9. SACI - Bekerjasama Dengan Tjokroaminoto

Selamat menenuaikan ibadah puasa! Marhaban ya Ramadhan 1445 H. Sebelum baca part ini jangan lupa tekan VOTE dan ramaikan lapak dengan komentar positif. Maaf kalau SACI sering lambat update. Maklum, penulisnya udah masuk semester 6. Udah mulai nyusun skripsweet. Doain semester 7 sudah sempro yak. Aamiin🤍.

°°°

Byur!

Bunyi gemercik yang keras sontak saja menarik perhatian semua orang. Sabina adalah orang pertama yang sadar jika riak air tadi tercipta karena Tuannya baru saja lompat.

"Meneer!"

Sabina berteriak histeris, langsung berlari menuju jembatan. Mendengar Sabina meneriaki Tuannya, mata Arabella spontan membulat. Ia dan semua orang lantas menyusul Sabina, tak terkecuali Nasution. Pria itu memang ikut berjalan ke jembatan, tapi dengan langka santai. Wajahnya pun tak sama dengan semua orang di sana yang sudah panik bukan main. Justru ekspresi Nasution datar.

"Hans kenapa?!" tanya Arabella panik setelah sampai di jembatan.

"Meneer jatuh ke sungai!" jawab Sabina tak kalah panik.

"Mustahil dia jatuh. Hans sengaja menjatuhkan diri." Arabella menoleh ke dua fotografer dan Nasution yang berdiri sejajar. "Kalian, cepat tolong Hans!"

"Ma--maaf Mevrouw, kami tidak bisa berenang. Sungai ini sangat dalam." tolak si fotografer yang diangguki rekannya.

Mendengar jawaban mereka, Arabella melongo tak percaya. Bisa-bisanya dua orang pria mengaku tak bisa berenang. Pandangannya lantas beralih ke Nasution.

"Nas, kau bisa berenang kan? Pasti bisa, kau prajurit! Kau tolong---"

"Bajuku bisa basah." potong Nasution dengan wajah datarnya yang terselubung penolakan.

Mulut Arabella terbuka. Ia semakin dibuat melongo tak percaya setelah mendengar alasan Nasution. Arabella mengusap wajah frustasi. Tatapannya kembali menatap dua fotografer.

"Daripada kalian berdiri di sana seperti orang bodoh, lebih baik kalian cari bantuan sana! CEPAT!"

"Baik, Mevrouw!"

Mereka berlari pontang-panting segera mencari bantuan. Tersisa Sabina, Arabella dan Nasution di sana. Sabina sudah menangis hebat. Matanya terus menelusuri permukaan air, berharap Alaska muncul. Sementara itu, Arabella dengan wajah memelas mendekat ke Nasution.

"Nas, tolonglah! Dia bisa mati!"

"Dia laki-laki dewasa, sudah pasti dia bisa berenang."

"Tapi sampai sekarang dia tidak muncul ke permukaan, Nasution! Hans tenggelam!"

Nasution diam, tak melakukan tindakan apapun. Permohonan Arabella tak berhasil membuat Nasution tergerak. Melihat itu, Arabella membuang napas gusar kemudian tertawa miris.

"Yasudah, kalau kau tak mau menyelamatkannya, biar aku saja."

Arabella berbalik hendak menuntaskan niatnya, namun dengan cepat Nasution cegah. Nasution mencengkeram lengan Arabella erat.

"Jangan macam-macam!" bentak Nasution, melotot memperingati Arabella. "Dia menenggelamkan diri, mati, itu sudah jadi pilihannya, kau jangan sok-sokan ikut campur!"

"Pikiranmu terlalu pendek! Kau selalu begini, menggampangkan segala keadaan bahkan rasa kemanusiaan. Aku ingin menyelamatkan karena rasa kemanusiaanku!"

"Aku tidak punya urusan dengan manusia di sini, Arabella. Urusanku hanya padamu dan itu pun sudah membuat repot, jadi jangan tambah masalahku dengan kau melompat ke sana!"

Mata Arabella menatap nyalang ke Nasution. Arabella menarik tangannya, coba melepaskan diri dari Nasution, tapi cengkeram pria itu terlampau kuat. Di saat pertengkaran mereka terjadi, tiba-tiba saja terik matahari bertambah terang. Perubahan mendadak ini tentu menarik perhatian Arabella dan Nasution. Mereka serentak mendongak.

Di atas langit matahari terbelah tiga. Ada tiga matahari kembar sekarang yang membuat Nasution dan Arabella melotot kaget. Tak lama dari itu, matahari di tengah memunculkan sinar yang lebih terang ke sungai. Titik area di mana Hans melompat terlihat bercahaya berkat sinar matahari.

"Apa-apaan..." gumam Nasution lirih. Firasatnya mengatakan fenomena ini hadir membawa pertanda.

Secara tiba-tiba Nasution berlari kemudian melompat ke sungai. Arabella yang melihat tindakan spontan Nasution berteriak histeris. Arabella ikut mendekat ke ujung jembatan, berdiri bersebelahan dengan Sabina.

Arabella menoleh ke Sabina. Perempuan itu masih diselungi rasa cemas. Perlahan tangan Arabella menyentuh telapak tangan Sabina, membuat Sabina spontan menatapnya.

"Tenang saja, Hans pasti akan selamat. Percayakan semuanya ke Nasution, orang kepercayaanku. Dia tak akan ingkar janji."

Di dalam air, tubuh Alaska terus tenggelam ke dasar. Samar-samar matanya masih terbuka melihat bayangan matahari. Dalam keadaan itu, Alaska jadi mengenang masa ia di Sekolah Dasar. Dulu, kelasnya membuka praktik belajar renang. Namun, di pertemuan pertama Alaska sudah membuat panik semua orang lantaran tenggelam dan tak sadarkan diri. Pulang ke rumah bukannya dikhawatirkan, Papanya malah melemparkan ia ke kolam rumah yang berkedalaman 4 meter. Alaska masih ingat betul ucapan Papanya sewaktu menyeret dirinya ke kolam.

"Anak laki-laki gak bisa berenang, malu-maluin!"

"Alaska baru belajar, Pa!"

"Yasudah, belajar lagi! Belajar terus! Papa kamu ini Tentara, jangan malu-maluin sama kamu yang gak bisa renang!"

Byur!

Alaska menutup mata sesal. Kejadian masa lampau itu membuat hatinya teriris. Alaska hanya mampu membatin miris setelah mengingatnya.

"Alaska masih gak bisa renang, Papa. Alaska akan tenggelam lagi. Dan kali ini, Papa pasti gak akan menyelamatkan Alaska, karena Papa gak kenal Alaska. Alaska mau pulang."

Lambat laun, Alaska membuka sedikit matanya. Penglihatan Alaska spontan memicing tatkala melihat ada seseorang berenang mendekat. Semakin sosok itu mendekat, Alaska pun dapat mengenali rupanya.

"Papa..."

Nasution datang dengan wajah cemas terpampang jelas. Ia bahkan sempat menangkup wajah Alaska sebelum merangkulnya untuk naik ke dasar. Alaska diam saja, tak protes sewaktu Papanya menyelamatkannya. Alaska sudah tak punya tenaga untuk memberontak. Pria itu pun tampak setengah sadar. Sewaktu berenang ke atas permukaan, tanpa disadari kantong baju Alaska maupun Nasution bercahaya. Dalam kantong itu tersimpan jam rantai mereka masing-masing. Jam itu bereaksi ketika bersentuhan.

Paasshh!

Nasution terbatuk-batuk seusai menggeletakkan tubuh Alaska ke tepian. Nasution menoleh ke Alaska yang tak bergeming sedikitpun. Mata pria itu masih terpejam. Nasution pun bergerak mendekat lantas menekan dada Alaska.

"Hei, bodoh! Bangun! Jelek sekali kalau kau mati karena tenggelam. Minimal mati karena di medan perang." Nasution menepuk keras pipi Alaska berkali-kali.

"Meneer!" Sabina berlari kencang mendekat. Ia ingin ikut bertindak menolong Nasution, namun Arabella cegah.

"Serahkan saja semuanya ke orangku."

"Tapi, Meneer harus segera dibawa ke dalam! Meneer tak sadarkan diri!"

"Orangku tahu apa yang sedang dia lakukan. Percayakan saja semuanya pada dia. Kita tunggu di sini."

Tersirat keraguan di wajah Sabina. Ia tampak serba salah antara mesti mengikuti kata hati yang ingin membantu Tuannya atau berpikir logis dengan menunggu sampai tindakan Nasution berhasil.

Sementara itu, Nasution tidak lagi menepuk pipi Alaska melainkan ia beralih menekan dada pria itu terus-menerus. Dengan cara itu, ia berharap tumpukan air dalam tubuh Alaska keluar.

"Kenapa kau tidak bangun juga? Kenapa kau melompat? Apa yang ada dipikiranmu, berengsek? Tindakanmu hanya akan membuat orangtuamu sedih. Dasar Anak tidak tahu diri!" Nasution menggerutu pelan seraya terus menekan dada Alaska.

Tindakan Nasution membuahkan hasil. Tubuh Alaska terlonjak dan ia terbatuk-batuk mengeluarkan banyak air. Melihat Alaska sudah sadar, serentak Sabina dan Arabella membuang napas legah. Nasution dengan napas terengah-engah terus menatap Alaska tanpa berkedip.

"Meneer! Syukurlah, Meneer selamat!" seru Sabina yang langsung menangkup wajah Tuannya.

Alaska terlihat linglung. Napasnya juga tak beraturan. Sorot mata Alaska lantas beralih ke Papanya. Saat bertatapan dengan Papanya, Alaska langsung teringat jam rantai miliknya. Sontak Alaska meraba-raba seluruh bajunya.

"Mana? Kok nggak ada?"

"Meneer cari apa?" tanya Sabina penasaran.

"Jam rantai saya. Kamu tahu kan? Tadi ada di saku baju."

"Terjatuh di sungai mungkin, Meneer."

Mendengar jawaban Sabina, rasa panik Alaska memuncak. Alaska tak lagi bergerak meraba-raba bajunya, melainkan berpindah meraba ke permukaan tanah. Warna jam rantai itu coklat kekuningan, jadi sulit dicari.

"Minta pekerja di sini saja yang carikan, Hans. Kau mesti segera berganti pakaian sebelum demam." celetuk Arabella yang langsung dibalas oleh Alaska dengan suara tinggi.

"Tapi jam itu dari Papa! Hadiah ulang tahun dari Papa! Kalau hilang, Papa marah!"

Arabella terkejut. Spontan saja ia menoleh ke Nasution. Rupanya wajah pria itu tak jauh beda dengannya sekarang. Nasution bahkan terlihat termangu. Bentakan Alaska memberikan semacam efek telak bagi Nasution.

Kedua mata Alaska tiba-tiba membulat. Ia berhasil menemukan jamnya. Jamnya tergeletak tepat di samping Papanya. Segera Alaska meraih jam itu.

"Hei, itu jamku!" Nasution langsung berdiri, hendak merebut jam di tangan Alaska tapi dengan cepat Alaska menghindar.

"Ini jamku! Jangan berani kau sentuh!" bentak Alaska menggelegar. Matanya melotot lebar membuat Nasution membeku di tempat.

Tangan Nasution meraba saku jasnya. Rupanya jamnya masih tersangkut di dalam sana. Memang benar jam tersebut milik Alaska. Nasution memandang heran Alaska yang tampak ketakutan sekali kehilangan jam itu. Pria itu sampai mengelus-elus jamnya sayang.

"Untung jamnya ketemu, tapi retak dikit. Jamnya rusak. Gimana nih, nanti Papa marah."

"Itu hanya jam. Kau bisa membeli jam baru atau tinggal perbaiki, beres." celetuk Nasution yang langsung mendapatkan pelototan marah dari Alaska.

"Sekarang kau bilang begini, tapi setibanya di sana kau mengamuk! Jam ini rusak gara-gara kau, tapi kau juga yang nanti marah! Dasar menyebalkan!"

Setelah mengoceh panjang lebar, Alaska beranjak pergi begitu saja. Meninggalkan tempat tanpa pamit. Sabina yang ditinggal tiba-tiba terbelalak. Segera ia menyusul sembari berteriak. Berharap Tuannya sudi menunggu.

"Meneer! Meneer mau ke mana?! Tunggu saya!"

Sementara itu Nasution yang dibentak hanya bisa cengo. Detik selanjutnya ia menengok ke punggung Alaska yang menjauh. Alisnya mengernyit.

"Hans kenapa mendadak ngamuk-ngamuk sih?" Arabella mendekat ke Nasution. Nasution lantas menoleh ke perempuan itu dengan wajah kesal.

"Inilah alasan aku malas membantunya sejak awal. Anak itu tak tahu diri! Sudah aku selamatkan nyawanya bukan berterima kasih, tapi aku malah dimarahi. Benar-benar orangtuanya gagal mendidik dia!"

°°°

Mobil berhenti di depan pagar sebuah rumah. Keluar Nasution disusul Arabella dari mobil. Arabella memandangi rumahnya yang gelap gulita mengikuti warna langit malam ini. Keadaan rumah tampak tak berpenghuni.

"Sepertinya Bibi Lies tidak di rumah. Aku rasa sekarang dia ada di rumah judi." celetuk Arabella menoleh sekilas ke Nasution, namun dia terbelalak seketika karena menyadari wajah pria itu pucat.

Tanpa aba-aba Arabella menangkup wajah Nasution. Membuat yang bersangkutan melotot kaget.

"Nas, wajahmu kenapa?!"

"Me--mangnya wajahku kenapa?" Nasution balik bertanya diselimuti perasaan gugup. Pasalnya wajah Arabella amat dekat sekarang. Kedua mata perempuan itu membulat seraya meneliti wajah Nasution. Tampak lucu di mata Nasution.

"Pucat sekali! Astaga, wajahmu pun panas begini!" Arabella menempel-nempelkan tangannya di setiap permukaan wajah Nasution untuk memastikan. "Kau demam, Nas! Ini karena bajumu masih dalam keadaan basah, tidak diganti."

Nasution yang tersadar langsung menjauhkan wajahnya. Tangan Arabella ia lepas secara paksa.

"Sudahlah, jangan pedulikan aku. Kau masuk sana, istirahat."

"Tapi kau sakit! Masuklah dulu ke dalam! Bibi Lies tidak akan pulang malam ini. Dia akan menghabiskan waktu semalaman di rumah judi, jadi singgahlah sebentar. Aku akan mengobatimu."

Tak ada jawaban dari Nasution. Pria itu hanya diam menatap Arabella tanpa arti. Dilihat dari ekspresi Nasution, Arabella mengira pria itu masih belum yakin menerima tawarannya. Oleh sebab itu, Arabella pun kembali meyakinkan.

"Anggap saja ini bentuk balas budiku karena kau mau menyelamatkan Hans."

Nasution tersenyum kecut. "Sekarang karena pria itu setelah Cokroaminoto kau bersikap peduli kepadaku?"

°°°

Nasution mengamati setiap sudut kamar Arabella. Seusai menyetujui tawaran, perempuan itu langsung bergegas mengajak Nasution masuk. Ia menyuruh Nasution singgah dulu di kamarnya untuk berganti pakaian. Arabella sendiri sekarang sedang mencari pakaian milik Pamannya yang mungkin saja ada di simpan Bibi Lies.

"Banyak sekali menaruh cermin di kamar, buat apa sih? Tidak cukup kah satu cermin? Dipikir wajahnya bakal berubah kalau pakai cermin beda-beda?" Nasution menggerutu sambil memandangi dirinya dipantulan cermin. Di moment itu, tak sengaja mata Nasution bertatapan dengan jam rantainya yang tergantung di saku jas. Nasution pun mengeluarkan jam tersebut kemudian menatapnya lama.

Menatap jam itu membuat Nasution teringat kejadian di pabrik. Waktu Alaska memarahinya.

"Dia ketakutan sekali waktu jam itu hilang, tapi saat mengobrol kuperhatikan hubungan Ayah dan Anak itu nampak tidak baik. Aneh." pikir Nasution ikut teringat percakapan antara Hans dan Ayahnya di rumah sebelum mereka berangkat ke pabrik.

"Mungkin karena itu hadiah, jadi terasa punya makna khusus." sambung Nasution lagi, namun detik berikutnya ia berdecak. "Kalau ketemu lagi, aku pastikan bibirnya bengkak. Berani sekali dia membentakku. Dia pikir, dia siapa? Sering berdekatan membuat sifat laki-laki itu jadi sama dengan Arabella. Suka seenaknya dan berani membentakku."

Kemudian Nasution mulai membuka kancing kemejanya satu persatu. Tapi lantaran membelakangi pintu, Nasution jadi tidak sadar dengan kedatangan Arabella. Arabella yang datang membawa pakaian ganti dibuat melotot dan membeku di tempat saat matanya dihadapkan oleh gumpalan otot pria.

Arabella meneguk saliva susah payah. Sempat perempuan itu mematung sebelum akhirnya berteriak lantas berbalik. Arabella menutup muka malu.

"Apa yang kau lakukan?! Kenapa buka-buka baju seperti itu?!"

Alis Nasution mengernyit bingung. "Ganti baju, kan kau yang suruh tadi."

"Tapi, jangan sekarang juga dong. Aku kan belum kasih bajunya."

"Makanya lain kali ketuk pintu."

"Kok kau malah menyalahkanku?! Kau yang teledor tidak tutup pintu!" timpal Arabella tak terima disalahkan.

Satu alis Nasution terangkat. Bingung melihat Arabella masih berada di posisi yang sama. Belum beranjak keluar.

"Lalu, kenapa kau masih diam di sini? Mau melihatku sampai selesai berpakaian?"

"Se--sembarangan! Tidak lah!"

Tanpa menoleh ke Nasution, satu tangan Arabella yang terbebas dari menutup mata menyerahkan baju ganti.

"Ini bajunya! Setelah berganti pakaian, datang ke dapur! Su--dah, itu saja! D--dah!"

Setelahnya Arabella lari terbirit-birit keluar kamar. Tak lupa ia menarik ganggang pintu ketika lewat. Nasution menatap datar pintu yang tertutup rapat.

"Padahal tidak ku apa-apakan, tapi dia sampai setakut itu." gumam Nasution, perlahan tersenyum samar.

°°°

Arabella mengaduk sup daging yang sedang ia hangatkan. Lalu ia berbalik untuk mengambil mangkuk, namun spontan berteriak karena menemukan Nasution sudah duduk manis di meja makan.

"Astaga, Nas, kau mengagetkanku! Sudah berapa lama kau di sini?"

"Kira-kira dua menitan yang lalu, entahlah." jawab Nasution mengendikan bahu. Kepala Arabella geleng-geleng tak habis pikir.

Arabella memindahkan sup daging ke mangkuk. Selesai menghangatkan lauk, Arabella ikut bergabung duduk di hadapan Nasution. Arabella mengambilkan nasi beserta lauk untuk Nasution. Ia lalu menyodorkan makanan itu.

"Makanlah. Kau harus makan yang hangat-hangat kalau lagi sakit begini."

Tatapan Nasution mengedar ke hidangan yang Arabella sediakan. Selain sup daging, Arabella turut membuatkan teh hangat. Semua hidangan itu Nasution terima tanpa berkomentar apapun. Ia mulai memasukkan satu sendok makananan ke dalam mulut. Di seberang, Nasution sadar kalau Arabella terus menatapnya.

"Kenapa?" tanya Nasution sedetik setelah ia menelan makanannya.

"Bagaimana? Supnya enak tidak?"

"Lumayan." jawab Nasution cuek. Bibir Arabella spontan cemberut.

"Pertanyaanku enak atau tidak, mana ada pilihan lumayan di sana."

"Di bawah enak dan di atas tidak enak."

Arabella berdecak. "Sesulit itukah memuji masakanku?"

"Sup ini kau yang masak?"

Arabella mengangguk lesu. Ia masih sebal terhadap penilaian Nasution tadi.

"Kalau yang mencicipi itu Cokro, baru kau akan mendapat pujian." sambung Nasution yang seketika saja membuat Arabella tersenyum riang.

"Sudah pasti itu!"

Bola mata Nasution berputar malas. Kesal melihat perubahan wajah Arabella yang sangat cepat setelah mendengar nama Cokroaminoto.

Beberapa menit hening sempat menyelimuti mereka berdua. Sampai di suatu detik, Nasution bersuara.

"Aku mau cerita."

Arabella sontak menaruh sendoknya. Ia mendongak dengan alis bertaut. "Tumben. Apa itu?"

"Tapi, kau harus percaya kepadaku. Cerita yang akan aku bagikan ini agak sedikit di luar nalar."

Arabella menghembuskan napas malas. "Nas, sejak aku bertemu denganmu, aku sudah biasa terhadap hal-hal yang di luar nalar termasuk perjalanan waktu saat ini."

Nasution melontarkan tatapan membunuh ke Arabella karena ucapan perempuan itu menyindirnya tepat sasaran. Arabella yang mendapati tatapan itu terkekeh canggung.

"Maaf-maaf. Jadi, apa ceritanya?"

Nasution diam sejenak sebelum mulai bercerita.

"Saat aku menyelam ke sungai untuk menyelamatkan Hans, beberapa saat aku sempat melihat pria itu berubah wujud."

"Maksudmu?" tanya Arabella tidak mengerti.

"Di mataku dia berubah jadi Anak kecil, Bel. Umurnya kira-kira sebelas atau dua belas tahun."

"Hah, tunggu! Kejadian yang menimpa kau ini benar-benar di luar nalar rupanya." Arabella diam beberapa saat coba mencerna cerita Nasution agar terdengar masuk akal. Tapi dipaksa bagai manapun, otak Arabella ujung-ujungnya menolak. "Nas, aduh, bisa saja kau salah lihat."

"Tadi katanya kau sudah biasa dengan hal-hal di luar nalar."

"Memang, tapi untuk kejadian ini..." Arabella menggantung kalimatnya. Mendadak ia sulit untuk berkata-kata. "Sudah pasti kau salah lihat sih, Nas, aku yakin. Nas, Hans itu umurnya 25 tahun! Hanya selisih 2 tahun lebih muda darimu. Masa kau lihat dia sebagai Anak kecil sih?"

"Aku juga tidak tahu, Bel, kenapa bisa begitu. Yang jelas saat itu rasanya aku takut sekali melihat dia tidak berdaya di air. Aku bahkan sampai memegang wajahnya untuk memastikan penglihatanku."

Keadaan hening seketika setelah ucapan Nasution itu. Baik Nasution maupun Arabella sibuk dengan pikirannya masing-masing. Meski demikian, mereka juga memikirkan hal yang sama. Soal perubahan wujud Hans waktu tenggelam.

"Bel."

"Hm?" Arabella langsung tersadar saat namanya dipanggil Nasution. Arabella lihat wajah pria itu tampak serius.

"Jangan-jangan Hans sama seperti kita."

Mata Arabella perlahan membulat. Otaknya segera memahami maksud dari ucapan Nasution.

"Maksudmu dia juga orang yang melakukan perjalanan waktu?"

°°°

Selesai berganti pakaian, Alaska duduk di tepian kasur bersiap untuk tidur. Namun, pikirannya malah tiba-tiba teringat pada kejadian di pabrik. Alaska mengambil jam rantainya yang berada di balik bantal. Alaska menatap jam itu sembari memikirkan pertengkaran dengan Papanya seusai ia diselamatkan.

Alaska menghela napas saat memori itu lewat. Ia memijat pelipisnya yang mendadak berdenyut. Kepalanya pusing sejak pulang dari pabrik.

"Sebenarnya gue gak maksud bentak Papa. Cuma refleks aja marah karena dia mau ambil jam ini. Gue cuma takut Papa buka jamnya dan ngeliat foto kita sekeluarga. Gue gak mau Papa dan Mama tahu."

Ceklek!

Pintu terbuka menampakkan Sabina yang masuk membawa segelas susu hangat. Pesanan Alaska yang rutin Sabina bawa sejak peristiwa tempo lalu. Melihat kehadiran Sabina, buru-buru Alaska mengembalikan jamnya ke tempat semula.

"Meneer, ini saya bawakan pesanannya seperti biasa." Sabina memindahkan susu itu dari nampan ke nakas.

Sabina lalu menoleh ke Alaska dan terkejut saat melihat wajah pria itu. Tuannya tampak pucat. Ditambah lagi tatapan Tuannya lesu tak bertenaga.

"Meneer! Meneer sakit?" Sabina langsung meraba panik seluruh permukaan wajah Alaska. Panas. Tuannya demam. "Meneer demam. Ini karena Meneer tenggelam tadi, bajunya basah, jadi masuk angin. Saya ambilkan obat dulu, ya?"

Sabina berbalik hendak pergi, namun Alaska menahan pergelangan tangannya. Alaska menatap Sabina dengan mata sendu lantas menggeleng.

"Jangan tinggalkan saya. Saya mau kamu temani saya di sini."

"Tapi, Meneer harus minum obat supaya cepat sembuh."

"Berobatnya besok saja sama Dokter." ucap Alaska lemah. Ia terus menatap Sabina dengan permohonan yang terselubung. Ditatap begitu membuat pertahanan Sabina pun goyah.

"Baiklah, kalau begitu saya minta pekerja untuk datang ke rumah Dokter Frank menyampaikan pesan Meneer." putus Sabina, sekali lagi hendak beranjak namun kembali Alaska hentikan.

"Tunggu!" Alaska mengeratkan cengkeraman di pergelangan tangan Sabina. "Sama panggil Arabella juga besok pagi, dan---"

Ucapan Alaska mendadak berhenti. Pria itu diam tampak menimbang-nimbang. Sementara Sabina menunggu dengan penasaran lanjutan perintah yang akan Tuannya berikan.

°°°

Sabina kembali ke kamar setelah selesai meminta pekerja untuk menyampaikan pesan Alaska kepada tamu-tamu. Besok mereka semua akan datang memenuhi undangan tersebut. Sabina menaruh kursi di samping ranjang Alaska. Alaska yang telah berbaring tersenyum manis menatap Sabina.

"Saya sudah di sini. Saya akan temani Meneer sampai Meneer tertidur."

"Saya tidak bisa memejamkan mata. Seluruh badan saya rasanya panas." rengek Alaska lemas.

"Meneer butuh apa? Mau saya ambilkan teh? Atau mau dikompres saja supaya dingin?"

Kepala Alaska menggeleng pelan. Ia menolak semua tawaran Sabina.

"Biasanya tiap saya sakit, Mama selalu usap kepala saya sebelum tidur. Begini," Alaska mengusap kepalanya sendiri sebagai contoh. "Besok paginya saya agak mendingan."

Sabina mengangguk paham. Kursinya ia tarik lebih maju ke depan. Selanjutnya telapak tangan kanan Sabina menyentuh rambut Alaska. Perlahan tangan itu mulai mengusap lembut rambut Alaska.

"Saya harap usapan saya sekarang sama seperti Mevrouw Catharina, supaya Meneer cepat pulih."

"Bukan Catharina, tapi Mama Arabella." sanggah Alaska di batinnya.

Bibir Alaska tertarik sedikit membentuk senyum samar. Sayup-sayup mata Alaska mulai terasa berat. Usapan tangan Sabina berhasil membuat ia mengantuk. Namun karena teringat akan suatu hal, mata Alaska tak jadi terpejam.

Kejadian saat tenggelam tadi kembali mengusik pikiran Alaska. Andai ia berhasil pulang ke masanya, lantas bagaimana keadaan di sini sepeninggalannya? Bagaimana dengan Sabina yang ia tinggalkan tiba-tiba? Pasti Sabina akan merasa kehilangan. Atau tidak? Mungkin saja saat ia berpindah masa justru jiwa Hans akan kembali? Sampai detik ini pun Alaska tak tahu nasib Hans bagaimana? Apakah lelaki itu masih hidup atau sudah mati akibat tertembak?

"Sabina, saya mau tanya satu hal ke kamu."

"Tanya apa, Meneer?" Sabina menatap Alaska penasaran. Kentara Sabina menunggu pertanyaan yang akan Alaska ajukan.

"Andaikan suatu saat nanti saya mendadak pergi, apa yang akan kamu lakukan?"

Pada akhirnya Alaska berani mengutarakan kegelisahan hatinya. Timbul lipatan kecil di dahi Sabina. Alaska dapat menebak pertanyaannya menimbulkan tanda tanya bagi Sabina.

"Memangnya Meneer mau pergi ke mana?"

"Ke tempat yang jauh." jawab Alaska seadanya. Entah mengapa hatinya berdenyut kala berucap demikian.

"Saya tidak bisa ikut Meneer kah?" tanya Sabina lagi dan Alaska menggeleng. "Berapa lama Meneer pergi?"

"Entahlah, yang pasti lama."

Sabina diam sesaat.

"Kalau begitu saya akan menunggu Meneer." putus Sabina setelahnya. Jawaban Sabina mengagetkan Alaska. Drastis suara Alaska meninggi.

"Jangan menunggu! Saya perginya lama, kamu bisa bosan, Sabina!"

"Saya akan mengerjakan sesuatu yang lain sembari menunggu Meneer. Lagipula jika yang kita tunggu adalah tujuan, maka selama apapun waktu yang dihabiskan akan terasa menyenangkan."

Darah Alaska berdesir seketika diikuti jantungnya yang berpacu kencang. Alaska tertegun mendengar jawaban Sabina. Perasaan aneh yang menjalar di tubuhnya sekarang membuat Alaska gugup. Sempat Alaska dibuat sulit berkata-kata untuk membalas ucapan Sabina.

"Kamu cari Tuan baru saja daripada menunggu saya. Tuan yang lebih baik." kata Alaska mengalihkan pembicaraan. Namun jawaban Sabina selanjutnya semakin membuat perasaan Alaska tambah tak karuan.

"Meneer sudah cukup buat saya dan Meneer pun sudah baik."

"Sudah baik? Memang saya dulu bagaimana? Jahat kah?" pancing Alaska sembari mendalami info baru tentang pribadi Hans dalam sudut pandang Sabina.

"Tidak jahat, tapi Meneer dulu orangnya kaku dan jarang tersenyum. Sekarang Meneer selalu tersenyum bahkan ramah."

"Kamu suka sama saya yang sekarang?"

"Saya nyaman sama Meneer sekarang. Tidak takut lagi." ungkap Sabina tersenyum tipis dengan kepala menunduk.

"Maaf semisal dulu ada perlakuan saya yang menyakiti kamu, baik lahir maupun batin, Sabina. Saya janji, akan terus berproses menjadi orang baik dan melakukan perubahan dalam hal apapun." ucap Alaska tulus. Walau bukan dirinya, tapi Alaska merasa mesti meminta maaf lantaran ia tengah bersemayam dalam tubuh Hans saat ini.

Tanpa sadar, Alaska meraih telapak tangan Sabina yang tengah mengelus kepalanya. Alaska genggam tangan perempuan itu seraya mengusapnya perlahan.

Perlakuan Alaska itu jelas membuat Sabina terkejut. Otak Sabina berkata agar segera menarik tangannya menjauh, namun tindakan Alaska berhasil menyebabkan sekujur tubuhnya mati rasa. Sabina hanya bisa tersenyum kaku membalas tanpa berniat menarik tangannya.

"Saya ngantuk, Sabina." sahut Alaska pelan. Kedua mata pria itu mulai terpejam.

"Tidurlah, Meneer. Saya tetap di sini."

"Kamu boleh pergi setelah saya tidur." balas Alaska dengan mata tertutup.

"Saya sudah kirim surat ke Dokter Frank untuk datang besok memeriksa Meneer. Dan juga Mevrouw Arabella." beritahu Sabina sebelum Tuannya benar-benar terlelap. Alaska hanya mengangguk kecil mengiyakan.

Belum selesai sampai di situ, Sabina bersuara lagi. Kali ini melontarkan pertanyaan yang sedari tadi mengitari kepalanya. Terhadap undangan satunya.

"Tapi surat panggilan untuk Cokroaminoto buat apa, Meneer?"

"Mengajaknya bekerjasama melawan orang-orang kulit putih."

°°°

Besok paginya selesai sarapan, Alaska masuk ke kamar untuk mengambil jam rantainya yang ketinggalan. Namun, di atas kasur ia justru menemukan sepucuk surat usang. Terangkai beberapa pesan di sana.

Ingin kembali? Tidak semudah itu. Aku membawamu kemari bukan tanpa alasan. Ada tugas yang mesti kau selesaikan. Bukan hanya itu, aku ingatkan kau punya beberapa janji di sini yang mesti kau tepati. Kau pikir aku tidak tahu? Janji dengan Cokroaminoto, mengajarkan perempuan itu agar berpendidikan, perjodohan dengan Ibumu, bahkan kepada Ayah Hans kau secara tak langsung mengibarkan bendera perang padanya. Aku selalu mengawasi gerak-gerikmu, bocah! Selesaikan semuanya, barulah kau bisa kembali. Oh, ya, satu lagi. Ingat pesanku sewaktu di masa depan. Jam itu yang akan menuntunmu. Selamat menikmati perjalanan waktumu, Putra Nasution.

Alaska menjambak rambut frustasi. Setelah diingatkan, memang benar ada sejumlah janji yang Alaska berikan selama di sini. Satu kepada Cokroaminoto dan Sabina. Alaska berjanji untuk menyelesaikan permasalahan Sarekat Islam hingga tuntas dan mengajarkan Sabina baca, tulis, serta hitung. Satu persatu janjinya itu berdatangan. Alaska semakin dibuat frustasi.

"Bantu Sarekat Islam itu sampe mana? Apa tolak ukurnya? Gak mungkin kan, sampe Sarekat Islam pecah jadi dua kubu? Gila, gak mau gue lama-lama di sini!" Alaska berteriak sambil mengacak-ngacak rambutnya.

"Belum lagi ngajarin Sabina, perjodohan sama Mama itu lanjut atau nggak, tapi dengan Bapak Hans apa hubungannya? Perasaan gue gak ngajak berantem tuh? Gue cuma ngasih surat perjanjian supaya dia narik perintah pembekuan Sarekat Islam."

Diam berpikir sebentar, mulut Alaska tiba-tiba menganga lebar. Alaska membekap mulutnya sendiri. Ia akhirnya mengerti.

"Oh, my good... Jangan-jangan karena gue ngasih surat itu, Bapak Hans curiga? Di matanya gue itu kayak nentang kebijakan dia yang seharusnya gue sebagai Anak dukung?" jeda tiga detik, Alaska lalu memukul kepalanya berkali-kali. "Aaakkhh, Alaskaaaa tolooolll! IQ lo 144 mega piksel atau begimana, kok bisa setolol iniii? Kalo gak bisa selesai gimana? Kalo gak bisa pulang gimana?"

Alaska berhenti kemudian duduk di tepi kasur. Kedua tangannya menopang kepala, pusing memikirkan nasibnya.

"Oke, oke, oke, tenang, Las. Lo harus tenang. Kita selesaikan satu-satu. Lo pasti bisa."

Alaska menarik napas panjang lantas mengeluarkannya perlahan. Aktivitas itu ia lakukan terus-menerus hingga dirinya tenang. Setelah rasa paniknya hilang, Alaska mulai menyusun rencana.

"Baiklah. Hal yang pertama harus gue lakukan adalah bekerjasama dengan Cokroaminoto."

°°°

Bersambung...

Ana kalo liat Mak-Bapaknya waktu muda sebelum nikah kelakuan mereka udah sedewasa itu pasti tantrum🙏😞. Untung Alaska gak tahu ya. Tuh Anak juga bakal ngereog🙃.

FAKTA SEJARAH!

1. Yang dimaksud Alaska Sarekat Islam pecah jadi dua kubu itu sewaktu paham komunis mulai masuk ke dalam organisasi. Pada tahun 1929, Sarekat Islam resmi terbagi menjadi dua kubu. Satu adalah SI putih yang dipimpin oleh Cokroaminoto dan K.H. Agus Salim sementara satunya lagi adalah SI Merah yang berhaluan kiri, dipimpin oleh Semaun dan Darsono. Makanya Alaska gak mau di masa ini sampe pada tahap SI pecah. Soalnya lama uy jarak 1912 ke 1929🙃🙏.

2. Bukan fakta sejarah sih, tapi lebih ke menjelaskan fenomena matahari terbagi 3 yang dilihat Nasution waktu Alaska tenggelam. Biar gak salah artian. Jadi gaes, fenomena tersebut memang benar adanya.

Nama fenomena itu adalah "Sun dog atau Matahari Kembar". Fenomena itu bisa terjadi ketika adanya pembiasan atmosfer di partikel hidrometeorologis atau partikel basah seperti es. Sehingga ini akan membiaskan matahari di permukaan bumi yang muncul seperti pola matahari menjadi dua atau lebih. Dan ini biasanya terjadi pada peralihan musim hujan ke kemarau. Jadi hal ini adalah hal biasa. Intinya itu adalah pembiasan dari matahari sesungguhnya yang cuma satu.

Tapi di cerita ini fenomena tersebut terjadi lantaran faktor magic ya untuk kepentingan cerita😂🙏.

Segitu aja Fakta Sejarah yang bisa saya bagikan. Lebih dan kurangnya saya mohon maaf🙏. Terima kasih yang sudah vote dan memberikan komentar. Bagi yang belum segera lah tobat. Aseli sepi beut dah ni cerita kayak kuburan. Padahal saya ngetik ini excited banget karena alurnya menurut saya fresh😂🙏.

❤Follow IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top