8. SACI - Kunjungan Pertama ke Pabrik
Perhatian! Part ini berisi 4270 kata, jadi tolong hargai penulis dengan dukungan berupa vote dan komentar yang membangun. Jangan biarkan lapak sepi dan membuat penulis kecewa. Kawal Alaska sampe selamat pulang ke masa depan. Mohon maaf pula apabila masih menemukan beberapa typo selama membaca. Saya sudah berusaha merevisi, apabila ada yang terlewat mohon maaf sekali karena manusia tempatnya salah. Yang benar cuma Allah😞.
Happy reading. Hope u like it🥰.
°°°
Alaska mengaitkan kancing lengan bajunya. Saat sedang berkutat dengan aktivitasnya itu, tak sengaja mata Alaska menatap ke arah kasur. Ia jadi teringat kejadian semalam. Karena kelelahan membuat surat-surat, Alaska tertidur di meja kerja. Tapi, udara dingin yang menembus kulit membuatnya setengah sadar bergerak ke kasur untuk menyemuti diri. Lantaran kantuk, Alaska tak sadar jika di sampingnya masih ada Sabina.
"Lagian kan, gue gak ngapain-ngapain dia juga, kenapa perasaan gue jadi resah gini? Tidur doang kok. Orang tidur, mana bisa mikir macem-macem. Tapi gak tau sih, kalo gak sengaja kepeluk. Bisa jadi gue mikir itu bantal."
Alaska diam sejenak. Detik selanjutnya, ia mendesah gusar. Pikiran Alaska masih tertuju ke kejadian semalam. Apalagi bangun-bangun dirinya tak menemukan Sabina lagi. Ia malah menemukan setelan baju di ujung kasur. Alaska tebak sebelum Sabina meninggalkan kamar, perempuan itu menyempatkan diri memilihkan setelan dirinya hari ini. Jas putih bersih yang ia pakai sekarang adalah pilihan Sabina.
Tok! Tok!
Ketukan pintu menyadarkan Alaska. Alaska menoleh ke pintu dan otaknya mulai menebak siapa gerangan di sana.
"Masuk saja, Sabina." cetus Alaska langsung. Ia sudah dapat menebak karena orang yang selalu datang ke kamarnya setiap pagi adalah orang yang sama.
Pintu terbuka perlahan. Tak lama, muncul sosok Sabina yang selalu datang dengan kepala menunduk. Sejak kedatangannya ke zaman ini, Alaska kerap melihat sikap Sabina demikian. Menunduk dan jarang melihat lawan bicara. Alaska menganggap itu kebiasaan perempuan Jawa.
"Ada apa?" tanya Alaska.
"Meneer Idenburg dan Mevrouw Catharina sudah menunggu Meneer di meja makan."
Napas Alaska sontak tertahan. "Kudu sarapan lagi, pura-pura jadi Anak berbakti. Bosen gue!"
Batinnya merutuk. Alaska benci harus bercengkerama dengan orangtua Hans yang tak memiliki empati. Mereka selalu membahas soal pekerjaan, pergerakan orang Indonesia yang bagi mereka membahayakan pemerintahan Hindia-Belanda dan kehadiran Cokroaminoto yang kian hari bagi mereka makin meresahkan.
"Tapi, ini hari terakhir mereka di sini. Setelah sarapan, gue langsung usir aja mereka. Bodo amat, jir! Udah muak! Apalagi Bapaknya Hans. Om-om hidung belang, geli gue gak ingat umur, napas udah separuh liang lahat masih aja gatel. Gue garuk nyahok lo!"
"Meneer masih perlu bersiap kah?" Sabina bersuara lantaran Tuannya mendadak diam.
"Oh, tidak! Saya sudah selesai." Alaska diam sejenak nampak menimbang-nimbang. Detik berikutnya, Alaska berjalan menuju meja kerja. "Sabina, ke sini dulu."
Sabina menurut. Ia berjalan mendekat ke Alaska. Alaska yang sedang membuka laci lantas mengeluarkan sebuah kotak dari dalam. Waktu di buka, terdapat gelang yang diisi permata hitam nan mengkilap di sana. Alaska mengambil gelang itu, kemudian memasangkannya di pergelangan tangan kiri Sabina. Sabina yang mendapati tindakan Alaska itu tentu saja terkejut.
"Kenapa ini, Meneer?"
"Buat kamu."
"Bu--buat saya? Tidak usah, Meneer!"
Alaska mendesis. Sabina barusan menarik tangannya, namun Alaska dengan cepat menarik tangan itu lagi.
"Tidak ada penolakan. Kamu harus terima gelang ini dan pakai terus."
"Sumpah, Meneer, saya tidak bisa menerima ini. Berikan saja kepada yang lebih layak. Mevrouw Catharina misalnya."
"Tapi, saya menganggap kamu yang lebih layak tuh!"
"Sa--saya? Kenapa?" tanya Sabina bingung sekaligus gugup. Ia terkejut karena sekarang Alaska sedang menatapnya dengan senyum tipis.
"Karena..., gelang ini dan kamu cantik? Jadi, sesuatu yang nilainya sama cocok untuk bersanding." jawab Alaska disertai senyuman yang kian mengembang.
Senyum simpul. Senyum yang Alaska tunjukkan di zamannya ketika merayu perempuan. Tapi, jujur di dalam lubuk hatinya, Alaska memang merasa gelang ini cocok untuk diberikan ke Sabina. Gelang cantik yang langsung mengingatkannya dengan Sabina tatkala menemukannya di antara tumpukan harta Hans.
"Dipakai dan jangan pernah dilepas." titah Alaska lembut. Hati Sabina berhasil dibuat berdesir. "Sekali lagi kamu menolak, saya bakal marah dan tidak mau bertemu kamu lagi. Karena sama saja tandanya kamu tidak menghargai pemberian saya."
"Terima kasih Meneer, atas hadiahnya. Tapi saya butuh alasan yang jelas untuk menerima hadiah ini."
Alaska menggaruk tengkuk salah tingkah. Kejadian semalam jadi terlintas di pikirannya.
"Anggap saja itu bentuk permintaan maaf saya soal semalam."
Sabina terhenyak. Belum sampai Alaska menjelaskan maksudnya, Sabina sudah tahu arah pembicaraan ini ke mana. Sabina tersenyum tipis. Kepalanya menunduk malu.
"Tidak apa-apa, Meneer. Terima kasih jawaban jujurnya. Setelah mendengar ini, saya baru bisa menerima hadiah, Meneer. Setidaknya ada alasan." ujar Sabina, menyentuh ragu-ragu pergelangan tangannya yang melingkar gelang pemberian Alaska di sana.
"Harus ada alasan dulu, ya?"
Sabina mengangguk. "Dari kecil, saya sudah dibiasakan bekerja dulu agar mendapatkan imbalan. Jadi jika diberi sesuatu tanpa pernah berbuat apapun, rasanya aneh bagi saya."
"Kamu buat hari-hari saya menyenangkan itu nilainya tidak sebanding dari hadiah manapun."
Sabina terbelalak. Celetukan Alaska benar-benar membuat jantungnya berdetak tak karuan. Sabina sampai memperhatikan wajah Alaska. Wajah pria itu tampak biasa saja. Namun wajahnya yang malah terasa panas.
°°°
Sabina menarik lengan Alaska secara paksa. Setelah selesai sarapan pagi, Alaska tidak ingin beranjak dari kursinya untuk mengantar kepergian kedua orangtua Hans. Pria itu sudah terlampau malas berbasa-basi lagi, tapi Sabina tak gentar memaksanya.
"Mereka bisa pulang sendiri, Sabina."
"Setidaknya Meneer mengantar kepergian mereka. Tidak sopan membiarkan orangtua tanpa adanya kata perpisahan."
"Dih, bukan orangtua gue juga. Bodoamat! Mau terbang kek mereka, ngesot, merangkak, gak peduli!"
Alaska mendengus. Dengan terseok-seok ia membiarkan saja tubuhnya ditarik paksa oleh Sabina. Sementara Sabina berdecak. Raga Hans yang tinggi membuat Sabina kesulitan menarik. Terjadi perbedaan tinggi badan di sini.
"Meneer jangan malas-malasan begini! Saya susah bawa, Meneer!" oceh Sabina, berhenti di tempat.
"Tidak ada yang menyuruh kamu untuk narik saya begini, kan? Saya sendiri tidak mau tuh!"
"Ayo lah, Meneer! Jalan yang benar. Nanti Meneer jatuh, bajunya bisa kotor."
"Lagian kenapa kamu kasih saya kemeja warna putih, Sabina?"
"Ada sejarahnya, Meneer."
"Serius?" Alaska spontan bertanya dengan alis terangkat satu. "Coba ceritakan sedikit. Kepo saya."
"Ha? Apa itu kepo, Meneer?"
Alaska mendesis, "Tidak usah balik tanya, jawab saja pertanyaan saya."
Sabina mendengus. Ia diam dulu beberapa saat sebelum bercerita.
"Karena Meneer hilang ingatan, mungkin Meneer lupa. Jadi, akan saya ceritakan. Warna putih bagi orang Belanda punya makna sebagai simbol hubungan kolonial. Putih yang bersih tampak bersinar apabila berada di bawah sinar matahari secara tak langsung melambangkan kekuasaan."
"Siapa orang yang mencetus ide gila ini? Semoga harinya senin terus." celetuk Alaska tersenyum masam. Sabina yang mendapat balasan Alaska tadi dibuat mendesah sebal.
"Saya serius, Meneer."
"Saya juga serius. Definisinya sangat mengada-ngada. Wajar bersinar di bawah sinar matahari, karena putih menyerap cahaya, Sabina. Dampaknya apa? Wajah kita jadi gelaapp!" jelas Alaska gregetan.
"Serius?" tanya Sabina polos. Alaska yang melihat ekspresi Sabina itu membalas dengan bibir bergerak-gerak mengejek.
"Nyenyenye, sirius? Bodo lah, saya mau ganti baju!" Alaska berbalik hendak menunaikan niatnya, tapi langsung Sabina cegah.
"Meneer, jangan!" mohon Sabina. Wajah perempuan itu sudah memelas. Sangat lelah menghadapi sikap Alaska dari tadi.
"Kenapa sih, tidak boleh? Ganti baju doang, bukan mau ganti agama."
"Meneer hari ini mau pemotretan di Pabrik, makanya saya siapkan baju warna putih. Jas warna putih Meneer sekarang ibarat pakaian formal. Bajunya sudah bagus dan cocok, Meneer."
"Tidak cocok! Kamu sendiri pakai baju hitam sekarang."
"Apa hubungannya sama baju saya?"
"Kita kan pasangan. Harus putih-putih juga, baru cocok."
Blush!
Lagi-lagi reaksi serupa sewaktu di kamar Tuannya kembali Sabina rasakan. Ritme jantung yang mendadak kencang disertai rasa panas di kedua pipi. Sabina masih tidak tahu mengapa tubuhnya merasakan perasaan aneh ini. Yang jelas rasanya seperti jantungnya mau copot.
"Meneer Hans, maaf mengganggu."
Centini datang, mengalihkan perhatian Sabina dan Alaska. Perempuan itu berdiri di ambang pintu keluar.
"Meneer Idenburg memanggil Meneer Hans untuk segera keluar karena ada tamu yang mencari."
Alis Alaska spontan mengerut.
"Siapa?"
°°°
Menerima pemberitahuan Centini itu, Alaska langsung buru-buru keluar diikuti oleh Sabina. Tamu itu membuat Alaska yang awalnya malas-malasan, jadi tak sabaran keluar rumah. Tamu itu adalah orang favorit Alaska baik di masa ini maupun masa depan. Setelah sampai di tempat, mata Alaska langsung berbinar. Ia melihat Mamanya tengah berbincang dengan kedua orangtua Hans ditemani Lies di sebelahnya.
"Mama cantik banget. Bersinar. Selalu. Mulai hari ini gue bakal terus-terusan ketemu Mama di Pabrik."
"Arabella!"
Teriakan Alaska yang memanggil Mamanya bukan hanya membuat perempuan itu menoleh, tetapi semua orang. Kaki Alaska kembali melangkah. Ritme gerakannya lebih cepat. Alaska ingin segera menghampirinya, tapi kehadiran seseorang mendadak membuat langkah Alaska terhenti. Papanya tiba-tiba muncul. Mengagetkan Alaska yang mendapati ekspresi datar Papanya tepat di depan muka.
"Sialan!" Alaska menyentuh dadanya. Kedatangan Papanya benar-benar mengangetkan. "Kau mengagetkanku, Pak Nasution! Kurang ajar!"
Alis Nasution terangkat spontan lantaran pria di depannya datang-datang langsung menghardiknya.
"Mulutmu itu yang kurang ajar, Diktator Kopi. Aku sudah dari tadi di sini."
"Minggir!" Alaska mendengus, kemudian berjalan melewati Papanya. Bahu mereka sempat bertabrakan.
Alaska dengan cepat menghampiri Mamanya. Wajah marahnya seketika berubah berseri. "Bel, kamu benar-benar datang!"
"Iyalah, aku ke sini mau bekerja." jawab Arabella ketus. Jawabannya seolah menegaskan Alaska agar tak berpikir macam-macam.
"Het is Arabella's beurt om te komen, jij komt snel naar buiten, Hans (Giliran Arabella yang datang, kau cepat keluar, Hans)." celetuk Catharina, langsung melingkari lengannya ke lengan Alaska. Sebenarnya Alaska risih atas perbuatan Catharina, tapi ia tak dapat menolak karena sekarang dirinya sedang terjebak di dalam tubuh Anak perempuan itu.
"Hij is meer geïnteresseerd in Arabella dan in ons (Dia lebih tertarik dengan Arabella ketimbang kita)" goda Idenburg disertai kelakar.
"Of course, Dakjal! Soalnya deket-deket sama kalian kiamat bisa maju tiap menit!" Alaska menimpali di batinnya.
"Dat is geweldig! Dit is een teken dat de acties die we hebben ondernomen geschikt zijn om hun relatie nauwer te maken (Baguslah! Tandanya tindakan yang kita ambil sudah tepat untuk membuat hubungan mereka makin dekat)" ujar Lies girang. Arabella di sebelahnya terlihat meringis.
"Als dat zo is, laten we dan meteen gaan! Misschien kom je te laat (Kalau begitu, kalian segeralah berangkat! Kalian bisa terlambat.)" titah Idenburg.
"Je gaat niet naar huis? (Kalian tidak jadi pulang?)"
Lontaran pertanyaan Alaska itu membuat kedua orangtua Hans terbelalak. Pertanyaan Alaska yang sangat blak-blakan langsung diprotes Idenburg.
"Astaga, Hans! Pertanyaanmu itu seakan mengusir kami!"
"Memang." Alaska membenarkan tuduhan Hans lewat batinnya.
"Ya, ya, ya, kami akan kembali ke Batavia. Setelah kau pulang dari Pabrik, kau tak akan melihat kami lagi di sini. Tenang saja, lagipula urusanku di sini sudah selesai. Tak ada lagi alasan aku mesti berada di sini."
"Kurasa tidak."
Jawaban yang keluar dari mulut Anaknya tentu saja membuat Idenburg bingung. Melihat reaksi Idenburg yang sesuai dengan harapan, Alaska kembali bicara. Memperjelas.
"Ayo, kita bicara. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padamu, tapi tidak di sini."
Idenburg bertambah bingung. Apalagi ketika melihat ekspresi Alaska sekarang. Wajah datar yang Anaknya tunjukkan tak pernah sekalipun ia lihat, terlepas pribadi Anaknya memang pendiam.
Idenburg berjalan menjauh dari orang-orang. Alaska mengikutinya. Dua orang pria yang tiba-tiba saja menjauh itu tak elak menarik perhatian Nasution. Perhatian Nasution pun jadi mengarah sepenuhnya ke Alaska dan Idenburg. Bukan hanya Nasution. Pandangan Sabina juga mengarah ke satu titik yang sama.
"Ada apa?"
Alaska tak menjawab pertanyaan Idenburg, namun malah menyerahkan gulungan surat.
"Apa ini?" Idenburg bertanya lagi. Alaska belum menjawab hingga Idenburg membuka surat itu dan membacanya, barulah Alaska bersuara.
"Surat kesepakatan yang menandakan urusanmu di sini belum selesai."
"Apa maksudnya ini?"
"Ah, masih kurang jelas kah?" Alaska bertanya balik. Nada bicaranya terdengar mengejek. "Aku ingin menyelesaikan masalah di Pabrik Surakarta."
"Lalu kenapa Cokroaminoto dan Sarekat Islam terlibat di sini?"
"Kan kau yang melibatkan mereka dari awal. Setelah masalah Pabrik di sana selesai, tak ada lagi Buruh yang mogok, kau harus segera mencabut surat pembekuan Sarekat Islam. Biarkan organisasi mereka beroperasi kembali."
"Tapi, bukan untuk bekerjasama dengan mereka, Hans! Memang aku ingin melibatkan mereka, tapi mereka menolak. Kau lihat sendiri kemarin." tekan Idenburg. Percakapan di antara Ayah dan Anak itu mulai memanas. Nasution dan Sabina yang memperhatikan dari jauhpun dapat merasakannya.
"Kau bukan mengajak mereka bekerjasama, tapi malah memposisikan mereka sebagai pelaku oleh karena itu mereka menolak!"
"Jangan sesekali bekerjasama dengan Pribumi, Hans. Mereka semua manusia egois yang tak berperikemanusiaan. Mereka bisa membinasakanmu."
Muncul senyum miring di bibir Alaska setelah Idenburg berucap. Selanjutnya tatapan pria itu menajam.
"Merekalah yang sebenarnya sudah binasa akibat perilaku kalian. Datang ke tanah air mereka, mengambil sumber daya alam mereka, dan memperbudak mereka. Jadi, siapa yang tak berperikemanusiaan dan egois di sini?"
Alaska mengeluarkan stempel dari dalam jasnya, kemudian menyodorkan ke Idenburg. Alaska meminta Idenburg menempelkan jempolnya pada salah satu kolom di sana.
"Bubuhkan saja persetujuanmu di sana. Akan ku tunjukkan kemanusiaan yang sesungguhnya padamu."
Idenburg tersenyum kecut. Ia mengambil kasar stempel dari tangan Anaknya. Setelah menekan jempol di stempel dan berganti ke kertas, Alaska hendak mengambil kembali kertas persetujuan itu tapi Idenburg langsung menjauhkan kertas tersebut.
"Keegoisan dan kemanusiaan bergandengan. Kemanusiaan berawal dari sikap egois manusia untuk mementingkan manusia lain. Seperti kau sekarang, Hans. Hati-hati supaya tidak terjerumus di antara keduanya atau kau benar-benar akan binasa."
°°°
Tatapan Alaska terpaku ke arah kanannya. Di sana terdapat aliran sungai. Di atas sungai tersebut pula ada jembatan besar yang melintang. Alaska menoleh ke sampingnya. Duduk Sabina di sana menggantikan Arabella. Di tengah perjalanan tadi Nasution tiba-tiba menghentikan mobil hanya untuk meminta Arabella berpindah tempat. Pria itu resah membiarkan Arabella berdua saja dengan pria Belanda saingannya.
"Sabina! Ini Jembatan Merah?"
Sabina mengangguk saja, membenarkan. Mengetahui tebakannya benar, Alaska bicara lagi.
"Ayo, kita turun sebentar di sini!"
"Eh, jangan, Meneer! Kita kan mau ke Pabrik. Sebentar lagi sampai. Itu gedung besar di depan."
Alaska menoleh ke depan mengikuti telunjuk Sabina mengarah. Berdiri sebuah bangunan megah bernuansa Eropa di depan. Arsitektur bangunan itu berhasil merebut perhatian Alaska yang semula tertuju pada Jembatan Merah. Namun, megahnya bangunan itu justru memunculkan sebuah pertanyaan dalam benak Alaska. Alaska lantas mengajukan pertanyaan ke Sabina.
"Itu Pabrik saya?"
"Iya."
"Tapi bangunannya terlampau bagus, malah tidak mirip Pabrik."
"Bangun di depan ini gedung utama. Kantor administrasi Pabrik Meneer. Pabrik sesungguhnya ada di belakang dan di belakang lagi kebun kopi." jelas Sabina yang spontan diangguki Alaska sambil ber-O ria.
"Oalah..."
"Oalah?" Arabella mengulang ucapan Alaska barusan. Ia menoleh ke belakang. Wajahnya menatap Alaska bingung.
"Kenapa?"
"Tadi kau bilang oalah?"
"Iya, terus kenapa?" tanya Alaska ikut bingung.
"Bahasamu sangat Pribumi."
"Memangnya kenapa?"
"Tidak cocok untuk Meneer Belanda yang Ayahnya seorang Gubernur."
"Yaampun, jadi aku mesti pakai bahasa apa, Bel? Bahasa kalbu? It's just language! No problem lah!" celoteh Alaska geram.
"Sekarang kau menggunakan Bahasa Inggris. Aku perhatikan kau jarang menggunakan Bahasa Belanda. Kau sering menggunakan bahasa Melayu." ucap Arabella, selanjutnya mata perempuan itu memicing curiga. "Bukan hanya itu. Kau bahkan lupa dengan bangunan di Pabrikmu sendiri. Itu aneh."
Tubuh Alaska menegang. Terselip kecurigaan dari pertanyaan Mamanya itu. Alaska menoleh ke Sabina, rupanya ekspresi perempuan itu sama seperti dirinya. Tapi Alaska rasa Sabina takut orang-orang tahu jika Tuannya sedang hilang ingatan. Berbeda dengan dirinya yang takut Mama dan Papanya tahu siapa sosoknya yang asli.
Tiba-tiba mobil berhenti. Padahal mereka belum sampai. Nasution menghentikan mobil tepat di samping Jembatan Merah.
"Tunggu, kenapa kita berhenti?" Alaska menatap Papanya penuh tanda tanya.
Nasution menoleh ke Alaska. "Aku rasa kau perlu di baptis ulang."
"Ha?"
"Mungkin saja dengan cara itu Tuhan dapat menyadarkanmu ke jalan yang benar. Kau lebih paham kan caranya" Nasution menunjuk Jembatan Merah. "Berdiri di sana, lalu melompatlah."
"Kau! Sialan!"
Alaska hendak meraih Papanya, tapi Sabina sigap menahan. Arabella pun bertindak sama. Memisahkan kedua pria itu agar tak bertengkar.
"Kau menyuruhku mati, hah?!"
"Meneer, sudah!"
"Tidak ada yang menyuruhmu mati. Dasar IQ jongkok, mencerna perkataan saja kau sulit! Orangtuamu gagal mendidik, Anaknya jadi bodoh!" balas Nasution melontarkan hinaan lainnya. Semakin membuat Alaska kesal.
"Nas, jangan bawa-bawa orangtua!" Arabella membentak Nasution supaya tutup mulut, tapi adu argumen terus terjadi.
"Wow! Cukup kaget mendengar kata-kata semacam itu keluar dari mulutmu. Jika aku bodoh, kau juga bodoh!"
"Kenapa pula aku bodoh? Memangnya aku Bapakmu?"
°°°
Alaska diam mematung menatap orang-orang di depannya. Mereka adalah Buruh-buruh yang bekerja di Pabrik Hans di Surabaya. Mereka sudah dikumpulkan oleh para mandor sebelum Alaska datang. Alasan mereka dikumpulkan tak lain dan tak bukan untuk mendengar pidato. Ya, jika pemilik datang tentu ada pesan yang akan disampaikan. Dan di sinilah Alaska. Hadir di Pabrik dan berdiri di depan orang-orang yang siap mendengar apapun instruksi yang keluar dari mulutnya.
"Memang harus begini ya? Tidak bisa kita langsung pemotretan saja?" Alaska berbisik ke Sabina.
"Tidak bisa, Meneer. Ini kegiatan rutin yang Meneer lakukan tiap awal bulan."
"Oh, ini semacam tutup buku, tapi tutup buku dilakukan di akhir. Apa sih, namanya?"
"Terus saya mesti apa sekarang?"
"Bicara saja."
"Ya, bicara tapi yang mau dibahas apa?" ujar Alaska gemas. Ia benar-benar tidak tahu mau membicarakan apa. Terlebih posisinya sekarang sebagai atasan. Semuanya amat mendadak. Jika tahu begini, dari awal ia sudah menyiapkan catatan kecil untuk pidato.
Tatapan Alaska tak sengaja melirik ke Mamanya. Ketika melihat Mamanya, Alaska pun akhirnya tahu harus membicarakan apa di hadapan semua orang. Mengumumkan sesuatu hal.
"Arabella, ke sini sebentar. Mendekat. Di sebelahku."
Wajah Arabella tampak ragu. Sempat ia melirik Nasution. Melalui tatapannya, Arabella seperti minta pendapat. Alaska yang sudah lama hidup bersama kedua orang itu paham komunikasi batin mereka. Arabella pun akhirnya memenuhi permintaan Alaska setelah Nasution berkedip. Tanda memberi persetujuan. Posisi pun berubah. Arabella yang jadi bersebelahan dengan Alaska menggantikan Sabina.
"Ada perlu apa?" Arabella bertanya tapi yang ditanya tidak menjawab. Alaska malah tiba-tiba bersuara kepada semua orang.
"Hallo everyone! Selamat pagiii! Bagaimana kabarnya semua?"
Krik!
Krik!
Krik!
Hening. Tak satupun yang menjawab sapaan Alaska. Bola mata Alaska melirik ke sana ke mari, masih menunggu respons orang-orang. Setidaknya satu, namun di tunggu hampir satu menit tetap tidak ada tanggapan.
Alaska berdehem. Menetralkan rasa canggung yang menerpa dirinya.
"Oke, begini. Kalau saya bilang, selamat pagi! Kalian harus jawab pagi, pagi, luar biasa! Oke?!"
"Yang benar saja kau!" Arabella menatap protes Alaska, namun tak Alaska tanggapi. Malah ia memberi penegasan.
"Pokoknya semuanya yang ada di sini tanpa kecuali. Setan di pojokan sana pun juga harus jawab." Alaska menunjuk ke barisan paling terakhir. Gerakan Alaska itupun serentak diikuti semua orang. "Oke, siap?! Selamat pagi!"
"Pagi, pagi, luar biasa!"
"Kurang semangat! Saya ulangi, SELAMAT PAGI!"
"PAGI, PAGI, LUAR BIASA!"
"WOAAHH! Bravooo!"
Prok, prok, prok!
Alaska bertepuk tangan heboh seorang diri sementara semua orang hanya diam mematung. Sadar respons orang lain tak sama dengannya, Alaska pun menghentikan aksinya tersebut.
"Kaku banget njir orang-orang di mari, kayak tembok bangunan lama. Gak papa lah, setidaknya mereka nurut pas gue suruh nyaut."
Alaska berdehem lagi sebelum mulai bicara.
"Langsung saja, saya tidak ingin basa-basi terlalu lama karena tentu kalian punya kesibukan lain dan saya pun masih ada urusan juga. Biasa, saya kan Pengacara. Pengangguran Banyak Acara. Hahaha!"
Alaska tiba-tiba tertawa keras setelah melontarkan lelucon. Lagi-lagi hanya Alaska yang bereaksi berlebihan. Sementara yang lain hanya melihat dengan tatapan kebingungan. Reaksi orang-orang di sini sungguh membuat Alaska tak nyaman.
"Buset, nyerah deh gue. Dah lah, gak mau lagi cari penyakit. Mau cari berkah aja."
Alaska menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan.
"Semuanya, saya akan memperkenalkan anggota baru kepada kalian. Perempuan di sebelah saya ini namanya Arabella. Mulai sekarang dia resmi menjadi Sekretaris saya sekaligus... calon istri saya."
Bruk!
Pemberitahuan secara langsung oleh Alaska berhasil menarik berbagai macam respons orang-orang. Sayup-sayup terdengar komentar di antara para pekerja. Bersamaan dengan itu, tas kerjanya yang ditenteng Sabina terjatuh. Isi dalam tas itu tercecer keluar lantaran kuncinya terbuka saat bersentuhan ke tanah. Alaska langsung berjongkok membantu Sabina memungut barang-barangnya.
"Kenapa bisa jatuh begini? Ganggangnya putus kah?"
"Tidak, Meneer. Saya yang salah. Tangan saya tergelincir tadi."
"Tergelincir? Ban sepeda apa sampai bisa tergelincir?"
"Biar saya saja, Meneer. Meneer lanjut saja bicaranya."
"Saya bantu, biar cepat selesai."
Sementara itu, Arabella sedang menahan lengan Nasution erat-erat. Pria itu hampir ingin menendang Alaska kalau tidak Arabella cepat mencegah. Emosi Nasution langsung memuncak kala Alaska memperkenalkan Arabella sebagai calon istrinya di depan orang-orang.
°°°
Dua orang Fotografer yang akan memotret Alaska hari ini datang. Alaska selaku tuan rumah mengarahkan mereka ke ruang kerja yang menurutnya menjadi area terbaik. Sampai di depan pintu, Alaska terkejut menemukan sebuah papan yang menuliskan sebuah peringatan.
"Siapa yang buat tulisan sampah ini?" Alaska memicing menatap satu persatu orang di belakangnya.
"Orang itu kau, siapa lagi?" jawab Arabella ketus. Mulut Alaska spontan terbuka melongo.
"Aku? Serius?" Alaska menoleh ke Sabina minta kepastian. Dan Sabina mengangguk.
"Tuh, kan! Pura-pura tidak tahu pula kau!" oceh Arabella dan Nasution berceletuk setelahnya.
"Selain IQ jongkok, kau pandai bohong juga ya?" Nasution berdecak miris berkali-kali sambil menggeleng. "Bagaimana orangtuamu mendidikmu?"
"Sebelum mengoceh, interopeksi dulu, Pak Nasution!" sentak Alaska, menunjuk Papanya tajam sebelum masuk ke dalam dengan membawa papan peringatan tadi.
"Kenapa kau membawa papan itu?" tanya Arabella mengekor Alaska masuk.
Tak ada jawaban dari Alaska. Pria itu sibuk mondar-mandir seperti mencari sesuatu. Sabina yang tahu, lantas menegur.
"Meneer cari apa?"
"Pena."
Sabina berjalan menuju rak yang ada di belakang meja kerja. Di dalam rak tersebut, Sabina mengeluarkan benda yang sedari tadi Alaska cari. Sabina menyerahkan pena ke Alaska. Setelah mendapatkan pena, Alaska menuliskan suatu kalimat di balik papan.
Hanya orang beriman yang diperbolehkan masuk. Jika tak punya iman, silahkan masuk Neraka jalur bidikmisi.
"Nah, ini baru benar!" Alaska menunjukkan tulisan yang baru saja ia betulkan ke semua orang, termasuk kepada dua fotografer.
"Bidikmisi? Apa itu Bidikmisi?" tanya Arabella.
"Bagaimana kau tahu orang itu beriman atau tidak? Melebihi Tuhan saja kau." komentar Nasution pedih.
"Aduh, tidak terima komentar Netizen julid. Sorry ya! Sorry ye!" balas Alaska mendapatkan respons bingung dari Nasution karena dia merasa asing dengan beberapa kalimat yang Alaska lontarkan.
Pemotretan Alaska pun dimulai. Alaska mengambil posisi duduk di kursi. Nasution dan Arabella menatap aneh Alaska yang sedang berpose di depan kamera. Mereka belum pernah melihat gaya Alaska saat ini. Biasanya orang-orang di abad ini memasang wajah kaku, namun Alaska justru sebaliknya.
"Sudah belum? Lama sekali, punggung saya mati rasa nih!" teriak Alaska kesal. Sudah lebih 5 menit ia diam dalam pose merunduk, namun fotografer tersebut masih saja mengatur kamera.
"Makanya kau jangan banyak gaya!" celetuk Nasution. Alaska tak membalas apapun. Bola matanya hanya berputar jengah.
"Sudah, Meneer!"
Alaska langsung membuang napas begitu sesi pemotretan berakhir. Alaska merenggangkan badannya hingga tulang-tulangnya berbunyi.
"Kenapa lama sekali ambil fotonya? Pinggang saya sakit." keluh Alaska kepada fotografer.
"Tadi cahaya matahari tidak cukup banyak untuk menembus lempeng tembaga, Meneer."
"Lempeng tembaga? Pakai lempeng tembaga buat apa?"
Lagi, reaksi orang-orang di sana nampak kebingungan dengan pertanyaan Alaska. Menyadari respons orang-orang yang mulai curiga, Alaska langsung memberi penjelasan tambahan agar tak menimbulkan spekulasi lain.
"Kan aku bukan ahli kamera. Maaf-maaf saja kalau kesannya aku banyak tanya."
"Tidak apa, Meneer. Memang kamera kami saja yang tertinggal zaman." sanggah fotografer maklum.
"Maksudnya?"
"Orang-orang sudah pakai kamera Dry Plates, tapi kami masih menggunakan kamera Calotypes. Kamera Dry Plates itu kamera keluaran terbaru. Penggunaannya lebih mudah daripada Calotypes. Dry Plates menggunakan bantuan emulasi gelatin untuk mempercepat sensitivitas cahaya masuk ke lempeng tembaga, sementara Calotypes masih mengandalkan uap yodium."
"Oalah..." Alaska mengangguk berkali-kali. Detik selanjutnya, pria itu nyengir kuda. "Masih tidak mengerti."
Bola mata Nasution berputar malas mendengar pengakuan Alaska. Tingkah pria Belanda itu terus-terusan mengusik emosinya, entah mengapa.
"Ayo, Meneer, kita ambil gambar lagi." seru fotografer satunya. Alaska terbelalak.
"Lagi?!"
Alaska mengerang kesal. Ia tidak siap mesti berpose lagi dalam kurun waktu yang lama. Di moment itu, tiba-tiba Alaska teringat tujuannya. Soal Jembatan Merah.
"Bisakah kita foto di luar saja? Di luar sinar matahari lebih banyak."
°°°
Alaska melirik ke sana dan ke mari, memperhatikan raut wajah orang-orang di sekelilingnya. Para Buruh yang lalu lalang menunjukkan ekspresi beda-beda. Jika menengok ke arahnya, Mama, atau Papanya, mereka akan tersenyum ramah sambil menundukkan sedikit kepala. Namun ketika menengok ke Sabina, raut wajah orang-orang drastis berubah. Alaska nilai pandangan mereka seperti sinis campur jijik sewaktu melihat Sabina lewat. Alaska perhatikan Sabina juga tampak tidak nyaman. Menyadari hal itu, Alaska mundur ke belakang. Ia jadi berjalan berdampingan dengan Sabina.
"Meneer kenapa di sini?"
"Saya mau temani kamu."
"Meneer harusnya di depan temani calon istri Meneer."
Timbul lipatan kecil di dahi Alaska. Ucapan Sabina sukses menyentil hatinya. Alaska mengulum senyum.
"Nih cewek cemburu kah?"
"Ada Nasution di depan, jadi Arabella ada teman. Kamu yang tidak ada."
"Saya sudah biasa sendiri."
"Berdua lebih baik."
Mata Sabina membulat. Sabina menarik napas perlahan untuk menetralkan detak jantungnya yang mulai berdetak tak normal.
"Orang-orang dari tadi melihat kamu terus." Alaska berbisik ke Sabina. "Kamu tahu alasannya apa?"
Tidak ada jawaban. Sabina diam saja terus melangkah. Lantaran ditunggu tak ada jawaban, Alaska pun menjawab sendiri pertanyaannya.
"Karena kamu cantik."
Bruk!
Tiba-tiba tubuh Sabina oleng lantaran tak sengaja menginjak batu. Beruntung Alaska sigap menahan punggung perempuan itu, sementara Sabina refleks mencengkeram pundak Alaska. Mereka sempat terpaku lama dalam posisi itu. Tatapan Alaska seakan mengunci Sabina.
"Di posisi ini cantiknya semakin jelas."
°°°
Para fotografer sedang sibuk merakit ulang kamera yang di zaman ini masih menggunakan penyangga. Alaska lihat kerangkanya mirip dengan tripod. Sembari menunggu fotografer bersiap, Arabella dan Nasution berbincang sementara Sabina mengambil kesempatan itu untuk memperbaiki tas Alaska yang putus. Alaska sendiri diam diselimuti rasa bosan. Selepas kejadian di perjalanan tadi, Sabina sama sekali tak merespons ucapannya. Alias Alaska dikacangin.
"Kacang, kacang, kacang goreng, kacang rebus, kacang polong, gue dicuekin tolong!"
Alaska membuang napas. Ia melihat ke sekelilingnya dan tak sengaja menatap Jembatan Merah. Jarak Jembatan itu tak jauh dari posisi mereka. Alaska menengok situasi. Orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Setelah memastikan situasi aman, Alaska berjalan cepat menuju Jembatan Merah. Sampai di Jembatan Merah, Alaska menengok ke bawah. Arus sungai tenang. Ia bahkan bisa melihat wajahnya yang terpantul di air yang jernih itu.
"Arusnya lagi tenang. Misal gue lompat, gak akan jadi masalah. Gak akan keseret terlampau jauh juga." gumam Alaska setelahnya meneguk saliva kasar.
"Keep calm, Alaska. Gak akan mati kok, justru lo bakal balik ke masa depan. Jangan takut. Berani, harus berani supaya bisa pulang." Alaska mencengkeram kuat pegangan jembatan. Ia lalu mendongak menatap Sabina, Mama, dan Papanya di ujung sana. Mereka masih sibuk dengan urusan masing-masing.
"Sampai jumpa di masa depan Mama, Papa. Selamat tinggal Sabina."
Byur!
°°°
Bersambung...
Heh, Alaska udah buat baper Anak orang malah ngegosting☹️.
FAKTA SEJARAH!
1. Baju warna putih di zaman kolonial itu semacam simbol perbedaan kasta. Hanya orang Eropa, Indo-Belanda, dan Belanda tulen yang boleh makek bahan kain bewarna putih. Karena putih melambangkan kebersihan. Berbeda dengan pribumi yang menggunakan baju bewarna kumuh. Jadi, warna baju itu udah masuk bagian taktik politik Hindia-Belanda juga.
2. Nih perbedaan kamera yang dimaksud kang poto tadi. Walau sama-sama jadul, tapi ada perbedaan di antara dua kamera ini. Bisa dibaca di artikel di bawah. Ada gambarnya juga. Intinya kamera yang dipakek fotografer Alaska masih menggunakan semacam kayu penyanggah, kalau kamera keluaran terbaru. Baru banget nih jadi belum sempat beli, xixixi. Gak pakek kaki penyanggah lagi, udah bisa dipegang.
Segitu aja Fakta Sejarah untuk part ini. Lebih kurangnya saya mohon maaf. Kalau ada yang terlewat dan belum dijelaskan atau masih ada yang dibingungkan, boleh tanya langsung di kolom komentar.
DAN PLEASE. JANGAN BUAT LAPAK INI SEPIII! RAMEIN DONG READERS LAMA MAUPUN BARU☹️😞.
❤Follow IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top