"Petrus jakandor simanjuntak sihombing hutabarat sarumpaet tampubolon hutapea."

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

"KARENA saya memang nggak pernah bisa masuk radar senior of the year hasil voting tiga angkatan seperti Hansel van de Jager. Kakak bukannya lupa sama saya. Kakak memang nggak pernah mengenal saya. Jangan berusaha mengingat karena itu percuma."

Gue terbelalak. What?

Dia salah.

Pita hampir mendahului gue, tetapi gue mencekal lengannya, membuatnya kami berhadapan meski harus sedikit memaksa. Dia mendongak karena perbedaan tinggi. Sorot matanya semakin tajam.

"I do remember you correctly, Nona Cabe. Lo gabung sama padus waktu gue kelas 12 dan lo sendiri baru kelas 10. Lo pendiem. Penyendiri. Pemalu, gue pikir. Lo selalu diam-diam mundur ke barisan paling belakang dan menyembunyikan diri padahal lo kecil. Sampai hari itu padus kita ngadain tes satu-satu buat regenerasi karena angkatan gue mau lulus, dan gue ingat benar lo adalah soprano terbaik yang pernah gue dengar ... at least selama 3 tahun gue gabung di padus."

Kedua mata cokelatnya membulat. Gue tahu gue benar.

Hingga dia tersentak dan mengerjap cepat, "Jangan sebut saya dengan panggilan tidak menyenangkan. Saya bisa aja menggugat Kakak."

Gue melet. "Menggugat apa? Nikah juga belum."

"Tolong serius!" Udara putih terembus keras karena dia mendesis.

"Gue serius, Pit. Sangat serius sama lo."

Gue mencairkan senyum, merunduk sedikit lebih di bawahnya supaya dia nggak perlu mendongak lagi. Gue nggak ingin membuat posisi dia lebih inferior atau gue lebih superior.

"Kalau lo kenal gue sebagai senior of the year, bukan tanpa alasan gue diberi predikat itu. Ya karena gue tipe orang yang ... kalau bisa diomongin santai, kenapa harus pakai tensi? Waktu MPLS angkatan lo gue juga dapet tuh 'kakak panitia paling friendly'. Bisa jadi lo juga ngevote gue waktu itu."

"Out of topic." Tatapannya berangsur melunak. Gue nggak menyerah.

"Salah besar kalau lo berpikir gue lupa sama temen satu ekskul sendiri. Gue punya foto lo—I mean, lo ada di foto bersama tujuh tahun yang lalu. Kadang gue gitu, sih, kalau ketemu kenalan yang udah lama banget. Ingat sosoknya, tapi lupa namanya."

"Dan yang Kakak ingat nama saya Cabe Gorengan, gitu?"

Gue tertawa kecil. "Nggak, lah. Itu spontan aja pas kita ketemu lagi, karena lo—"

"WOY, PASUTRI!"

Gue dan Pita menoleh bersamaan. Pin meneriaki kami dari seberang jalan bersama yang lain. Melihat lampu crosswalk masih hijau, gue mendorong pelan kedua bahu Pita agar segera menyeberang. Main kereta-keretaan sambil berbisik di dekat telinganya yang tertutup beanie. "I'll explain later, Nona Cabe."

•°•°•

Akhirnya, kemarin malam gue menjelaskan sekaligus minta maaf setulus-tulusnya ke Pita soal cabe gorengan. Pagi ini, bisa dibilang dia ngasih gue kentang nggak cuma sebiji, tapi sekebon, lengkap dengan pupuk kandangnya.

Katakanlah gue lebay, tapi beneran seharian ini gue dikentangin kecuali di depan kamera. Wajar sih kalau dia makin marah. Salah gue emang.

Cewek maunya dipanggil 'Sayang', bukan 'Cabe', Bang.

"Iya, Liam, iya." Gue mengembus lelah sambil mengorek telinga. Berisik nih bocah.

"Liam? Anakin, Hans, Anakin!"

"Cut!" Seruan Pin diikuti cue Pak Hamdan membuat gue tersadar bahwa gue masih di depan kamera. Masih di Kastil Aoba yang jadi tujuan kami siang ini, and I should say Anakin Skywalker instead of Liam. Stupid.

"Sorry, Pak, Mas." Gue merasa payah.

Untungnya kru ATW sangat santai. Pak Hamdan memberi gue jeda istirahat sebentar. Kami berempat melipir dari spot pengambilan gambar di bawah patung monumen Date Masamune, mempersilakan rombongan turis lain berfoto dengan samurai feodal pendiri Kota Sendai berbaju zirah di atas kuda perang tersebut.

Gue menjauhi monumen, menepi pada pagar kayu pembatas tebing ini. Hamparan Kota Sendai yang didominasi oleh kuil dari ketinggian gunung Kastil Aoba membuat perasaan gue lebih lapang. Setelah menarik napas beberapa kali, gue membaca ulang skrip di tangan, mempelajari lagi biografi Date Masamune yang menjadi inspirasi karakter Darth Vader serial Star Wars.

"Lo sama Pita ada apaan, sih?" Pertanyaan Pin datang dari sebelah setelah gue menggulung skrip kembali. "Kenapa dia selalu kelihatan waspada kalau ada lo? Nggak kayak yang baru kenal."

Gue membulatkan mata. "You think so?" Dia mengangguk. "Indeed. Kita emang satu almamater. Dia nggak cerita apapun tentang gue?"

"Nggak. Dan gue nggak pernah nanya kecuali dia yang cerita sendiri. Tapi untungnya setiap on-cam bareng lo dia bisa luwes sih, thank God."

Gue menaikkan syal, menutupi hidung yang kedinginan. "Yep, dia cuma manis ke gue pas on-cam."

•°•°•

Malam turun lebih cepat di musim dingin. Selesai menjelajahi kompleks Kastil Aoba, dilanjutkan makan dan salat, rombongan kami bergegas menuju lokasi selanjutnya. Kuil Osaki Hachimangu.

"Nah, Travel Buddies, kalau Kastil Aoba yang kita datangi tadi siang adalah istananya Pak Date Masamune, malam ini kita ada di kuilnya beliau, namanya Osaki Hachimangu. Menurut sejarahnya, klan Pak Date sering berdoa di kuil ini. Kalau Kak Hans sering Jumatan di mana?"

Pita bertanya ke gue di depan kamera utama, dengan latar belakang keramaian pengunjung di sekitar gerbang torii merah khas kuil. Gue menyeringai. "Mana aja yang khotbahnya cepet."

"Jujur sekali, ya, Bapak." Pita tertawa ringan menyenggol lengan gue. Cih, manis tipu-tipu depan kamera.

Tipu-tipu, tapi lo tersipu, Bang.

Gue memejam sesaat untuk menghempaskan Liam sebelum kembali menatap kamera, lalu menunjuk belakang dengan ibu jari. "Buddies mungkin bisa lihat di belakang gue lagi crowded banget. Orang-orang pada pakai seragam semacam jarik putih yang dililitkan di badan, terus masing-masing bawa lampion. Mereka bikin barisan panjang naik ke atas kuil. Karena di sini lagi ada festival Battosai—"

"Battosai tuh bukan yang di Samurai X, Kak? Hitokiri Battosai."

"Sorry, Buddies, festival Dontosai," ralat gue, kemudian kicep karena ketololan sendiri. Thank God Bu Rena yang mengawasi kami hanya tertawa tanpa suara dan ngasih tanda agar Pita melanjutkan.

"Festival Dontosai adalah perayaan tahunan setiap tanggal 14 Januari sebagai penanda akhir tahun baru. Di atas kuil sana, orang-orang ngumpulin hiasan tahun baru mereka, ditumpuk jadi segunung tinggi, terus di bakar bersama-sama. Intinya, ini acara bakar-bakar massal dan doa bersama. Lebih lengkapnya, ayo kita ikut di belakang barisan, naik ke kuil!"

Pengambilan gambar di muka torii dirasa sudah cukup. Selanjutnya, kami berempat menapaki ratusan anak tangga, satu-persatu, menuju puncak lokasi acara bakar-bakar akan dilaksanakan. Kami bergegas menyusul Pak Hamdan dan yang lain yang tadi duluan naik untuk meliput persiapan di kuil Osaki Hachimangu.

"Pita mana?"

Pertanyaan Mas Eko membuat gue sadar Pita sudah nggak ada di sisi gue. Gue berhenti, menyapukan pandangan ke lautan manusia di bawah yang berbondong-bondong naik ke atas. Gue butuh sekian detik sebelum akhirnya menemukan Pita, nggak jauh, hanya sekitar 10 anak tangga di bawah.

Gue turun menghampirinya. Pita baru saja menerima buntalan cokelat, entah apa, dari seorang ibu-ibu. Pita berkali-kali berterima kasih dan membungkuk dengan sungkan sampai ibu itu pergi mengikuti arus naik.

"Lo kenapa? Ini apa?" Gue menunjuk buntalan—yang setelah diamati ternyata—benang wol itu.

"Syal saya," Pita mengurai setengah bagiannya, "benang rajutannya nyangkut sejak di pagar bawah sana. Saya baru sadar di sini pas rajutannya udah ketarik hampir semua. Ibu tadi yang nemu dan gulungin benangnya dari bawah."

Dia bergidik sekilas saat menyimpan buntalan wol itu di tas belanja lipat, lalu tersenyum ke gue. "Maaf lama. Ayo."

Gue menahan lengannya, segera melepaskan syal sendiri, dan melilitkannya di leher cewek mungil ini. Mana bisa gue biarin dia berkeliaran dengan leher terbuka di tengah udara malam bersuhu -2°C begini.

"Sweater gue turtleneck, kaus dan heattech juga turtleneck, udah lumayan nge-cover," jelas gue, ketika dia buka mulut mau protes, kemudian mingkem lagi. Gue mengambil sopan tas berisi wol dari tangannya, lalu kami berjalan lagi. Kali ini gue pegangi tangannya. Bukan apa-apa, tapi kalau dia hilang siapa lagi yang ngentangin gue?

•°•°•

Kerjaan meliput rundown festival Dontosai selesai, sekarang saatnya kami bersantai menikmati acara. Pak Hamdan dan Mas Eko keliling mengambil gambar dari berbagai angle. Gue dan yang lain mengamati kobaran api raksasa yang asapnya membumbung tinggi ke angkasa. Pengunjung di sekitar kami menundukkan kepala, menggumamkan doa kepada Dewa mereka. Para peserta festival yang berpakaian jarik putih duduk mengelilingi sang api, berkali-kali bersujud di tanah sebagai bentuk pemujaan untuk Dewa.

Untuk sesaat gue terhanyut, sampai suara shutter kamera membuat gue mengerjap. Waktu gue menoleh, Rei dan Pita sedang bersama-sama mengamati sesuatu di ponsel.

"Kurang full?" tanya Rei, segala pakai mepet-mepet.

"Kurang naik dikit, kalau bisa asap sama langitnya kelihatan, sama kastilnya juga di belakang api. Bisa nggak, Mas?"

Rei terdiam sebentar. "Agak sulit karena wide kamera HP kamu udah mentok, Pit. Pakai HP saya gimana? Nanti saya transfer."

"Boleh nih, Mas? Maaf ya, request-nya aneh-aneh."

"Why not, biar papa kamu bisa merasakan feel-nya di sini. Kalau mau saya ambil sphere 360° juga supaya sekitar kita semuanya bisa masuk."

Pita mengangguk antusias. "Saya mau banget asal nggak ngerepotin Mas Rei."

"Nggak lah. Apa sih yang nggak buat kamu?"

Itu respons otak dangdut gue, bukan Rei. Dia sendiri cuma ketawa lalu mulai ngefoto Pita sesuai permintaan. Gue nggak bisa mengalihkan mata dari mereka, sampai kemudian ponsel gue sendiri bergetar di saku dalam coat.

Liam van de Jager, incoming video call ...

"Assalamualaikum, hai Juru Kunci Pintu Surga!" kata dia begitu gue terima. Setelah gue jawab salamnya, dia mengernyit mendekati kamera. "Itu di mana, Bang? Lagi sibuk?"

"Udah nyantai. Nih, festival Dontosai di kuil." Gue mengubah ke kamera belakang yang menyoroti kobaran gunung api. Para peserta festival sekarang berjalan mengelilingi api tersebut.

Liam membulatkan mata antusias. "Kek mirip naik haji, Bang. Pada pakai baju ihram sambil tawaf keliling api. Terus ada lontar jumroh segala?"

Astaga, ngakak dong gue, termasuk Pin, Bu Rena, dan Mas Eko yang ada di dekat gue. Tapi dipikir-pikir adik gue ada benernya. Pakaian yang mereka kenakan cuma kain putih dibebat model kemben. Tawaf keliling api. Lontar jumroh itu para pengunjung yang melemparkan hiasan tahun baru mereka ke api supaya ikut terbakar.

Liam manggut-manggut setelah gue kasih penjelasan. Kami bertukar kabar selama beberapa menit sebelum Liam mengundang Nyokap buat group video. Tapi begitu tersambung yang nongol di layar adalah Sri.

"Bude lagi arisan di depan, Mas. Aku disuruh terima. Lho, ada Abang!" Sri menjerit heboh lalu menginterogasi gue ini-itu.

Mengetahui dua adik gue sehat-sehat semua, gue tersenyum senang, hingga Sri mendekatkan wajah ke kamera sambil melambai. "Kak Pita! Kak Pita ini Srikandi, masih inget, tho?"

Gue berbalik, menemukan Pita memang ada di belakang gue tapi nggak sedekat itu. Dia lagi ngobrol sama Rei. Kesempatan buat gue ndusel di tengah-tengah mereka.

"Adik gue mau ngobrol sama lo," kata gue, kemudian menoleh Rei. "Gomen, Mas, ganggu sebentar."

Rei ketawa enteng, mempersilakan gue, lalu pergi. So far so good!

Gue senang melihat keramahan Pita buat Sri. Malah lebih terbuka sama Sri daripada gue, bahkan dia juga menceritakan rencana perjalanan kami selanjutnya. Tentu saja Sri makin norak karena ter-notice idolanya, tapi Pita sama sekali nggak terganggu dengan itu.

"Maaf ya, Kak, berisik. Kemlinthi bawaan lahir," jelas Liam, yang dibalas decakan sebal Sri. "By the way itu syalnya Abang bukan, sih?"

Pita melirik gue yang otomatis menelan ludah. Syal itu memang rajutan tangan Oma gue di Haarlem, motifnya unik, yang punya cuma gue dan Liam.

"Iya, Liam, dipinjemin karena punya saya rusak," jawab Pita apa adanya.

"Hmm." Liam manggut-manggut. "Yaudah, Bang, Neng Par, aku pamit dulu. Lanjutin kencannya."

"Neng Par?" Pita mengernyit.

"Neng Ipar." Liam nyengir.

Astaga. "Liam, jangan mulai—"

"Ingat Bang, petrus jakandor simanjuntak sihombing hutabarat sarumpaet tampubolon hutapea."

Gue, Pita, dan Sri menganga. "Opo kuwi dowo tenan (Apa itu panjang sekali), Mas?"

"Pepet terus jangan kasih kendor sikat maju tak gentar sampai hati terombang-ambing hubungan bertambah berat awas keserempet tampol bos huwooow mantap ea ea eak."

•°•°•

Kerjaan terakhir kami di Sendai ditutup dengan berendam bersama di sebuah onsen* yang dikelola resor wisata. Bersama maksud gue pemandian umum di mana cewek-cowok dipisah, bukan campuran.

* pemandian sumber air panas

Sebelum berendam di kolam utama, kami diwajibkan melepas seluruh pakaian dan membilas diri. Pengunjung laki-laki semuanya tampak santai saja kesana-kemari telanjang bulat, kecuali gue sama Pin yang saling melihat. Gue menahan diri untuk nggak menutupi selangkangan dengan kedua tangan.

Perasaan gue baru longgar setelah mencelupkan kaki lalu seluruh tubuh di kolam utama yang luas, lalu menyandarkan punggung pada tepian yang tersusun atas bebatuan alam. Otot-otot gue melemas setelah ditempa dingin seharian. Pin mengikuti gue di sebelah, lalu kami memejamkan mata.

"Baru dua minggu, gempor kaki gue." Gue sambat sejenak. Biasa di Jakarta gue bawa mobil atau motornya Liam yang nganggur, meanwhile di sini kemana-mana jalan kaki—di samping bus dan kereta. Tujuannya, selain menghemat biaya, sekaligus mengambil gambar hidden gems yang mungkin terlewat jika naik kendaraan.

"Ski di Sapporo, keliling pasar plus naik-turun seribu anak tangga kuil di Sendai. I need more koyo." Pin menyahut, gue balas dengan ketawa. "Tapi itu ibu-ibu PKK bertiga kek nggak pernah kehabisan tenaga. Heran gue."

Gue menarik napas dan mengangguk. Pita, Milly, dan Bu Rena masih kuat belanja atau sekadar nongkrong di hari istirahat Kamis-Sabtu. Luar biasa.

"Ah, ya, lo mau cerita apa soal Pita di kastil tadi?" Pertanyaan Pin mengingatkan gue.

Dan, ya, gue beritahu tentang gue dan Pita yang pernah kenal di SMA dulu. Pin tetap diam menyimak, dan gue mengembus lelah ketika dia bilang nggak mengenal Pita sedalam itu.

"Yang gue kenal sebatas bokapnya yang ekstra perhatian itu, abangnya yang hampir nggak pernah pulang dengan alasan kerjaan direksi dan urusan keluarga, dan temen-temen deket dia satu manajemen, termasuk gue. Udah. Itupun gue nggak mau maksain, gue biarin dia yang membuka diri sama gue setelah kita kenal lewat TSS."

Napas gue terembus makin berat. Gue menyugar rambut yang masih setengah basah. "So this is the dead end? Jalan buntu gue?"

"Lo nggak ngontak anak padus yang lain?"

"I did. She didn't socialize much back then, ada yang inget ada yang nggak. Gue tanya yang ke yang inget, mereka bilang nggak pernah ada bentrok atau masalah apapun sama Pita. Fine-fine aja."

"Dig deeper, Bro. Pita sejauh ini komunikatif sama manajemen, ada apaan dikit kasih laporan minimal ke gue. Jadi gue rasa apapun masa lalu yang nggak ingin dia bahas itu pasti sesuatu yang bisa mengancam dia ... some kind of Pandora Box."

Pandora Box my ass! "Ya terus kenapa harus segitunya ke gue?!"

"Menurut gue karena lo nyaris reveal ke publik bahwa kalian pernah satu sekolah pas talkshow By The Way dua bulan lalu. Dia agak panik menghindari itu, dan akhirnya menandai lo sebagai threat. Coba lo inget baik-baik."

Ucapan Pin melempar ingatan gue ke acara talkshow itu. Waktu itu gue berusaha membangun obrolan ringan dan mengalir, tanpa pernah berpikir bahwa mungkin saja obrolan tentang padus bisa membuat Pita terancam.

"Lo yakin nggak pernah nolak dia?" tanya Pin lagi.

"Mana gue inget pernah nolak siapa."

"Atau dia pernah baper gara-gara lo, a.k.a lo PHP?"

"Wallahu alam. Mana gue tahu siapa pernah baper."

"Jangan bilang lo ... lo pernah stress berat, lo mabok, lo tidurin dia, dia hamil dan ngelahirin tanpa sepengetahuan lo, dan sekarang anak lo kira-kira udah mo daftar SD gitu?"

Spontan gue menegak dan memukul air. "Kemudian suatu hari gue nggak sengaja ketemu anak itu, gue merasakan ikatan batin yang kuat entah karena apa? Dan anak itu juga merasakan ikatan yang sama ke gue, dia nanya ke gue, 'Buat apa berlapar-lapar puasa?'"

Ngakaknya Pin membuat banyak kepala menoleh. Gue merendam tubuh sebatas leher saking lelahnya.

"Kalau lo butuh bantuan, gue coba tanya Pita. Lo korek lagi dari temen-temen kalau perlu guru lo dulu," kata Pin lagi, begitu tawanya surut. Gue kembali menyandarkan tubuh di batu lagi sama dia dan hanya mengangguk.

Pembicaraan kami terjeda sejenak untuk menyapa Pak Hamdan, Mas Eko, dan Rei yang tanpa pakaian, baru menyusul masuk dan langsung membilas diri. Kemudian Pin merapat di lengan gue dan berbisik, "Soal Rei nggak usah khawatir. Barang dia SNI, barang lo melampaui ISO."

•°•°•

Gue menyibakkan tirai putih berlambang onsen dan keluar area mandi bersama Pin. Tepat setelah itu, Pita, Milly, dan Bu Rena juga baru keluar dari onsen sebelah. Mereka mengenakan yukata fasilitas resor yang sama dengan gue. Badan Pita tenggelam karena ukurannya sedikit kebesaran. How cute.

Kami sepakat menuju restoran bersama. Dalam perjalanan, gue menarik lengan Pita supaya dia mundur karena gue mau bicara sesuatu.

"Lo masih nggak mau cerita sama gue tentang apapun itu yang gue nggak tahu?" tanya gue pelan. Masih berjalan, dia hanya melirik lalu menaikkan handuk kecilnya dari leher menutupi kepala. "Seburuk apapun itu, gue janji nggak akan marah, kecewa, ketawa, dan respons lain yang merendahkan lo. Gue janji. I promize you with everything I am."

Apa gue kedengeran gombal, ya? Karena Pita hanya bergeming. Gue tahu dia nggak mempan gombalan, tapi gue bukan menggombal. Gue udah nggak tahu harus meyakinkan dia gimana lagi.

Satu-satunya yang bisa gue lakukan adalah mengacak handuk di kepala dia, menunduk, lalu berbisik. "Kalau lo tetap memilih bungkam, dengan terpaksa gue ikuti nasihat Liam. Petrus jakandor simanjuntak sihombing hutabarat sarumpaet tampubolon hutapea. Pilih mana?"

•°•°•

Si paling ISO:

Udah puas Liam nongol? 🤭

Minami-Kusatsu, Shiga, 6 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top