"For better or worse."

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

"BESOK rencananya gue pakai kalung ini, masuk dong sama high bun kita?"

"Masuk banget, apalagi leher lo tinggi mulus. Pasti cakep! Itu kalung dari Kak Hans juga?"

"Yap, salah satu good luck charm dari kesayangan. Gemes banget, tiap ngebeliin apa-apa dia bilang good luck charm. Biar dipakai terus sama gue, katanya."

Meski kecil, tawa seru Kak Sashi dan ketiga temannya terdengar jelas dari tempatku. Good luck charm dari Kak Hans, ya? Aku juga punya. Wilhelmina Pepermunt di tanganku ini. Aku mencari di internet, rupanya ini permen asli dari Belanda. Pas dengan bungkusnya yang dominan biru-putih. Pantas saja Kak Hans bilang permen ini nggak dijual di Indomarem dan kalau mau minta harus ke dia.

Dua bulan yang lalu saat perpisahan adalah terakhir kalinya aku bertemu Kak Hans. Kurasa nasib nggak akan sebaik itu memberiku kesempatan kedua bertemu lagi dengan cinta pertama, apalagi sampai membuatnya menyukaiku juga. Too good to be true. Untuk sekarang, Wilhelmina Pepermunt yang cuma satu-satunya ini kusimpan sebagai kenang-kenangan.

Kukembalikan good luck charm itu dalam saku kemeja, lalu menyandang ransel. Aku harus segera pulang. Aku ingin makan malam yang enak, menamatkan Detektif Conan terbaruku, lalu tidur lebih awal yang nyenyak. Besok adalah hari-H JHSC. Aku nggak berharap banyak untuk menang, tapi aku nggak boleh mengecewakan Bu Ningsih dan yang lain dengan mempersiapkan diri yang terbaik sebagai center diva grup.

Terlebih, aku mau Kak Hans tersenyum waktu menonton performance kami nanti meski cuma melalui dokumentasi video. Semoga.

Aku menghampiri Kak Sashi dan ketiga temannya, bermaksud sekadar menyapa dan berpamitan pulang, tapi saat melihatku datang, mereka berempat terdiam. Kak Sashi beranjak dari duduknya.

"Ini punya lo?" Kak Sashi menyodorkan buku paranada dengan namaku pada kovernya. Rasanya aku nggak mengeluarkan buku itu dari tas hari ini.

"Iya, punya saya. Makasih, Ka—" Mau kuambil, tapi Kak Sashi menjauhkan buku itu.

Kak Sashi menggulung bukuku lalu tersenyum. Begitu pula Kak Tiara, Kak Maria, dan Kak Wulan. "Ikut kita dulu. Gue mau ngomong sesuatu."

Senyuman mereka aneh. Aku nggak suka.

Aku menelan ludah. Bagaimana pun, aku harus mengambil buku paranada itu. Bisa gawat kalau mereka tahu halaman belakangnya. Tunggu, jangan-jangan aku dipanggil karena mereka sudah tahu?

Aku mengikuti mereka sampai gudang tua di belakang gedung aula. Gudang yang sudah nggak digunakan lagi, kosong, berdebu, pengap, dan minim cahaya. Tempat ini menyeramkan. Aku nggak suka. Aku mau pulang. Tapi bukuku ....

Kak Wulan menutup pintu. Kak Maria dan Kak Tiara berdiri di belakangku. Kak Sashi berdiri di hadapanku. Selama ini, Kak Sashi selalu tersenyum dan menyapaku dengan ramah, tapi siang ini seringainya benar-benar berbeda. Aku hampir menunduk ketika dia mendekat hingga ujung sepatunya menginjak sepatuku.

"Lo yang nulis ini?" Dia mengangkat bukuku yang terbuka pada halaman belakang.

Keringat meluncur deras dari pelipisku. Ada apa? Kenapa mereka mengepungku?

"Jawab!"

"Iya—" aku menunduk dalam. "Iya, saya, Kak ...."

"Baca!" Kepalaku dipukul buku. Aku berjengit. Tangan gemetarku spontan menangkap buku itu.

Aku menggeleng dalam tunduk. Kepalaku didorong. Aku oleng tapi dua orang di belakang mendorongku maju lagi.

"Ayo, dong, yang skor ekspresinya sampai 10, pasti bisa menghayati banget baca surat cinta pertama untuk kakak kelas ganteng tersayang!" Kak Maria terkekeh menepuk-nepuk bahuku.

"'Bravo! Outstanding! Soul kamu kuat sekali, saya suka, Pita!'" Kak Tiara menirukan ucapan Bu Ningsih di telingaku. "Mana nih, penyanyi soulful anak emas Bu Ningsih? Soul-nya cuma lagu doang? Baca puisi juga bisa kali."

Kak Sashi menyuruh Kak Wulan menyalakan lampu gudang, lalu merampas buku dari pelukanku.

"Soulful. Right. Itu juga yang sering cowok gue mention soal lo. Lo punya potensi besar. Jadi sekarang ...." Kak Sashi menyobek halaman belakang bukuku. Kertas itu dipukulkan dan didorongkan ke kepalaku. "Baca. Baca dengan penuh penjiwaan sebagaimana lo mencurahkan semua isi hati untuk cowok gue yang nggak bakal mau sama anak seburik lo."

Kupeluk kertas itu sebelum jatuh. Kak Sashi menyuruh Kak Tiara mengeluarkan ponsel dan bersiap merekam. Apa, merekam?! Aku menggeleng. Aku harus menolak tapi suaraku terhambat di tenggorokan.

"Baca, atau ...." Kak Sashi mengangkat ponselnya. Ada suratku. Tulisanku. Dia sudah memotretnya entah kapan. "Atau gue story-in supaya satu sekolah tahu, termasuk cowok gue, dan dia bakalan muntah baca surat menjijikkan macem ini."

Ibu jarinya bersiap di atas tombol 'Done'.

"Kak, tolong ...." Hanya itu yang bisa kukeluarkan. Aku takut. Aku sangat takut. Kak Hans nggak boleh mengetahuinya.

"Baca!"

"Kak ... saya minta maaf ...."

"Gue hitung mundur. Tiga."

Aku harus merebut ponsel itu. Tapi sebelum aku melakukannya, satu dorongan keras mendarat di keningku.

"Lo nantangin gue?! DUA!"

"Kak!" Aku melorot memeluk satu kakinya. Aku gemetar. Aku menangis. Semuanya buram. Aku nggak bisa berpikir jernih. "Kak, tolong jangan ...."

Aku ditendang hingga tersungkur. Aku terbatuk karena menghirup tumpukan debu dari lantai semen. Aku masih bergerak. Aku masih berdiri tegak. Tapi napasku sesak dan kepalaku serasa akan meledak.

"Satu. Time's up!" Tawanya mendekat satu jengkal di depan wajahku. "Oke, kalau itu pilihan lo, gue post seka—"

"Tunggu!" Aku menjerit tanpa berpikir. Kuhapus air mata serampangan dan segera memungut kertasku. "Iya, saya baca. Jangan post, Kak, tolong jangan!"

"Yaudah buru pake nangis segala!" Pipiku ditoyor keras. Sakit. Sakit sekali ....

Badanku gemetaran. Tanganku mengalami tremor. Satu menggenggam kertas, satu lagi menghapusi air mata yang nggak bisa berhenti. Aku nggak bisa membaca apapun dengan air memenuhi mataku begini. Kemudian kepalaku dilempar lembaran tisu yang langsung jatuh semua.

"Benerin mata lo. Jangan main-main sama kesabaran gue."

Kupunguti tisu-tisu itu untuk menghapus air mata. Baiklah. Aku bisa melalui ini dengan cepat. Mereka berani main fisik. Aku bisa saja nekat melawan, tapi kalau sendirian sama saja cari mati. Cara tercepat keluar dari sini adalah melakukan apa yang mereka minta.

Keselamatanku yang paling utama. Cuma membaca saja, kan? Nggak sulit. Ini nggak semengerikan itu.

"Dear ... Kak Hansel." Suaraku terseret karena tubuhku menggigil. Biarkan saja. Tetap tunduk.

♥♥

Dear Kak Hansel,

Aku cuma mau bilang kalau Kakak itu cinta pertamaku. Kakak tahu kenapa? Karena ....

H – Hangat tatapanmu, sehangat sinar mentari yang mampu melelehkan bekunya gunung es hatiku.

A – Aduhai, sikapmu pun seelok parasmu. Aku bertanya pada bintang di langit malam, bagaimana lelaki sesempurna dirimu bisa ada di dunia ini?

N – Nomor satu di hatiku, jangan ragu. Nggak ada yang lain, suer! Belah dadaku, cuma nama Kak Hansel yang terukir di sana.

S – Sayang sungguh sayang, hatimu sudah ada yang memiliki. Ah, lagian mustahil remah gorengan seperti aku masuk radar Kakak, kan?

E – Egoiskah kalau aku cuma mau Kakak tahu perasaanku? Tapi, jangan bilang siapa-siapa. Ini rahasia. Bikin sambel jangan lupa pakai tomat. Kak Hansel, I ....

L – Love you so much! <3

Dear Kak Hansel,

Aku sayaaaaaaaaaang banget sama Kakak. A-nya ada 10 tuh, Kak. Tapi, aku sedih, aku nggak bisa ketemu Kakak lagi. Meskipun Kakak nggak suka sama aku, jangan lupakan aku, ya, Kak? Aku ingin diingat sama Kakak, nggak apa-apa biarpun cuma sekelebat.

Penuh cinta, center diva pilihanmu,

Pitaloka Janari Dahayu. 10 A 1.

♥♥


Selesai.

Terdengar suara tanda rekaman berakhir. Air sudah menggenang di pelupuk mataku sejak tadi. Dan—

"HAHAHAHAA!!!" Tawa mereka meledak.

"Ap-apaan tadi? Sehangat sinar mentari yang melelehkan bekunya gunung hatiku? Buset gilak!"

"Bertanya pada langit malam? Yang bener aja, lo kesamber petir mampus lo!"

"Emang minta dimampusin nih anak. Tadi nyuruh belah dada, kan? Mampus beneran, Goblok!"

"Eh kata siapa goblok? Pinter nih anak, tau diri, remah gorengan macem dia kagak bakal masuk radar cowok gue! Bikin sambel jangan lupa pakai tomat. Kak Hansel, I love you so muuuch! Utututu ...."

Kepalaku ditoyor sana-sini. Tubuhku oleng karena dorongan kesana-kemari. Caci-maki tawa mereka menggema menyesakkan hatiku. Air mataku pecah. Aku meraung, mengamuk, menampik siksaan bertubi-tubi dari tangan jahat mereka. Aku ingin melawan, sungguh!

Tapi, kakiku dijegal. Aku terjatuh. Aku disepak beramai-ramai tanpa diberi kesempatan bangun. Aku meringkuk. Aku berteriak meminta ampun tanpa tahu apa salahku. Aku cuma mau mereka berhenti. Tapi, mereka menyumpah-serapahi aku supaya mati.

Mungkin ... nggak ada buruknya jika aku mati. Lagipula, aku punya Mama di sana nanti. Aku bisa memeluk dan mencium Mama sesuka hati.

Satu cengkraman keras di rambut serasa merobek kulit kepalaku. Aku dipaksa menengadah. Kelopak mataku sulit dibuka. Aku nggak bisa melihat siapa. Dia mendesis di depan hidungku.

"Ya ampun lo pasti bangga banget, ya, bisa menggeser posisi gue sebagai center diva bagi cowok gue?" Kak Sashi tertawa pelan. "Sayangnya, cewek cupu burik dekil macam lo nggak akan menggeser posisi gue dari hatinya. Dia cuma ngasih lo permen sebiji. Nggak usah besar kepala, Najis!"

Aku tahu.

Aku sangat tahu itu.

Tapi kenapa dia melakukan ini padaku ...?

"Dengar baik-baik karena gue nggak mengulangi. Besok, setelah lo datang dan tampil sebagai center diva, gue akan nyebarin surat dan video barusan. Biar semua orang tahu betapa norak dan pathetic-nya elo ngemis-ngemis cinta ke cowok orang."

"Aaa ...." Kata 'jangan' tersangkut di tenggorokanku.

"Kecuali, lo nggak datang besok. Paham maksud gue?"

Ya. Dia menginginkan posisi itu cuma untuknya.

"Girls! Lo nggak berniat bunuh nih anak, kan? Mang Dadang lagi patroli, buruan!" Seruan Kak Wulan yang sejak tadi berjaga di pintu terdengar jauh.

Kepalaku dientakkan menghantam lantai semen. Mereka menendangiku untuk terakhir kali sebelum terburu-buru keluar dari sini.

•°•°•

Sejak lulus SMA, aku mengubah beberapa hal dariku yang sebelumnya kupandang sebelah mata. Aku mulai merawat tubuhku dengan baik sebagaimana harusnya anak perempuan. Internet memperkenalkanku pada skincare dan makeup yang sering disebut sebagai salah satu parameter self-love. Katanya, merawat dan memperindah tubuh adalah bentuk syukur kita atas diri sendiri, yang jika dilakukan dengan rutin akan meningkatkan kepercayaan diri.

Sebelumnya, aku nggak mengerti hal-hal semacam ini. Mungkin karena sejak Mama nggak ada, aku kehilangan satu-satunya teman perempuan di rumah yang selama ini jadi tempat berbagi. Bukannya aku nggak bisa berbagi sama Papa atau Abang, tapi tentu saja terbatas, karena bagaimana pun juga mereka laki-laki. Kalau ada apa-apa, Mama lah orang pertama yang kuberitahu, bukan mereka.

Sifat tertutup ditambah cuek dengan penampilan adalah dua poin yang membuatku susah bergaul saat SMA. Bagiku, kedua hal itu bukan dosa karena nggak mengganggu siapapun. Namun, setelah pengeroyokan waktu itu dan aku nggak bisa melawan, aku sadar bahwa sesuatu harus berubah, yaitu aku. Aku harus kuat, harus punya pertahanan diri luar dan dalam.

Sayangnya, praktik nggak segampang mengumpulkan tekad. Aku masih nggak tahu harus apa dan bagaimana, tapi seenggaknya aku sudah keluar dari padus toksik itu. Beradaptasi dengan teman-teman peneliti di KIR jauh lebih mudah untukku, meski kami nggak sedekat itu. Pengalaman dua tahun di KIR juga sangat membantuku selama berkuliah di Ilmu Gizi.

Lingkungan baru dengan orang-orang baru adalah awal baru untukku. Mempelajari skincare, makeup, dan buku-buku self-improvement remaja adalah modal dasarku meningkatkan kepercayaan diri, dan itu lumayan berhasil. Kehidupan kampusku menyenangkan karena dikelilingi teman-teman yang positif. Mereka juga yang mendorongku ikut audisi The Super Show, yang awalnya cuma iseng karena mereka menyukai suaraku setiap karaokean.

Seharusnya aku tahu, bahwa menyanyi adalah jembatan yang menghubungkan Hans dan aku. Sejak awal selalu begitu, kan?

Hans adalah alarm-ku, pengingatku, yang membangunkan keberanianku yang selama ini mendekam di bawah selimut bernama insecurity. Aku berterima kasih atas itu. Mungkin sedikit terlalu berterima kasih hingga diam-diam jatuh cinta padanya. Itu kesalahanku dulu.

Aku nggak akan melakukan kesalahan yang sama. Hanya saja, konsekuensi kesalahan masa laluku sudah naik ke permukaan. Setidaknya, jutaan masyarakat pengikut lambe-lambean di Instagram dan Twitter sudah menertawakanku dengan tagar #DearKakHansel, #BikinSambelJanganLupaPakaiTomat, dan #KakHanselILoveYouSoMuch. Terbukti sekarang trending topic Indonesia dikuasai oleh ketiga tagar itu.

Itu kata Kak Pin, aku nggak lihat sendiri. Dia menyita ponselku. Untuk sementara, dia melarangku terhubung dengan internet demi kebaikan mentalku. Kecuali Papa. Papa sudah menghubungiku lewat Kak Pin, itu saja. Aku nggak mau hipertensi Papa kumat karena mencemaskanku.

Kak Pin juga menonaktifkan notifikasi ponselnya. Pagi ini, dia membawaku menuju Dogo-koen, sebuah taman besar yang nggak jauh dari ryokan. Kami berjalan kaki menikmati terik matahari di tengah udara dingin.

Kak Pin merangkulku sepanjang jalan. Kak Pin nggak bisa diam. Dia terus-terusan bicara padaku. Dia menunjuk setiap bonsai, teratai, dan semua tanaman yang kami lewati. Dia mengganggu burung-burung merpati yang terbang rendah supaya mereka mengejarku, membuatku berlarian kesana-kemari. Melihatku ngos-ngosan, dia terbahak puas lalu menempelkan sebotol ocha hangat di pipiku.

Kami menuju sebuah dek observasi dan naik ke lantai dua. Kami minum di atas sambil mengedarkan pandangan pada panorama Kota Matsuyama dari ketinggian. Jangkauan pandang sejauh-jauhnya seketika membuatku merasa kecil, terasing, dan damai.

Kedamaian sesaat, aku tahu. Terima kasih kepada Pinandito Adiatama Rahagi dan lengannya yang sejak tadi bertengger bahuku. Aku menoleh padanya dan tersenyum.

"Why don't you ask me, Kak?"

Dia membalas tatapanku. "Ask you what?" tanyanya. Aku memicingkan mata, lalu dia sadar. "Oh. Gimana biasanya aja lah, Pit. I don't need to ask you, right? Lo butuh pendengar, sini datang ke gue, gue siap. Tapi kalau kondisinya begini, gue khawatir sama lo, gue nggak bisa diem aja. Walau lo belum bisa cerita ke gue, at least gue mau lo tetap waras dan berkepala dingin."

Aku mengembus lega. Tersentuh.

"Thank you, Kak. Kalau nggak ada lo di sini sama gue, mungkin gue udah terjun bunuh diri." Aku tertawa datar.

Dia terkekeh juga lalu menyentil keningku. "Jangan ngomong aneh-aneh. Lo mau gue dituntut Om Agus karena nggak jagain putrinya dengan bener? Lagian emang lo berani bunuh diri?"

"Well," aku mengangkat bahu, "I tried once, it didn't work."

•°•°•

"Eneng teh kenapa kotor semua gini? Innalillahi, ini jidatnya berdarah, Neng! UKS sudah tutup, Mamang antar ke puskesmas sini, ya?"

Mang Dadang, satpam sekolah, menemukanku menangis di gudang tua. Tanpa bukti konkrit perbuatan Kak Sashi, aku cuma bisa bilang aku jatuh. Lagipula, aku nggak punya siapapun di sekolah ini. Mang Dadang membantuku berjalan keluar gerbang. Aku berterima kasih dan menolak tawarannya. Aku menyeret langkah menuju perempatan di mana aku biasanya menunggu angkot.

Kali ini, bukan angkot yang kutunggu, tapi lampu hijau.

Ada suara-suara dalam kepalaku yang memandu. Jika kecelakaan kecil merenggut nyawa Mama perlahan-lahan menuju sekarat, mungkin, tabrakan dahsyat akan seratus kali lebih menyakitkan. Tapi, aku nggak mau sekarat. Aku nggak mau melihat Papa menangis, sebagaimana dulu Mama melihat kami menangis di detik-detik kepergiannya.

Aku cukup berdiri di tengah-tengah situ. Tronton dari kanan akan menabrakku begitu lampu hijau menyala. Aku mulai melangkah. Sedikit lagi, aku bisa bertemu Mama. Senyum Mama sudah menungguku. Mama akan mendengarkan semua aduanku sambil memelukku, mengusap kepalaku, dan menciumiku. Aku bersedia menukar hidupku yang sia-sia ini demi bersama Mama lagi. Mati digilas tronton sakitnya cuma sekejap mata, kan?

Aku nggak ragu lagi. Aku sudah berdiri di sini. Aku akan bersama Mama, sesaat lagi. Aku menutup mata.

Tapi ....

Nggak ada yang terjadi. Hanya deru angin kencang dari kendaraan yang melewatiku di depan dan belakang. Lalu, jeritan nyaring klakson memekakkan telingaku hingga bedenging. Aku tuli. Aku membuka mata.

Tronton merah itu menjulang di depan mataku. Beberapa orang menyeretku ke trotoar lagi. Sebagian mengkhawatirkanku, selebihnya mengumpatiku. Aku digiring ke pos polisi terdekat. Aku bergeming hampa sepanjang interogasi. Polisi menyerah. Aku dikembalikan ke sekolah yang sesuai dengan identitas seragam tartanku.

Sekolah sudah sepi, hanya ada Mang Dadang yang akhirnya menghubungi waliku. Bang Elang menjemputku. Sepanjang jalan pulang, air mataku mengalir deras meski aku nggak menangis. Bang Elang menanyaiku, membentakku, mengata-ngataiku sakit jiwa karena terus saja membisu dalam kondisi babak-belur.

Nggak ada satupun yang memahami sakitku ini kecuali Mama.

•°•°•

Kak Pin terperangah tanpa kata, mulutnya sedikit terbuka.

Aku mengangkat pandangan ke langit hanya supaya air mataku nggak jatuh. Aku mencoba tersenyum. "Itu dulu, Kak. Gue pernah sebodoh itu. Nggak heran deh kalau gue diketawain dan dikata sakit jiwa."

"No, they shoudn't." Kak Pin menggenggam satu tanganku. Aku menoleh, menemukan tatapan cemas di kedua matanya. Satu tangannya yang lain mengusap kepalaku. "Are you okay?"

No, I am not.

I really am not.

Dadaku sesak. Aku ingin berteriak hingga pita suaraku rusak. Aku ingin menangis sekencang-kencangnya hingga paru-paruku pecah. Aku ingin meledakkan semua amarah yang menyesakkan kepalaku. Aku ingin memuntahkan segalanya hingga kelelahan dan tertidur lelap, kalau bisa, untuk selamanya.

"Yes, I am." Namun, bagaimana pun, aku nggak bisa. Aku harus menunjukkan pengendalian diri yang baik. "Thank you for understanding, Kak."

Kak Pin mendekat, menatap mataku lekat-lekat. Entah apa yang dilihatnya dariku. "Don't hold back. You're not a robot, lo boleh jadi sangat emosional di depan gue dan gue sangat memahami itu. I'm fine with that."

Kak Pin memelukku. Seenggaknya, selain Papa, aku punya dia yang nggak akan meninggalkanku. Begini saja cukup. Aku mengendurkan pelukan kami dan tersenyum.

"What should I do now? Manajemennya Hans pasti marah besar. Apa mereka sudah kontak ARTs?" tanyaku.

"Really? Kita membicarakan ini, sekarang?"

"Why not? Lebih cepat lebih baik. Gue mau ini segera selesai, Kak."

Dia mengusap kepalaku lagi. "Bukan waktu yang tepat. Gue mau lo feeling better dulu, Pit."

"I feel so much better because of you, Kak." Aku tertawa pelan.

Kak Pin membuka mulut lagi, tapi kalimatnya seakan tertahan karena melihat sesuatu. Dia melepaskan tangan dan menjauh dariku. Aku mengikuti arah pandangan matanya.

Aku menemukan Hans, di sana, di dekat anak tangga terakhir. Kabut napas putihnya memburu, dia terengah-engah menatap kami.

"I need to talk to her."

Aku menelan ludah. Kak Pin menatapku dan aku menahan napas. Dengan bodohnya aku tersenyum dan mengangguk, padahal aku tahu, aku belum siap untuk ini. Aku nggak siap menghadapi Hans dalam keadaan seperti ini.

Kak Pin menepuk punggungku dua kali. "Gue di bawah." Dia turun setelah bertukar tatapan dengan Hans yang dilewatinya.

Sekarang, hanya ada Hans, aku, dan jarak dua meter dia antara kami. Dia maju selangkah dan, spontan, aku mundur selangkah. Dia berhenti di sana.

Aku harus mengatakan sesuatu. Pertama-tama, aku tersenyum memandang pepohonan di belakangnya. Aku nggak sanggup menatap matanya.

Dia sudah melihat semuanya, itu pasti.

Dia datang untuk menuntut ganti rugi karena mencoreng nama baiknya.

"I-I am," aku menjeda untuk mengatur napas, "maaf soal kegaduhan yang terjadi karena saya, Kak. Saya akan bertanggung jawab. Tolong kasih saya waktu. I really am sorry."

Hans bergeming. Aku menyatukan kedua tangan yang gemetar di belakang punggung. Wajahku sesak dan pengap. Setelah ini, dia akan menghujatku seperti semua orang. Bagaimana caranya menutup telinga?

"May I hug you?"

Itu yang dikatakannya dengan wajah sendu. Jantungku mencelus. Pertanyaan macam apa itu?

"What's with the sudden question? Saya nggak paham ...."

"I don't know. I—" dia mengentakkan kepala, meremas wajah dengan kedua tangan, dan menyugar rambut. Aku melihat keputusasaan di matanya. "I miss you. I miss you. I miss you so bad that I cannot see clearly anymore. Am I out of my mind? I just want to hug you but the thing is ... I do not touch a woman without asking for consent, especially, the one I love."

Permintaan suara beratnya memukul tepat di jantungku.

Bola mataku memanas. Air mataku merebak. Sekali lagi, aku nggak bisa berpikir. Kedua bibirku bergetar, bertanya, lirih.

"How much can I trust you?"

Hans menjawab, "For better or worse."

Aku tertunduk. Aku mengangguk, sangat pelan.

Tepat setelah itu, Hans meraihku.

Tangis sesakku pecah dalam dekapan eratnya. Dia nggak mengatakan apapun. Hanya derap jantung kencangnya yang bisa kudengar, bercampur raunganku yang teredam di dadanya. Hans memperkuat rengkuhannya, mengusap punggung serta kepalaku, lantas mengecup keningku. Lama, dan dalam.

•°•°•












Ayo jujur-jujuran.

Kalau kalian baca surat cinta viral macam yang Pita tulis itu, tanpa tahu siapa Pita, tanpa ngefans sama Pita atau Abang, tanpa tahu yang sebenarnya di balik surat itu ... yakin nggak ikutan ngetawain (atau minimal "dih apaan sih, ga penting, stupid people famous") seperti Sashi dkk?

Minami-Kusatsu, Shiga, 6 April 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top