"Kamu masih punya aroma rumahku."


Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

DENTING piano sayup-sayup menyapa telingaku dari luar ruang ekskul paduan suara. Hanya ada sepasang Air Jordan di rak sepatu. Aku tahu pemiliknya. Aku melepas dan meletakkan sepatuku di sampingnya.

Aku menggeser pintu, menemukan Kak Hans duduk di balik grand piano hitam di sudut ruangan. Kedua lengannya bergerak-gerak di atas tuts. Dia melirikku sekilas bersama senyuman dan gerakan dagu yang berarti menyuruhku masuk, lalu fokusnya kembali pada Mozart's Symphony no. 40 1st movement dalam tempo sedang. Kurasa andante.

Aku diam menunggu di sisi piano. Sementara telingaku dimanjakan permainannya, mataku juga nggak bisa berkedip melihat sosoknya. Kemeja yang dikeluarkan dengan semua kancingnya terbuka. Rambut ikal yang kering dan mencuat di beberapa bagian. Sepuluh jari-jari panjang yang menari di atas tuts untuk menciptakan harmoni. Kedua mata yang menatap lurus, memahami baris-baris notasi pada selembar kord Symphony no. 40 dengan serius. Aku pengin jadi kord itu.

Tapi, setelah Kak Hans selesai dan dia tersenyum untukku, aku malah menunduk. Refleks. Tolong lah, senyumnya itu datang tanpa diundang di mimpiku semalam. Aku deg-degan sejak kemarin karena ini adalah hari pertama Kak Hans akan melatihku. Di ruangan ini, berdua saja dengan CCTV.

"You know, Pita, selama nyanyi, Bu Ningsih sering minta kita pasang sikap tegak lurus lantai, head to toe, sambil mengangkat dagu. Keluarkan suara lurus ke depan, bukan bawah. Apa tujuannya?"

Aku menengadah, menatapnya lagi. "Supaya jalan keluar suara tidak melengkung dan terbuka maksimal."

"Benar." Sepasang lesung pipi muncul waktu Kak Hans tersenyum lagi. Dia menggeser duduk ke kiri, lalu menepuk tempat kosong di sisi kanannya. "Duduk sini."

Aku menahan napas. Duduk bareng?

"Ngg ... nggak nyanyi sambil berdiri, Kak?"

"Nggak, kita cuma main piano. Here, sit down."

Menuruti instruksinya, aku duduk sedikit di ujung. Aku takut jantungku yang berisik ini terdengar kalau terlalu dekat.

"Saya nggak bisa main piano, Kak."

"Belum pernah sama sekali?" Dia mengambil bundelan partitur, membuka halaman lain, berhenti pada Johann Sebastian Bach's Air on the G String.

"Cuma bisa satu tangan." Aku mengangkat tangan kanan.

Dia mengangkat tangan kiri. "Gue temenin."

Sejujurnya, permainan Symphony no. 40 Kak Hans tadi sempurna. Aku takut nggak bisa mengimbanginya dan malah mengacaukan harmonisasi. Tapi baiklah, sebagai kandidat center diva, aku nggak mau mundur. Aku mengawali Air on the G String dengan menekan tiga nada tinggi sesuai yang tertera pada partitur.

Kak Hans menyambung dengan menekan empat nada rendah bergantian. Sebelum aku sempat berpikir, semua mengalun begitu saja secara natural. Setiap denting terdengar sederhana namun begitu mengalir. Mungkin Kak Hans yang menyesuaikan kemampuannya denganku, atau memang kami telah menemukan keselarasan ritme satu sama lain. Lengan kami yang bersinggungan menghapus jarak yang sempat kujaga.

Rasa hangat dalam dada membuatku tersenyum, sampai ketika kami memasuki pre-chorus, Kak Hans melantunkan vokalisasi a-a-a dengan suara bass-nya pada suara dua. Terdengar lembut, tapi sedikit mengganggu karena terasa kurang. Aku melengkapinya dengan vokalisasi suara satu yang keluar begitu saja dari mulutku. Semudah itulah dia memancing nyanyianku.

Itu adalah lima menit paling indah dalam hidupku, bersama orang asing yang baru saja menjadi berarti bagiku.

Bahkan setelah permainan kami berakhir, dadaku masih mengembang naik-turun. Jantungku berdebar makin kencang. Senyumanku nggak bisa menghilang. Kak Hans menatapku lekat, dan entah keberanian dari mana, kali ini aku nggak menunduk.

"Suka?" tanyanya.

Aku memegangi dada. "Deg-degan, Kak."

Dia tersenyum hingga kedua matanya menyipit. "Sama."

Kami masih saling menatap dalam hening yang cukup lama, sampai Kak Hans berpaling duluan. Dia berdeham pendek, meraih partitur, lalu membolak-balik lembarannya dengan gerakan kaku.

"Pit, lo ngerasa nggak sih, ada aroma-aroma yang kalau kita cium, kita langsung teringat ke satu tempat tertentu?"

Aku berpikir sebentar. "Misalnya rumah sakit?"

Dia mengangguk. "Ya. Aroma antiseptik dan rumah sakit, aroma laut dan pantai, aroma kertas dan toko buku, aroma petrikor dan tanah yang basah ...."

"Terus?"

Aku belum mengerti arah pembicaraan ini, sampai Kak Hans menutup partitur lalu mengernyit padaku tanpa senyum seperti sedang menginterogasi penjahat. Tapi, aku salah apa?

"Parfum lo apa, sih?"

"Hah?"

"Aroma lo ngingetin gue sama rumah."

Aku mendelik, "Oh," lalu mengendus lengan kanan-kiri bergantian sambil menyebutkan cologne 30 ribuan dari rak minimarket. Padahal wanginya sudah hilang sama sekali. "Jadi, kalau di rumah Kak Hans, cologne yang saya semprot ke badan dibuat ngepel lantai?"

Kok nyesek, ya?

"No, no! Nggak gituuu!" Dia tertawa sambil meremasi kepala, rambutnya makin berantakan. "Misal nih, kalau nyium aroma antiseptik gue langsung kebayang bed pasien, infus, UGD, perawat, dokter, semua hal yang ngingetin gue sama rumah sakit. Nah kalau aroma lo, gue kebayang baru pulang ke rumah, buka pintu, gue masuk lalu disambut Bokap, Nyokap, dan adek gue. Paham?"

"Oh, gitu." Aku manggut-manggut. "Tapi kenapa, Kak?"

"Mana gue tau!" geramnya. Apa dia kesal? "Lupain. Main lagi, ya? How about Pachelbel's Canon in D?" Dia membolak-balik partitur lagi.

"Lagu yang ntar saya nyanyiin buat JHSC aja gimana, Kak? Saya belum tau."

Kak Hans melirikku. "Gue belum bilang?" Aku menggeleng. "Lagu antik, Bunda by Potret."

Napasku berhenti.

"Apa, Kak?"

"JHSC tahun ini buat persiapan International Mothers Day. Kita sepakat milih Bunda. Pernah denger, kan? 'Kubuka album biru, penuh debu dan usang. Kupandangi semua gambar diri, kecil bersih belum ternoda ....'"

Tanganku gemetar. Mukaku sesak dan panas. Air mataku jatuh sebelum sempat menggenang.

Aku nggak bisa menyanyikan lagu itu.

•°•°•

"Kak Pita sakit apa? GWS kakakuu ❤️"

"Heran Pita ingusan masih cakep yak. Gua mah apa buriiik. Stay healthy, bestie!"

"Tim ATW panutan banget, yg sakit disuruh istirahat. Syafakillah syifaan ajilan, Kapit ❤️"

MEMBACA kolom komentar episode Nagoya membuatku terenyuh dan senyum-senyum sendiri. Belum lagi medsosku yang kebanjiran doa semoga lekas sembuh. WhatsApp-ku juga dipenuhi chat dan panggilan tak terjawab dari teman-teman sesama artis yang menanyakanku. Meskipun sakitku sudah lebih dari seminggu yang lalu, tapi menerima ucapan-ucapan positif seperti ini mood banget.

Aku segera mengunggah instastory untuk mengabarkan kondisiku sekaligus berterima kasih. Aku juga mengikutsertakan Kak Milly dan Bu Rena di kamar kami, tentunya dengan persetujuan mereka.

"Netizen nggak semuanya julid kok. Yang sayang sama lo masih banyak. Humanity still exist," celetuk Kak Milly setelah kusimpan ponsel di meja.

Aku cekikikan sambil memunguti suvenir-suvenir yang berserakan di lantai karpet. "It is, Kak. Kantor manajemen barusan ngabarin katanya hari ini banyak kiriman hampers buat gue. So sweet sih, tapi kan guenya di sini."

"Lah, terus gimana?"

"Aman lah. Gue minta tolong kantor buat handle." Minta tolong disalurkan kepada masyarakat yang memang membutuhkan, tapi aku malas membahas rinciannya. "Lihat kolom komentar kita nggak rusuh aja udah cukup bikin gue sehat. Males banget awal-awal kemarin pada ngelunjak minta momen gue sama Kak Pin. Mana fangirls-nya Kak Hans ngamuk ke gue. Iri gue sama komenan buat lo asik semua, Kak."

"Karena gue satu-satunya yang udah segel kali, ya? Mau gue ama Pin atau Hans mereka bodo amat. Apalagi gue sering tuh sebut-sebut laki gue." Kak Milly tertawa sebelum memasang sheet mask menutupi wajahnya, lalu menahannya dengan silicone cover.

"Ngomong-ngomong soal ngelunjak, masih ada kok." Bu Rena yang sudah lepas jilbab menunjukkan ponselnya. Aku dan Kak Milly merapat ke futon. "Nih, sekarang ngelunjaknya bukan minta Pin-Pita, tapi Hansel-Pita."

Gembel.

"Pffft!" Kak Milly membekap mulut. Aku mendelik.

Dan itu benar, ada beberapa akun yang menginginkan screentime Hans bersama aku diperbanyak. Alasannya karena kami terlihat natural setiap liputan berdua. Padahal mana boleh begitu. Waktu sakit pun aku tetap dapat porsi screentime sama banyak dengan ketiga seniorku. Pak Sutradara kami memang seadil itu.

"Pendukung Pipi couple mulai pindah kapal, nih." Bu Rena cekikikan setelah mengunci layar ponselnya.

"Nama couple baru kita apa dong, Bu? Hanpit? Gamao gasuka gelaaay!" Kak Milly menggelinjang dramatis di atas futon. Bini siapa deh ini.

"Jadi, nama couple itu wajib, ya? Sebentar." Bu Rena menjentikkan jari. "Tahan. PiTAHANsel. Cakep, kan?"

"Nggaaak!" Aku menjerit tertahan mengingat ini hampir tengah malam. "Jangan dimasukin skrip, Bu, please, please, please, ple—hmp."

Rengekanku terpotong lemparan boneka Tata-nya Kak Milly. Sial.

Bu Rena tertawa pelan. "Nggak, Pit, Pak Hamdan juga nggak mungkin setuju. Ini gemes-gemesan kita bertiga aja. Aside from that, in my humble opinion, sebenarnya kalau kamu mau punya hubungan spesial sama Hans juga nggak ada masalah, Pit. Rame di awal ya udah pasti, tapi sepanjang kalian nggak berbuat salah jalan aja terus."

Uh. Pipiku memanas. "Bu, siapa juga yang mau hubungan spesial? Terang bulan spesial baru saya mau."

"Terang bulan spesial jidat lo. Rendang gosong kemaren lo bilang enak. Kita semua yang terpaksa makan ini saksinya!" Mukaku ditimpuk Tata lagi. "Pit, gue nggak tahu apa masalah lo sama Hans, karena Hans itu jelas-jelas tertarik sama lo sedangkan elo-nya masih bimbang. Tapiii ... gue sepakat sama Bu Manajer. Loving someone never makes you a criminal—kecuali lo sampai menghalalkan cara-cara kotor demi ngedapetin Hans, like, ngefitnah atau nge-bully, yang mana pada akhirnya itu bukan cinta tapi bajingan. Sorry, gue bukan penganut all's fair in love and war. Humanity comes first."

Memang. Seharusnya begitu.

Sayangnya, orang-orang seperti itu memang ada, dan demi Tuhan, berada di tengah-tengah mereka pernah membuatku berharap mati saja.

•°•°•

Aku menyesap sedikit sakurayu hangat sebelum meletakkan gelas di meja kotatsu ruang tengah. Kepalaku mulai terasa ringan dari ingatan-ingatan masa padus yang sebenarnya nggak ingin kuingat lagi, tapi selama di sini, semua seperti timbul kembali ke permukaan. Hans-lah pemicunya. Argh, seharusnya kucari tahu dulu identitas travelers lain sebelum menandatangani kontrak dengan ATW. Dari sekian ribu artis di tanah air, kenapa harus dia ...?

No. Nope.

I won't make the same mistake twice. Butuh bertahun-tahun untukku berdiri lagi setelah dijatuhkan seperti itu, lalu pelan-pelan menata hidup yang lebih baik. Aku nggak mau kembali ke masa itu. Biar saja kalau hal itu masih menggangguku sebagai mimpi buruk asalkan nggak jadi kenyataan.

"Belum tidur, Ta?"

Mas Rei datang dan bergabung duduk lesehan denganku. Aku menggeleng lalu tersenyum. "Maunya tidur tapi merem aja sulit." Aku meminum sakurayu lagi. "Mas Rei mau? Saya seduh lagi—"

"Iie, daijoubu. Santai duduk aja, Ta. Saya cuma mau nyortir footage ini buat dikirim ke pusat. Biar segera diproses sama editornya." Setelah mencegah aku berdiri, Mas Rei mengeluarkan dan menyalakan laptop di meja. Aku manggut-manggut. Kemudian, dia benar-benar tenggelam dalam kesibukan di depan layar. Aku mengamatinya hingga tahu-tahu sakurayu sudah habis begitu saja.

Mas Rei mendorong bridge kacamatanya tanpa berpaling dari layar. "Jangan dilihatin terus, nanti suka."

Bingung mau menanggapi, aku tertawa dan beralih melihat gelas.

"Kok malah ketawa? Beneran ini kejadian sama saya. Dari yang tadinya saya iseng nonton di YouTube, malah keterusan, pas udah ketemu dan kenalan sama orang aslinya jadi suka beneran. Gini amat nasib saya."

Aku mengulum senyum simpul. "Arigatou, Mas Rei."

Dia melirik sekilas. "Udah? Arigatou doang, nih?"

"Salah, ya?"

"Ya bener, sih, makasih aja. Saya kan sudah ditolak. Kalau kamu tiba-tiba bilang suka malah aneh dan ngeselin, rasanya saya dipermainkan."

Kata terakhirnya itu membuatku tersentil. Benar juga, pantas saja daritadi ada yang mengganjal di pikiranku.

"Mas, saya mau ngomong sesuatu, tapi takut mengganggu Mas lagi kerja. Ntaran aja, ya?"

Dia melirikku lalu tersenyum. "Kapan lagi? Udah tengah malem ini, Ta. Kamu ngomong aja, saya bisa kok dengerin sambil kerja."

"Okay." Aku menahan napas. Kugigit bibir bawah setelah Mas Rei menatap laptop lagi. "Saya ... mau minta maaf soal yang di USJ tadi. Saya menyesal sekali, Kak. Maaf."

"'Kak'?"

"Mas!" Kutepuk mulut sementara Mas Rei tergelak ringan. Heish. "Maaf. Maksud saya, saya bener-bener minta maaf soal Kak Hans waktu di Hogsmeade tadi. Saya nggak ngerti dia kenapa, tapi saya nggak pernah cerita ke dia atau siapapun kalau Mas Rei ... ehm ...."

Mau bilang 'Mas Rei sudah saya tolak' susah amat, ya?

"Bukan salah kamu kenapa kamu yang minta maaf? Memangnya Mas Hans siapa? Pacar kamu, Ta?"

What? "Nggak gitu, Mas, maksud saya—"

"Panik amat sih, Ta? Santai aja sama saya." Mas Rei tertawa dan menyentil keningku sebelum kembali ke laptop lagi. "Iya saya ngerti, kamu kan tipe yang suka nggak enakan. But I mean it, kamu nggak perlu minta maaf, Mas Hans udah cerita semua sama saya."

Mataku membulat. "He did?"

Dan Mas Rei menceritakan bagaimana Hans sudah menjelaskan semuanya dan minta maaf siang itu juga, waktu kami masih di USJ. Aku menyimak meski mata Mas Rei tetap ke layar. Seenggaknya, sekarang aku lega mengetahui mereka berdua baik-baik saja. No hard feeling.

Aku tersenyum simpul. "That's nice. Saya nggak nyangka Kak Hans yang make a move duluan nyamperin Mas Rei. Mana cepet banget lagi."

Mas Rei manggut-manggut. "Ya. Dan lucunya Mas Hans bilang dia nggak mau saya salah paham sama kamu, Ta. Padahal sih kalau saya salah paham terus marah ke kamu, kan jadi kesempatan bagus buat dia."

Aku menggeleng. "No, Kak Hans bukan orang yang aji mumpung memanfaatkan situasi sulit demi keuntungannya sendiri meskipun dia bisa banget. But he won't. Kak Hans bukannya nggak ambis, dia cuma sangat paham kapan dan bagaimana harus menurunkan ego demi kebaikan bersama."

"Wow."

Aku tersenyum lebar. "Ya, wow. Kadang-kadang dia juga impulsif, tapi dia selalu bertanggung jawab atas konsekuensi setiap perbuatannya. That is so Hansel."

Dari dulu dia memang begitu. Makanya, aku nggak heran kalau Hans mendekatiku karena rasa bersalah dan tuntutan tanggung jawab.

"I mean, wow, Mas Hans bilang bahwa kamu nolak dia, tapi kata-katamu tadi terasa sebaliknya. You care about him a lot."

•°•°•

Aku peduli tentang Hans?

Ya, tentu saja.

Lelah rasanya terus-menerus menyangkal, sementara setiap telingaku mendengar suaranya, kepalaku akan berputar dan mataku mencari sosoknya. Seperti siang ini, di sepanjang tunnel kaca yang menyelubungi jalan kami, dengan puluhan ribu spesies ikan, kuda laut, dan ubur-ubur berenang di atas kepala, mataku nggak bisa lepas dari Hans yang sedang membahas sekelompok ikan badut bersama Kak Pin. Ikan oranye dari animasi Finding Nemo itu baru saja lewat di depan kami.

Osaka Aquarium Kaiyukan diatur dengan pencahayaan minim untuk menyesuaikan iklim dasar laut bagi spesies penghuninya. Dengan alasan yang sama pengambilan gambar menggunakan flash juga dilarang. Walaupun di kamera Mas Eko dan Mas Rei kami berempat terlihat setengah siluet, tapi itu justru menghasilkan kesan estetik dan memperkuat kesan dasar lautan. Dan apa aku sudah bilang bahwa Hans sangat mengagumkan saat menjelaskan dengan latar belakang hiu paus raksasa terbesar di lautan, di dalam tangki setinggi 9 meter dan lebar 34 meter itu?

Jangankan aku. Pengunjung lain yang mungkin sadar bahwa kami adalah kru acara TV langsung mendekati Hans begitu kamera dimatikan. Mereka bergantian meminta foto bersama, dan yep, semuanya perempuan. Cewek-cewek berisik berseragam sekolah, anak kuliahan, geng sosialita kantoran, dan emak-emak. Setahuku warga Jepang asli jarang yang mahir berbahasa Inggris, tapi karena Hans terus-terusan menanggapi dalam Bahasa Inggris, tiba-tiba mereka semua bicara Japlish (Japanese-English).

"Minna-san, sorry, got to go, my girlfriend is waiting for me." Kak Pin menghindari mereka dengan merangkul pundakku dan mengusap-usap kepalaku. Ck, dasar. Aku bekerja sama dengan tersenyum lebar dan menyandarkan kepala di dadanya.

Mereka pergi setelah berpamitan dengan senyum kecut. Aku menyeringai menyikut pinggang Kak Pin. "Heh, Pacar, nggak mau tahu pokoknya wagyu halal paling mahal di Tokyo tiga kali sehari selama dua minggu!"

"Pacar jenis apaan nih? Putus, yuk!" Rambutku diacak-acak kasar. Kutepis lengannya lalu merapikan rambut sambil menggerutu.

Aku berlalu melewati Hans yang belum terlepas dari perempuan-perempuan itu. Mata kami bertemu sesaat sebelum aku berpaling duluan. Tatapannya nggak menusuk, tapi begitu intens dan dalam membuatku sulit menahan rasa gugup.

•°•°•

"He told me that you were his junior in highschool." Kak Pin berbisik di sebelahku, mengalihkan perhatianku dari Hans yang kali ini take bareng Kak Milly di depan sebuah tangki berisi kepiting laba-laba Jepang setinggi manusia dewasa.

Kusampirkan rambut dan menyeringai. "Makin akrab ya kalian, setelah satu ranjang satu selimut selama sebulan."

"Kagak satu selimut juga, Pipit. Geli gue!" Kepalaku kena toyor. "I mean it. Dia bilang gitu ke gue."

"And your point is ...?" Aku masih nggak paham.

"Lo punya masalah yang belum selesai sama dia. Bener?"

Aku mengangkat bahu dan menatap lurus ke depan lagi. "Belum selesai buat dia doang kali. Buat gue rather than belum selesai I prefer not to talk about it and move on. Waktu gue terlalu berharga buat mikirin masa lalu yang nggak ada bagus-bagusnya."

"So there is something."

"There was," koreksiku.

"Boleh gue tahu kenapa lo nggak mau kasih dia kesempatan? I mean, he's desperately sorry to you, bahkan meskipun dia nggak benar-benar tahu dia salah apa sama lo."

Aku memicingkan mata. Apa menggunakan Kak Pin adalah bagian dari trik Hans?

"Kak, kalau lo menginterogasi gue karena diminta Hans, gue udah bilang sama dia bahwa dia nggak salah apa-apa. He owes me no apology at all, and I don't need him to do anything in return. Nggak usah pusing-pusing mikirin gue. Gue cuma nggak mau terlibat sama dia, itu aja."

"Tapi dia ingin terlibat sama lo."

"Ya, sangat keras kepala."

"Karena lo adalah seseorang yang Hans perhitungkan, Pita. Karena lo penting buat dia. Karena lo punya arti yang mendalam bagi dia. Dia nggak akan pusing mikirin sikap lo kalau perasaannya buat lo cuma sedangkal itu."

"Gue—" aku menoleh untuk mengecilkan suara serendah-rendahnya, "gue nggak tertarik. Gue nolak dia, oke? Suruh dia berhenti cari tahu masa lalu gue kalau masih punya malu."

"Terlepas dari lo nolak dia, dia berhak tahu, Pit. Wajar kalau dia berprasangka buruk. Lo menutup-nutupi sesuatu tentang dia di depan matanya, gimana bisa dia nggak kepikiran? Come on, Pit, grow up. I know problem's sucks, but it doesn't mean you can always run and hide. Dan—" dia mengangkat tangan, menghentikan mulutku yang sudah siap membantah, "jangan beralasan bahwa lo merasa nggak ada yang perlu dibicarakan. Ada. Pasti ada. Lo cuma belum siap mentally makanya lari mulu."

Kuhindari tatapan Kak Pin dengan menunduk. There he is, Pinandito, selalu berkata-kata seakan dia mengerti kondisiku, padahal ... padahal memang iya. Yang kulakukan selama ini hanya lari dari masa lalu yang masih mengganjal hingga sekarang. Untuk yang satu ini aku benar-benar pengecut.

Tangan Kak Pin mendarat dan mengusap-usap kepalaku. "No, you're not a coward. You're way much much better than that."

Aku memberengut. Ck, dia membaca pikiranku.

"Take your time sampai lo siap berhadapan lagi dengan apapun-masa-lalu itu, Pit. Selesaikan demi kebaikan lo sendiri. Berdamai dengan diri lo sendiri. Just remember that you can always count on me as your backup."

Aku menoleh. Kak Pin menurunkan tangan dan memberiku senyuman hangat, mungkin ingin berbagi keberanian, tapi kegelisahanku justru meningkat. Aku membalas senyumnya, pahit.

Aku mengeluarkan ponsel dari sling pouch, membuka WhatsApp, menunjukkan pesan dari Tim Medsos ARTs yang menampilkan rekap Instagramku seminggu terakhir ini.

"See, Kak? Inilah kenapa gue lebih baik nggak berurusan sama Hans."

•°•°•

Meski kedua kamera sudah benar-benar dimatikan dan jadwal hari ini sudah selesai, rombongan kami sepakat untuk nggak buru-buru pulang. Kami makan malam di sebuah restoran India di kawasan mall dekat stasiun pusat Osaka, lalu setelah itu acara bebas. Aku sendiri nggak punya tujuan tertentu, pasrah digeret kemana pun sama Kak Milly dan Bu Rena.

Kami berhenti cukup lama di sebuah lingerie house yang memajang manekin-manekin berpose seksi dalam balutan pakaian dalam yang luar biasa seksi. Melihat Kak Milly dan Bu Rena membahas selera suami masing-masing sambil memilih lingerie, aku memilih melipir. Aku mengambil piama satin merah atas-bawah bergambar Gunung Fuji lalu buru-buru check out. Nasib perawan di tengah para nyonya yang sudah bertuan.

Aku bermaksud menunggu di salah satu kursi panjang di tengah koridor, tetapi mataku lebih tertarik pada sebuah gerai bernama Shimamura Music.

Aku tersadar bahwa kakiku sudah melangkah ke dalam ketika salah satu pegawai berseragam menyapaku dengan, "Irasshaimase," yang ceria. Aku balas tersenyum dan mengedarkan pandang pada deretan gitar dan bas yang tergantung di dinding. Jalan beberapa langkah, aku menemukan keluarga instrumen gesek mulai dari yang terkecil—violin, biola, cello, dan double bass—berkumpul dalam satu lemari kaca yang mewah. Lemari kaca tetangganya berisi tuba, terompet, dan saxophone yang berkilauan berkat cat keemasannya.

Dadaku berdebar hangat hanya karena melihat-lihat surga instrumen musik di sini. Lucu sekali bagaimana bisa instrumen lebih eyegasm untukku daripada lingerie?

Aku meneruskan langkah sampai pada satu blok yang paling luas. Blok display piano.

Setidaknya ada belasan piano yang dipajang dari berbagai merek dan jenis. Upright piano, digital piano, dan ... grand piano. Warna shiny black-nya mengingatkanku pada satu yang dulu mengisi sudut ruang paduan suara.

Sedikit ragu, aku menekan tuts C tengah dengan telunjuk. Si cantik ini berdenting kecil, tetapi merdunya membuatku tersenyum. Lebih tepatnya, tersenyum mengingat sesuatu.

"Douzo," tegur seorang pegawai laki-laki yang berjaga di sini. Aku menarik tangan, takut disuruh bayar. Dia tersenyum ramah. "Daijobu. Please try it. Douzo."

Oke. Asal nggak disuruh bayar aja, sih.

Aku duduk di kursi dan mencoba beberapa nada berurutan dengan penekanan berbeda. Weighted piano, alias piano yang lembut/kerasnya ditentukan oleh kekuatan menekan tuts. Benar-benar mirip dengan milik paduan suara.

Banyak rangkaian nada yang bisa kuingat dari sebuah lagu, tetapi sangat sedikit yang bisa kumainkan dengan alat musik. Johann Sebastian Bach's Air on the G String adalah salah satunya.

Aku cukup terkejut ketika jari-jari kananku masih mengingat tiga nada awal dengan tepat. Lalu nada berikutnya. Dan berikutnya. Dan berikutnya. Luar biasa. Jariku bergerak seperti memiliki nyawa sendiri. Aku bahkan nggak butuh melihat partitur. Aku hanya memiliki kenangan manis tujuh tahun yang lalu.

However, permainanku terasa hampa hanya dengan satu tangan. Aku tetap nggak bisa bermain dua tangan. Aku butuh pemain tangan kiri, but no, thank you, aku nggak sudi meminta Hans mengiringi permainanku.

"Air on the G String?"

Aku menoleh lalu mendengkus. Panjang umur sekali. Sejak kapan dia berdiri di sebelahku?

Dia merunduk dan membuka jari-jari panjangnya di atas tuts. Tangan kiri. "You're first."

Aku ogah berbagi tempat duduk, tapi anehnya jemariku menuruti Hans, menekan tiga nada bersamaan. Kemudian dia menyambung dengan empat nada rendah bergantian, dan segalanya menjadi benar.

Satu-persatu tuts yang kami sentuh berdenting dan menyatu membentuk alunan yang merdu. Persis seperti tujuh tahun yang lalu, melodi yang panas dan menyayat dari permainan kami mampu menghangatkan hatiku. Kali ini kami nggak membutuhkan partitur, semuanya mengalir secara teratur. Hanya saja, setiap kali lengan kami bersinggungan karena harus menjangkau nada jauh, lirikan kami spontan bertemu lalu segera terputus. Aku berpaling karena malu. Hans entahlah, aku nggak tahu.

Itu adalah lima menit terindah kedua dalam hidupku bersama orang yang kubenci, jika benci yang dimaksud adalah benar-benar cinta.

"Sekarang aku paham kenapa sejak awal Pita Janari terasa familier buatku." Masih merunduk, dia berbisik di dekat telingaku.

"What?" Debaran kuat jantungku membuatku sulit berpikir.

"Karena, tujuh tahun yang lalu dan sekarang, kamu masih punya aroma rumahku. Someone who reminds me of home is you."

Riuh tepuk tangan dari para pegawai dan pengunjung yang berkumpul entah sejak kapan membuatku tersadar. Aku beranjak dan membungkuk karena sungkan, begitu pula Hans. Lalu dia menarikku keluar toko melewati tatapan kagum semua orang.

Kami berjalan dalam diam tanpa arah tujuan yang pasti. Anehnya, aku nggak bisa dan nggak ingin menolak. Aku juga nggak menampik Hans yang jelas-jelas Hans masih menggenggam tanganku. Mungkin aku masih terbuai permainan kami barusan. Hatiku terus-terusan berkata, it's okay, this is Japan. Bahkan kalau sekarang aku memeluk Hans, mereka nggak akan bisa menggangguku.

"Pit, I am ... I'm sorry, Pit."

Hans menundukkan kepala. Suaranya terdengar berat dan serak. Kami berhenti melangkah di tengah lautan manusia lalu-lalang.

Aku menatapnya dari bawah. "Sorry for what? Saya udah bilang Kakak nggak salah apa-apa."

"I was wrong." Dia membalas tatapanku. Ada penyesalan mendalam di sana. Dia bersungguh-sungguh. "Kemarin aku bilang kamu pengecut. Kamu keluar dari padus cuma karena kalah di JHSC. Aku salah. Aku baru tahu hal ini karena waktu itu aku sudah lulus. Nggak ada yang ngabarin aku selain tentang tim kita kalah. Tapi, Pit, kamu bukannya kalah."

Okay.

Aku menahan napas. Perutku melilit. No. Apa dia sudah tahu? Nggak mungkin. Tapi dari mana?

"Kamu bukannya kalah. Kamu memang absen tepat pada hari H karena sakit. Kamu nggak pernah ikut JHSC."

•°•°•

Hah, gimana? Jadi gimana kejadiannya?

Minami-Kusatsu, Shiga, 11 Maret 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top