"Serahkan putri Om sama saya."
Terima kasih dan selamat membaca 💕
•°•°•
SALJU berguguran lebat sekali di luar jendela gerbong kereta rapid dari Chitose menuju Sapporo. Udara panas berembus dari AC di bawah tempat dudukku, tapi badanku masih saja merinding. Kulitku meremang padahal sudah pakai baju 3 lapis. Angka yang tertera pada widget cuaca di ponselku adalah -7°C. Pantesan.
Sejak mendarat di bandara New Chitose, aku berusaha menyibukkan pikiran dengan fokus take di depan kamera. Aku nggak mau pikiranku dikuasai komentar-komentar miring itu. Lumayan berhasil, seenggaknya sampai kami harus duduk-diam-tenang di kereta karena begitulah normanya. Di sini, ngobrol heboh di dalam transportasi umum dinilai nggak sopan.
Duduk diam dalam cuaca sedingin ini berpotensi ngantuk. Kak Milly dan Bu Rena di hadapanku tertidur hanya dalam lima menit. Begitu juga Kak Pin yang tahu-tahu sudah bersandar pulas di bahuku. Kubiarkan saja karena rautnya lelah, kasihan.
Dia menggeliat hingga sedikit melorot dari lenganku. Kubenahi posisi kepalanya kembali dengan hati-hati.
Untungnya ini di Jepang, nggak ada hengpon jadul yang akan menciduk kami. Kalau iya, bisa-bisa orang akan makin yakin bahwa foto lorong remang-remangku sebelumnya memang sama Kak Pin, bukan ....
Mataku melirik Hans karena reflek.
Dan aku baru tahu matanya sedang mengawasiku, dari kursi di lajur sebelah. Baru saja, atau sudah dari tadi?
Hans tersenyum saat menyadariku. Dia mengarahkan telunjuknya padaku, lalu mengacungkan ibu jari. Senyumnya masih menanti responsku.
Gestur itu.
Aku segera berpaling ke jendela. Debaran aneh menyerang dadaku lagi. Debaran yang sama setiap kali Hans memberiku gestur itu enam tahun yang lalu. Aku nggak mau mengingatnya.
Tapi, ponsel di jaketku bergetar, dan isi pesan yang kuterima justru menguatkan ingatan itu.
+62812xxxxxxx
are you okay?
Aku menoleh padanya. Dia masih tersenyum, lalu sekali lagi mengangkat ibu jari. Kubalas dengan senyum dan anggukan kecil, sebelum kembali memandang hujan salju di luar.
Gestur are-you-okay itu masih sama seperti enam tahun yang lalu. Masih berarti bahwa Hans adalah senior ramah yang memberikan perhatian merata kepada semua junior paduan suaranya. Aku paham dan nggak akan mengartikan lebih lagi untuk kedua kalinya.
•°•°•
Menurut rencana, rombongan kami akan menetap dan menjelajahi 8 area di Jepang, masing-masing satu minggu kecuali Tokyo. Secara garis besar, jadwal Senin-Rabu waktunya kerja, Kamis-Sabtu waktu bebas/istirahat, dan Minggu perjalanan ke area lain.
Kami nggak membuang waktu. Setelah istirahat semalam di ryokan, pagi ini kami langsung menuju Shiroi Koibito Park. Hanya sekali bus dari ryokan.
"Wow ...." Aku mendongakkan kepala. Di seberangku, sebuah bangunan serupa benteng dari bata merah menjulang tinggi dengan tulisan besar di atasnya: CHOCOLATE FACTORY.
Taman hiburan yang didirikan oleh pabrik cokelat Ishiya. Berdasarkan risetku, di dalam ada taman cokelat, museum cokelat, diorama cokelat, dan yang paling kutunggu adalah membuat dan menghias cokelat sendiri. Pasti seru banget!
"Pit!" Tanganku ditarik Hans. Aku berjalan nggak siap mengikuti langkahnya yang tergesa-gesa menyeberangi jalan. Setelah kami sampai dan bergabung dengan yang lain, dia mendesah berkabut putih.
"Lo mikir apa, sih? Perhatikan lampunya, Pit. Fokus!"
Kunaikkan syal menutupi mulut. "Maaf."
"Jangan meleng, kalau lo ilang di sini gimana?!"
"Share loc ke Mas Rei minta dijem—" kalimatku tertelan karena mata sipit Hans tiba-tiba mendelik seram.
Kak Pin menengahi kami. "Lo bener, Pit, tapi Hans itu ngingetin simply because he cares, jadi nggak perlu lo jawab. Dia tadi udah di seberang sini, terus balik lagi cuma buat narik lo gara-gara lo bengong padahal lampu udah ijo."
Iya, sih.
"Makasih, Kak, dan sekali lagi saya minta maaf." Aku menatap Hans bersungguh-sungguh.
Dia tersenyum tanpa berkata apapun. Aku juga meminta maaf pada yang lain. Rombongan bergerak lagi menuju gerbang masuk yang hanya 10 meter dari traffic light. Sampai di dalam area taman yang sebagiannya berlapis salju, aku masih merasa bersalah pada Hans. Tapi, ada yang lebih membingungkan.
"Kak," bisikku, di lengannya, "nggak ada rencana ngelepasin tangan saya? Sakit, tau."
•°•°•
Pertama, Kak Milly dan aku berdecak kagum melihat ornamen-ornamen cokelat, permen, kue, dan berbagai dessert lain yang menghiasi bangunan Chocotopia House. Kami mengedarkan pandangan ke setiap sudut, mengabaikan kamera satu dan dua yang mengikuti kami.
"Chocotopia House ini bisa dibilang museum cokelat gitu, ya, Pit?" Kak Milly bertanya dari sisi lain koridor. Aku mengangguk. "Bocil gue di rumah pasti seneng banget kalau ke sini. Next time bisa nih."
"Jangankan bocil, Kak. Gue lihat lolipop nempel di dinding gini berasa pengin ngemut!" Aku mencolek salah satu hiasan permen imitasi, lalu menoleh ke kamera Mas Eko. "Buddies, tahu cerita rakyat tentang kakak-beradik cowok-cewek yang dibuang ke hutan, terus mereka nemu rumah yang terbuat dari kue, permen, cokelat, pokoknya segala macam dessert? Judulnya apa, tuh?"
"Hansel and Pita." Telunjuk seseorang menekan pipiku.
"Hansel and Gretel!" Aku menoleh dan menggeram. Hans sudah berdiri di sebelahku, cengengesan tanpa dosa menghadap kamera.
"Buddies, yang cerita rakyat itu Hansel and Gretel. Nah, di Chocotopia House ini adanya Hansel and Pita. Kalau Hansel and Gretel ketemu penyihir jahat yang mau makan mereka, sedangkan Hansel and Pita di sini mau ketemu sama Profesor Cokelat yang bakal menceritakan tentang sejarah dan serba-serbi percokelatan. Penasaran? Kuy, langsung aja, bersama Hansel and Pita di acara jalan-jalan kesayangan kita, Around the World! Stay tune, jangan kemana-mana."
Aku tertawa ringan, membiarkan Hans menarik tanganku diikuti kamera. Dia memang jagonya menghidupkan suasana.
•°•°•
Prosedur yang ditetapkan pihak pengelola membatasi proses pengambilan gambar kami. Setidaknya, Mas Eko dan Mas Rei masih diizinkan merekam persiapan kami membuat cokelat di Sweet Workshop Dream Kitchen. Kamera dimatikan setelah menyoroti alat dan bahan yang tersedia di meja konter, siap digunakan. Lupakan pekerjaan sejenak. Kami semua turun ke dapur, berkreasi membuat dan mendekorasi cokelat sesuka hati.
Kamera diaktifkan lagi setengah jam kemudian setelah semua keseruan memasak selesai. Satu-persatu travelers memamerkan hasil karyanya. Dibandingkan aku yang cuma bikin biskuit bola lapis cokelat warna-warni, Kak Milly yang bikin bentuk berbagai muka binatang jelas lebih menarik. Bahkan Kak Pin juga telaten banget membentuk cokelatnya sesuai inisial nama kami berdelapan, dan membagikannya.
Punya Hans yang paling nggak jelas. Bikin cokelat bentuk ... apa, sih, ini?
Mataku menyipit, memperhatikan cokelat di tangannya. "Ini pisang apa terong ijo, Kak?"
"Cabe gorengan!" Dia tersenyum tegas dan mantap, praktis membuat kami semua mangap.
Kak Pin langsung ngakak. "Astaga, Bro! Orang normal ngebentuk cokelat itu bulet kek, bunga, hati ... ya elo cabe gorengan? Kagak habis thinking gue?"
"Nggak sekalian ama petisnya, tuh?" Kak Milly ngikik menutupi mulut. "Takut gue makan nih cokelat. Jangan bilang lo campurin Boncabe?"
Kuambil satu dari tangan Hans lalu memakannya. "Nggak pedes, kok, Kak."
"Enak, Pit?" Hans berbinar-binar menatapku. "Emang nggak pedes. Itu cuma perumpamaan. Belakangan ini gue kena yang pedes-pedes tapi somehow rasanya manis."
Aku mikir sebentar. "Sambel goreng hati?"
Tampang Hans langsung kecut, apalagi Kak Pin dan Kak Milly ngetawain dia. Aku makin bingung ketika dia menjawab, "Yep, itu hati gue disambel, sekalian tambahin kentang dipotong dadu. Kebetulan gue punya kenalan juragan cabe gorengan, dia kalau ketemu gue baik banget suka ngasih kentang, ada kali sekarung tuh kentang dari dia semua. Itu kalau gue budidayakan bisalah ntar buat ngisi kegiatan pas gue pensiun. Jadi petani kentang."
Kan.
Satu hal tentang Hans, dari dulu dia itu cerdas. Di satu sisi dia mampu menyederhanakan permasalahan yang tampak rumit, tapi terkadang, dia juga membuat yang mudah justru jadi ... mbulet.
Juragan cabe gorengan tapi ngasihnya kentang? Mungkin dulu Hans suka menjilati sisa micin yang menempel dalam saset.
Rekaman dihentikan lagi saat kami berjalan menuju area selanjutnya. Kedua kameramen hanya menyorot detail-detail bangunan untuk bahan filler. Aku sendiri berselfie dengan beberapa hiasan cokelat, lalu mengirimkannya ke Papa. Nggak lupa menanyakan menu sarapan Papa pagi ini.
"Sini saya fotoin, Ta." Mas Rei menawarkan bantuan waktu aku mau selfie dengan sebuah gingerbread. Aku nggak menolak dan menyerahkan ponselku.
"Domo arigatou, Mas."
"Inggih, sami-sami." Aku tertawa mendengar jawaban itu ketika Mas Rei mengembalikan ponselku. Bersamaan dengan itu, dia memberiku bungkusan plastik kecil. Berisi beberapa keping biskuit dengan ornamen bunga sakura.
"Ini buat saya?" Aku memastikan.
Dia sedikit membungkuk lalu tersenyum. "Kalau kamu nyasar, boleh share loc ke saya, nanti saya jemput."
•°•°•
Setelah lima menit mencoba, akhirnya Bang Elang mengangkat teleponku.
"Apa, sih, Pit! Kamu harusnya paham kalau Abang nggak angkat, itu artinya Abang sibuk, nggak usah ngebombardir—"
"Waalaikumsalam, Bang," potongku.
Hening sekian detik, sebelum kudengar Abang mendesah berat. "Assalamualaikum. Apa? Ini jam kantor, awas kalau nggak penting."
Ingin kusembur dia dengan mengatakan bahwa aku juga nggak sudi menghubunginya kalau cuma buat bilang 'hai'! Tapi kutelan bulat-bulat. Bukan waktu yang tepat untuk adu mulut.
"Papa nggak balas WA-ku, Bang. Centang satu abu."
"Terus kenapa? Papa nggak selalu pegang HP."
"Tapi udah dari tadi siang, Bang!"
"Ya ini juga masih siang, Pit! Jangan aneh-aneh kamu!" Bentakan Bang Elang menyadarkanku bahwa di Jakarta memang masih jam 3 siang. "Sorry, Abang lupa kamu di Jepang. Papa sering main sama Pak RT sebelah rumah, coba hubungi dulu."
"Sudah tapi nggak diangkat! Bang, tolong banget, kirim orang atau siapa ke rumah kita buat ngecek Papa. Papa sendirian, Bang! Di rumah nggak ada orang lagi! Gimana kalau hipertensi Papa kumat? Gimana kalau sampai Papa stroke lagi? Gimana—"
"Nggak diangkat berarti Papa lagi sama Pak RT. Papa kalau udah jalan sama Pak RT bisa tuh dari Anyer sampai Panarukan. Udahlah tunggu aja. Ntar jam 7 malem belum ada kabar baru kamu boleh panik, oke? Jam 7 Jakarta, bukan Jepang. Abang balik dulu, ini ninggalin forum gara-gara kamu."
What?!
"Bang. Abang! Bang Elang! Seenggaknya tolong—" Percuma. Diputus bahkan tanpa salam.
Kuusap kasar kelopak mata yang sudah digenangi air. Oke, tenang. Kupikirkan lagi siapapun yang mungkin untuk kuhubungi, tapi nggak ada. Bang Elang itu opsi terakhir karena dia memang nggak pernah bisa diandalkan. Tapi menyerah bukan jalanku. Aku menggulir layar ponsel lagi, menyisir kontak keluarga satu-persatu ....
"Pit, masih lama?"
Panggilan Hans membuatku berbalik dan menyimpan ponsel dalam saku celana. Kuperhatikan keresek hitam besar yang dijinjingnya.
"Kak Hans mau nyuci? Saya udah. Maaf, ini saya kosongin dulu." Buru-buru kubuka kap mesin, mengeluarkan semua cucian bersih yang masih setengah kering, asal-asalan menjejalkannya ke dalam ember.
"Gue santai, sih, nyuci tengah malem juga bisa. Maksud gue, udah jam segini lo nggak siap-siap dulu? Setengah jam lagi kita berangkat. Udah maghriban?"
Aku menoleh sekilas. "Belum, Kak, habis ini."
"Mau bareng gue sama Pin di ruang tengah? Kalau iya gue tunggu."
"Boleh, saya wudu dulu." Aku tersenyum tipis, membawa ember dengan dua tangan.
Hans menunduk, mengusap sisa air di sudut mataku dengan ibu jarinya. "Semoga pikiran lo lebih jernih setelah salat." Lalu kembali ke kamar bersama keresek baju kotornya.
•°•°•
Tujuan liputan malam ini adalah Taman Odori dan Sapporo TV Tower yang berada di satu area. Karena hujan salju dan suhu ekstrem, kami nggak berlama-lama di lokasi outdoor (Taman Odori) dan bergegas menuju lokasi indoor (Sapporo TV Tower).
Supaya lebih efisien, rombongan sepakat berpisah menjadi dua tim. Kak Pin, Kak Milly, Mas Eko, dan Bu Rena akan mengulas toko-toko suvenir unik di lantai bawah. Sisanya, termasuk aku, ditugaskan meliput dek observasi. Kami berempat naik menggunakan elevator setelah membeli tiket.
"Biar weekday padat juga, ya," gumam Hans, ketika kami baru keluar dari elevator.
Dek observasi ternyata nggak sebesar bayanganku. Kurasa masih lebih luas di Monas. Bedanya, seluruh dinding yang mengelilingi dek di sini adalah kaca gelas tebal. Kami benar-benar disuguhi panorama 360° Kota Sapporo dari semua sudut.
Aku mendekati satu sisi dek yang kosong, menghadap langsung ke Taman Odori. Kurapatkan kedua telapak tangan di dinding kaca tebal. Aku nggak bisa berkedip. Mataku tersihir kemilau ribuan cahaya yang berpendar mengisi gelap malam di bawah sana.
"Cantik banget, Kak." Aku bergumam, menahan napas, nggak bisa mengalihkan mata dari taman sepanjang satu kilometer yang diguyur salju di bawah sana.
"Ya." Hans kini di sampingku, membuatku spontan menoleh. Kami hanya saling menatap, sampai lesung pipinya muncul karena tersenyum. "Cantik."
Kukembalikan pandangan ke luar sana. Breathtaking view di depan mata nyatanya nggak mampu mengusir keresahanku. Papa masih menguasai pikiranku, tapi aku harus fokus. Kumaksimalkan senyum selama take jelajah dek observasi bersama Hans.
Begitu kamera dimatikan, aku langsung memeriksa ponsel. Seluruh kecemasan hilang waktu kutemukan satu pesan yang paling kutunggu-tunggu.
Papa❤️
Pita, maaf, Nak. Maaaaaf sekali. Paket data papa habis. Tadi siang jalan2 sm Pak RT, beli kuota, terus bablas ke pasar burung Barito. Maunya cuma lihat2, tapi malah beli burung pipit sepasang. Pinter nyanyi, merdu, tp nggak berisik, mirip sm Pita.
Aku hampir tertawa melihat selfie yang Papa sertakan. Papa berpose merapat di sangkar berisi sepasang burung mungil itu. Yang satu berbulu putih dengan sayap hitam dan kepala abu-abu. Yang satu lagi sama, tapi berbulu merah menyala. Lucu, mengingatkanku pada Angry Bird.
Aku baru mengirim sebaris balasan, tapi kemudian Papa malah video call. Aku celingukan sejenak. Pak Hamdan dan Mas Rei lagi keliling berburu footage. Karena nggak ada siapapun di sekitarku kecuali Hans, aku menekan terima. Papa langsung muncul bersama sangkar burungnya.
"Assalamualaikum. Lho, Pita lagi jalan, ya? Nanti Papa telepon lagi, deh."
"Waalaikumsalam. Nggak papa, Pa, ini Pita lagi duduk-duduk nungguin yang lain," cegahku, sebelum Papa memutuskan sambungan. "Gimana, gimana ceritanya Papa beli burung? Mana suara burungnya, Pa?"
Papa bercerita dengan antusias. Ternyata, Papa ketularan Pak RT yang belakangan hobi piara burung. Dua minggu terakhir sebelum memutuskan membeli burung ini, diam-diam Papa sudah belajar cara merawatnya dari Pak RT. Syukurlah, aku senang Papa punya kesenangan tambahan di rumah.
"Yang jantan mana betina mana, Pa?" tanyaku lagi.
Papa menunjuk si merah dan si putih bergantian. "Ini yang Ariel, ini yang Luna."
"HAH?!" Astagfirullah, benarkah ini bapakku? "Harus Ariel-Luna banget namanya, Pa?!"
"Lho, bukan, Pit. Ariel itu maksudnya jantan, Luna itu betina. Itu istilahnya di dunia kicaumania, kata Pak RT," jelas Papa, yang membuat mangapku semakin lebar.
Gimana bisa jantan-betina diasosiasikan dengan Ariel-Luna? Gagal paham. Otakku nggak nyampe.
"Ada suara laki-laki ketawa nggak habis-habis, itu siapa, Nak?"
Aku menoleh Hans yang spontan membekap mulut. Matanya melebar dramatis. Heish, dasar berisik.
Aku kembali ke Papa lagi. "Bukan siapa-siap—"
"Assalamualaikum, ini saya, Om. Maaf saya nggak sopan tiba-tiba ketawa." Hans merapat di lenganku dan menunjukkan diri di kamera.
Dih, nggak usah sok kenal, ya. Papa mana tahu teman-teman selebku kecuali Kak Pin?
"Oh, Nak Hansel. Nggak papa, memang lucu, kok. Waktu pertama kali tahu saya juga ketawa," balas Papa ramah, dan aku makin bengong. Sejak kapan Papa tahu Hans? "Nak Hansel berdua Pita saja? Yang lain berpencar, ya? Sudah pada makan belum?"
Berikutnya, Papa dan Hans sudah terlibat obrolan ringan yang mengalir natural. Papa bahkan nggak segan-segan memamerkan kicauan Ariel-Lu—maksudku sepasang pipit itu. Hans juga dengan senang hati menjelaskan acara kami besok ketika diinterogasi Papa. Juga memamerkan view Taman Odori dari ketinggian yang berada persis di belakang kami.
"Ya sudah, Pita sama Nak Hansel dilanjut lagi jalan-jalannya. Tapi jangan pulang kemalaman," tutup Papa dengan senyuman. "Nak Hansel, saya minta tolong jagain Pita selama di sana, ya."
Aku mendelik. "Paaa?!"
"Serahkan putri Om sama saya." Hans menepuk-nepuk dadanya yang membusung. Ya Allah, ngeplak orang ganteng dosa nggak, sih?
Papa memutuskan sambungan setelah kami bertukar salam. Segera kurampas ponselku dari tangan Hans. Ya, sejak tadi dia yang pegang ponselku karena ngobrol sama Papa lumayan lama. Heran, yang anaknya Papa itu aku, kenapa ngobrolnya sama dia?
Terlepas dari itu, aku bersyukur, benar-benar lega karena Papa baik-baik saja. Kekhawatiranku nggak terbukti. Aku bisa kerja dengan tenang.
"Papa sendirian di rumah, Pit?" Pertanyaan Hans membuatku menoleh lagi. Dia tersenyum. "Sorry, gue denger waktu lo nyuci."
"Oh," aku mengangguk, "iya, Kak. Biasanya berdua saya."
"Mama ke mana?"
"Sudah nggak ada."
Hans terbelalak. Mulutnya terbuka, tapi nggak mengatakan apa-apa. Aku paham apa yang dipikirkannya.
"Mama meninggal waktu saya SMP. Jatuh waktu naik motor. Nggak parah sebenarnya, bahkan Mama masih sempat pulang dan istirahat di rumah. Tapi beberapa jam kemudian Mama muntah-muntah, nggak sadarkan diri, dan waktu dibawa ambulans udah terlambat, Kak."
"Hemoragi intrakranial." Dia mengerjap dua kali. "Sorry. Gue tahu karena bokap sering nanganin."
Aku tertawa kecil untuk mengalihkan. "Oh, iya, Dokter Ethan kan bedah saraf."
"Lo tahu bokap gue?" Dia mengernyit.
"Iyalah. Di Google banyak. Hansel van de Jager, putra sulung Ethan van de Jager, presdir Rumah Sakit Van de Jager."
"Tapi di profil gue nggak ada yang pernah mention spesialisasi bokap. Dokter doang."
"Ada di website RS Van de Jager."
"Oh, gitu." Dia manggut-manggut. "Pita Janari ngepoin website RS bokap gue. Kapan tuh? Baru-baru aja, atau sejak kita satu padus Simfoni Bastari waktu sekolah?"
•°•°•
Minami-Kusatsu, Shiga, 26 Januari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top