"Gemes mana sama Sri, Bang?"
Terima kasih dan selamat membaca 💕
•°•°•
"PAPA sudah sarapan apa pagi ini?"
Bokap nggak langsung menjawab pertanyaan gue. Ada jeda sebelum Bokap mendesah pendek.
"Boy."
"Ya, Pa?"
"Kamu telepon Papa jam empat subuh. Empat subuh, Hansel, for God's sake! Papa aja belum subuhan karena emang belum azan. Kamu telepon jam empat subuh cuma tanya Papa sudah sarapan apa?!"
Gue meringis meski Bokap nggak bisa lihat. Iya juga, gue lupa di Jepang dua jam lebih cepat.
"Ya sudah. Mama mana? Masih tidur?"
"Mandi."
"Mandi sebelum subuh? Kenapa?"
"Kalau nggak ada yang penting Papa tu—"
"Iya, iyaaa. Sorry, Pa!" Gue ketawa mendengar Papa panik di seberang. "Cuka. Cuma kangen. Papa sehat? Mama sehat? Sri sehat? Semua aman?"
Nggak langsung menjawab, Bokap malah diam lagi.
"Ada angin apa kamu, pergi dinas belum seminggu udah kangen orang rumah? Giliran ditelepon Mama pura-pura budeg."
Bokap sewot banget dah. Heran.
"Nggak kangen katanya durhaka, giliran dikangenin nyinyir. Ortu gue doang emang."
Tawa Bokap meledak, bikin gue ikut ketawa lagi. "No, lah! Thank you, Boy, of course Papa seneng. Orang tua mana yang nggak seneng kalau diingat anaknya? Kita semua baik di sini. Papa cuma amazed karena ini pertama kalinya salah satu bujangan Papa telepon jam segini cuma tanya sarapan dan bilang kangen. Apa, atau siapa, yang bikin kamu begini, Hans?"
Sekarang gue yang mingkem. Gue telepon ortu jam segini beneran impulsif, sih. Kalaupun ada trigger, mungkin karena semalam—
"Kamu di sana ikutan training ESQ, ya? Barusan nonton video di ruangan gelap, isinya slideshow foto orang tua, bencana, makam, diiringi musik yang menyayat hati, trus MCnya bilang, 'Bayangkan, ingat-ingatlah, bagaimana pagi ini orang tua Anda masih tersenyum untuk Anda. Tapi, pernahkah terlintas dalam pikiran Anda, bagaimana jika itu adalah senyuman terakhir mereka?'"
"Papaaa!" Gue menggeram sekaligus ngakak. Asli, bokap gue doang emang. "Stop it. Udah! Glad to hear that you're alright. I'm alright, too, if you're wondering."
"I'm not wondering. Denger suara kamu aja Papa tahu kamu baik banget di sana. Pasti ada something yang bikin kamu telepon Papa jam segini cuma buat—"
Dan blablabla. Ujung-ujungnya balik lagi Bokap menyuarakan rasa penasaran. Gue tanggapi dengan tawa sekenanya.
Kalau mau jujur, gue tersentuh setelah kemarin melihat bagaimana Pita memperlakukan bokapnya. Gue juga sering nggak sengaja denger mereka teleponan setiap hari. Pita punya kebiasaan nanyain menu bokapnya. Perhatian-perhatian kecil yang bikin gue sebagai pendengar doang bisa senyum, apalagi bokapnya di seberang sana.
Hari gini anak gadis kayak Pita itu tergolong langka. Aktivitas segudang, ketemu circle yang klik, mungkin juga ketemu gebetan yang bikin berdebar, nggak membutakan dia dengan orang tua di rumah. How sweet. Gue jadi pengin punya anak sama Pita.
I mean, gue pengin punya anak kayak Pita.
Gue pengin nanti, di usia senja dan gue bener-bener gabut selayaknya pensiunan, ada anak-cucu yang dengan senang hati menemani gue. Jadi gue pikir ada baiknya buat membiasakan diri ngasih perhatian ke bokap-nyokap, selagi masih bisa. Gue percaya karma baik itu ada.
Selesai teleponan sama ortu, gue juga menyempatkan diri kirim pesan ke Liam. Isinya cuma, 'Abang kangen kamu' dan sudah gue duga balasan dia adalah, 'NAJIS'.
•°•°•
Tujuan pertama dan satu-satunya rombongan kami hari ini adalah resort ski Gunung Teine.
Sesuai perhitungan, kami tiba di depan gedung Ski Center sekitar 10 menit setelah jam buka. Setelah take perkenalan lokasi, tanpa membuang waktu, kami langsung masuk dan berganti kostum ski sewaan. Gue sama Pin lagi take di depan kamera Mas Eko, membahas cara memilih sepatu ski yang sesuai. Tapi percakapan dua orang lain mengusik fokus gue.
"Kamu nggak kedinginan, Ta? Ada kairo lagi di tas saya kalau kamu kurang." Samar tapi pasti, gue dengar Rei bertanya di belakang gue. Yang jelas bukan buat gue.
"Dinginnya tetep, Mas, tapi normal sih kayak di ruangan AC. Kairo yang Mas Rei beli ampuh banget. Ditempelin dalam baju bisa bikin hangat. Lucu, ya, ada penghangat dijual sasetan kayak kopi gini. Di Indonesia nggak ada." Gue dengar Pita ketawa pelan.
"Di Jepang, kairo ini must have item buat menghadapi winter. Lumayan bisa hangat sampai 16 jam. Kalau di Indonesia nempelin kairo yang ada malah step, Ta."
Tawa Pita terdengar makin lepas. Nggak ada yang lucu perasaan gue. Garing.
"Oke, cut!" Mas Eko menyimpan kameranya setelah memastikan kami nggak perlu retake. Sementara Mas Eko berganti kostum sewaan, gue sama Pin yang udah selesai bergegas menyimpan barang-barang di coin locker.
Gue baru menutup locker ketika Pin berkata pelan, "Hans, gue mau minta tolong sama lo."
Gue mengangguk ringan sambil merapatkan jari-jari sarung tangan. "Name it."
"Tentang isu Pipi couple," dia menatap gue lebih lekat, "gue dan Pita nggak punya hubungan semacam itu. Gue pikir tadinya nggak masalah dan bakal reda sendiri, tapi, setelah komentar-komentar kemarin, gue pikir viewers kita perlu sedikit digiring."
Gue mengernyit. "Nggak paham gue."
Pin melepas kacamata, membersihkan embun dari lensanya dengan tisu. "Gue perlu mengurangi screen time sama Pita, dan sebagai gantinya lo atau Milly yang lebih banyak sama dia. Buat jadi seimbang."
"You're asking the wrong person, try Pak Hamdan or Mas Eko."
"I did, Hans. Mereka nggak bisa janji, cuma keep that inside their mind aja. Gue juga minta sama Rei dan Milly. Gue cuma nggak bisa ngomong sama Pita karena dia bakal ngerasa isu itu membebani gue. Tapi ini bukan tentang gue. Ini tentang karier dia yang baru seumur jagung dan jangan sampai tercoreng karena kelalaian, menganggap remeh isu kecil semacam ini."
Pin ada benernya.
Diawasi dan dikomentari masyarakat adalah konsekuensi jadi publik figur. Anjing menggonggong kafilah berlalu nggak bisa diterapkan buat kami, because however, antusiasme masyarakat itu ibarat kaca yang merefleksikan hasil personal branding kami. Andai sejak awal Pita sama Pin ngasih klarifikasi mengenai hubungan mereka—bukannya diem doang tapi sering ketangkep kemana-mana berdua—gue yakin orang nggak akan berpikir yang iya-iya tentang Sakura Kiss.
Ya, meski gue sendiri nggak tahu apa itu Sakura Kiss. Gue rasa nggak seharfiah ciuman di bawah pohon sakura lah.
"Aside from that, gue mau bilang makasih atas kerja sama lo nggak merespons masalah mojok di lorong remang-remang kemarin. Nggak ada yang tahu itu elo," kata Pin lagi.
What? "Mojok di lorong remang-remang? Siapa? Gue?"
Pin mengernyit balik, "Lah, lo nggak nyimak IGtainment?" lalu nyengir kuda. "Emang nggak ke-blow up, sih, karena langsung diteken sama manajemen. Gercep gila manajemen gue, bahkan lo yang jadi objek belum sempet ngeh apapun."
•°•°•
Salju di luar amblas begitu gue menginjakkan kaki dengan sepatu ski. Empuk banget. Permukaan salju belum mengeras sejak penumpukan semalam. Gue menapak berhati-hati supaya nggak terpeleset, tapi Pita yang berjalan di depan gue terlihat hilang keseimbangan.
Gue menjatuhkan semua peralatan ski dari tangan dan segera memegangi kedua lengannya dari belakang.
"Kalau mau gue peluk bilang, nggak perlu pura-pura jatuh," bisik gue, di telinganya yang tertutup helm.
Dia menyentak gue, kembali menegak lantas menggeram, "In your dream!" Gue yakin dia juga memicing di balik goggles yang melindungi matanya. Dia berbalik, tapi terlalu buru-buru dan malah terpeleset lagi. Gue tangkap lagi, dong. Menang banyak alhamdulillah.
Dia melepaskan diri, kali ini lebih kalem dan nggak tergesa-gesa. Gue memunguti peralatan ski gue, kemudian kami sepakat jalan bersama menyusul rombongan yang sudah di depan.
"Pit, usahakan jangan sampai lo jatuh. Itu boots beratnya masing-masing dua kilo. Dikali dua, empat kilo. Kalau lo jatuh mau bangun lagi, butuh usaha setengah mati. Boleh pegangan atau tarik gue supaya nggak jatuh."
Dia memicing tajam di antara papan ski. Gue tersenyum.
"Serius, Pit. Boleh deh lo katain gue modus, tapi ingat baik-baik. Usahakan jangan jatuh. Kalau akhirnya lo jatuh, pas mau bangun lagi jangan maksa. Take it easy, bangun pelan-pelan. Karena kalau lo paksain, semua otot badan tegang, besok seharian lo nggak bisa gerak sama sekali."
Dia ngeloyor langsung menyandarkan peralatan ski pada palang yang tersedia, lalu bergabung buat pemanasan bersama yang lain. Kan, gue dikentangin. Besok pas balik ke Jakarta, ingatkan gue untuk ngunyah Pita bareng tahu isi.
Pemanasan selesai dalam 15 menit. Sebelum mulai, Pak Hamdan meminta kami berempat mencoba meluncur di permukaan datar untuk mengetahui kemampuan masing-masing. Tapi gue rasa hal itu nggak perlu.
Karena dari cara memasang papan ski saja sudah jelas cuma gue sama Pin yang bisa. Milly menghentakkan kakinya berkali-kali di atas papan ski, tapi pengunci papan itu tetap bergeming. Grip-nya nggak mau mencengkram boots Milly.
"Hamba kudu ottoke, Tuhan!" Dia menjerit frustrasi, masih melompat-lompat di atas papan.
"Mil, lo—"
"Stop, stop! Lo brutal bener, sih, Bund?" Pin mendahului gue mendekati Milly. "Peraturan pertama masang ski, salju nggak boleh numpuk di bawah boots dan pijakan ski lo. Bersihin dulu."
Pin nolongin Milly membersihkan salju dari sepatunya dengan ujung tongkat ski, diikuti Rei yang merekam keduanya. Gue melirik Pita, beberapa meter di depan Milly, mengetuk-ngetukkan sol boots pada papan skinya.
Gue meluncur dan berhenti di sisinya, lalu menancapkan tongkat. "Bisa, Pit?"
Dia melirik kamera Mas Eko sekilas, sebelum menaikkan goggles dan tersenyum ke gue. "Baru bersihin saljunya, Kak. Bismillah." Kaki kanannya menghentak keras satu kali, lalu grip papan ski langsung mencengkram boots-nya.
"Yes. Yes!" Pita meninju-ninju udara dengan raut seakan barusan menang undian gosok berhadiah. Gemes. Saking gemesnya gue nggak sanggup menahan senyum.
Gemes mana sama Sri, Bang?
Gue celingukan kanan-kiri. Sumpah, barusan ada suara Liam.
Suara ketukan benda keras lain menyadarkan gue. Pita sedang membersihkan boots kiri dengan cara seperti sebelumnya. Kemudian dia menghentakkan kaki sekali, dua kali, tiga kali, tapi grip papan ski enggan mengunci kakinya.
"Boots lo kurang maju," ujar gue.
"Udah mentok, Kak," desisnya, menendang kecil ujung pijakan dengan sedikit terengah.
Gue melepaskan papan ski dari boots gue, lalu menghampiri dan bertekuk lutut di dekat kaki kiri Pita. "Jangan dipaksain. Boleh gue lihat?"
Dia mengangkat kaki takut-takut. Wajar sih, berat banget buat cewek. Satu tangan gue menahan boots-nya, sementara tangan lain mencuil gumpalan salju keras yang menyumbat sisi bawah sol. Yang begini nggak mempan kalau cuma diketuk-ketuk atau dikorek tongkat ski.
"Sorry, Kak, sorry!" Dia panik karena refleks menjambak rambut gue.
"It's okay, pegang apapun jangan sampai lo jatuh." Menjaga keseimbangan dalam posisi begini memang nggak mudah, dan lagi sejak tadi tongkatnya tergeletak. "Tahan bentar, ini numpuk di bawah sepatu lo."
Gue mengeruk gumpalan salju secepatnya, dalam hati harap-harap cemas supaya dia nggak jatuh. Untungnya, ada tarikan-tarikan kecil di jaket atau rambut gue sebagai tanda dia masih berdiri.
•°•°•
Pin serius dengan rencananya mengurangi screen time sama Pita. Dia langsung mengiyakan waktu Milly minta diajarin dia—yang mana gue yakin emang sengaja. Menyisakan gue sebagai satu-satunya opsi buat Pita.
Gue menatap Pita dengan prihatin dibuat-buat. "Terima gue apa adanya, ya, Pit?"
"Apaan, sih?" Dia tertawa menyikut gue. Andai nggak ada kamera yang mengharuskan kami terlihat akrab, gue yakin dia bakal ngentangin gue lalu belajar sendiri dari YouTube.
Kami sepakat buat belajar di tempat yang datar dan sepi dulu. Sepuluh menit pertama, at least Pita mulai paham kuda-kuda dasar. Baru bisa meluncur dua meter tanpa jatuh saja dia sudah menjerit kesenangan.
"Bisa. Bisa! Alhamdulillah, bisa—eh, uh, stop! Kak, gimana cara berhentinya?!"
Gue bergegas menangkap Pita dari depan. Ada jeda sebelum akhirnya dia mendorong gue menjauh dan menemukan keseimbangannya lagi.
Gue berdeham pelan. "Ada dua cara buat berhenti. Pertama, rapatkan bagian depan, bentuk semacam sudut runcing segitiga tapi jangan sampai bersentuhan. Kedua, menikung, alias belok."
Gue memasang papan ski lagi, lalu meluncur ke arah Pita, menunjukkan gerakan segitiga yang gue maksud. Dia manggut-manggut, kemudian mencoba mempraktikkan. Tapi, baru bergeser dua meter, dia terpeleset dan jatuh tanpa sempat berteriak.
"Kaki depan lo melebar, Pit. Buat merapat di depan." Gue menghampirinya lantas menancapkan tongkat. Pita guling-guling nggak jelas, berusaha bangun, tapi dengan papan ski di kedua kaki tentu saja nggak semudah itu.
Dia berjengit saat gue ikut menjatuhkan diri. "Kak!"
"Lemesin dulu, Sis. Rebahan." Gue nyengir.
Menuruti gue, dia tergeletak pasrah selama sekian detik hanya memandangi langit cerah. But the show must go on, jadi gue menoleh Pita lagi begitu kamera Mas Eko mendekat.
"Buat posisi kedua papan lo sejajar di atas salju. Miring kanan atau kiri, pilih senyaman lo." Gue mencontohkan miring kiri, "First thing first, duduk dulu," lalu duduk perlahan dengan bantuan kedua tangan bertumpu pada salju.
Pita menaikkan goggles sebelum bersusah-payah menggeser satu kaki agar sejajar dengan yang lain. Dia tersenyum lebar meski sambil ngos-ngosan setelah akhirnya berhasil duduk. "Next, Kak."
Semangat dia bikin gue tersenyum. Gue menumpukan kedua tangan lagi pada salju. "Tangan harus neken ke bawah, jangan lepas dari tanah. Kepala turun, belakang naik. Kayak lo rukuk pas salat." Dengan sedikit nungging dan gerak tangan perlahan, gue berhasil berdiri kembali lalu merentangkan tangan. "Yatta (Hore)!"
Pita menatap gue antusias. Dia segera meniru apa yang gue contohkan, tapi mengalami kesulitan ketika merunduk.
"Kak, licin, nggak bisa!"
"Bisa. Gerakkan tangan lo pelan-pelan."
"Nggak bisa!" Dia mendorong permukaan kuat-kuat, tetap gagal.
"Pelan, Pit. Kepala turun, belakang naik!" Jeda sesaat karena gue mencari kalimat yang proper, tapi nggak nemu. "Jangan lepas tangan dari tanah. Belakang lo kurang naik. Nungging!"
"Ini udah nungging!"
"Kurang! Setinggi-tingginya kek cita-cita!"
"Ngomong doang gampang. Bantuin!"
"Bantu apaan? Ngangkatin bokong lo?!"
"KAK HANS!"
Shit. Mas Eko malah ngakak nonton kami. Gue memohon supaya yang barusan di-cut dan Mas Eko memberi gestur OK. Gue melepas papan ski lalu bergegas menghampiri Pita dari depan, mengulurkan tangan.
Pita berpegangan pada lengan gue disertai raut marah yang nggak sanggup gue deskripsikan. Mampus. Dahlah, yang penting dia bangun dulu. Tapi meski sudah pegangan gue, dia masih juga terpeleset.
Gue mendengkus lelah. "Udah, lo diem gue tarik."
Pita pasrah kedua tangannya gue tarik sekuat tenaga. Baru berdiri sepersekian detik, dia tergelincir dan nyaris jatuh lagi andai gue nggak lebih cepat merangkul pinggangnya, merapatkan dia di tubuh gue.
Matanya membesar karena terkejut. Dari jarak sedekat ini, gue baru sadar warnanya cokelat terang, and they are beautiful.
•°•°•
"Mau naik ke puncak beginner hill sana?" Gue menawarkan setelah kami berlatih kurang-lebih setengah jam.
Dia menancapkan tongkat ke salju, menaikkan goggles, memandang jauh ke arah yang gue maksud. "Mau banget. Tapi menurut Kak Hans sendiri gimana? Dengan kemampuan segini, emang saya udah cukup siap naik ke sana? Ini ngerem aja belum lancar."
"Menurut gue lo siap naik ke sana," gumam gue. "Naik ke pelaminan yang gue nggak tahu."
Tampang Pita langsung asem.
Nggak salah, sih. Gue yang ngardus, gue yang mules. Cuma Mas Eko yang langsung ngakak dan lagi-lagi gue minta yang barusan di-cut.
Kami naik ke puncak beginner hill menggunakan fasilitas kursi gantung kapasitas dua orang yang disediakan resort. Sampai di sana, supaya aman, kami langsung ambil posisi di lajur kiri yang sepi. Pita mengamati gue setelah memasang goggles-nya.
"Kakak nggak meluncur juga?" Dia mengarahkan tatapan ke kaki gue yang tanpa papan ski.
"Ntaran aja. Gue perlu memastikan lo sampai di bawah lagi dengan selamat. Bokap lo yang titip ke gue."
Dia nyengir sinis. "For your information, saya dititipkan ke semua orang termasuk Pak Hamdan, Mas Eko, dan Bu Rena. Kak Hans cuma salah satunya."
I know. Tapi terlepas dari itu, keselamatan Pita adalah prioritas gue. Gue nggak mau dia menabrak atau ditabrak pemain lain dalam perjalanan ke bawah.
Pita mulai meluncur dengan kecepatan siput. Bahkan gue yang jalan kaki masih lebih cepat dari dia. Ujung depan ski-nya selalu rapat untuk menekan kecepatan. Sesekali ketika dia kesulitan mengendalikan kaki, gue akan memeganginya, atau gue biarkan jatuh jika situasinya masih aman. Nggak ada keluhan apapun. Dia sudah terbiasa dengan usaha-usahanya buat bangkit lagi, dan gue suka.
Suka mana sama Sri, Bang?
Gue menepuk telinga karena suara Liam. Refleks.
"Kenapa, Kak?" tanya Pita.
"Oh," gue mengibaskan tangan, "lalat."
Bibir Pita maju. "Nggak ada serangga yang keluar di suhu minus begini, Kak. Mereka sudah migrasi ke daerah hangat sebelum winter, atau bikin sarang nyaman jauh di bawah tanah, atau hibernasi, atau mati tapi sebelum itu mereka ninggalin telur-telur di tempat hangat yang nantinya menetas pas musim semi dan jadi generasi serangga baru."
Gue menganga. Astaga, cewek ini.
Ah, gue lupa dia Pita Janari. Juragan cabe yang suka bagi-bagi kentang.
Jarak 300 meter kami tempuh dalam 30 menit. Lama juga ternyata gue mengawasi dia. Padahal rasanya cepet.
Begitu sampai di bawah, kami langsung melepas papan ski. Buat penutup episode ini, Mas Eko meminta gue take meluncur bareng Pin, tapi Pin masih dalam perjalanan turun sama Milly. Sambil menunggu mereka, kami duduk-duduk di salah satu bangku panjang sambil menikmati onigiri.
"Gue mau cari minum di vending machine," kata gue, setelah membuang plastik onigiri. "Lo titip apa? Ocha? Jus? Isotonik?"
"Ocha dingin, Kak. Duitnya ntar, ya, dompet saya di locker."
"Gampang." Gue beliin lah. "Ocha dingin? Nggak kedinginan lo?"
"Panas, Kak, panas!" Dia ketawa dan mencomot satu onigiri lagi, lalu menghadap kamera Mas Eko. "Buddies, di sini tuh suhunya emang minus tapi ternyata nggak dingin. Sama sekali. Malahan panas! Apa karena sambil olahraga, ya? Nih, saya keringetan segede biji jagung." Dia menunjukkan dahi yang sudah tanpa helm dan basah kuyup. Helaian poninya menempel di kulit.
Gue geleng kepala dan tersenyum meninggalkan mereka. Iya, sih, gue juga keringatan karena bergerak. Nggak dingin sama sekali meski di gunung dan sana-sini salju tebal.
Waktu gue balik, kamera Mas Eko sudah dimatikan, tapi Pita nggak ada di tempatnya. "Ambil barang di locker katanya," jelas Mas Eko setelah gue menyerahkan kopi kalengan.
Pita keluar dari gedung beberapa menit kemudian, langsung duduk bersama kami lagi.
"Nggak usah diganti, gue traktir—" kalimat gue terputus karena yang dia berikan bukan uang, tapi plester luka.
Dia menunjuk pipinya. "Kakak luka."
Gue mau meraba pipi sendiri tapi dia mencegah. Dia mengeluarkan sebungkus tisu antiseptik dari pouch yang dibawanya. "Bersihin dulu."
Gue menyerongkan wajah. "Nggak kelihatan gue. Bersihin."
Yang barusan cuma iseng. Sumpah. Nggak mungkin gue nggak bisa bersihin sendiri, but to my surprise, Pita bersedia membersihkan luka yang gue bahkan nggak ngeh kapan dapetnya. Tumben, banget.
Dia juga yang menempelkan plester motif Anpanman itu menutupi luka gue. Nggak bakal gue lepas sampai balik ke Indo.
"Saya benar-benar bersenang-senang seharian ini. Makasih, Kak Hans." Dia tersenyum, kecil, tapi tulus. Dan cantik, banget.
Cantik mana sama Sri, Bang?
•°•°•
Bakal komen apanih netizen +62 buat episode Sapporo ini?
Minami-Kusatsu, Shiga, 30 Januari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top