"Ngemilikin kamu seutuhnya."

Maaf baru bisa update hehe, minggu ini lagi main ke Tokyo.

Btw, karena banyak yang bingung Hans nggak ngenalin Pita di awal, coba jelasin bingungnya di mana? Dari beberapa clue yang kusebar, kalau Teman-teman baca lebih teliti, harusnya paham kenapa. Karena Pita yang dulu dan sekarang udah bedaaaaa banget dari segi karakter maupun penampilan. Hans bukannya nggak inget, tapi yakin nggak yakin alias pangling. Hal yang sama berlaku buat temen-temen yang Hans tanyain.

Mereka semua tuh kayak, ah serius ini si Pita yang itu? Salah orang kali.

Yang mau lihat bedanya sejauh apa, aku taruh di story ig-ku @vini.vidi.vivi

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

"SATU lagi, Hans. Lo yakin hubungan lo ama Sashi baik-baik aja?"

Alis gue naik karena pertanyaan Theo. "Maksud lo?"

"Maksud gue, lihat lo sekarang. Lo merekomendasikan, lo support, dan lo ngebimbing cewek selain Sashi, Hans. Lo sadar nggak sih, lo itu berpihak ke cewek yang jelas-jelas saingan pacar lo sendiri buat nempatin posisi center diva?"

Gue mengibaskan tangan dan meringis. "Apa banget lo, ah. Buat gue pacar ya pacar, padus ya padus. Gue bilang Pita yang terbaik sebagai center diva bukan berarti dia menggeser posisi Sashi sebagai cewek gue. Nggak ada hubungannya."

"Ya itu kan elo, Bro. Pita gimana? Sashi gimana? Lo nggak mikir Pita mungkin berharap lebih sama lo, atau Sashi sakit hati?"

"Sebelum ngelatih Pita gue juga udah izin ke Sashi, and she said okay, tim kita emang butuh center diva yang terbaik. As for Pita gue nggak tau karena nggak pernah ngebahas begituan. Kita latihan doang."

Theo kayak nggak puas sama jawaban gue, but what else can I say? Memang adanya begitu. Gue sayang Sashi, tapi padus itu lain soal. Terutama buat event bergengsi tahunan sekelas JHSC. Gue mendukung penuh siapapun yang menurut gue layak untuk posisi center diva dan itu nggak harus cewek gue.

Of course gue juga support Sashi. Performance dia selalu sempurna dari semua aspek makanya di setiap event yang membutuhkan center diva, it was always her. Di satu sisi sebagai cowoknya gue bangga, di sisi lain sebagai pengurus padus gue ingin diva lain mendapat kesempatan tampil yang sama. Jangan salahin gue, gue cuma mengamalkan sila kelima Pancasila.

Vocal wise, Pita adalah soprano terbaik yang gue dengar secara live. Gue nggak mengada-ada soal itu. Gue pikir dia hanya perlu memperbaiki kepercayaan diri, tapi kayaknya dia butuh lebih dari itu. Karena dia ... ehm, nangis. Literally nangis meneteskan air mata sejak bait pertama lagu Bunda.

Speechless gue.

Lupain masalah nyanyi. Dia nggak punya pengendalian diri. Dia malah tergugu di tengah ruangan sambil menghapus air mata dengan tisu. Gue menggaruk kepala. Ini nggak bagus. Kalau dia nurutin air mata mulu terus kapan nyanyinya? Ini anak serius kagak, sih? Capek juga gue.

Gue biarin dia sampai tenang, baru gue tanya berhati-hati. "Boleh gue tahu kenapa lo selalu nangis, Pit?"

Pandangan matanya turun. "Lagunya sedih, Kak."

"It is." Gue mengangguk pelan, lagu bertema ibu dan anak ini memang emosional. "Dari liriknya bisa ditafsirkan ini lagu tragis nggak, sih? Tentang anak yatim yang ditinggal ibunya. Ditinggal dalam arti sebenarnya, meninggal dunia. Sekarang anak itu cuma bisa merasakan kehangatan ibunya dari album foto, kenangan-kenangan mereka, dan cerita orang-orang tentang gimana dulu beliau menyayangi si anak dengan dimanja dan ditimang-timang. Meskipun anak itu rewel, nakal, ibunya nggak keberatan dan tetap sabar. A mother's love is limitless and endures through all. Tapi, mungkin yang sering orang bilang itu benar, Tuhan lebih sayang sama orang-orang baik seperti beliau."

Pita mengangkat wajah. Mata merah dan redupnya menyesakkan dada gue.

"Gue jadi kangen Nyokap, nih." Gue mengusap hidung dan mencoba ketawa buat mencairkan suasana. "Jam segini mungkin masih di RS atau kampus. Nyokap lo jam segini kerja atau di rumah?"

Nggak langsung menjawab, dia terdiam cukup lama sebelum tersenyum tipis. "Dulu kerja."

"Udah resign, ya," gumam gue. "Kalau beliau mau lo boleh undang ke sini lihat gimana lo latihan. Atau jangan-jangan lo makin malu dilihat Nyokap?"

Dia menggeleng pelan. "Mama yang ngajarin saya nyanyi."

"Wow." Gue membulatkan mata, takjub. "Nyokap lo pasti jago banget. Beneran kalau mau ke sini boleh, Pit. Mau nonton pas hari H juga bisa, ntar gue usahain dua freepass buat ortunya calon center diva gue. Nggak, ortu lo nggak akan nonton sambil berdiri. Kalaupun nggak ada kursi ntar gue gotong sendiri dari rumah. Gue belum pernah ketemu sih, tapi bisa gue bayangin gimana bahagianya beliau berdua ngasih standing ovation buat putri mereka yang baru saja membuktikan kepada semua—terutama diri sendiri—orang bahwa dia bisa mengalahkan ketakutannya. Dia berhasil. She made it! Yeeey!"

Gue bertepuk tangan sendiri, bersorak sendiri, heboh sendiri, norak sendiri. Dia melongo. Anjir sumpah kentang banget.

Gue menggaruk kepala. "Gitu, deh." Ngapain gue dah.

Lalu, detik berikutnya, dia ketawa kecil. Kecil banget. Jujur gue nggak suka cewek nangis karena setelahnya tampang mereka jadi aneh. Ancur. Tapi, kenapa dia manis, sih?

Shit.

For God's sake lo punya cewek, Hansel!

"Kak Hans, makasih," katanya.

Senyumnya menakutkan. Gue berpaling. "Kenapa?"

"Kakak baik sama saya. Makasih."

Dia masih tersenyum, gue tahu, dan gue tetap nggak mau ngelihat. Gue berdeham pelan. "Mau bareng?"

"Bareng?"

"Kolab. Lo suara satu gue suara dua."

Itulah mulanya Pita bisa melantunkan Bunda, meski sambil mewek dan harus gue tuntun, tapi kegigihannya yang nggak mau berhenti sampai gerbang sekolah hampir dikunci meyakinkan gue bahwa gue nggak salah pilih. Dia pilihan gue, satu-satunya, pilihan yang tepat.

•°•°•

"Kak Hans, saya mau minta maaf."

Gue baru saja meletakkan sepatu di rak ketika Pita datang dan langsung menghampiri gue. Satu-persatu siswa mulai berdatangan untuk menyaksikan penampilan masing-masing calon center diva. Ya, hari ini adalah penentuan. Gue menarik Pita bergeser ke samping supaya nggak memblokir pintu masuk ruang padus.

"What's wrong?" Gue melihat rasa bersalah di matanya sebelum dia membungkuk rendah. Jangan bilang dia mau kabur?

"Maaf karena saya belum bisa menampilkan yang terbaik meskipun Kakak sudah maksimal ngajarin saya selama dua minggu ini. Saya masih sering nangis dan mungkin akan nangis waktu tampil nanti. Saya ... air mata saya keluar sendiri. Saya nggak tahu gimana mencegahnya. Saya cuma bisa bikin kacau. Saya minta maaf karena mungkin hari ini saya gagal, saya nggak bisa jadi center diva dan Kakak pasti kecewa—"

"Pita, Pita ...." Gue memegangi lengannya supaya dia berdiri lagi. Mukanya pucat dipenuhi ketakutan. "Udah sarapan belum? Makan apa?"

"Nasi kuning."

"Karetnya satu apa dua?"

Dia mikir sebentar. "Tadi pakai jegrekan, Kak."

'Jegrekan' banget nggak tuh?

Ngakak gue. Bego. Harusnya gue hilangin performance anxiety dia, kenapa malah gue yang terhibur karena dia?

"Sorry." Gue berdeham lalu merogoh sebungkus permen fresh maker dari saku kemeja. Gue letakkan di telapak tangan kecilnya. "Nggak ngefek ke suara, sih. Cuma membantu gue sugesti diri supaya lebih pede tampil dengan napas segar."

"Wilhelmina Pepermunt." Dia mengeja nama permen itu. "Beli di mana, Kak? Indomarem?"

Gue merunduk, mendekatkan senyum di depan wajahnya. "Rahasia. Lo nggak boleh tahu supaya kalau kurang mintanya ke gue."

Dia tersenyum kecut. Gue makin nyengir.

"Beneran, lolos nggak lolos, lo boleh minta ini lagi ke gue. Lolos nggak lolos, lo masih boleh hubungi gue sebagai supporter lo. Lolos nggak lolos, center diva bagi gue cuma bisa diisi satu orang. And it's you."

"Semua tentang lo, termasuk ketika lo nangis, nggak pernah mengecewakan gue, Pit. Apapun hasilnya nanti gue nggak menyesal memilih lo. Pandangan orang lain, termasuk gue, jangan lo jadikan sebagai parameter keberhasilan. Itu cuma menghambat. Setiap progres sekecil apapun itu bukti bahwa lo nggak diam di tempat. Nggak ada kata terlambat, sekarang ataupun nanti, lo bakal mekar di saat yang tepat."

Dia masih bergeming, tapi dari pupilnya yang membesar, gue tahu dia paham. Ketegangan di mukanya berkurang. Gue mengulurkan tangan, hampir—hampir saja menyentuh kepalanya sebelum Sashi datang memeluk lengan gue.

"Aku WA kamu nggak dibalas," keluhnya. Ah, gue meminta maaf karena ponsel gue charge di ruang padus. Dia tersenyum cerah sambil memberikan gue scrunchie. "Aku mau pakai hadiah dari kamu ini buat good luck charm. Pakein, ya?"

Rambut panjang Sashi yang halus memudahkan gue mengucir ponytail tinggi sesuai permintaannya, sementara dia menyapa Pita. "Oh, hai, Pit. Gimana persiapan? Udah siap?"

Gue melihat Pita tersenyum sopan dari sela rambut Sashi yang gue sisir dengan jari. "Insya Allah, Kak Sashi."

"Done." Gue mengusap kepala Sashi. "Udah sana masuk berdua—"

Sashi menarik lengan gue dan berjinjit mengecup pipi gue, lalu mengacak rambut depan gue. "Thank you, Kesayangan!"

Honestly, gue nggak nyaman sama PDA* berlebihan dan Sashi tahu itu. Tapi khusus hari penting ini gue nggak mau merusak mood siapapun, lagipula, untungnya, cuma Pita yang bener-bener lihat. Gue meringis kaku sebelum mereka masuk ruangan bersama.

* public display affection, semua bentuk sentuhan fisik antarpasangan di ruang publik

Gue prediksi pemilihan hari ini nggak akan berlangsung lama mengingat kandidatnya cuma tiga orang. Maksimal 30 menit. Gue cuma nggak nyangka penontonnya sebanyak ini. Anak luar padus ikut memenuhi ruangan, belum lagi yang terpaksa mengintip dari luar jendela. Di seberang ruangan, Sashi dan Fanya (kandidat lain) sesekali melambaikan tangan ke arah pendukung masing-masing yang menyerukan nama mereka. Pita tertunduk memandangi ujung kaus kakinya.

Ada empat aspek yang menentukan penilaian Bu Ningsih: (1) sinoritas, alias merdu dan nyaringnya suara, (2) ekspresi, berkaitan dengan penjiwaan, (3) impromptu, alias improvisasi, dan (4) performance, keindahan di mata. Fanya mengantongi skor 31/40 dengan rincian 7, 8, 8, dan 8.

Kesenangan supporter Fanya cuma bertahan sepuluh menit setelah penampilan Sashi. As expected cewek gue belum pernah gagal memukau semua orang, termasuk Bu Ningsih yang ngasih dia 8, 8, 9, dan 9. Total 34/40. Skor sepadan untuk penampilannya yang flawless.

Waktu Pita dipanggil, sambutan yang dia dapat hanya tepuk tangan hambar sebagai formalitas. Gue lega hal itu nggak menyurutkan nyalinya berbagi senyum untuk semua orang. Dia jelas-jelas grogi tapi nggak memilih lari.

Semua orang sibuk sendiri kecuali gue dan Bu Ningsih yang benar-benar memperhatikan. Pita menutup mata, sebelum membuka mata kembali dengan tatapan tanpa fokus pada satupun di sini.

Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Kupandangi semua gambar diri
Kecil, bersih, belum ternoda

Beberapa obrolan berhenti ketika suara Pita mengalir. Satu-persatu mulai meliriknya. Persis gue yang waktu itu berhenti melangkah karena nggak sengaja mendengar suaranya.

Pikirku pun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku

Sampai di sini, semua hening sama sekali. Senyap. Kecuali Pita yang gue rasa jiwanya nggak di sini. Dia bukan Pita yang selama ini latihan sama gue. Dia ... beda. Wajahnya merah padam. Bibirnya gemetar. Tapi, gue masih nggak habis pikir bagaimana suaranya bisa secantik dan sebening itu sedangkan dia terlihat kesakitan menahan air mata.

Kata mereka diriku selalu dimanja
Kata mereka diriku selalu ditimang

Gue meraba kedua lengan bersamaan. Pori-pori gue kasar dan berbintik. Sial. Gue merinding. Gue kesemutan. Sial. Damn it!

Gue terjebak dalam ketegangan sesaat sebelum Pita menyanyikan puncak nada tertinggi lagu ini. Titik sakral. I'm barely breathing.

Oh, Bunda ada dan tiada dirimu
'Kan selalu ada di dalam hatiku

And she made it.

Suara dia crystal clear yang bersih dari segala tremble dan noise. No, dia nggak menangis seperti kemarin. No tears at all, tapi demi Tuhan dia jauh lebih terluka dan menderita. Dia tersiksa. Gue nggak suka.

Dia membungkuk dalam selama 5 detik sebagai penutup. Kakinya gemetar. Bahunya terguncang. Dia menegakkan diri kembali, dan kali ini air mata sudah mengalir di kedua pipinya. Air mata yang setengah mati dia bendung sejak bait pertama.

Belum ada yang bersuara sejak penampilan barusan.

Apa gue berlebihan? Apa gue terlalu keras? Apa gue terlalu memforsir dia? Persetan seleksi. Gue beranjak dan meraih sebotol air mineral konsumsi dari karton. Gue mendatangi dan segera membukakan tutup botol untuknya. Gue nggak mau dia dehidrasi.

Tepuk tangan seseorang diikuti seruan, "Bravo!" membuat gue menoleh. Bu Ningsih. To my suprise, beliau sudah beranjak dari duduknya alias standing ovation. "Bravo!"

Tepuk tangan lain menyusul dan tiba-tiba saja semua riuh, dalam artian mereka tergugah dengan penampilan barusan. Pita tersenyum setelah minum membuat gue lega. Sangat lega. Gue menepuk bahunya dua kali sebelum kami kembali ke tempat masing-masing.

Bu Ningsih mengumumkan rincian skor Pita 9, 10, 8, dan 7. Seimbang 34/40 dengan Sashi. Semua gelisah menanti termasuk gue yang meremasi jari-jari. Sashi masih tersenyum tenang. Di sampingnya, Pita kembali menunduk menatap ujung kaus kakinya.

Setelah berdiskusi dengan dua guru Kesenian yang lain, Bu Ningsih membuat pengumuman lagi.

"Dari keempat aspek penilaian, masing-masing mempunyai bobot yang berbeda. Diurutkan dari yang terkecil performance, impromptu, ekspresi, dan yang terbesar sinoritas. Kandidat dua dan tiga memperoleh total skor yang sama, dan menggunakan pertimbangan bobot, saya beserta dewan guru sepakat memilih kandidat tiga sebagai center diva dengan bobot ekspresi dan sinoritas yang mendekati sempurna. Pitaloka Janari Dahayu, center diva Simfoni Bastari pada event Jakarta High School Choir tahun ini. Keputusan bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Terima kasih."

•°•°•

Kostum lagi. Kemarin Potter-themed kostum, sekarang kimono.

Schedule ATW Prefektur Hiroshima dimulai dengan naik ferry menuju Pulau Miyajima. Sampai di sana, kami menuju salah satu penyewaan kimono yang sudah dipesan sebelumnya. Nggak mau ribet, gue memilih kimono hitam dengan bawahan celana hakama senada dan jubah haori.

"Lo mau liputan traveling apa menghadiri pemakaman?" Pin nyinyirin outfit hitam-hitam gue setelah keluar ruang ganti. Dia sendiri memilih kimono merah dan hakama putih yang mirip Kenshin Himura.

Gue menunjuk bagian punggung dan paha haori. "Kagak ada orang ke pemakaman pakai corak naga begini."

"Iye dah si paling naga." Dia ketawa lalu merapat ke gue. "Lo punya fandom nggak, sih?"

"Informally, ada. Nggak pernah gue resmiin atau semacamnya, cuma gathering setahun dua kali yang diatur sama manajemen. Why?"

"Lo tahu nggak sih kalau mereka—sorry, ya, tanpa mengurangi rasa hormat—a lil bit aggressive? Yang cewek maksud gue."

Gue mengernyit. "Agresif gimana? Semuanya? Fans gue 75% cewek, Pin."

Pin terdiam cukup lama. "Pita kena bom blackmail dari akun-akun fake yang nyuruh dia ngejauhin lo. Threat-nya macem-macem nggak bisa gue jelasin satu-satu. Tapi ada satu yang bikin gue kepikiran dan waktu gue tanya Pita nggak mau jawab."

"Which one?"

"Ada yang ngancem bakal bongkar aib masa lalu dia sama lo. Aib apa?"

Gue mendelik.

Buset. Aib masa lalu? Pita sama gue? Rahasia apa lagi ini, Tuhaaan?!

"Lo serius nggak pernah mabok terus nidurin dia?" tanya Pin lagi. Langsung gue keplak mukanya.

"Seberdua-duaannya gue sama Pita di ruang padus dulu selalu gue buka semua tirai jendela dan CCTV on. Biar siapapun yang lewat bisa bersaksi bahwa gue sama Pita cuma latihan. Puas?"

Pin mengusapi pipinya. "Satu hal yang pasti blackmail itu diatur sama orang-orang yang tahu masa lalu kalian. Any idea who that might be?"

Ya.

Ya, setelah kemarin gue hubungi Bu Ningsih dari kontak yang Theo kasih, beliau mengatakan hal yang aneh. Tujuh tahun lalu pada hari H JHSC, Pita bilang dia sakit. Nggak bisa bangun karena demam. Nggak bisa nyanyi karena batuk dan flu. Bimbingan intensif sebulan lebih sama Bu Ningsih seakan hilang percuma dan sudah pasti beliau menyayangkan hal itu. Simfoni Bastari mau tidak mau memilih center diva lain menggantikan Pita.

Minggu berikutnya, dia mengundurkan diri dari paduan suara.

Bu Ningsih berpikir bahwa Pita mundur karena merasa bersalah. Beliau sudah berusaha membujuk, tapi sayang keputusan Pita juga sudah final. Dia pindah ke KIR dan benar-benar memutuskan kontak dengan padus.

"Astaga, lo item-item dari ujung kaki ke ujung kepala gini mau bawain acara traveling apa funeral, sih?" Tawa Milly terdengar samar dari ruang ganti ladies lalu makin jelas.

"Kak, please, mana ada orang ke funeral pakai motif naga begini!" Pita protes.

Mereka keluar masih sambil berdebat, sampai kami berempat bertemu dan melongo bersamaan. Terutama gue dan Pita yang baru sadar bahwa kami memilih outfit yang sama persis, cuma beda size dan gender.

Inikah saatnya gue berkata 'jodoh pasti kembaran'?

•°•°•

Tujuan utama ATW di Pulau Miyajima adalah kuil Itsukushima, salah satu situs warisan budaya dunia yang tercatat di UNESCO. Kuil Shinto yang dengan gerbang torii di tengah Teluk Itsukushima yang terbilang unik karena terkesan "melayang" di perairan. Ya, melayang persis hati gue ketika si Ayang tiba-tiba datang dan mencari perlindungan di balik punggung gue.

"Kak, sialan lo! Minggir!" Pita memaki-maki Pin yang iseng bener ngelemparin dia dengan remahan cracker pakan rusa. Akibatnya dia kalang-kabut dikejar dua ekor rusa. Sekitar 1200 rusa di pulau ini memang dilepas begitu saja di alam bebas supaya pengunjung bisa berinteraksi langsung.

Sekarang Pin juga melempari gue remahan cracker sambil ketawa setan. "Rusa, serang pasangan Tempat Pemakaman Umum itu!"

Pita makin histeris di belakang gue. Pada dasarnya mereka bukan rusa liar, malah cukup jinak karena gue cuma butuh membiarkan mereka makan remahan cracker dari kimono gue. Ya emang ada sensasi seruduk-seruduk manja, tapi sesekali gue mengelus kepala mereka, lalu keduanya mulai tenang.

"It's okay, rusa-rusa ini jinak." Gue menoleh Pita yang masih gemetaran di belakang. Kasihan, tapi lucu. "Kalau kamu takut malah didatangi, lho."

"Jinak apanya saya diseruduk?!"

"Mereka rusa betina, Sayang, nggak ada tanduknya."

"Ya karena sesama betina makanya saya diseruduk! Mereka kalem buat memikat pejantan. Kakak itu target pasangan kawin mereka!"

"Nah, mampus lo digagahi rusa betina!" Pin melempari gue lagi. Ini anak satu usilnya makin-makin pas off-cam.

Pita histeris meraih lengan gue, pontang-panting berlari menghindari kejaran rusa-rusa itu. Dua puluh meter berikutnya, mereka teralihkan oleh rombongan turis lain yang menebarkan lebih banyak remahan cracker di tanah. Mereka makan bersama lima rusa lain dan gue sama Pita selamat.

Gue tersenyum mengamati Pita terengah-engah di salah satu bangku panjang yang S. Padahal kalau dia takut sih lari aja sendiri, ngapain repot-repot nyeret gue, kan? Dasar lucu.

"Makasih, ya." Gue mengusap poninya yang halus.

"Hah?" Dia masih ngos-ngosan.

"Kamu kuatir aku digagahi rusa. How sweet."

Tangan gue ditampik keras. "Siapa yang ngizinin Kakak nyentuh saya!" bentaknya, dengan tampang pedes yang manis rasa sambal kentang itu.

"Yuk ngemil." Gue beranjak, menebah hakama dan mengulurkan tangan.

"Ngemil apa? Ke mana?"

"Ke KUA, ngemilikin kamu seutuhnya."

Pita melenggang ke menuju gerbang pusat belanja Omotesando setelah menabok muka gue dengan hakama-nya.

•°•°•

"Omatase shimashita, douzo. (Maaf telah menunggu, silakan.)"

Pelayan itu pergi setelah meletakkan pesanan kami di meja. Satu set kue manju isi dua dengan isian custard dan honey lemon. Tadinya gue menyarankan Pita pesan dua set, masing-masing satu untuk kami, tapi dia menolak.

"Ini kan saya tergoda nyobain karena bentuknya lucu, Rilakkuma. Saya nggak mau kebanyakan. Mubazir. Kita separoan aja, Kak. Kalau enak terus kurang bisa pesen lagi," katanya, sambil membagi kedua manju sama besar.

Gue manggut-manggut, bertopang dagu mengamati gestur tubuhnya. Heran, perhitungan amat, padahal mau pesen berapa set juga gue yang traktir. Dia sengaja mau bikin gue makin terpesona apa gimana? Because I am.

Selama makan, gue sama Pita sama-sama diam. Dia lebih banyak melihat-lihat kafe, sedangkan yang gue lihat cuma dia. Ada yang ingin gue pastikan, tapi gue bingung harus memulai dari mana.

"I want to ask something, Kak." Entah ini keberuntungan atau jebakan, tumben banget dia yang mulai duluan.

Gue menelan segigit manju sebelum menjawab, "Go ahead."

"Kak Sashi bilang apa tentang saya?"

Kalau kemarin Pita sempat gelisah waktu gue sebut-sebut Sashi, hari ini dia tenang terkendali as if everything is under control. Dia sudah mempersiapkan mental.

"Saya tahu Kak Hans tanya-tanya tentang saya ke Kak Sashi. Sejauh apa yang Kakak dengar dari Kak Sashi? Semuanya?"

'Semuanya', ya?

Manju gue habis, gue mengelapi tangan dengan tisu basah. "Waktu itu kamu nggak ikut JHSC. Kamu sakit, katanya."

Dia mencondongkan tubuh, menatap gue lebih lekat. "Terus?"

"You were replaced by her."

Ada jeda. Dia terdiam sesaat. "Terus?"

"Minggu berikutnya, kamu keluar dari padus meskipun sudah ditahan-tahan Bu Ningsih. Itu semua yang aku tahu beliau baru-baru ini, bukan Sashi."

"Wait," dia mengerjap, "bukan Kak Sashi? Bu Ningsih? Kakak nanyain saya ke Bu Ningsih, pelatih kita dulu?"

Gue mengangguk lalu menyesap teh oolong. "Ya. Now let me ask you in return."

Matanya menunggu dengan antisipasi. Gemas, gue menyentil keningnya dan dia terkesiap.

"Sashi nggak pernah bilang apapun tentang kamu, dan barusan kamu tanya apa aku sudah dengar 'semuanya' dari dia. So, tell me, Pita Janari. What is that 'semuanya' I've never heard before?"

Dia bergeming, menahan napas dengan raut cemas. Gue tersenyum lagi, nggak ingin membuatnya merasa sedang dihakimi.

"Sampai sini aku bisa baca 'semuanya' sendiri, atau seenggaknya mendekati. Sashi melabrak kamu, right? Aku nggak percaya kamu sakit waktu itu. Timing-nya terlalu pas. Aku belum tanya Sashi soal ini karena aku mau konfirmasi dari kamu dulu."

Pita membuang napas, menyandarkan punggung lagi dan menyesap matcha latte Rilakkuma-nya. Matanya masih mengawasi gue seakan menimbang sesuatu. Ayolah, sampai kapan dia mau menahan diri begini?

Gue merogoh ponsel dari saku hakama. "If you're not gonna talk I guess I have no choice but to ask her myself. Aku nggak suka berdebat membahas masa lalu sama mantan, tapi kalau ini satu-satunya cara, I will."

Baru gue mau mencari kontak Sashi, Pita mengambil dan menelungkupkan ponsel gue di meja. Dia menggamit kedua tangan gue. Cukup aneh mengingat sejauh ini dia nggak mau gue sentuh, but still, sentuhan lembut ini membuat debar jantung gue nggak keruan.

"Don't ask her, I'll tell you." Tatapannya berubah memohon. "Tolong percaya sama saya. Jangan tanya Kak Sashi lagi. Jangan bahas apapun lagi sama Kak Sashi tentang saya."

Sejak tahu dari Bu Ningsih, sebenarnya gue menahan diri untuk nggak memaki-maki Sashi. Dia berutang penjelasan ke gue selama tujuh tahun ini. Tapi, biar cepet, untuk saat ini gue mengiyakan permintaan Pita.

Masih menggenggam tangan gue, Pita menunduk, berkata dengan serak dan berat. "Ya. Tujuh tahun yang lalu saya bukan sakit. Kak Sashi ... memaksa saya mundur."

•°•°•

Taitō, Tokyo, 20 Maret 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top