"Aku jemput kamu, ya?"

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

DENGAN sangat perlahan, gue menutup pintu kamar dari luar supaya Pin dan Rei nggak kebangun. Gue menyalakan ponsel untuk menerangi jalan sampai ke ruang tengah. Pita masih terlelap di sofa, tubuhnya meringkuk ke samping, kedua tangannya terkepal di depan dada.

Gue berlutut di dekatnya, memperhatikan wajah tidurnya. Kalemnya mengingatkan gue pada bayi kucing yang dulu banget gue piara bareng Liam. Saking gemasnya, kami bertengkar karena rebutan pengin tidur bareng bayi kucing itu. Tapi bukan berarti gue jadi pengin tidur bareng Pita, oke? She's just ... small.

Tiba-tiba dia bergidik dengan kening berkerut. My bad, bawah selimutnya terinjak kaki gue hingga sedikit melorot. Gue membenahinya, membungkus cewek ini sebadan-badan hanya menyisakan kepalanya. Sekarang dia mirip bayi kucing dibedong.

Gue meraba kening dan pipinya. Thank God, obat yang dia minum bekerja dengan baik. Tidur juga pules banget, gue pencetin hidungnya kayak babi dia diem aja. Tadinya gue khawatir karena dia ngotot tidur di ruang tengah karena nggak mau nularin Milly dan Bu Rena. Mau gue katain sok kuat, tapi nyatanya dia memang kuat.

"Hans, what's up?" Suara Nyokap terdengar dari AirPods yang terpasang di telinga. "Papa bilang kamu mau tanya cara masak sama Mama? Mau bikin apa?"

Gue beranjak perlahan menuju dapur. "Nasi padang. Can you, Ma?" Kalau nggak salah Nyokap pernah bikin pas acara kumpul keluarga. Gue menyalakan lampu dan mulai membongkar isi kulkas. "Aku tadi beli daging sekilo, tiga kaleng nangka, santan, kelapa parut kering, bumbu ...."

Gue mengeluarkan semuanya di atas kitchen island dan mengabsen satu-satu pada Nyokap. Setelah selesai, pertanyaan Nyokap adalah, "Ini kamu mau masaknya kapan?"

"Right now." Gue mengeluarkan dua panci marmer dari cupboard di bawah.

"Hans? This is midnight, ya Allah!"

"Rencananya buat sarapan, Ma. Aku baca di internet ngerebus dagingnya butuh waktu lama, dan di sini nggak ada presto, jadi aku masak sekarang. Bisa, kan?"

"Ya bisa aja, Mama cuma nggak ngerti kenapa kamu tiba-tiba ngidam nasi padang?"

"Not me. Idol kesayangan Mama tuh."

Jeda sekian detik sebelum Nyokap menjerit panik. "Pita ngidam?! Kenapa mintanya ke kamu?! Jangan bikin malu Mama! Itu anak perawan orang kamu apain?! Tanggung jawab kamu!"

Well ... "Bye, Ma, assalamu—"

"Iya iya, oke."

Bisa gue bayangkan Nyokap manyun di seberang sana. Profesi dokter nggak membuat Nyokap kehilangan jati diri sebagai emak-emak yang terkadang imajinasinya rada dangdut.

Dituntun panduan Nyokap, gue mulai merendam daging yang sudah berupa lembaran dengan sari nanas. Sementara menunggu daging lunak, gue mencampurkan bumbu-bumbu instan sesuai takaran lalu menumisnya. Kata Nyokap sampai wangi. Tapi bukannya wangi, yang ada hidung gue kebakar cabe. Nyokap ngakak tengah malam lantaran gue nangis plus bersin dahsyat kagak kelar-kelar.

Khawatir Pita terbangun, gue mengintip sebentar. Dia masih pulas membelakangi gue. Sigh.

Setengah jam kemudian semua selesai, tinggal menunggu bumbu daging rendang dan gulai nangka meresap. Nyokap sudah balik tidur. Gue mencuci semua peralatan masak dan setelahnya duduk di salah satu kursi kitchen island. In case gue ketiduran, gue ngeset alarm jam 01.15 pagi buat matiin kompor.

Walau sebenarnya gue nggak berniat tidur. Gue memeriksa pesan dari Theo, teman seangkatan dan ketua padus gue dulu.

Theo
For real? Asli gue lupa Pita Janari itu junior kita kalo bukan lo cerita. I mean dia emang bukan sosok yg memorable. Dan dia yg sekarang udah versi glow up dari yg dulunya plain, sumpah gue pangling lo bilang dia junior kita.

Gue menggigit bibir. Yeah, Pita memang nggak mencolok, tapi bukan berarti gue lupa sama sekali. Sama kayak Theo, gue juga pangling setelah waktu itu gue ngubek-ubek cloud tujuh tahun lalu dan menemukan foto bersama padus. And yes, she was there, nyempil malu-malu di belakang barisan.

Gue mengetik balasan lagi.

Lo inget dia pernah bermasalah selama padus nggak? Sama siapapun? Sama gue misalnya.

Theo
Seinget gue nggak ada. Kenapa bro? Lo bentrok sama dia di sana?

Nope, I'm just curious.

Theo
Padus putri kenapa lo nggak tanya Sashi? Dia pengurusnya.

Sashi itu satu angkatan di bawah gue dan di atas Pita. Pacar gue pada zaman itu sekaligus pengurus padus putri. Of course dia orang pertama yang gue japri sebelum Theo, tapi dia juga nggak tahu. Cuma sekadar ingat. Dia juga bilang Pita baik-baik saja selama padus.

Kemungkinannya adalah Pita sendiri yang bermasalah sama gue. But why? Apa benar dia pernah baper dan merasa gue PHP-in seperti yang Pin bilang?

Gue melipat kedua lengan di atas meja dan merebahkan kepala, memandang kompor listrik yang masih merebus nangka dan rendang. Menilai dari karakter Pita, juga keanehan-keanehan yang ditunjukkannya, gue rasa ini nggak sesederhana dia pernah baper ke gue. Ada puzzle pieces yang hilang entah ke mana.

•°•°•

Waktu membuka mata perlahan, gue melihat seorang bidadari sedang mengaduk isi panci di atas kompor dengan spatula. Dia tampak buram namun berkilauan. Gue masih loading memandangi kecantikannya, sampai bidadari itu meneriaki gue, "Dagingnya gosong, Kak!"

Gue melompat bangun menghampirinya. Oh shit. "Rendang gue!"

"Makanya kalau masak jangan ditinggal molor! Untung saya kebangun! Ini juga kenapa exhaust-nya nggak dinyalain, sih?! Mau smoke alarm-nya bunyi bikin heboh warga sini?! Mau masuk headline koran Jepang dengan judul 'Turis Indonesia Membakar Satu Unit Ryokan Karena Ketiduran Saat Memasak Rendang', hah?!!"

Omelan Pita nggak berhenti di situ. Mulut kecilnya terus nyerocos panjang-lebar sementara tangannya dengan cekatan memindahkan rendang satu-persatu ke piring. Setelah gue perhatikan, sebelum ini dia juga sudah memindahkan gulai nangka—yang juga mengering kehabisan air—di satu mangkuk di atas meja. Exhaust dapur ini juga pasti dia yang nyalain. Mau istri cantik dan sat-set-sat-set begini cari di mana, ya?

"Ini udah semua? Ada lagi yang mau Kakak masak?" Pita bertanya setelah meletakkan sepiring rendang di samping nangka. Tatapannya masih menusuk-nusuk gue.

"Harusnya ada daun singkong rebus nggak sih? Tapi gue nggak nemu di tokonya, Pit. Sorry." Gue tersenyum memohon permakluman dia.

Dia mengernyit. "Kok sorry ke saya?"

"Gue nemu interview lo di YouTube, di situ lo bilang suka nasi padang. Bener nggak?"

"Gimana? Jadi maksudnya ..." Pandangan bingungnya mengarah pada rendang, nangka, panci-panci gosong, dan berakhir di gue lagi. "Ini Kak Hans masak buat saya?"

Ditodong pertanyaan frontal dari kedua mata cokelat terangnya yang membesar itu, mana bisa gue nggak kicep. I lost it. Jantung gue berdebar hebat, muka gue panas, dan situasi nggak nyaman ini membuat gue berpaling memperhatikan nangka dan rendang yang nahas di meja.

"Ini parah banget, ya?" gumam gue lebih ke diri sendiri. Gue menyendok sepotong rendang yang menghitam tanpa minat. "Dijadiin dendeng bisa nggak, sih?"

"Saya maunya rendang."

Pita mengambil sendok dari tangan gue, menyisihkan beberapa bagian yang sehitam arang dari tumpukan rendang itu. Satu-persatu dengan cekatan dan teliti. Setelah selesai, dia memeriksa keresek berisi bumbu-bumbu instan di sebelahnya, berpikir sebentar, lalu tersenyum ke gue. Manis.

"Boleh minta bumbunya, Kak? Ini rendang saya masih bisa diselamatkan."

'Rendang saya'.

Dia mau nerima rendang gosong gue dan mengakui sebagai rendangnya? Dear God, beneran, mau istri apresiatif begini gimana caranya?

Urusan rendang gue percayakan di tangan Pita, sementara gue mengolah ulang gulai nangka sesuai instruksi dia. Gue menggunakan kompor satunya, sambil meratapi nasib, kenapa di depan Pita gue selalu kentang alias kena tanggung sih? Niat awal gue mau masakin dia, kenapa malah jadi masak sebelahan?

Kalau di sini ada Sri, dia bakal ngatain gue 'gak mbois blas'.

Speaking of Sri, belakangan ini gue ngerasa ada yang aneh. Bukan dia, tapi gue. Dia tetap lucu, enerjik, dan menyenangkan. Tapi pas melihat dia, I wonder why gue nggak se-excited biasanya.

"Nasinya segini, Kak? Kurang? Kebanyakan?" Pertanyaan Pita menyadarkan gue. Dia menunjukkan sepiring nasi panas yang baru dikeluarkannya dari rice cooker.

Antara bingung tapi bahagia, gue memastikan, "Itu buat gue? Lo ngambilin gue?" yang entah kenapa terdengar bego.

Pita memutar bola mata. "Kak, jangan lemah dong. Diambilin nasi sama cewek doang meleyot. Buruan ini nasinya seberapa saya juga mau makan!"

Lo abang gue bukan sih? Meleyot mulu perasaan.

Jam 3 dini hari, gue dan Pita makan nasi padang porsi kecil. Kami sepakat menyimpan sisanya buat sarapan bareng yang lain. Selesai makan, Pita menyabuni semua peralatan sementara gue membilas di bak sebelahnya.

"Tinggal aja, Pit, gue beresin," kata gue, nggak enak hati mengingat dia masih recovery dan seharusnya istirahat lagi. Bukannya ngurusin kekacauan gue di dapur. "Anyway thank you, Pit, gue nggak tahu apa jadinya kalau lo nggak bangun dan matiin kompor. I'm sorry. I owe you."

Dia mendengkus singkat. "Please be careful. Dapur termasuk salah satu area paling berbahaya di rumah."

"Will do." Gue membasuh piring di bawah aliran air. "Tapi, Pit, kenapa dari awal lo nggak bangunin gue? Kenapa lo biarin gue tidur? I mean, this is purely gue yang blunder, seharusnya lo bangunin gue dan serahin ini semua ke gue."

Dia menggosok panci dengan busa, lalu memindahkannya ke bak gue sambil menjawab, "Karena saya rasa Kakak pasti secapek itu sampai ketiduran di kitchen island."

Uhm...

Coba, kasih tahu gue gimana caranya supaya nggak makin meleyot.

"Kalau Kakak penasaran, I'll tell you. Truth is, saya nggak punya makanan kesukaan spesifik," ujar dia lagi, tetap fokus ke cucian.

"Tapi interview itu ...?"

"Waktu Mama masih ada, kami suka makan ke rumah makan Padang setiap weekend. Papa, Mama, Abang, sama saya. Kami milih lauk beda-beda biar saling nyicipin. Rendang itu andalan Mama saya."

"I see." Gue tersenyum menerima panci darinya. "Rather than makanan kesukaan, nasi padang adalah makanan yang punya arti buat lo dan keluarga."

"Sort of." Dia melirik dan membalas senyum gue.

"Lo sendiri milih lauk apa?"

"Kalio cumi isi tahu-telur."

Senyum gue mengembang lebar. Kalio cumi. Noted that.

•°•°•

"Souka (Oh gitu), Mas Hans beli bahan-bahan nasi padang di situ?" Dalam perjalanan menuju lokasi hari ini, Rei yang berdiri di depan gue menunjuk toko bahan pangan halal yang baru saja dilewati bus kami. Gue mengiyakan. "Dua stasiun dari ryokan kita ada restoran Indonesia. Memang agak jauh, tapi ada macam-macam masakan termasuk nasi padang. Kok nggak bilang saya kalau mau makan nasi padang, Mas? Kalau tahu kemarin saya temani ke sana."

"Saya sudah ke sana tapi kebetulan banget nasi padangnya sold out, Rei. Udah kemaleman kali, ya? Jadi nyari bahan terus bikin sendiri." Gue mengangkat bahu.

"Yang gue heran lo tuh terniat banget, Hans," celetuk Milly di belakang gue. "I mean, nasi padangnya harus detik itu juga? Nggak bisa nunggu dua bulan lagi kita balik? Lo mirip laki gue pas gue suruh cariin ini-itu waktu jaman gue ngidam—"

Bus ngerem mendadak. Gue spontan mencengkram tiang sekuat-kuatnya. Milly memegangi lengan gue. Semua penumpang terdiam sampai permintaan maaf dari sopir terdengar via speaker.

Sayangnya, insiden kecil ini membuat gue terpaksa menyaksikan Pita nyaris terjungkal ke depan, tapi lengan Rei memeluk pinggangnya dari belakang, kemudian mereka saling berbisik, sangat pelan dalam jarak sedekat itu.

"Thanks—"

"Don't mention. Menolong perempuan yang saya suka itu wajar."

Tapi gue nggak budeg.

•°•°•

"Buat Travel Buddies pecinta otomotif, especially yang cowok nih biasanya, pasti nggak asing dengan Kota Nagoya yang selalu disebut sebagai pusat otomotif nomor satu di Jepang. Gimana nggak? Karena ada tiga industri otomotif raksasa yang berpusat di Kota Nagoya. And today, kita bakal keliling di museumnya salah satu perusahaan tersebut."

Gue merangkul Pin di depan kamera utama. "Yep! Perusahaan mobil yang satu ini distribusinya worldwide sampai masuk Indonesia, dan ... Pin, gue boleh jujur nggak, sih?"

Pin menaikkan sebelah alis. "Yes please, Hans. Kejujuran dan komunikasi adalah pondasi utama sebuah hubungan."

Gue ketawa. "Ya gue kuatir disangka BA-nya kalau gue bilang ini brand mobil gue."

"Really? Which model?"

"Let's see mobil gue dipajang di dalem apa nggak." Tatapan gue kembali ke kamera. "Oh sorry, Buddies, daritadi kita belum ngenalin brand-nya. Sebelum itu, gue mau ngenalin dulu pendirinya, yaitu Mr. Sakichi Toyoda. I repeat, nama beliau adalah Sakichi Toyoda. Menurut lo brand mobil apa tuh?"

•°•°•

Toyota Commemorative Museum of Industry and Technology, atau gue singkat TCMIT.

Satu dari sekian lokasi tujuan ATW yang gue antisipasi karena—as I said before—ini pabrikan mobil gue. Meski nggak banyak yang tahu bahwa dulu, awalnya, Toyota bergerak di industri tekstil, bukan kain.

Pita dan Milly lagi nyobain mesin tenun di area mesin tekstil. Mereka heboh sekali menarik buntalan kapas yang secara ajaib menjadi benang. Gue lega karena Pita sudah baikan, dia banyak tertawa, she's having so much fun dibandingin waktu sakit di LEGOLAND kemarin.

Seharusnya gue juga having fun. Yeah, seharusnya, andai apa yang gue lihat dan dengar di bus tadi nggak menghantui pikiran gue. Pada situasi tadi, Rei bilang 'perempuan yang saya suka' which means itu merujuk ke Pita, right? Tapi Pita biasa aja, cuma sedikit nggak nyaman, bukan surprised, seolah dia sudah tahu.

Atau, dia memang sudah tahu? But how? Gimana bisa?

Makanya pepet, Bang!

Okay, gue mepetin Pita tapi ini cuma karena ada yang janggal dengan masa-masa sekolah kami dan gue harus menyelesaikannya supaya lega. That's it. Selesai.

Hanya saja, gue nggak bisa menampik bahwa kedekatan Pita dan Rei berhasil mengacak-acak mood gue seharian ini. At least semangat gue di depan kamera tetap prima, terutama di bagian mega showroom mobil-mobil Toyota. Pak Hamdan terlihat puas dan nggak minta gue sama Pin retake. Setelah kamera dimatikan, gue minta izin cuci muka di restroom buat mendinginkan kepala.

What an irony, ini winter tapi gue malah kepanasan.

Keluar dari restroom, gue memutuskan untuk nggak langsung bergabung dengan rombongan dan berkeliling sendiri, sambil memeriksa ponsel.

Theo
Hi bro, just want to tell you in case lo belum tahu. Pita di padus cuma setahun pas kelas 10. Sejak kelas 11 dia keluar and moved to KIR. Gue denger dari temen yg dulu anak KIR.

Gue mengernyit saat mengetik balasan. Pita keluar dari padus dan gabung KIR pas kelas 11, artinya waktu itu gue baru lulus. Itu menjelaskan kenapa gue baru tahu hal ini. Tapi yang gue nggak paham ....

"Jadi, mobil Kakak yang mana?"

Senyuman Pita yang sudah di sebelah gue terlihat lebih menarik daripada ponsel. Gue menyimpannya kembali dalam saku coat. Kami jalan bersama melihat-lihat deretan Corolla tahun 1980 yang dibatasi pagar tali.

"Nggak ada di sini." Gue mengangkat bahu.

"I know, tadi Kakak juga bilang pas on-cam. Toyota, kan? Model yang mana? Ini dari ujung ke ujung Toyota semua emang nggak ada? Atau Kakak cuma sok asik ngaku-ngaku punya Toyota buat nyamain tujuan kita hari ini."

Dia menatap gue, sorot matanya penuh keingintahuan yang menuntut. Gue tersenyum menahan tawa.

"It's used to be a part of Toyota, tapi sejak 2000an dia mulai beroperasi mandiri dari segi desain, mesin, pabrikannya, dan lebih dikenal sebagai brand sendiri, known as Lexus."

"Lexus?" Dia menunjuk deretan mobil jauh di depan kami. "Tuh Lexus kuning dua pintu. Gila, mobil sultan emang beda."

"Beda model, Sayang. Mine's sedan LS F Sport type. Aku jemput kamu, ya?"

Langkah Pita berhenti. Gue mengikuti.

Tatapan dia makin sengit and surprisingly gue makin suka. Bring it on, Nona.

"Sorry, apa?"

"Aku jemput kamu, ya? Pulang dari sini, nanti, di Jakarta."

"Sebelum itu."

Gue pasang tampang mikir. "LS F Sport type? Sorry cuma Lexus, kamu nggak papa, kan? Pacific Place belum buka parkiran kuda putih."

Dia tersenyum, mendekati gue, dan ya, sangat cantik. "Saya nggak nyaman dengan kode-kode semacam itu, jadi langsung saja. Are you falling for me now, Hansel?"

Satu alis gue terangkat. Itu bukan pertanyaan yang gue harapkan.

"What makes you think so?"

"Let's get this straight. Awalnya saya pikir Kakak sekadar penasaran tentang masa sekolah saya, tapi makin ke sini Kakak makin kelewatan. Pertama, Kakak gampang baper karena hal-hal kecil yang saya lakukan, semisal nempelin plester luka atau ngambilin nasi. Kedua, Kakak melakukan hal-hal yang saya nggak minta seperti bikin nasi padang tengah malam, buat mengambil hati saya, perhaps? Ketiga, Kakak mau punya anak kayak saya? Oh well, Pak Hamdan's right, kita harus nikah dan berumah tangga supaya Kakak punya anak yang seperti saya. And last but not least, apa yang terjadi dengan 'gue-elo' yang satu menit lalu berubah jadi 'aku-kamu'?"

Wow.

Gue menahan diri untuk nggak ngasih applause. Harus gue akui nona satu ini adalah 180°-nya Sri. Anti telmi-telmi club.

"As expected anak KIR selalu punya kemampuan observing di atas rata-rata, ya, Pit?"

Dia menganga syok, "KIR?!" Oh, look, she's cute.

"Jadi itu yang terjadi sama Rei?" Gue melanjutkan. "Mungkin dia nembak kamu, atau kamunya yang frontal bertanya, 'are you falling for me?'. Either way, kamu menjelaskan panjang-lebar bukti-bukti yang mengarah ke sana like you did just now. Kamu menolak dia dengan alasan nggak nyaman, aku tahu insta love Rei bukan tipemu, tapi masalahnya Rei nggak mundur segampang itu. Feel free to correct me if I'm sotoy."

Matanya masih melebar dengan mulut sedikit terbuka, tapi Pita hanya bergeming, jadi gue asumsikan perkiraan gue nggak meleset.

Gue menunduk agar mata kami sejajar, lalu menuliskan HANS pelan-pelan di keningnya dengan telunjuk gue. "Ini segel yang berarti kamu nggak bisa nolak aku dengan cara seperti itu, ataupun cara-cara lain, dan satu-satunya opsi yang kamu punya adalah terima aku. Aku punya tempat yang nyaman untuk kamu, di sini, di sampingku."

Dia terkesiap. Dia tersentak dan mundur menggosok keningnya keras-keras dengan raut merah padam nggak terima. Gue tertawa pelan, menegakkan diri lagi, menahan tangannya, dan menyisiri rambut depannya yang kacau dengan jari-jari gue.

"By the way, Pita Janari, have I mentioned that I do fall for you?"

•°•°•

Maap, Neng Pita, Abang cuma ada Lexus putih, bukan kuda putih.

Minami-Kusatsu, Shiga, 19 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top