"Nomor gue kagak di-save?!"
Terima kasih dan selamat membaca 💕
•°•°•
AKU benci keramaian, apalagi berada di tengah-tengahnya sebagai pusat perhatian.
Aku bergegas turun dari panggung setelah Bu Ningsih meresmikan tim yang akan berangkat mewakili sekolah pada JHSC. Berdiri sendirian paling depan membuatku pusing. Tapi, beliau memanggilku naik lagi karena belum foto bersama. Semua orang di ruang padus tertawa. Aku benci ditertawakan.
Cuma Kak Hans yang nggak menertawakanku. Kak Hans mengangkat kedua jempol tinggi-tinggi disertai senyuman lebar untukku. Demi Kak Hans, aku berusaha keras tersenyum sambil melihat kamera hapenya Bu Ningsih. Anggota tim lain berebut ingin melihat hasilnya. Aku nggak mau dan langsung turun panggung. Mukaku pasti paling aneh di situ.
Aku mau kembali ke bangku di pojok ruangan itu sampai acara selesai, tapi di tengah jalan seseorang menghentikanku. Satu-satunya anggota padus yang peduli padaku.
"Congrats, Pit, you rock!" Mungkin ini keseratus kalinya Kak Hans bertepuk tangan menyelamatiku setelah seleksi center diva minggu lalu. Tapi, aku nggak pernah bosan sama mata biru gelapnya yang menyipit seperti sabit dan lesung pipinya itu.
"Makasih, Kak Hans." Aku ingin membalas senyumnya dengan cantik, minimal natural, tapi kenapa pipiku kaku sekali, sih? "Ka-kakak juga ... ngg, anu ...."
"Gue nganu?" Dia menunjuk diri sendiri.
"Maksud saya," kupalingkan muka yang pengap, "Kakak juga keren ... sudah lulus dan keterima di ITB. Selamat." Astaga malunya. Aku nggak pernah memuji cowok.
"Thank you, Pit." Dia santai menepuk lenganku. Cowok seperti Kak Hans pasti sudah biasa dipuji. "Iya, nih, hari terakhir gue di Bani Bastari sebagai student. Besok harus ke Bandung ngurus ini-itu." Dia mendesah panjang. "Yaaah, nggak bisa lihat lo latihan lagi. Nggak bisa lihat persiapan lo. Nggak bisa datang pas hari H nanti ...."
Sekarang, mataku yang memanas.
Acara padus hari ini, selain peresmian formasi tim JHSC, juga perpisahan dengan para senior kelas 12. Termasuk Kak Hans. Jadi, cuma begini saja? Ini hari terakhirku bertemu Kak Hans? Harus selesai di sini?
Merasa kehilangan seseorang yang bukan punyaku itu bodoh, nggak, sih?
"Kak Hans semangat kuliahnya!" Bagaimana pun, Kak Hans sudah banyak membantuku selama dua minggu ini. Sangat. Aku nggak boleh bergantung dan mengecewakannya. "Saya juga nggak sabar mau mulai latihan intensif sama Bu Ningsih dan Temen-temen. Pasti seru. Minta doanya aja buat tim Simfoni Bastari, Kak, semoga semuanya lancar."
Aku tersenyum lepas, nggak ingin jadi beban bagi kepergian Kak Hans meski seringan apapun.
Kak Hans tersenyum, terdiam cukup lama mengamatiku. Apa aku salah bicara?
"Dua minggu yang lalu, lo masih nunduk setiap papasan sama semua orang. Gue harus membungkuk supaya bisa ngomong face to face gini. Sekarang udah nggak perlu."
Begitukah? Aku nggak tahu sejak kapan aku mulai menatap orang-orang, bukan lantai atau tanah.
"Dua minggu yang lalu, lo cuma mau nyanyi di belakang punggung anak-anak lain. Sekarang lo bisa, lo nggak mundur waktu kemarin tampil sendirian, di tengah, disaksikan seenggaknya puluhan orang. Gue—" Kak Hans menyugar rambut, menahan senyum dengan menggigit bibir, "I don't know. Lo yang berprogress, kenapa gue yang excited?"
Senyumku ikut mengembang. "Karena Kak Hans orang baik. Dukungan Kakak sudah banyak membantu saya. Terima kasih, Kak."
"Dukungan gue nggak ada artinya tanpa kemauan dari dalam diri lo sendiri. Ibarat azan atau alarm yang ngebangunin lo subuhan. Lo punya pilihan untuk tidur lagi, tapi kalau tekad lo kuat, lo pasti bangun dan melakukan apa yang harus dilakukan. Suatu saat nanti lo nggak butuh pengingat apapun buat bangun, karena tekad lo sudah menetap sebagai good habit."
Kak Hans selalu mengucapkan kalimat-kalimat positif yang memberiku kehangatan dan keberanian. Itu bukan karena dia ingin mengambil hatiku—meskipun sebenarnya sudah. Kak Hans cuma satu dari sedikit sekali orang yang benar-benar peduli dengan sekitarnya, termasuk aku yang mungkin nggak akan 'bangun' kalau bukan karena sifat Kak Hans ini.
"You deserve the spot, Pita. Setelah ini Bu Ningsih dan anak-anak tim bakal nge-treat lo lebih baik dari gue. Insya Allah. Ada potensi besar dalam diri lo, gue percaya lo mampu menggali dan mengasah hidden gem itu jadi bagian dari identitas lo. Paham?"
Detik ini juga, aku bersyukur cinta pertamaku adalah orang yang tepat meski cuma bisa kumiliki dalam mimpi. Aku mengangguk dan tersenyum mantap. "Siap, Kak!"
Kak Hans membuka mulut lagi, tapi Kak Sashi datang dan merangkulku ramah. "Pit, udah lihat fotonya belum? Lucu, nih! Gue tag lo, ya? Eh IG lo apa, gue belum follow."
"Mana, mana? Sini lihat, Yang."
Kak Hans yang kepo menjulurkan kepala melihat ponsel Kak Sashi. Mereka mengomentari beberapa hal kecil, lalu tertawa bersama. Kak Hans selalu menjaga kontak mata yang hangat dengan Kak Sashi dan antusias mendengarkan setiap kata-katanya. Pasti senang, ya, punya seseorang yang setia mengapresiasi seperti Kak Hans.
Kak Sashi sendiri adalah definisi sosok ideal yang memang harus bersanding sama Kak Hans. Ketua padus putri, cantik, berprestasi, percaya diri, mempunyai aura positif, juga dikelilingi teman-teman yang positif. Meskipun kami nggak dekat, Kak Sashi mengingat dan sering sekadar menyapa aku yang bukan siapa-siapa ini.
"Lo udah makan belum, Pit? Ke sana yuk, laper gue, kuah baksonya manggil-manggil."
Kak Sashi menyimpan ponselnya, lalu merangkulku menuju meja prasmanan yang sebenarnya kuhindari karena ramai senior. Tapi, karena Kak Hans dan Kak Sashi mendampingiku, secara otomatis yang lain memperlakukanku dengan baik. Kak Sashi mengambilkan semangkuk bakso untukku tanpa perlu mengantre. Kata orang, jodoh itu cerminan diri kita. Kurasa hal itu berlaku untuk Kak Sashi yang mirip Kak Hans: ramah dan bersahabat.
Tapi, aku tetap nggak suka keramaian.
Terutama karena keramaian sering menyadarkan bahwa sebenarnya aku sendirian. Pada akhirnya, Kak Hans dan Kak Sashi lebih banyak ngobrol dengan circle mereka. Nggak ada yang tahu baksoku sudah habis lima menit yang lalu. Nggak ada lagi yang melibatkanku untuk diskusi. Ini selalu terjadi kalau aku nyemplung dalam suatu grup: aku tersingkir karena nggak bisa mengimbangi obrolan seru mereka.
Nggak papa. Seperti biasa, nggak ada yang sadar kalau diam-diam aku melipir, kembali ke tempat semula di bangku pojok. Biar saja, sendiri begini lebih nyaman untukku.
Aku mengeluarkan buku paranada dan pulpen dari ransel. Lebih dari setengah buku itu masih kosong, tapi langsung kulompati ke halaman terakhir. Di halaman terakhir itu, kutuliskan semuanya yang nggak mungkin kusampaikan untuk Kak Hans. Biar buku ini saja yang jadi tempat curhatku.
Dear Kak Hansel,
Aku cuma mau bilang kalau Kakak itu ....
•°•°•
ATW Season Japan Ep04: Osaka, Osaka Prefecture
👍🏻 1,156,351 likes
"Kastil Osaka gede banget ya, apa masih sodara ama Benteng Takeshi?"
"Dotonbori ilumination cakep parah, kanal ama gondolanya apalagi romantiiiis...... tapi jomblo."
"Kak Pita udah sembuh, alhamdulillaah. Gumush amat ketawa mak lampir pake cosplay Bellatrix ❤️ Hogwarts tahun ajaran baru kapan? Mau apply kalo Harry-nya Kak Pin, Luna-nya Kak Milly, apalagi Cedric-nya Kak Hans 😍😍😍"
"Pin ngapain di akuarium mepetin Pita? Panik gak panik gak panik gak ya paniklah gebetan ditikung Hansel van de Jager!"
"Bisa jadiii! DAN SEJAK KAPAN HANS AKU-KAMUAN KE PITA 😱 APA YANG TERJADI WAHAI KELEN BERDUA 😱😱😱"
"NJIR IYA NJIIIR gue kroscek episode kemaren masih lo guean"
"Etapi gue lebih prefer kemistrinya Pita ama Hans daripada Pin. Kek match aja gitu, ngademin di mata, ngangetin di hati. Bikin nagih."
"Kalo beneran sakura kiss ini maksudnya PiTAHANsel kiss under the cherry blossom, meleyot kokoro gue gakuaat pasti soft banget 😭❤️"
"Ngapa pada kampungan sih. Pita Janari drama queen, gara-gara dia ATW jadi acara drama, si paling kecakepan gak cukup satu."
"LOL asli setelah juara The Super Show makin tampak gelagat star syndrome tuh anak. Sok yang kalem-kalem asik padahal bitchy inside."
"Emang. Lo pada kagak tau aja udah dari dulu lagaknya pick me girl parah."
•°•°•
Buru-buru kukunci layar ponsel dan menjejalkannya dalam ransel yang kudekap. Tadinya, aku sekadar memeriksa WhatsApp untuk mengisi waktu kosong, sambil duduk dalam gerbong trem menuju lokasi syuting. Aku menanyakan kabar Papa yang meriang sejak kemarin malam. Pagi ini belum membaik. Kupaksa Papa berobat siang ini. Papa berjanji akan pergi ditemani Pak RT, tapi masih saja aku nggak tenang.
Salahnya adalah kemudian aku iseng membuka akun streaming ATW dan membaca komentar netizen. Stupid move. Mood-ku makin semrawut.
Aku sudah kebal dengan komentar-komentar bernada justifikasi yang tujuannya cuma menjatuhkan mental. Yang drama queen lah, star syndrome, pick me girl, you name it. Statistik Tim Medsos ARTs bilang komentar-komentar itu hanya kurang dari 3% yang berarti sama sekali nggak perlu kuambil pusing. Yang terpenting, aku tahu menyenangkan semua orang itu mustahil, jadi biarkan saja.
Cuma komentar itu yang menggangguku.
'Udah dari dulu', katanya.
Dari dulu ... kapan? Aku yang kapan? Circle kuliahku di jurusan Ilmu Gizi bisa dipastikan bersih. Aku nggak bermasalah dengan siapapun dan yakin nggak punya musuh. Satu-satunya yang memusuhiku, yang paling kuingat adalah paduan suara putri Simfoni Bastari.
Enough overthinking. Waktunya kerja. Aku beranjak dan keluar dari trem bersama yang lain setelah pintu otomatis terbuka. Kurapatkan syal menutupi hidung dari embusan angin dingin. Baru sekian meter keluar dari stasiun satu peron itu, aku merasa aneh karena badanku jadi lebih ringan dari biasanya.
Aku berhenti dan meraba punggung. Duh, mampus. "Ranselku?"
Seseorang yang dari tadi berjalan di belakang meraih lenganku untuk berbalik. Dia, Hansel, tersenyum sambil melebarkan kedua tali ranselku. Aku tertawa lega saat dia membantuku mengenakan ransel kembali di punggung.
"Thank you." Sungguh, aku tersenyum lega sekali.
Dia menunduk dan menepuk lembut satu sisi kepalaku dua kali, berbisik, "My pleasure," lalu bergabung dengan Pak Hamdan dan yang lain untuk koordinasi. Aku mengekor di belakangnya.
Kurapatkan syal lagi menutupi setengah wajah. Rasa hangat tertinggal dan mengendap di pipiku yang sempat terkena usapan tangan Hans. Mauku nggak baper, tapi sudah telanjur.
"Kamu percaya sama aku, kan?"
Pertanyaan Hans kemarin berputar di kepalaku lagi. Pertanyaan yang dilontarkannya setelah kuceritakan beberapa hal mengenai Kak Sashi.
"Kamu minta aku percaya sama kamu. Okay. I trust you completely, tapi kamu gimana? Am I trusted enough, Pit?"
"I told you since I trust you."
"That's all? Kamu ditekan Sashi sama anak-anak lain H-1 sebelum JHSC, itu doang? I mean, bukan berarti aku meremehkan, tapi, mereka maksa kamu mundur dan kamu langsung takut nurut-nurut aja? Kamu nggak mempertimbangkan buat melawan, lapor ke Bu Ningsih, misalnya? Kenapa?"
"Kenapa? Supaya selain dicap belagak lugu dan tukang caper sama senior of the year, saya juga dicap tukang ngadu, begitu?"
"Kamu pemalu bukan pengecut, Pita, I've seen it. Kamu punya fighting spirit itu, waktu itu, aku nggak bisa ngebayangin Sashi bilang, 'Mundur lo! Center diva cuma pantes buat gue!' lalu kamu iyakan semudah itu? It didn't make any sense."
"Maaf kalau Kakak kecewa, waktu itu saya memang sepengecut itu."
"No, you're not. Dulu ataupun sekarang you're not a coward. Now tell me the truth. Apa yang sebenarnya Sashi lakukan ke kamu?"
Aku terdiam detik itu juga. Benar, nggak semuanya bisa kubuka di depan Hans, karena ... karena dia akan malu. Dia akan kecewa. Lebih parah, kalau tahu apa yang sudah kulakukan, besar kemungkinan dia justru berbalik menatapku dengan jijik.
Can I trust him completely?
"Questioning my words means you don't trust me completely, Hansel."
Jawaban terakhirku mendiamkan Hans. Mungkin, mau nggak mau dia memilih percaya, atau diam-diam masih meragukanku. Entahlah. Dia cuma tersenyum dan menutup pembicaraan dengan memesan takeout kue manju untuk satu rombongan.
Ingatanku bubar karena selembar kertas diletakkan di puncak kepalaku, lalu Hans menuliskan sesuatu di situ.
"Apaan nih?" Aku meringis.
"Pinjem, buat alas," katanya. Aku meniup poni keras-keras, tapi tetap bergeming di tempat. Entah Hans yang terlalu tinggi atau aku yang terlalu pendek sampai dia bisa menulis beralaskan kepalaku.
Kami diminta menuliskan pesan bertema world peace (perdamaian dunia) pada selembar origami yang akan dilipat membentuk bangau. Bangau-bangau ini nantinya kami serahkan ke kantor Hiroshima Peace Memorial Park untuk digantung bersama ribuan bangau dari pengunjung lain.
Hans memberiku selembar origami lain dan spidol, lalu setengah berjongkok di depanku dengan posisi membelakangi. Dia menepuk punggungnya. "Sini."
Aku tersenyum kecil. Punggung lebar ini memang cocok untuk alas menulis. Aku penasaran sehangat apa rasanya berada dalam pelukan punggung ini.
"Pit, ikutan dong," pinta Kak Milly yang sudah di sampingku. Aku bergeser memberinya tempat untuk menaruh kertas bersamaku.
"Lo kata ini punggung siapa!" Yang punya punggung nggak terima.
"Jangan pelit-pelit lo, orang pelit kagak disayang Ayang. Bener kagak, Yang?" Kak Pin menggencet di sebelahku, meletakkan kertasnya dan menekan punggung Hans lebih turun lagi.
Jadilah Hans ngomel-ngomel panjang kali lebar kali tinggi, tapi membiarkan kami menulis sambil mempertahankan posisi diam di tempat. Hehe, lucunya. Aku berterima kasih seraya mengusap tengkuk di bawah topi bisbolnya.
Tiba-tiba omelannya berhenti.
Lalu Kak Milly nyeletuk, "Dielus dikit jinak. Lo Hansel apa kucing?"
•°•°•
Di sinilah kami berempat berdiri, menatap puing-puing sebuah bangunan tinggi dengan bata merah cuil sana-sini, beratapkan kubah hancur yang hanya menyisakan rongsokan kerangka. Aku memeluk kedua lengan, menggigil, selain karena kedinginan, terlebih karena ngeri membayangkan bahwa sebuah bom atom nuklir pernah dijatuhkan dari langit ke sini. Meledak tepat di sini, pukul 08.15 pagi, 6 Agustus 1945.
"Tuhan ... merinding gue." Kak Pin bergidik disertai gelengan ngeri. Kami berempat menatap kamera utama Mas Eko lagi. "Buddies, gomen, ya. Bukan maksud gue bikin suasana jadi gloomy, tapi beneran, di sini sangat mencekam. Gue semacam bisa ngerasain teror, atau ketakutan semua orang waktu itu dikumpulkan jadi satu di sini. Ini gue deg-degan banget, sumpah."
"Gue malah nggak yakin para korban di sini sempet ngerasain ketakutan, Pin." Suara Hans terdengar berat. "Tadi lo bilang kejadiannya jam 8 pagi? Gue bayangin gue baru berangkat kerja, gue masih ketawa sana-sini nyapa orang sekantor, tiba-tiba, booom! Ada yang meledak dan gue nggak tahu. Gue nggak akan pernah tahu itu apa karena detik itu juga gue tewas di tempat. Gue udah ancur nggak berbentuk."
Kucengkram lengan Hans. "Jangan."
Aku takut. Aku nggak mau dia pergi.
Hans menoleh padaku, tersenyum tipis, mengusap jemariku yang masih di lengannya. "Aku di sini," bisiknya, menenangkan jantungku.
Segera kuturunkan tanganku. Aku lupa kami masih on-cam. Ingatkan aku nanti untuk meminta yang barusan di-cut.
Aku berdeham pendek. "Tapi gedung ini kuat, ya, Kak. Masih ada dinding dan pilar-pilar yang masih utuh sampai kubah."
"Indeed." Kak Milly mengangguk. "Hiroshima Peace Memorial Park ini dulunya taman tempat acara-acara. Gue bayangin semacam balai kota gitu. Dome ini semacam tempat ekshibisi, tempat pameran-pameran indoor, dan you know lah standar gedung pemerintahan Jepang harus tahan gempa. Termasuk yang satu ini, udah survive dari sekian kali gempa besar, tapi justru hancur karena ulah manusia sendiri."
"Sad truth," lirihku. "Buddies, kalau ngelihat ini, saya merasa beruntung lahir di era sekarang. Nggak harus angkat senjata, nggak harus berperang, nggak hidup dalam teror yang mengancam setiap detik. Mungkin alasan kenapa gedung ini nggak dipugar, tapi dibiarin apa adanya begini, adalah sebagai pengingat bahwa perang tidak menghasilkan kebaikan apapun kecuali kehancuran."
"It is, makanya dome ini juga ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO, selain kuil terapung Itsukushima yang kemarin kita kunjungi." Hans menatap kamera lagi. "Dan sekarang kita mau menjelajahi taman ini, melihat semua spot dalam rangka mengenang peristiwa pengeboman Kota Hiroshima pada Perang Dunia II."
Bahuku melengkung lemas setelah Pak Hamdan berkata, "Cut." Entahlah, tapi tempat dengan sejarah mengerikan ini benar-benar melelahkan, mentally.
•°•°•
Sebelum ini, Sadako yang kutahu adalah kuntilanak Jepang yang merangkak keluar dari sumur, lalu keluar dari TV.
Bukan, yang kubicarakan bukan Sadako yang itu. Ini tentang Sadako Sasaki, balita berusia dua tahun yang selamat dari serangan bom Hiroshima. Sayangnya, paparan radioaktif Uranium dari musibah itu membuat Sadako divonis leukimia pada usia 11 tahun. Dokter bilang, Sadako nggak bisa bertahan lebih dari satu tahun.
Dan itu benar, kondisi Sadako jatuh drastis dalam waktu singkat. Hal itu nggak membuat Sadako terpuruk. Sadako mendengar dari teman rawat sekamarnya bahwa melipat 1000 origami bangau bisa mengabulkan permohonan. Sadako sendiri sadar bahwa, bagaimana pun, dia nggak punya harapan survive. Tapi demi menunjukkan semangatnya kepada keluarga dan teman-teman, dia berusaha melipat bangau sebanyak itu, di atas ranjang rumah sakit.
Sadako meninggal setelah menyelesaikan bangau ke-1000-nya pada usia 12 tahun. Teman-teman Sadako menyertakan 1000 origami bersama jenazah Sadako untuk menemaninya. Kejadian ini tersiar dan membuat seluruh penjuru negeri berduka. Pemerintah segera bergerak membangun Monumen Perdamaian Anak-anak dengan patung Sadako di tengahnya, untuk mengenang Sadako dan anak-anak lain yang menjadi korban paparan radioaktif bom Hiroshima.
Aku selesai melipat origami bermotif sakura menjadi bangau, lalu dikumpulkan ke Kak Pin untuk diserahkan secara kolektif ke kantor taman. Setelah kamera dimatikan, aku berjalan mengelilingi ribuan origami bangau yang digantung dalam kubikel kaca di sekitar patung Sadako. Hari ini terik meskipun anginnya tetap dingin, tapi suasana hatiku masih saja mendung.
"Ariel-Luna apa kabar, Pit?"
Aku mengernyit dan menoleh, mendapati Hans sudah berdiri di sisiku.
"They're not Ariel and Luna," bantahku, kalau maksudnya adalah sepasang pipit punya Papa.
"Terus apa, dong? Kalau pertanyaanku, 'Burung papa kamu apa kabar, Pit?' agak jorok nggak, sih?"
Kusikut pinggangnya. Dia mengaduh kesakitan. "Satu-satunya yang jorok di sini otak Kakak."
"Iya, deh. Abis lihat bangau jadi keingetan pipitnya Om Agus." Dia terkekeh pelan. "Apa kabar Papa, Pit?"
"Baik ...." Aku menggigit bibir, merapikan rambut yang tertiup angin. "Nggak, sih. Papa lagi sakit."
Senyum Hans lenyap. "Sejak kapan? Sakit apa? Di rumah sama siapa? Nggak berobat?"
"Katanya cuma meriang." Aku mengangkat bahu dan menceritakan kondisi Papa yang mengkhawatirkan. Papa itu punya darah tinggi dan pernah stroke, tapi selalu menganggap sepele gejala-gejala ringan seperti meriang. Ya, kalau aku yang meriang memang sepele, tapi Papa itu sudah berumur. Aku nggak bisa nggak kepikiran.
"Pernah berobat ke mana? I mean, spesialisnya," tanya Hans lagi.
"Well, faskes satu Papa ke klinik bersama di kompleks perumahan, dan kadang rotasi dokternya bikin rujukan Papa lompat-lompat. Sama dokter ini dirujuk ke A, sama dokter itu dirujuk ke B, tapi sejauh ini saya usahakan minta dokter rujukan yang sama, yang sesuai rekam medis Papa. Tapi kalau kuotanya full ya mau nggak mau ke rujukan kedua."
"Minta rujukan dulu apa nggak lama? Kalau sudah pernah dirujuk langsung ke spesialis aja, Pit."
"Nggak semua orang punya privilege semewah itu, Kak. Kalaupun saya punya uang untuk itu, as I said, dokter rujukan utama Papa dibatasi kuota."
Dia terdiam sebentar sebelum tersenyum. "Kamu punya, kalau kamu mau." Dia mengeluarkan ponsel, mengutiknya sebentar, lalu ponsel di saku jaketku bergetar. Aku merogohnya.
"Siapa ini?" Hans baru saja mengirimkan nomor ponsel anonim.
"Van de Jager Hospital emergency call ... jalur orang dalam. Save aja. Aku harap kamu nggak akan butuh menghubungi nomor ini, tapi, just in case ... wait."
Dia merebut ponselku dan mendelik. "Nomor gue kagak di-save???!!!"
Cih.
Kurebut ponselku kembali. "Anda siapa? Sukur-sukur nggak saya blokir—eh, Kak!"
Ponselku dirampas lagi. Mau kurebut lagi, tapi dijauhkannya tinggi-tinggi sambil mengetik sesuatu. Begitu berhasil meraih ponselku, aku menganga membaca nama kontak yang dia save sendiri.
My Han[d]s[ome] ❤️
Istigfar, Pita, istigfar...
•°•°•
Papa sudah berobat, dan kata Dokter nggak ada yang serius. Hanya gejala batuk-flu. Syukurlah. Aku enggan menghubungi nomor anonim dari Hans. Aku harus bilang apa?
"Halo, benar ini dengan RS Van de Jager?"
"Ini emergency line jalur orang dalam. Dengan siapa di mana dan ada hubungan apa?"
"Dengan calon menantu keluarga Van de Jager."
Bah. Sudah gila aku.
Aku cukup tenang mengetahui ada Pak RT yang malam ini bersedia menginap di rumah menemani Papa. Bang Elang, seperti biasa, baru membalas pesanku lewat jam 10 malam. Aku ingin marah, memakinya, memukulinya, menyumpah-serapahi ketidakpeduliannya terhadap keluarga sendiri ... tapi sudahlah.
Aku muak mengemis perhatian dari orang yang memang nggak membutuhkanku dan Papa lagi. Harga diriku seharusnya lebih tinggi daripada itu. Kubalas pesan Bang Elang dengan 'bye' lalu memblokir nomornya. Tepat setelah itu, sebuah pesan lain masuk.
Tim Medsos ARTs
[URGENT] [RESPONSE REQUIRED] Selamat malam. DM Instagram Kakak dipenuhi spam video ini. Dikirim oleh puluhan akun fake (list username terlampir di screenshot). Mohon klarifikasinya, apa benar yang di video ini adalah Kakak?
Jangan.
Tolong ... jangan video itu.
Aku memejam dengan napas tertahan sebelum memutarnya, tapi seperti Sadako Sasaki, aku tahu permohonan ini sudah tertolak. Anak perempuan berseragam tartan di video itu memang aku, tujuh tahun yang lalu, menggenggam selembar kertas yang kusut dengan jari-jari gemetar, dan terbata-bata membaca tulisan di atasnya.
"Dear Kak Hansel ...."
•°•°•
DOR!
Minami-Kusatsu, Shiga, 26 Maret 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top