia muntah setelah naik wahana kaleng-kaleng. Karena itu, gue agak cemas pas dia bilang mau naik wahana Hollywood Dream—roller coaster super ekstrem kecepatan tinggi yang jalannya mundur.

Gue, naik yang jalannya maju aja mabok, apalagi mundur? Apalagi Pita yang sekecil cabe ini?

Turns out I was wrong. Begitu turun dari roller coaster setan itu, gue sempoyongan megangin tiang lampu, meremas-remas perut (karena kalau sampai gue muntah maka ambyarlah harga diri gue), sedangkan Pita ketawa lepas banget di depan kameranya Mas Eko, membanggakan rambut gimbalnya yang jadi megar ke depan hingga menutupi sebagian muka—tapi teteeep, menggemaskan di mata gue.

Amazing. Gue baru tahu dia se-adrenaline junkie itu. Dan gue baru sadar udah sebucin ini.

Dan betapa leganya gue karena roller coaster setan itu adalah wahana terakhir yang wajib kami naiki buat pengambilan gambar. Pita sama Milly masih mau naik merry go round kuda poni, yang kemudian Pin ledekin apa mereka nggak malu sama umur, mereka kompak menjawab, "Di Jepang ini, nggak ada yang kenal."

Gue dan yang lain memilih beristirahat di salah satu umbrella café sambil ngemil popcorn diselingi obrolan mengenai hasil take. Gue ngerasa awkward di sini, guess what? Sepanjang percakapan, cuma gue sama Rei yang nggak ngomong satu sama lain. Shit. Impact kelakuan impulsif gue di Hogsmeade tadi bener-bener kerasa.

Setelah pusing reda, gue menyingkir dengan alasan nyari restroom. Bukan alasan juga sih, gue beneran ke restroom buat panggilan alam sekalian membasuh muka. I need to pull myself together.

Kemarahan Pita berdengung lagi di telinga gue, dan harus gue akui dia benar. Gue nggak ada bedanya sama balita yang tantrum karena ada balita lain menginginkan mainannya. No, of course Pita bukan mainan gue, itu cuma analogi betapa immature dan annoying-nya gue tadi. Cemburu karena cinta bukan alasan untuk membenarkan konfrontasi di ruang publik seperti itu.

I need to fix this. Gue keluar dari restroom sambil menyusun beberapa kemungkinan kalimat permintaan maaf, sampai gue melihat Rei dan kameranya lagi ngerekam di seputaran Minion Park. Sendirian. Gue membeli sekaleng Georgia Deep Black—yang sering Rei minum—dari vending machine terdekat sebelum menghampirinya.

Menyadari gue, langkah Rei berhenti lalu menurunkan kamera. "Mas Hans, ada yang bisa saya bantu?"

He's a nice guy. Gue tersenyum dan menggeleng, "Mau ngobrol. Sibuk, Rei?" lalu mengulurkan Georgia Deep Black yang dia terima sambil ketawa pelan.

"Arigatou, Mas, dan monggo. Saya sambil ngumpulin footage boleh, ya? Ini mute kok."

"Monggo," balas gue, dia mengangkat kamera lagi. Gue mengembuskan napas panjang sebelum memulai. "I'm truly sorry about earlier, Rei. Maksud saya, yang di Hogsmeade tadi."

Dia tersenyum menampakkan gigi-giginya tanpa beralih dari kamera. Mau nggak mau gue ikut meringis malu.

"First thing first, saya perlu meluruskan satu hal. Pita nggak pernah cerita ke saya kalau dia—ehm, sorry—menolak kamu ..." dan, yeah, gue ceritakan semuanya. Rei menyimak klarifikasi gue sambil terus merekam wahana odong-odong Minion, sampai gue menutupnya, "Saya harap kamu nggak salah paham dan kecewa sama Pita."

Rei menurunkan kamera sambil ketawa. "Mas Hans, njenengan ini lucu."

Gue mengernyit. "Gimana?"

"Saya ini kan rivalnya Mas Hans, bukannya malah bagus kalau saya kecewa dan jadi ilfeel sama Pita?"

Gue kicep. Okay, jadi dia bisa membaca situasi. As expected mahasiswa magister Todai.

"Rival sih rival, tapi Rhoma Irama bukan jalan ninja saya," kata gue.

"Apaan, Mas?"

"Adu Domba."

Garing sih, tapi Rei ketawa lagi. "I see. Boleh sambil jalan, Mas? Saya butuh rekaman dari angle lain."

Gue mengangguk dan berjalan mengimbangi langkah pelan-pelan Rei. Sesekali dia melirik gue. "Thank you for explaining, Mas. Sebenarnya saya sendiri percaya Pita bukan tipikal yang suka mengumbar urusan pribadi semacam itu. She's a reserved one, makanya saya suka dia."

Dikira dia doang yang suka? Gue menahan diri untuk nggak melengos.

"Tapi kamu juga tahu perasaan saya buat dia. Right?"

"How can I not? It's obvious, Mas. Sebut saja kita berdua punya rivalry instinct. Saya juga bete kalau Pita lagi ngobrol serius sama Mas Hans sampai lupa sekitar. Apalagi Mas Hans sama Pita selalu kelihatan serasi di kamera saya. Ngeselin, tapi saya kudu piye?"

Gitu, ya? Gue terkekeh garing, ikut membungkuk ketika Rei nge-zoom beberapa detail eskterior toko suvenir Minion yang didominasi warna kuning dan biru.

"Tapi saya tersanjung bisa diakui sebagai rival seleb pujaan anak gadis dan emak-emak setanah air sekelas Hansel van de Jager. Sampai bikin kebakaran jenggot lagi. Makasih lho, Mas."

Entah dia beneran atau cuma satire, yang jelas gue ketawa pahit. "Sekarang semua orang tahu Pita menolak kamu. Gara-gara sikap childish saya. Maaf, Rei. I don't know what to say but sorry. Pita juga nolak saya, by the way, kalau kamu mau kita impas dengan membuat semua orang tahu tentang ini."

Rei segera menurunkan kamera.

"Serius? Mas Hans ditolak juga?" Dia melotot. Apa mau dikata, gue mengangguk lemah. "Alhamdulillah."

Anjir. "Pengin berkata kasar nih gue."

"Keluarin aja, Mas, saya kebal denger 'su' dan 'cok' tiap teleponan sama temen di Surabaya."

"Sucok? Susu coklat?"

Rei ketawa lagi dan sekarang benar-benar mematikan kameranya. Setelah menyimpannya di ransel, Rei mengangsurkan sekaleng minuman dari saku jaketnya. "Mas Hans masih pusing? Saya suka minum beginian pas pusing atau nggak enak badan."

Gue menerima kaleng bertuliskan GINGER dan gambar jahe itu. Permukaannya masih hangat cenderung panas. Jangan bilang dia sengaja beli ini buat gue, dan berniat bicara sama gue juga?

"Thanks." Gue menarik pengungkit tutupnya. Rei juga membuka kopi kalengan pemberian gue. "Am I forgiven?" selidik gue.

Rei membalas senyum gue. "Tergantung."

"Tergantung apa?"

"Tergantung Mas Hans bisa memperlakukan Pita sebaik-baiknya atau nggak, karena dari saya sendiri ngelihatnya Pita punya perhatian khusus buat Mas Hans. Dia cuma menahan diri, entah karena apa, saya nggak tahu. Mungkin Mas Hans yang lebih bisa memahami Pita."

Gue terdiam.

Frankly speaking, gue belum bisa memahami Pita sepenuhnya. Dia masih menutup diri dari gue, dan gue rasa jawaban kenapa gue ditolak ada di situ. Gue, masih bego, masih nggak tahu gimana cara membukanya.

"Boys."

Panggilan Pak Hamdan dari belakang membuat kami menoleh barengan. Beliau dan Mas Eko mengacungkan ibu jari. "Is everything alright?"

Gue dan Rei ketawa sebelum bersulang dengan kaleng masing-masing, lalu meminumnya.

•°•°•

Sejak masuk USJ, beberapa kali Pita curi-curi pandang setiap kami melewati gerbang Detective Conan World. Andai nggak terikat schedule ATW, gue yakin dia bakal langsung ke sana daripada The Wizarding World of Harry Potter. But, yeah, Detective Conan World nggak masuk schedule kami. Dia harus bersabar sampai semua pengambilan gambar selesai, kemudian kami punya free time sekitar 1 jam sebelum waktunya pulang.

Yang kami nggak tahu adalah Mystery Challenge Detective Conan ditutup jam dua siang, sedangkan sekarang sudah jam tiga.

"Bapaaak, kenapa minta maaf segala? Toko suvenir sama café Conan-nya masih buka kok. Lagian saya capek daritadi naik ini-itu, udah mau santai aja, belanja sama ngemil." Pita ketawa buat nenangin Pak Hamdan yang minta maaf ke dia dengan wajah menyesal.

Bohong banget kalau Pita bilang dia cuma mau belanja sama ngemil. Gue inget persis dulu mergokin dia baca manga Conan di perpus sekolah kami. Itu pertama kalinya Pita—yang selalu nunduk dan bisu itu—mau cerita panjang-lebar sama gue meskipun yang kami bahas cuma per-Conan-an. Antusiasme dari matanya waktu itu nggak bisa berbohong. She loves Conan, a lot.

Gue yakin dia masih punya banyak energi buat memecahkan kasus bersama Kelompok Detektif Cilik di arena Mystery Challenge yang tutup itu. Dia cuma nggak mau Pak Hamdan merasa bersalah, because in the end, kami ke sini ya buat kerja, bukan pelesir pribadi.

Tapi dia Pita Janari, seperti yang Rei bilang, a reserved one. Secara natural mampu mengelola emosinya dan orang-orang di sekitarnya agar tetap stabil. Mantu yang tepat buat Bokap gue yang suka ngeluh migrain ketika Nyokap kumat isengnya nyetel sinetron dengan volume maksimal.

Pita langsung menengadah begitu kami masuk toko suvenir. Mulai dari lantai, dinding, sampai langit-langit dipenuhi stiker bertema Conan. Keychain bermacam-macam karakter menggantung di beberapa titik terpisah. Plush toy Conan dan Kaito Kid versi chibi berjejer rapi di sebuah rak. Dasi kupu-kupu merah, badge detektif, kacamata pelacak, dan semua merchandise yang tersedia membuat gue tersenyum.

Apalagi melihat cewek dengan dandanan Bellatrix Lestrange yang lagi serius milih keychain ini. Nggak mau mengusik kesenangannya, gue keliling sendiri mencari sesuatu buat diberikan ke dia. Setelah check out dengan dua kaleng biskuit, gue menunggunya di depan toko.

Dia keluar 15 menit kemudian dan senyum semringahnya berubah waspada waktu menemukan gue.

"Beli apa aja?" tanya gue, berjalan di sebelahnya.

Tanpa berkata apapun Pita membuka tas kanvas bergambar Conan itu. Gue baru menjulurkan kepala sedetik ketika dia menutup tasnya lagi. Pelit amat elah.

Ada sekitar 3-4 merch yang sempat gue lihat, tapi cuma satu yang lumayan jelas. "Beli kaos, Pit? Shuichi Akai tuh."

"Iya." Dia mengangguk kaku.

"Ntar pake, ya. Shuichi Akai is my favorite." Entah dia inget atau nggak, pokoknya ngode dulu.

"Nggak usah ngode, iya saya inget karena dulu pernah suka sama Kakak. Seneng?" sewotnya, dengan penekanan ekstra pada kata 'pernah' yang mencubit ginjal gue.

Gue menahan lengannya, menghentikan langkah kami.

"Ini buat kamu. Permintaan maaf." Gue menyerahkan paper bag yang langsung dia dorong ke gue lagi.

"Udah saya maafin. Nggak usah, Kak."

"I insist, okay? Aku bukan cuma minta maaf, tapi juga mau bikin kamu seneng. Dulu aku pernah nebak karakter kesukaanmu mungkin Ai Haibara, karena menurutku kesannya mirip kamu. Kecil, pendiam, misterius. Tapi kamu bilang salah. Aku nebak lagi, mungkin Vermouth, karena 'a secret makes a woman, woman'-nya mirip kamu yang punya banyak rahasia. Tapi kamu bilang salah."

Pita menyeringai, satu alisnya terangkat. "Jadi, karakter kesukaan saya siapa?"

"Ini." Sekali lagi, gue memaksanya menerima paper bag. "Ini yang kamu suka."

Meski awalnya ragu, dia menerima dan mengeluarkan isi paper bag itu. Kaleng persegi seukuran ubin dengan ilustrasi Detective Conan. Dia membuka tutupnya, lalu terdiam melihat 25 keping biskuit bergambar masing-masing karakter.

Harusnya nggak salah, sih.

"Kamu suka semuanya. Itu jawabanmu 7 tahun yang lalu di perpus sekolah kita."

Dia menatap gue lagi, kedua pupilnya membesar, dan gue tahu gue benar.

"Biskutnya ada dua edisi jadi gue ambil dua-duanya. Yang ini Conan and his circle, yang ini FBI dan Black Organization." Gue menunjuk kaleng yang satu lagi, lalu tersenyum lebar. "Dimakan, ya? Jangan disayang-sayang. Kalau mau lagi tinggal suruh Liam beliin di Universal Singapore."

And you know what?

Pita tersenyum. Kecil. Tapi manis banget sampai gue speechless to the bone. Nona satu ini mahalnya nggak main-main. Gue harus gesek hampir sejuta cuma buat bikin dia tersenyum sekecil ini.

"Pit, I used to love Detective Conan karena hobi sama Liam, tapi sekarang, aku bersyukur karena suka Detective Conan. Bersyukur banget."

"Why?"

"Karena waktu itu, thanks to Conan, kamu mau opened up ke aku. Sejak hari di perpustakaan itu I gained your trust. Kamu mau senyum buat aku. Kamu mau sharing sama aku. Kamu bisa nyanyi di depanku, lalu di depan anak-anak, lalu kamu terpilih jadi center diva kita. Mereka semua nggak percaya sama kamu dan lebih milih Sashi, tapi aku percaya sama kamu. You proved them that I was right, remember?"

Oh, shit.

Pita mendadak pucat. Tegang. Kenapa? Gue salah omong? Gue cuma mau mengembalikan kepercayaan dia.

"Pit, kenapa?" Gue bertanya, berhati-hati, karena dia kelihatan ... ketakutan?

"Talk to me, Pita, I'm begging you!"

Matanya menghindari gue. Persis seperti dulu. Dia gemetar memeluk paper bag erat-erat. "Makasih biskuitnya, Kak. Ayo balik."

Dia berjalan duluan meninggalkan gue.

Gue tersadar dan segera menyusulnya. Pita ketakutan. Dia jelas-jelas ketakutan setelah ucapan gue tadi. Meskipun dia berusaha menutupinya dengan ekspresi dingin yang dipaksakan.

Hilangnya kepercayaan Pita terhadap gue juga masih misteri, tapi gue nggak ingin memaksanya. Sebagaimana dulu dia mau open up dengan sendirinya ke gue, kali ini juga, gue bakal lebih sabar menunggu dibukakan pintu. Berusaha masuk dengan mendobrak hanya akan merusak pintu itu.

Karena itu, gue tersenyum lagi dan menunduk untuk berbisik lembut di sela rambutnya. "Shinjitsu wa itsumo hitotsu."

Itu adalah quote paling populer di kalangan pecinta Detective Conan yang secara harfiah berarti "Kebenaran selalu hanya ada satu." Dengan kata lain, cepat atau lambat, kebenaran akan terungkap. Gue akan mengetahui kebenaran itu baik dari Pita langsung ataupun mengumpulkan info sendiri.

Terima kasih atas reaksi Pita barusan, gue tahu siapa yang seharusnya gue hubungi sejak awal.

•°•°•

Siapa hayo?

Btw, aku agak insecure karena penyelesaian Hans-Rei lancar-lancar aja. Takut jatuhnya ngebosenin. Karena kupikir dua-duanya emang good boy, udah pada dewasa, udah sering sosialisasi menghadapi banyak orang, masak perkara cewek ini nggak bisa dikomunikasikan baik-baik? Please tell me kalian nggak bosen sama cerita yang isinya orang baik semua ini 😶

Minami-Kusatsu, Shiga, 3 Maret 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top