"Adiknya suka, Mamanya suka, kamunya nggak suka juga?"
Terima kasih dan selamat membaca 💕
•°•°•
WAKTU yang tertera di layar ponselku adalah 10.05 PM JST (Japan Standard Time) saat kami menyusuri lorong garbarata setelah keluar dari pesawat. Petugas berseragam yang berjaga di persimpangan mengarahkan kami ke kiri di mana satu gerbong monorel telah menunggu. Kami menaikinya bersama beberapa penumpang lain, dan setelah pintu geser otomatis menutup, gerbong bergerak mengantar kami ke terminal 3 kedatangan internasional.
"Pit, nggak duduk?"
Kak Pin menunjuk priority seat yang ditempati Kak Milly mengingat kondisi gerbong lumayan sepi. Aku menggeleng, memilih mendekati jendela kaca dan memandang jauh ke luar bandara Haneda malam hari. Bulan nggak terlihat, tapi lampu-lampu konstruksi, menara pengawas, dan gedung terminal memberikan pencahayaan yang cukup. Aku menajamkan penglihatan, mengamati butiran putih kecil yang turun satu-persatu.
"Yuki."
Aku menoleh. Ibu bendahara merangkap manajer sudah berdiri di kananku. "Salju perdana Bu Rena juga?" tanyaku.
Beliau menggeleng dan tersenyum. "Nggak dan iya. Tahun kemarin season Australia dan NZ saya udah ngerasain salju. Kalau Jepang baru kali ini."
"Salju Australia sama Jepang sama nggak, Bu?"
"Beda, Pit, di Aussie saljunya item, di sini putih," celetuk Mas Eko yang muncul di kiriku. Aku tersenyum kecut. "Jangan cemberut ini on-cam*, lho." Dia menunjuk kamera mini yang melingkar di kupluk kepala.
* on-camera, kamera sedang merekam
Aku tertawa pelan dan melambaikan jari ke kamera itu. "Travel Buddies, alhamdulillah saya udah landing di Haneda, nih. Sekarang lagi di dalam monorel menuju gedung terminal kedatangan. Habis ini kita cek karantina sebentar, bikin KTP foreigner di imigrasi, klaim bagasi dan custom, baru kita cuss ke Tokyo kota. Iku-yo (Let's go)!"
•°•°•
Sesuai SOP pemeriksaan, kamera dan clip-on mic yang melekat di pakaian kami harus dimatikan. Klaim bagasi dan pemeriksaan custom kami lewati tanpa kendala berarti. Selagi menunggu zairyū card dicetak, kami berganti pakaian di rest room yang tersedia. Begitu semua proses selesai, kami keluar ke lobi kedatangan dan ternyata sudah ditunggu Rei-san.
Rei-san adalah asisten produksi magang merangkap tour guide kami selama di Jepang. Dia WNI domisili Tokyo dan sedang menempuh pendidikan S2 di Todai* fakultas humaniora dan sosiologi. Todai, lho, Todai! Kampus peringkat satu di Jepang dan 30 besar dunia. Keren gila.
* Tokyo Daigaku / Universitas Tokyo
Begitu kami keluar bangunan terminal menuju parkiran, angin dingin luar biasa menampar-nampar wajahku. Kurapatkan jaket di badan meski hawa dingin tetap menyusup melalui pergelangan tangan dan leher. Embusan napas kami semua menderu dan mengepulkan asap putih. Sensasinya persis di film-film!
Kejutan lain seakan menantiku ketika tiba di spot parkir minibus sewaan Rei-san. Ada lapisan putih lembut menutupi seluruh atap kendaraan itu.
"Salju!"
Kak Milly, Kak Pin, dan Bu Rena memilih masuk duluan karena dingin. Yang lain sedang mengatur bagasi di belakang. Aku sendiri melompat-lompat di samping mobil, berusaha meraih setidaknya satu-dua genggam salju.
Dan, yes, dapat satu.
Dari artikel yang pernah kubaca, kalau mau merasakan salju, coba keruk bunga es dari freezer kulkas tua jaman dulu. Ternyata benar, salju persis seperti bunga es itu. Aku mengepal-ngepal segenggam salju itu membentuk bola, dan begitu selesai, kedua sudut bibirku terangkat tinggi.
My very first snowball. Aku tahu seharusnya aku sangat kedinginan, tapi, dadaku malah hangat karena rasa haru berlipat-lipat. Sosok yang paling kurindukan tiba-tiba melintasi pikiranku.
Mama, lagi apa di sana? Apa Mama bisa lihat aku sudah di Jepang, negara impiannya? Apa-
"Ketombe lo banyak juga, Pit." Serpihan salju jatuh dari kepalaku yang ditepuk-tepuk Hans.
Aku tersentak mundur. Bola saljuku nyaris jatuh tapi Rei-san lebih cepat menangkapnya. Dia tersenyum dan mengembalikannya ke tanganku lagi. "Daijoubu desu ka? (Kamu baik-baik saja?)"
"Da-daijoubu desu. (Baik.)" Aku malah gelagapan. Tadi, aku nggak benar-benar memperhatikan karena Rei-san cuma ngobrol sesama para lelaki, tapi setelah dekat begini, kesannya dia mirip salju, benar-benar soft.
"Tangan kamu merah banget. Nggak sakit? Terlalu lama megang salju dengan tangan telanjang juga bisa bikin luka, lho."
"Iya. Saya cuma mau foto sekali."
Satu tanganku berusaha membuka sling pouch di pinggang, mau mengambil ponsel, tapi jariku terlalu basah, licin, dan beku. Mati rasa. Menarik ritsleting pun aku nggak sanggup. Berkali-kali jariku meleset, susah sekali.
"Sini gue-"
"Biar saya ban-ah!"
Kepala Hans dan Rei-san bertabrakan karena menunduk barengan. Aku berjengit. Waduh, keras banget kayaknya sampai bunyi 'duk' gitu? Mereka mundur mengusapi jidat masing-masing sambil mengerang kesakitan.
Jadi, Mas Eko yang mengambil fotoku pakai kameranya.
•°•°•
"Papa, malam ini sudah makan apa?"
Tadinya, aku nggak berniat menelepon Papa karena di sini sudah hampir jam 1 dini hari, yang berarti di Jakarta jam 11 malam. Mengingat Papa biasanya tidur setelah isya, aku cuma meninggalkan pesan bahwa aku sudah sampai di rumah Rei-san, kota Setagaya. Rupanya Papa belum tidur karena menunggu kabarku. Papa sempat panik waktu tahu suhu Tokyo malam ini -1°C, tapi berangsur tenang waktu kubilang rumah ini dilengkapi AC pemanas.
Aku nggak berlama-lama. Aku cukup tahu Papa baik-baik saja dan sudah makan, jadi segera kuakhiri sambungan supaya Papa bisa tidur. Suaranya udah ngantuk banget.
Jadi, begitulah.
Satu jam yang lalu, setelah sampai di rumah Rei-san, kami langsung menempati kamar yang disediakan dan bersih-bersih diri. Rei-san mempersiapkan 8 porsi ramyun halal instan yang dimasak jadi satu dalam sebuah panci besar, diletakkan di tengah meja kotak ruang keluarga. Aroma umami dari micin menyambutku sebagai yang pertama keluar kamar. Perutku bunyi krucuk-krucuk.
Rei-san tertawa. "Makan duluan aja, Pit. Douzo (Silakan)."
Satu-persatu keluar kamar dan langsung makan bersamaku, kecuali Bu Rena yang masih mandi dan Kak Milly yang lagi video call merayu dua bocilnya yang ogah tidur sama papa mereka. Aku baru selesai makan ketika telepon Papa barusan masuk.
Selesai telepon, aku bermaksud membawa mangkuk dan gelasku ke dapur sebelum seseorang menegurku.
"Pit, salam dari Mama dan Sri," kata Hans, yang rupanya juga barusan menelepon keluarganya.
"Pita doang, Bro? Gue sama yang lain apaan? Ulet transparan yang mengambang di udara?" Kak Pin menyikut Hans yang baru saja duduk lagi di sebelahnya.
Hans tertawa mengambil mangkuk dan sumpitnya lagi. "Ya kagak, salam juga katanya, cuma buat Pita spesial karena mereka suka banget sejak TSS."
"Adiknya suka, Mamanya suka, kamunya nggak suka juga? Tadi bela-belain adu jidat demi fotoin si Pita, lho," sambung Mas Eko, disusul Pak Hamdan yang tertawa menambahkan.
"Nah, tadi juga di pesawat waktu Hans duduk sama Pita, diam-diam dia-"
"Pita bukannya sama Milly, Pak?" Kak Pin menyuarakan keherananku juga. Aku nggak ingat pernah duduk sebelahan sama Hans selama di pesawat.
"Tadi saya lihat tuker seat sama Milly pas Pita tidur. Mungkin kamu tidur juga."
"Iya, pas lo tidur," Hans membenarkan. "Jadi besok acaranya gimana, Pak? Jam 8 ke city hall* registrasi alamat di zairyū card, terus langsung Sapporo. Kita balik ke sini dulu atau langsung Haneda?"
* kantor administrasi all-in-one yang tersebar di setiap kota
"Nah, saya juga mau ngomongin ini," kata Pak Hamdan, buru-buru menelan makanannya. "Enaknya gimana? Mau ke city hall sambil geret koper terus langsung Haneda, atau pulang dulu ambil koper? Bagasi yang handle Mas Eko sama Rei, kan? Saya bantu deh, bawaan saya juga cuma satu backpack. Prioritas kita bagasi 4 travelers, apalagi yang perempuan."
"Count me in lah, Pak. Bawaan saya juga cuma backpack dan koper. Bawain handbag atau geret satu koper lagi masih bisa." Hans mengajukan diri, disambut anggukan setuju Kak Pin.
Kemudian, diskusi keempat pria ini terfokus ke teknis perjalanan Tokyo-Sapporo besok.
Aku melongo. Halooo ...?
Jadi, yang diam-diam dilakukan Hans waktu duduk di sebelahku di pesawat tadi apa?
Kenapa jadi banting setir? Aku penasaran, woy! Hans pasti sengaja membelokkan topik karena aku nggak mungkin meminta Pak Hamdan membahasnya lagi, kan? Dasar saset micin!
Terserah. Nggak mungkin juga dia berbuat yang aneh-aneh di pesawat. Kuputuskan untuk beranjak pergi membawa mangkuk dan gelasku ke dapur. Ternyata Rei-san memang ada di sini, membelakangiku, sedang mengerjakan sesuatu di meja konter dekat dispenser.
"Rei-san, tempat sampahnya yang ini?" Pertanyaanku membuatnya berpaling ke bak sampah yang kutunjuk sebelum membuang mangkuk dan gelas kertasku.
"Ah, bukan, yang itu sampah plastik. Sampah bakar di sebelah wastafel, Ta."
Aku manggut-manggut, membuang sampahku ke plastik besar yang dimaksud Rei-san. Isi plastik itu adalah sampah makanan dan kemasan dari kertas.
Senyumku mengembang takjub. "Rei-san emang biasa misahin sampah, ya? Good habit."
Dia tertawa pelan. "Good Japanese habit lebih tepatnya, Ta, saya kan cuma manut. Semua kemasan di sini ada labelnya berdasarkan tipe: sampah bakar, plastik, sama botol. Harus dipisah di plastik sampah yang berbeda, karena ada jadwal pembuangannya masing-masing."
"Ada jadwal? Buang sampah harus dijadwal?" Kuhampiri Rei-san di konter.
Dia mengangguk. "Senin sampah bakar, Rabu plastik, Kamis bakar lagi, botol sebulan sekali. Itu jadwal region sini. Buang sampah nggak sesuai jadwal bisa kena peringatan."
"Gitu? Sampai ada peringatan? Ketat banget," pikirku. Rei-san terkekeh lagi. "Tapi maksud saya ketat demi kebaikan, dan ini bagus buat membangun kesadaran disiplin sampah di masyarakat. Cool banget. Rei-san pernah kena peringatan nggak, sih?"
"Alhamdulillah nggak dan jangan sampai." Rei-san menolehku lagi. "Ta, manggilnya jangan pakai embel-embel -san, dong. Rei aja boleh. Sama-sama anak lokal ini."
Aku mengulum senyum. "Boleh, tapi Rei-san lebih senior dari saya, kan? Nggak sopan kalau saya cuma panggil nama. Pilih mana: kakak, abang, mas ...."
"Mas, deh. Saya aslinya Surabaya. Kangen sama panggilan 'Mas'."
Aku mengangguk. "Emang selama di sini Mas Rei belum pernah pulang?"
"Sejak S1 saya belum pulang karena ikut ortu pindah kerja kesini. Malah saya dibeliin rumah ini. Makin entah kapan pulangnya, ya?"
"Ntar ikut balik bareng kita aja, Mas. Bisa tuh Pak Hamdan atau Bu Rena dinego nambah seat," candaku, dan Mas Rei tertawa lagi sambil menutup teko di depannya.
Aku pikir itu berisi air biasa, tapi kalau diperhatikan lagi, ada dua kantung teh di dalamnya, dan air bening itu sedikit pinkish.
"Ini apa, Mas?" Kutunjuk teko itu.
"Sakurayu. Teh sakura. Pernah minum, Ta?"
Aku menggeleng. "Pernah denger aja dari Mama. Mama saya suka semua tentang sakura."
"Is it? Beliau pernah minum ini?"
Aku menggeleng lagi, tersenyum pada minuman yang mengeluarkan asap panas tipis dari ujung teko itu. "Mama pernah berharap begitu."
•°•°•
Pak Hamdan menawarkan take minum sakurayu bagi yang mau saja, mengingat ini jam 1 pagi dan kami sudah menghapus riasan, bersiap tidur. Kak Milly yang pusing setelah membujuk Abigail tidur memilih besok saja. Kak Pin, Hans, dan aku nggak keberatan menunjukkan pakaian rumah dan muka polosan kami di kamera.
Mas Eko yang paling antusias karena sekarang kami punya kameramen tambahan: Mas Rei. Sejak di Soetta, Pak Hamdan lah yang memegang kamera kedua. Sekarang ada Mas Rei, beliau bisa lebih fokus mengawasi keseluruhan take.
"Hmm." Kak Pin di sisi kiriku menghidu aroma teh dari bibir gelasnya. "Ada wangi-wanginya, ya. Semacam wangi bunga."
"Sakurayu emang dari bunga kali, Kak. Bunga sakura," sahutku, lalu menyeruput sedikit tehku.
"Lo pernah minum ini, Pit?" tanya Hans di kananku.
"Baru ini, Kak. Sebatas tahu tipis-tipis aja dari baca."
"Tahu apa?"
"Sama seperti teh-teh lain, kandungan sakurayu juga punya manfaat buat tubuh. Kaya antioksidan yang melawan radikal bebas penyebab penuaan dini. Dari sisi kecantikan, antioksidan juga mengurangi kantung mata dan bikin kulit lebih smooth. Ada antiinflamasi juga yang bagus buat menekan merah-merah radang kulit, dan flavonoid buat bantu nurunin kolesterol jahat."
Hans manggut-manggut, aku menyeruput teh lagi.
"Dan kabar baiknya, sakurayu bebas gula dan kafein, jadi aman banget buat diminum sebelum tidur kayak gini," tutupku.
"Wah, cewek ngerti banget, ya. Gue mah tahunya tinggal minum," gumam Kak Pin, aku tersenyum. "Tapi keren gitu, ya, satu minuman ini bisa buat segala penyakit. Sakurayu is a miracle water."
"Gue rasa maksud Pita nggak gitu. Sakurayu nggak bisa menggantikan pengobatan medis, tapi lebih sebagai suplemen yang menunjang pengobatan itu. Misalnya lo punya masalah kulit, yang paling utama tetep berobat ke dokter kulit, dan sakurayu ini baik buat dikonsumsi sebagai pendamping. Dan supaya lebih aman, sebaiknya konsultasi dulu sama dokter sebelum mengkonsumsi suplemen apapun selama pengobatan. Nggak cuma sakurayu. Karena lo nggak tahu obat-obatan dan suplemen itu bakal bereaksi gimana kalau bercampur di tubuh lo. Dokter yang lebih ngerti."
Aku manggut-manggut mendengar tambahan Hans. Mudah dipahami, tepat sasaran, dan terdengar natural karena tanpa skrip. Sial, tapi dari dulu dia memang pro.
Kamera fokus ke Kak Pin yang menutup take dengan kesimpulan rencana perjalanan besok. Aku sudah bisa berlunjur kaki menikmati sakurayu.
"Pit, gue rasa lo bakal nyambung ngobrol sama adik gue."
Kulirik Hans dari bibir gelas, sambil mengingat cewek manis beraksen Jawa kental kemarin siang. "Sri?"
"Bukan, tapi Liam, adik gue yang beneran, dia kedokteran di NUS. Dia suka nulis cerita saintifik dengan penyampaian santai, agak mirip sama lo barusan," jelasnya, meminum teh lalu melirikku. "Tapi Sri juga bisa, sih. Dia keterima di jurusan Bioteknologi dan lagi excited-excited-nya belajar pengolahan pangan."
Aku menurunkan gelas. "Bukannya Sri belum lulus?"
"Lulus UN belum, tapi sudah lulus seleksi rapor di kampus negeri di Malang. Dapat full scholarship dari yayasan alamamater kita."
Wow. "Full scholarship Yayasan Bastari?" Aku memastikan, Hans mengangguk. "Keren banget! Dulu saya juga daftar itu, tapi-"
Mulutku terkatup. Aduh.
Apa kata Hans, tadi? Almamater kita? 'Kita'? Apa dia ingat kami pernah satu sekolah? Apa dia mengingatku? Atau cuma ngetes dan dengan tololnya aku masuk perangkapnya?
Tapi kenapa ekspresinya sama sekali nggak berubah dan masih sepolos itu? Hansel berengsek! Mana yang benar?!
"Ya ampun, Rei!" Kepanikanku bubar karena tawa Mas Eko tiba-tiba memenuhi ruangan. Kami semua menoleh. Mas Eko terbahak menepuk-nepuk bahu Mas Rei. "Kenapa dari awal sampai akhir cuma Pita yang di-shoot? Gantian, dong!"
Semua menertawakan Mas Rei, kecuali Hans yang diam saja dan aku yang meringis. Kenapa cuma aku ...?
Mas Rei membungkuk sedikit. "Gomen (maaf), Mas Eko. Caranya Pita memegang gelas teh itu persis di upacara minum teh, sopan dan klasik sekali. Karena menarik saya jadi lupa harus pindah objek. Sorry, Mas Pin, Mas Hans."
Semua tertawa, kecuali aku dan Hans yang mengamati tanganku. Tangan kiriku menumpu di bawah gelas, dan tangan kananku menggenggam setengah sisi gelas. Aku memang mempelajarinya beberapa kali sebelum ke sini. Aku nggak mengira detail sekecil ini bisa menarik bagi Mas Rei-maksudku, kameramen kedua.
"It's okay. Besok masih shoot sama Milly juga pas sarapan, kan? Santai, Mas, you did good." Kak Pin mengangkat dua jempol.
"Saya juga salah cuma perhatian ke kamera utama," tambah Pak Hamdan. "Besok kita bahas teknis take sambil sarapan, ya. Sekarang istirahat dulu, udah pada nggak fokus, nih."
Yang nggak berkomentar cuma aku dan Hans. Aku meringis karena malu dan menutupinya dengan minum. Sementara Hans meletakkan gelasnya yang masih berisi 3/4 di meja dengan senyum tanpa minat.
•°•°•
Kalo tampang polosan begini biar on-cam pede ajalah 🤭
Minami-Kusatsu, Shiga, 30 Desember 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top