"Saya makin suka sama kamu."

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

ATW Season Japan Ep01: Sapporo, Hokkaido Prefecture

👍🏻 326,889 likes

"Pabrik cokelat, TV tower, main ski. Seru banget lihat mereka 🤩 have fun, Travelers! Terima kasih ATW atas tayangan yang menambah wawasan, keep up the good work."

"Hans apasiiih lawak amat bikin cokelat bentuk cabe? Mana disangka terong sama Pita. Cocok ya gebleknya wkwk."

"Sapporo TV tower cakep banget kek menara sutet dipasang lampu natal."

"Kak Milly main ski encok ga sih, gelundung, nyungsep, kejengkang mulu 🤣 sesulit itu ya??? Kak Pin bagian ngomel doang, kocak parah 😭"

"Pin ngomel mulu karena nggak sama Pita, yekaaan?"

"Hans gentle ya, ngajarin Pita, apalagi pas berlulut ngebersihin bootsnya Pita dari salju. Mana kagak protes rambutnya dijambakin Pita. Ok google how to be Pita Janari?"

"Ngarep momen PiPi couple ngapa malah degdegan sama Hans-Pita? ATW sueee!"

"Apa cuma gue yang notice Pita pake 'saya' cuma ke Hans? Hmmm."

"Aku mencium aroma drama."

"@pitajanari jadi kissnya sama @pinanditorahagi atau @hanseldejager nih???"

"@pitajanari kenapa cuma satu kalau bisa dua-duanya, bestie?"

•°•°•

MINGGU ketiga di negeri orang, tepatnya sekarang di Kota Nagoya, aku mulai bersin-bersin sampai ingusan.

Nggak sih, hidungku sudah gatal sejak penerbangan dari Sendai ke Nagoya. Kupikir hanya karena kedinginan, tapi setelah bangun tidur pagi ini kepalaku berat banget. Rasanya seperti ditindih barbel. Mataku panas dan hidungku penuh-sesak. Untuk berjaga-jaga, kuminum obat flu yang kubawa dari Jakarta. Kumasukkan juga satu strip di tas untuk diminum nanti setelah makan siang di lokasi syuting hari ini.

"Pit, Pita." Suara Hans memangil-manggil namaku. Tepukan pelan di pipi memaksaku membuka mata. "We're here, we need to get off. Are you okay?"

Aku menegakkan diri, celingukan, melihat satu-persatu penumpang keluar dari gerbong. Ah, ya, kami sudah sampai di stasiun pemberhentian terakhir. Aku segera berdiri, begitu juga Hans yang mengambil dan menggantungkan tasku pada satu bahunya, lalu mempersilakan aku keluar duluan.

Gawat. Aku lupa bahwa obat flu yang biasa kuminum punya efek samping mengantuk. Sudah ketiduran di kereta, sekarang mataku susah dibuka, otakku juga nggak responsif. Namun proses syuting menuntutku tetap fokus.

Pengambilan gambar hari ini kami awali di depan sebuah gerbang masuk raksasa yang disangga dua puri tinggi di kanan-kiri, tersusun atas bata mengilap yang warna-warninya bertabrakan satu sama lain. Figurine plastik berwajah kuning dan bulat menghias di beberapa titik. Tulisan LEGOLAND JAPAN membentang panjang di atas gerbang.

Kak Milly langsung mengawali dengan senyum cerahnya.

"Ohayou gozaimasu, Buddies! Setelah minggu lalu kita keliling Sendai, sekarang kita ada di Kota Nagoya, Prefektur Aichi. Nah, pagi ini kita mau main di sebuah theme park yang cuma ada 8 di seluruh dunia, dan salah satunya ada di Nagoya. Persis di belakang kita. Jaman kecil dulu, gue punya mainan bentuk balok-balok kecil yang bisa dibongkar-pasang. Anak gue juga sekarang mainan itu. Lo main nggak, Pin? Apa tuh namanya?"

"LEGO!" Kak Pin menjentikkan jari di depan kamera. "Eh tapi gue nggak sepakat kalau LEGO dikategorikan mainan anak-anak, tapi semua umur. Gue segede gini masih suka main LEGO bareng ponakan, and it was surprisingly exciting. Tahu-tahu udah waktunya dia tidur."

Hans tertawa merangkul Kak Pin. "Nah, setuju gue, laki tuh main LEGO supaya kreatif, bukan main perempuan. Gue sama adek juga koleksi LEGO seri Marvel Universe."

Adek cowok kunyuk kemarin itu, ya?

Gara-gara bocah itu, Hans makin sering cari kesempatan berduaan denganku saat off-cam. Kadang dia membujuk halus, 'Tolong kasih gue kesempatan menyelesaikan ini, Pit. Gue nggak mau mati membawa dosa sama lo.' Kadang dia sangat frontal dan serius, 'Bilang apa masalah lo sama gue.' Kadang dia sengaja ngajak gelut, 'Be. Cabe! Bilang apa masalah lo atau gue masukin lo ke tahu isi dan gue kunyah!'

Aku enggan merespons. Kutinggalkan dia. Dia mengejarku sambil ngemis-ngemis minta maaf. Kapok.

Terlepas dari caranya yang memaksa, aku tahu, dia segigih itu karena benar-benar tulus merasa bersalah padaku. Kalau bukan, mana mungkin dia bisa mengingatku sebagai soprano terbaik yang sering diam-diam mundur ke barisan belakang. Cuma aku yang melakukan itu di kelompok padus kami. Hans mungkin lupa namaku, tapi dia mengingat eksistensiku.

Kalian tahu golongan senior yang selalu pasang raut dingin, cuek, jarang tersenyum, irit kata, mungkin sedikit kasar, membangun image misterius seperti tokoh utama novel-novel remaja SMA?

Nggak bisa dipungkiri bahwa golongan mereka, apalagi didukung tampang cool, selalu sukses bikin anak lain penasaran. Populer itu pasti. Tapi Hans adalah kebalikan dari semua itu.

Dan popularitasnya nggak kalah dari golongan senior dingin itu, sebab dia tahu benar bagaimana menghargai orang-orang di sekitarnya. Guru, senior, teman seangkatan, junior, bahkan tukang kebun sekolah mengenalnya sebagai sosok yang hangat. Keramahan dan keterbukaan yang ditunjukkannya membuat siapapun nggak segan untuk mendekat. Dia nggak misterius atau bikin penasaran. Dia menawarkan pertemanan nyaman bagi yang menginginkannya. Aku termasuk beruntung bisa mengenalnya.

Apakah dia player? Nggak. Sama sekali nggak.

Meski Hans nggak mengumbar kisah cintanya, satu sekolah tahu siapa pacarnya waktu itu. Termasuk aku yang tahu diri untuk nggak nekat menyatakan perasaan. Dulu, sekarang, maupun nanti, dia nggak boleh tahu bahwa aku pernah menyukainya.

Apalagi setelah komentar viewers ATW episode Sapporo kemarin. Bisa kubayangkan apa yang mungkin terjadi. Sama saja dengan bunuh diri.

•°•°•

Aku pernah naik wahana Halilintar di Ancol, roller coaster dengan 360° loop sebanyak tiga kali berturut-turut yang super ekstrem itu. Dan, ya, waktu turun pusing banget, tapi alhamdulillah nggak kapok. Pada dasarnya aku memang adrenaline junkie, aku menyukai sensasi ketegangan yang berasal dari mendekati bahaya.

Karena itu, aku nggak menyangka wahana Dragon's Apprentice bisa membuatku muntah hebat di kloset salah satu bilik restroom. Demi Allah, itu cuma roller coaster anak-anak dengan rel rendah, jarak pendek, tanpa 360° loop, dan kecepatan santai. Setara Alap-Alap di Ancol. Tapi menaikinya saat fisik lagi drop itu namanya cari penyakit.

"Udah, Pit?"

Begitu aku keluar dari bilik, Kak Milly mengangsurkan sebotol air dan tisu yang langsung kuterima untuk menyeka mulut. Waktu aku minum, wajahnya terlihat cemas saat meraba kening dan kedua pipiku.

"Tuh kan, lo demam. Gue bilang apa, harusnya lo nggak usah ikut istirahat aja di ryokan!"

"Sayang tiketnya, Bund. I'm okay, tapi mungkin gue nggak usah naik atraksi dulu kali, ya?" Aku mencuci tangan dan mulut di wastafel, lalu melirik sekilas. "Kak, lo report bagian Miniland yang keliling diorama dan ngejelasin satu-satu, kan? Boleh tukar sama gue di Flying Ninja? Gue nggak mau semaput gegara diayun-ayun di kursi terbang."

"Oke aja sih, lagian mana gue sanggup ngapalin sejarah semua diorama itu. Ingatan lo kayaknya lebih bagus daripada gue, kalau Pak Hamdan oke gue kasih skripnya." Kak Milly memberiku tisu lain untuk mengeringkan tangan dan mulut. "Tapi gue tetep prefer lo istirahat di ruang first aid daripada makin parah. But it's up to you, gue ngerti being professional is also important. Kalau lo emang mampu dan mau report Miniland ntar lo bisa bareng Hans."

Aku mendelik. Hans lagi?! Ya, aku lupa bahwa untuk report Miniland nanti Kak Milly dipasangkan dengan Hans.

Aku mendesah pendek. "Gue mau report bareng lo aja, Kak."

Kak Milly mengangkat daguku lalu menepukkan cushion di sekitar situ. "Kenapa? Lo kepikiran komentar-komentar pilot episode Sapporo kemarin?"

Aku mau meringis, tapi Kak Milly sedang mengoleskan lip cream di bibirku jadi aku hanya mengerjap. Setelah selesai, dia tertawa dan menutup lip cream. "Selamat datang di panggung dunia hiburan, Bestie, di mana spotlight akan mencari jalan untuk menyorot kehidupan lo. Di mana pemirsa selalu hadir sebagai komentator sukarela atas setiap tindak-tanduk lo. Bahkan sekadar menyipitkan mata bisa membuat lo dicap sengak padahal lo cuma kelilipan maskara."

Kukatupkan bibir pada tisu sebelum tersenyum kecut. "Thank you for reminding me, Kak."

"You're doing good so far, Pit. I mean, gue kan lumayan sering bacain berita tentang lo sejak TSS, dan gue rasa cara lo menanggapi isu-isu yang beredar cukup santai tapi tegas. Mulai lo dituduh jalur orang dalam, manipulasi vote, suara hasil efek, sampai Pipi couple yang aslinya nggak pernah ada. Lo nggak kepancing emosi dan berani speak up dengan tenang is a good move, selanjutnya terserah mereka mau percaya atau bikin asumsi lain. Waktu dan energi lo terbuang percuma kalau lo ladenin mereka terus, Sis. Mendingan kerja biar produktif. Eksis dapet, cuan apalagi."

"Astaga, I love you, Bund!" Serta-merta kupeluk Kak Milly yang dengan senang hati membalas pelukanku. "Gue nggak merasa butuh encouragement, tapi denger kata-kata lo barusan rasanya jadi lebih ringan, Kak. Thank you ...." Tapi—oh. Aku buru-buru menjauhkannya lagi. "Sorry, jangan sampai lo ketularan gue, Kak."

Dia tertawa lalu mengambil setting spray. "Hopefully nggak. Sini, semprot dulu."

•°•°•

"Yang ini pasti Fuji-san?" Aku berjalan cepat diikuti Hans dan kameranya Mas Rei. Kami menghampiri diorama gunung kurucut yang tingginya melebihiku. Salju imitasi menutupi sebagian puncaknya. "Tapi bukan dari LEGO, ya, Kak?" gumamku, melihat semua diorama tempat-tempat ikonik Jepang yang ada di Miniland seharusnya dibangun dari LEGO.

Hans mengangguk dan melipat kedua lengan di sisiku. "Daritadi kita keliling Miniland, gue lihat yang dari LEGO emang bangunan dan kendaraanya, Pit. Gedung, kuil, rumah, jalanan, itu semua dari LEGO. Landscapes-nya dari material asli seperti semen, pasir, batu, air, biar kesan naturalnya dapet."

"I see. Bahkan buat detail pohon-pohon kecil yang dipakai juga daun sama ranting asli. Jadi LEGO-LEGO di sini menyatu dengan alam." Aku membungkuk dan menunjuk hutan mini di kaki gunung Fuji. Tiba-tiba semua putih menyilaukan lalu drastis hitam total. Aku limbung.

Begitu kusadari Hans sudah menangkap tubuhku dan bisikannya terdengar panik. "You're not okay."

"Cut!"

Aku menolak Hans dan cepat-cepat berdiri lagi ketika Pak Hamdan menghampiri kami. "Maaf, Pak—"

"Setelah Milly sama Pin selesai dari Flying Ninja, kita kumpul dan take bersama sebentar menyampaikan kondisi kamu sekarang. Habis itu kamu istirahat yang tenang, makan, tiduran di ruang first aid."

Aku menganga. Jangan bilang ... "Kondisi saya sakit mau disiarkan, Pak?"

Beliau mengangguk jelas. "Ya, kita cut sampai kamu masuk ruang first aid jadi setelah itu kamu bisa tenang istirahat. Komitmen ATW untuk menyajikan perjalanan ini se-real mungkin harus dipertahankan, Pita. Kalau kamu sakit ya kita bilang sakit. Jangan membuat kita kehilangan poin fun karena kamu kelihatan memaksakan diri di kamera."

Kecewa, tapi aku tahu Pak Hamdan benar. Aku bukannya memaksakan diri, hanya kupikir pasti masih ada yang bisa kukerjakan untuk tim meski sedang lemah. Namun, tamparan angin dingin di tengah terik matahari siang ini memang bikin kepalaku makin pengar.

Hans, aku, Pak Hamdan, dan Mas Rei segera menyelesaikan take bagian terakhir, pada diorama Sapporo TV Tower. Kami bernostalgia sedikit, mengingat-ingat bagaimana dua minggu yang lalu kami melihat iluminasi Taman Odori dari atas dek observasi. Momen indah yang nggak ingin kulupakan, apalagi saat itu Hans menemaniku seperti sekarang ini.

Kan, otakku konslet gara-gara hidung mampet.

Setelah kamera dimatikan, aku duduk menggelepar di bangku panjang seberang diorama Gunung Fuji. Pak Hamdan dan Mas Rei memeriksa hasil rekaman yang kuharap nggak perlu take ulang. Kugunakan tisu untuk menutupi hidung yang mendadak gatal ingin bersin, sampai mataku menangkap ujung topi baseball hitam seseorang bersembunyi di balik Gunung Fuji.

"Ciluuuk ...?"

Aku menegakkan duduk. Pusing banget. "Kak Hans, nggak lu—"

"BAAA!"

"Hachi—!"

Hans keluar dari balik gunung dan mengambilkan tisu-tisu lain dari tasku yang segera kugunakan untuk menyusut ingus. Hidungku gatal sekali. Kukeluarkan semua ingus keras-keras supaya lega. Hans menampung tisu-tisuku dalam satu keresek yang memang kubawa khusus sampah.

Setelah nggak ada lagi ingus yang bisa kukeluarkan, aku terdiam menutupi hidung. Kuamati dia yang sibuk menyimpan tisu bersih ke dalam tasku, lalu mengikat keresek sampah, lalu mengambilkan sebotol air dari tasku. Dia hampir membuka tutup botol itu, tapi berhenti untuk bertanya padaku.

"Ini dingin banget, tenggorokan lo bisa makin sakit. Gue barusan beli yang hangat di vending machine." Dia mengambil botol kemasan lain dari sebelahnya, diulurkan untukku. "Mau, ya?"

Kuterima sebotol sakurayu itu lalu membukanya sendiri. Hans nggak cuma membeli untukku, tapi juga tujuh macam minuman hangat untuk yang lain. Saat meminumnya, rasa pusingku berangsur luntur digantikan hangat dan baper.

I mean, setelah kupikir-pikir, aku baru saja membuang ingus dengan suara yang sangat menjijikkan dan dalam jumlah banyak. Anehnya Hans sama sekali nggak terganggu. Dia juga nggak keberatan menyentuh dan membereskan tisu-tisu bekasku. Katakanlah aku lemah karena gini doang baper, tapi sebagai pembelaanku, terpesona oleh perlakuan gentle laki-laki itu masuk akal. Yang nggak masuk akal adalah terpesona pada laki-laki yang sudah jelas berengsek. Iya kan?

Tapi, sekali lagi, kejadian tujuh tahun yang lalu sudah cukup memberiku pelajaran untuk nggak terpesona berkepanjangan pada Hans.

"Pas sakit gini lo suka makan apa, Pit?"

Pertanyaan Hans membuatku menurunkan botol. Kedua matanya tersenyum menunggu jawabanku.

"Kenapa? Mau nyariin? Mau masakin?"

Dia mengangguk segera. Jujur banget. Ck, jadi dia benar-benar serius mengikuti nasihat adiknya untuk mepetin aku?

Aku melengos. "Cari di Google."

•°•°•

Setidaknya, aku masih bisa memamerkan makan siangku yang unik di depan kameranya Mas Rei. French fries berbentuk LEGO di salah satu kafetaria sini. Oke, itu cuma camilan, makan siangku sebenarnya adalah piza tuna mayo yang sudah dipastikan bebas daging dan alkohol.

"Enak, Ta?" tanya Mas Rei setelah mematikan kamera. Kami makan hanya berdua karena Mas Rei yang ditugaskan Pak Hamdan untuk menemaniku sampai ruang first aid.

"Hambar, Mas. Tapi perut kosong habis muntah, jadi masuk-masuk aja," jawabku, lalu memasukkan dan mengunyah potongan piza.

"Ada makanan tertentu yang kamu mau? Di Nagoya banyak restoran halal. Bisa takeout atau delivery."

Aku menggeleng. "Gampang deh Mas. Apa aja saya makan kalau buat syarat minum obat."

Mas Rei mengamatiku, bertopang dagu di atas meja. "Kamu ini sakit nggak ada rewel-rewelnya. Ke dokter, ya? Barusan saya cek di maps ada klinik di dekat stasiun satu kali bus dari ryokan kita."

Aku berpikir sebentar dan menggeleng lagi. "Nggak deh, Mas. Gejala flu baru 24 jam gini percuma, dokternya juga belum tahu saya sakit apa? Palingan dikasih obat generik sama suplemen. Kalau itu saya punya lengkap. Lagian Mas lihat sendiri saya nggak rewel. Makan masuk, obat masuk, nggak ada urgensi harus ke dokter."

Dia mengusap kepalaku ringan. "Kalau butuh apa-apa, don't hesitate to let me know, Ta."

Memberi tahu Mas Rei? Perlukah?

Sepanjang makan siang yang diselingi obrolan santai, aku teringat beberapa hal tentang Mas Rei yang sebenarnya lumayan mengusik pikiranku. Dia baik. He's a gentleman dan itu terasa dari perlakuannya kepada kami tim ATW. Hanya saja perlakuannya untukku sedikit lebih ... istimewa, mungkin? Atau aku cuma terlalu perasa?

Aku perlu memastikannya. Karena itu, setelah makan siang dan minum obat, aku meminta waktu bicara sebelum istirahat di first aid. Lima menit saja, sebab Mas Rei dan kameranya juga harus kembali ke rombongan.

"Saya mau tanya sesuatu, tapi ..." mataku beralih sesaat, mencari kalimat yang tepat, "saya harap Mas Rei nggak tersinggung. Kalaupun nanti tersinggung, saya benar-benar minta maaf."

Mas Rei menelungkupkan ponsel di meja lalu menatapku lekat. "Serius banget, Ta. Kenapa?"

"Saya pikir Mas Rei suka sama saya. Apa saya benar?"

Jangankan Mas Rei yang bengong. Aku sendiri bingung bagaimana pertanyaan barusan meluncur seenteng itu dari mulutku.

"Mas Rei boleh menyangkal kalau saya salah," tambahku lagi. Ya Tuhan, tolong buat dia menyangkal. Buat dia tertawa dan mengatakan bahwa aku cuma kegeeran.

"Kenapa kamu berpikir begitu?" Mas Rei tersenyum, melipat kedua lengan, mencondongkan tubuh dengan matanya nggak sedikitpun beralih dariku.

Tenggorokanku makin gatal. "Karena, ehm—tanpa mengurangi rasa hormat, ya, Mas—saya merasa Mas Rei ngasih sinyal itu buat saya. Contoh spesifik, misalnya, Mas Rei lebih sering ngarahin kamera ke saya daripada yang lain. Mas Rei juga sering nanya apa saya kedinginan. Mas Rei selalu antusias mendengarkan pertanyaan saya, ngasih jawaban lebih dari yang saya butuhkan, dan seringnya diakhiri dengan nawarin bantuan."

"Mas juga ngodein saya beberapa kali. Misalnya, waktu Mas bilang mau jemput kalau saya share loc. Meskipun awalnya memang saya yang bilang mau share loc dan minta dijemput, tapi wajar saya berpikir begitu karena Mas Rei satu-satunya kenalan saya yang familier dengan Jepang. Dan terakhir, yang paling mencolok ...."

Kujeda sesaat untuk menarik napas karena sepasang mata Mas Rei membulat sempurna menanti kalimatku. "Ya, Ta?"

"Mas Rei manggil saya 'Ta' di saat semua orang manggil saya 'Pit' dan nggak berkedip setiap bicara sama saya. Kayak sekarang ini," lanjutku.

Mas Rei berpaling pada jendela di samping meja kami, menatap keramaian di luar sana. Satu tangannya membekap mulut, kurasa dia menahan tawa. Lalu kepalanya menunduk dengan mata melirik padaku.

"Dari awal kamu memang tipe saya, Ta. Serius."

Aku nggak berminat membahas apapun alasannya menyukaiku, tapi dia meneruskan sebelum sempat kucegah.

"Kamu kalem, tapi nggak pemalu. Kamu baik, tapi nggak bodoh. Kamu asik, tapi nggak berisik. Kamu mandiri, tapi nggak keras kepala. Kamu tegas, tapi nggak galak. Kebanyakan perempuan kesulitan menyeimbangkan hal-hal itu, tapi kamu nggak. Di mata saya, kamu itu ... pas. Tepat. Perempuan yang tepat."

Aku menelan ludah. Uh. Kepalaku makin pening.

"Makasih, Mas, tapi begini. Mohon maaf saya nggak bisa membalas perasaan Mas Rei. Jadi jangan kasih saya perlakuan spesial, saya nggak mau Mas Rei berharap lebih dari saya."

Tangannya diturunkan dari mulut yang kini nggak tersenyum. "Lho, memangnya saya nembak?"

"Nggak, sih. Saya cuma butuh klarifikasi dari sumbernya supaya jelas. Suka suka, enggak enggak. Kalau nggak ya diketawain aja, berarti saya cuma kepedean. Kalau suka ya saya harus ambil sikap, karena sekali lagi, saya nggak mau Mas Rei berharap lebih."

Hening sesaat, Mas Rei hanya mengerjap-ngerjap.

"Wow."

"Wow?"

"Saya ditolak nih, Ta?"

Aku membuang napas lelah. "Terlepas dari Mas Rei nembak atau nggak, saya cuma menegaskan bahwa saya nggak punya perasaan yang sama. Jelas, ya?"

Yang nggak kumengerti, Mas Rei justru memejamkan mata dan tersenyum-senyum gemas. Apa begini reaksi normal orang yang baru saja ditolak? Dasar aneh.

"Susah, Ta."

"Susah apanya?"

"Susah." Mas Rei menatapku lagi, lebih instens dari yang selama ini ditunjukkannya. "Cara kamu nolak saya justru bikin saya makin suka sama kamu."

•°•°•

Apa yang aneh dengan cara menolaknya Pita, kok bisa Rei makin suka? 😋


Minami-Kusatsu, Shiga, 14 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top