7. SACI - Upah Buruh

Mohon maaf baru sempat update karena beberapa urusan mendesak yang gak memungkinkan sama beberapa hari terakhir saya demam tinggi, tapi sekarang udah agak enakan. Sebelum baca, jangan lupa VOTE & COMMENT! Ramaikan lapak SACI. Btw part ini berisi 5000 kata, jadi mohon kerja samanya😞🙏.

(Thriller SACI)

°°°

Wajah Sabina menegang. Melihat tatapan selidik Alaska terang-terangan menuju padanya. Sabina meneguk saliva kasar. Matanya bergerak tak teratur seiring mencari jawaban.

"Apa kamu sama seperti Centini?"

Alaska bertanya lagi semakin membuat Sabina panik. Pikiran Sabina semrawut sekarang karena terus-menerus mencari jawaban tepat. Ia tak ingin memberi tahu posisinya di rumah ini kepada Tuannya yang sekarang sedang hilang ingatan. Alasannya karena status Nyai yang rendah di mata masyarakat. Dianggap Tuannya yang hilang ingatan sebagai pekerja biasa membuat Sabina nyaman berinteraksi kepada Tuannya itu.

"It--tu... Saya..."

Sabina bungkam setelah bicara terbata-bata. Sorot matanya mengarah ke bawah, tak berani menatap Alaska terang-terangan. Tiba-tiba saja, muncul ide yang langsung membuat Sabina melotot dan berucap.

"Masak."

"Hah, maksudnya?" Alaska menatap Sabina bingung. Jawaban Sabina sama sekali tak nyambung dengan pertanyaannya.

"A---wal mula saya bertemu Meneer di warung. Waktu itu, saya kerja di sana. Saya yang masak dan kebetulan Meneer suka, lalu Meneer menawarkan pekerjaan ke saya untuk menjadi juru masak di rumah Meneer."

"Aaaa, semacam pekerja rumah tangga begitu?"

"I--iya, Meneer. Betul!" angguk Sabina mantap. Alaska ikut mengangguk-anggukan kepala.

"Masuk akal. Sebelum atau setelah saya hilang ingatan pun, saya masih suka masakan kamu. Hehe, masakan kamu enak, Sabina." Alaska mengacungkan dua jempol. Mendapati pujian Alaska itu, Sabina hanya terkekeh canggung.

"Gue gak bohong, masakan Sabina emang enak. Tapi masih enakan masakan Mama gue lah! Itu tiada tanding. Kalo Sabina bini gue, baru gue akui masakannya enak. Itu artinya, gue dan Hans satu selera! Tumben kali ini penilaian lo bener, Hans. Biasanya kan melenceng dari ajaran Agama. Astagfirullah!"

"Yasudah, berdiri. Jangan di posisi begitu, saya kurang nyaman." ajak Alaska, membantu Sabina berdiri. "Oh, ya, Sabina. Ingat pembicaraan kita tempo lalu? Soal buruh?"

"Iya, Meneer. Ada yang ingin Meneer ketahui lagi?"

Alaska mengangguk mengiyakan. "Saya ingin tanya pendapat kamu. Menurut kamu, apa yang membuat para Buruh melakukan aksi mogok?"

Sabina diam, tak langsung menjawab. Diamnya itu karena tengah mengingat informasi dari koran yang sudah ia baca terkait pemogokan Buruh. Di sana telah diberitakan secara rinci dari mulai latar belakang, alasan, penyebab dan isi tuntutan demo Buruh.

"Alasan buruh mogok kerja karena merasa upah yang mereka terima tidak cukup. Apalagi bahan pokok kian hari kian naik, tidak sesuai dengan pendapatan."

"Oh, ya? Jadi, kamu juga tahu harga pasar, Sabina?" tanya Alaska bersemangat. Tertarik karena informasi yang awalnya ingin ia dapat satu jadi bertambah.

"Nggih, Meneer, karena saya yang juga belanja kebutuhan pokok rumah ini."

Mulut Alaska membulat sembari kepalanya mengangguk-angguk. Bibir Alaska lalu mengulas senyuman.

"Wah, kamu tahu banyak, ya, Sabina. Kalau soal upah Buruh pabrik saya, kamu tahu juga, kah?"

Kepala Sabina sontak menggeleng. Kepala perempuan itupun kembali menunduk.

"Soal itu, jujur saya tidak tahu, Meneer. Yang tahu hanya, Meneer."

"Ya, masalahnya kan, saya hilang ingatan sekarang. Manalah saya tahu, Sabina." balas Alaska greget, tapi ia mencoba sabar.

"Meneer selalu membuat catatan harian tiap selesai kunjungan ke Pabrik. Saya tidak tahu pasti, tapi mungkin saja Meneer pernah menuliskan upah Buruh di sana." ungkap Sabina. Muncul binar di mata Alaska. Informasi inilah yang ia inginkan.

"Naaahh! Itu tandanya kamu tahu, Sabinaaa! Ih, pinter banget sih!" seru Alaska. Saking girangnya, tanpa sadar ia berbahasa gaul. "Sekarang di mana buku catatan itu?"

Sabina mendongak. Dari sorot mata yang Sabina tunjukan, Alaska sudah dapat menebak jawabannya. Wajah Alaska langsung berubah datar.

"Kamu pasti juga tidak tahu di mana buku itu, kan?"

Sabina nyengir kuda. "I--iya, Meneer."

Alaska membuang muka. Wajah girang pria itu sebelumnya sekarang menjadi wajah malas.

"Bisa-bisanya gue langsung percaya betol sama Sabina spek cemot gini. Cewek lemot! Soalnya wajah dia pas ngomong tadi tuh kaya akan keanekaragaman hayati sih. Makanya gue percaya-percaya aje."

°°°

Alaska masuk ke kamar Hans bersama Sabina setelah kehadiran Centini dan Idenburg tak ada lagi di tempat. Alaska tak tahu dan tak peduli dua pasangan gila itu ke mana. Sesampainya di kamar, Alaska langsung mendatangi meja kerja Hans yang berada di seberang kasur.

"Kamu tahu, kira-kira buku catatan kerja Hans--- eh, maksudnya saya, saya taruh di mana, Sabina?" tanya Alaska, pasalnya ia tak menemukan satupun buku tergeletak di atas meja.

"Mungkin di laci atau lemari meja kerja, Meneer."

Alaska lantas beralih membuka laci, namun terkunci. Seluruh laci ataupun lemari kecil yang dimiliki meja itu Alaska coba buka, namun semuanya tak dapat diakses.

"Dikunci, Sabina. Kamu tahu kuncinya di mana?" Alaska menoleh ke Sabina dan mendapati wajah perempuan itu linglung. Alaska membuang napas kasar. "Sama seperti sebelumnya, kamu juga tidak tahu."

Sabina nyengir kuda. "Betul, Meneer. Coba Meneer ingat-ingat lagi."

"Kalau saya ingat, tidak mungkin saya hilang ingatan sekarang." jawab Alaska, seraya menjatuhkan bokongnya ke kursi. Namun sedetik dari itu, Alaska mengaduh kesakitan dan langsung berdiri mengusap-usap bokongnya. "What the fuck, sakit banget cok! Anjriitt, pantat gue barusan nabrak apaan, shibal!"

Sabina kebingungan oleh dua hal sekaligus. Tuannya yang baru saja duduk di kursi tiba-tiba meringis kesakitan dan bahasa Tuannya yang asing.

"Ada apa, Meneer? Kok bisa kesakitan begini?" Sabina menghampiri Alaska yang terduduk sedang mengusap bokongnya.

"Gak tahu, tapi sakit banget kayak kena tusuk batu! Apaan sih itu?"

Alaska bergerak meraba bantalan kursi. Ia mendapati sebuah jendulan yang berasal dari dalam bantalan. Alaska pun melepaskan bantalan tersebut. Di sana lah, Alaska menemukan barang yang ia cari-cari. Kumpulan kunci.

"Sabina..." Alaska mengambil kumpulan kunci yang ia temukan dan menunjukkannya ke Sabina dengan mata berbinar.

"Sepertinya itu kunci laci meja kerja, Meneer."

Alaska mengangguk mantap. Ia satu pendapat dengan Sabina. Tanpa pikir panjang, Alaska langsung memilih satu kunci dan memasukkannya ke lubang laci.

Klik!

Sedetik kunci di putar, timbul bunyi dari laci. Mendengar itu, Alaska menebak bahwa kunci yang dia pakai benar. Alaska lantas menarik laci untuk membuktikan. Dan benar saja, laci tersebut dapat dibuka. Alaska menemukan sebuah buku di dalam sana.

"Itu bukunya, Meneer!" seru Sabina.

"Benar ini bukunya?"

Sabina mengangguk yakin. "Buku ini seringkali Meneer keluarkan, jadi saya ingat betul sampulnya. Warna cokelat gelap. Ini memang buku catatan kerja Meneer."

Alaska mengambil buku itu sambil tersenyum sumringah menatapnya. Alaska kemudian duduk di kursi, lantas membuka halaman pertama buku. Sabina yang melihat Alaska sudah akan mulai bekerja pun berinisiatif.

"Meneer."

"Ya?" sahut Alaska tanpa menoleh. Sorot mata Alaska fokus membaca sekilas catatan-catatan Hans di tiap halaman.

"Meneer mau saya buatkan kopi?"

"Boleh."

"Baiklah, akan saya ambilkan, Meneer. Permisi."

Sabina berlalu meninggalkan Alaska seorang diri di kamar. Selesai membaca sekilas sampai ke halaman terakhir, Alaska kembali membuka halaman pertama. Kali ini ia akan membaca buku catatan secara rinci.

Di halaman pertama, Hans menceritakan latar belakang ia memiliki pabrik. Tapi Alaska berdecak lantaran Hans menuangkan kalimat-kalimatnya menggunakan Bahasa Belanda.

"Kenapa lo nulisnya makek bahasa Belanda sih, Hans? Entar kalo gue mau nulis hal-hal penting di sini, kudu ngikutin tulisan lo. Abjad bahasa Belanda tuh susah, Taplak!" gerutu Alaska, tapi karena ingin tahu pesan yang Hans tulis, mau tak mau ia baca juga buku catatan itu.

Kakekku dari pihak Ayah, James Bosh van de Idenburg adalah seorang pembisnis kaya raya di seluruh Hindia-Belanda. Di usianya yang menginjak kepala 4, dia sudah memiliki 4 pabrik yang tersebar di pulau Jawa. Pabrik pertama berdiri di Batavia, kemudian bertahap cabang-cabang pabrik mulai berdiri di beberapa Gemeente Sint-Nicolaas Punt, Buitenzorg, dan Chirebon.

Kakek ingin mewariskan Pabrik-pabriknya kepada Ayah, tapi di masa mudanya Ayah lebih tertarik ke dalam dunia politik. Sehingga begitu aku lahir, hidupku sudah ditakdirkan untuk menjadi seorang konglomerat yang mewariskan Pabrik-pabrik Kakek.

Walau sebenarnya aku tak menginginkan jalan hidup ini, tapi aku tak punya pilihan lain karena terhalang oleh ambisi keluarga. Oleh sebab sudah terlanjur basah, aku benar-benar membangun pabrik Kakek dengan tuntunan hati. Bukan hanya di Gementee pulau Jawa saja, aku bahkan berhasil membangun pabrik di pulau Sumatera di Fort de kock. Saat ini sedang dalam proses pembangunan bersamaan dengan renovasi Pabrik di Bandoeng.

Ada beberapa kalimat bahasa Belanda yang tidak bisa otak Alaska terjemahkan. Akan tetapi, isi pesan itu sudah bisa Alaska ketahui. Setelah di baca, ternyata Hans bisa mempunyai banyak pabrik bukan merintis dari nol. Melainkan berkat peralihan warisan Ayahnya yang saat itu tak minat melanjutkan bisnis keluarga.

"Make sense sih, semua pabrik yang Hans miliki bukan organik dari hasil jerih payahnya sendiri. Pada hakikatnya kan, emang Anak muda itu manusia yang baru merintis, masih nol, gak punya apa-apa, gak punya backingan. Semuanya berawal dari bawah, baru menjajaki satu persatu tangga kehidupan. Kalau dibantu Bapak, Ibu, Kakek, apalagi Paman yang pejabat mah itu nggak bisa disebut Anak muda, tapi Putra Mahkota. Kayak..., you know what i mean."

Alaska terkikik memikirkan sebuah peristiwa yang pernah ia saksikan di suatu tempat. Putra itu dituntun oleh keluarga besarnya sehingga dapat meraih puncak tertinggi. Mengingat peristiwa tersebut, kepala Alaska menggeleng miris.

"Semoga setan di sini bukan buzzer Pangeran Mahkota tersebut, ya? Bahaya, soalnya Bapak gue juga bagian Kabinet Pemerintahan Bapaknya Pangeran Mahkota itu. Ngehehe,"

Alaska yang masih terkikik geli tertangkap basah oleh Sabina yang baru datang dengan membawa secangkir kopi. Dahi perempuan itu mengernyit.

"Meneer kenapa? Ada yang lucu kah? Kok sampai tertawa sebegitunya?" tanya Sabina seraya memindahkan kopi ke meja.

Alaska tersadar. "Eh, Sabina? Kaget saya, kamu tahu-tahu sudah di sini saja."

Sorot mata Alaska beralih ke cangkir kopi yang baru saja Sabina taruh.

"Boleh saya minum ini?"

"Tentu, Meneer. Kopi itu kan, memang saya buatkan untuk, Meneer."

"Siapa tahu kan, tidak boleh." ujar Alaska yang sebenarnya tadi hanya bercanda. Alaska pelan-pelan menyeruput kopi hitam tersebut. Baru satu teguk diminum, Alaska langsung terbatuk-batuk.

"Meneer! Hati-hati!"

Sabina sigap mengambil alih cangkir kopi di tangan Alaska. Takut terjatuh dan bisa mengenai tangan Alaska. Kopi itu masih panas sekali, kulit tangan Tuannya bisa terluka.

"Kenapa, Meneer? Kopinya panas sekali, kah?"

"Bukan, tapi... ini pahit banget, Sabina!" oceh Alaska dengan wajah mengerut. Kentara sekali lidahnya tengah menahan pahit. "Kamu lupa kasih gula, kah?"

"Saya kasih, Meneer. Kopinya seperti biasa, satu sendok teh kopi dan dua sendok teh gula, diaduk dari kanan ke kiri sebanyak tujuh kali."

"Diaduk dari kanan ke kiri sebanyak tujuh kali, itu ngaduk kopi atau tawaf keliling Ka'bah?" batin Alaska takjub. Tanpa sadar ketika sedang membatin, ekspresi Alaska melongo yang membuat Sabina gagal fokus.

"Saya tidak suka kopinya, ini kepahitan bagi saya. Hidup saya sudah terlampau pahit, Sabina. Ganti dengan susu. Saya mau susu!" protes Alaska menggebu-gebu. Mendengar keinginan Alaska, dahi Sabina mengerut.

"Tapi kopi Robusta memang pahit, Meneer. Makanya Meneer suka, karena kopinya itu pahit. Kopi robusta adalah minuman kesukaan, Meneer. Tiap kerja, Meneer selalu meminta saya untuk menghidangkan kopi robusta. Justru Meneer tidak suka susu karena terlalu manis. Meneer tidak suka makanan yang manis-manis."

Mulut Alaska kian menganga lebar. Lagi-lagi kebiasaan Hans membuatnya kesulitan. Pertama soal penggunaan Bahasa Inggris, kesukaan makan babi, dan kini Hans yang penyuka kopi akut. Jelas Alaska tak mampu menyamai Hans karena mereka adalah dua orang berbeda meski bersemayam dalam tubuh yang sama.

Alaska membuang napas perlahan. Dengan lemah lembut, Alaska pun bicara dengan mengutarakan alasan yang harapannya dapat diterima oleh Sabina.

"Untuk malam ini, saya mau bekerja ditemani susu bukan kopi. Minum kopi terus-menerus bisa bosan, bukan? Sesekali saya mau merasakan cita rasa baru. So, please..., buatkan saja susu itu untuk saya. Boleh, Sabina?"

"Tentu saja boleh, Meneer. Izin, saya bawa kembali kopinya." Sabina mengembalikan kopi ke nampan. "Saya permisi, Meneer."

Sabina berbalik hendak melangkah, namun Alaska dengan cepat mencegah.

"Sebentar!"

Sabina menoleh, "Ada hal lain yang Meneer inginkan?"

Alaska mengangguk lantas mengutarakan keinginannya itu.

"Saya mau makan camilan biskuit. Di rumah ini ada stock camilan itu?"

Tampak Sabina tertegun sejenak. Sebenarnya saat ini Sabina terkejut, tapi wajah kakunya berhasil menutupi separuh rasa terkejut itu.

"Ada, Meneer. Meneer mau saya ambilkan biskuit juga?" ulang Sabina. Alaska mengangguk membenarkan.

"Ya, susu dan biskuit. Biskuit enak kalau dicelup ke susu, hehe. Ambil yang banyak, ya, Sabina. Terima kasih.

Tawa kecil Alaska semakin membuat wajah Sabina tertegun bahkan lebih terlihat seperti orang yang sedang terkena hipnotis. Dalam benak Sabina, ia terkejut melihat permintaan Tuannya yang tak seperti biasanya. Sabina pun semakin dibuat terkejut karena Tuannya turut meminta biskuit. Dua makanan manis yang tak pernah ia lihat Tuannya itu sentuh. Walau menemukan seluruh keanehan itu pada Tuannya, tapi Sabina tetap patuh.

"Saya permisi dulu, Meneer."

"Okey," balas Alaska mempersilahkan. Untuk kedua kalinya, Sabina meninggalkan Alaska untuk membuatkan minuman.

Selesai membaca latar belakang, sampailah Alaska kepada bab yang ia cari-cari. Pabrik di Soerabaja. Penjelasan mengenai pabrik itu Hans tulis setelah halaman latar belakang.

Di halaman awal bab Pabrik di Soerabaja, tergambar sebuah peta kecil. Dari struktur bangunan yang dibuat, Alaska tebak ini adalah peta bangunan pabrik.

"Gambar tangan Hans kah ini? Cakep juga, not bad." Alaska berpikir sejenak. "Kalo lo lebih awareness sama bakat lo sendiri, mungkin lo bisa jadi arsitek. Desain bangunan lo nyata, bro! Tapi, lagi-lagi beban buat gue."

Kepala Alaska menggeleng pasrah. Halaman buku kembali Alaska telusuri. Hans sangat detail menjelaskan tentang Pabrik di Soerabaja. Semuanya terstruktur, dimulai dari latar belakang, sistem operasional, tata kelola pabrik, sistem perekrutan hingga administrasi.

Di poin administrasi, Alaska menemukan tujuan yang ingin ia capai. Upah pabrik. Hans menuliskan jumlah upah yang dia berikan ke Buruh.

"15 gulden untuk lelaki dan 10 gulden untuk perempuan? Gak adil, Hans, fak kata gue teh. Diskriminasi banget sih, lo! Bibit-bibit patriaki nih, Anak. Sampe tahu Mak gue, abis lo di ruqyah dia pakek semburan air suci dari sumbernya langsung yang ada bau bau jengkolnya. Tergantung beliau barusan makan apa."

Alaska membuka halaman lain. Di halaman berikutnya, Hans menjelaskan pabriknya yang ada di Surakarta. Kebetulan sekali, karena peristiwa pemogokan Buruh yang melibatkan Sarekat Islam bersumber dari pabrik itu. Saat Alaska baca, Hans juga menjabarkan poin-poin serupa selayaknya pabrik di Soerabaja secara sistematis.

Sistematika pemberian upah kepada buruh pun sama antara pabrik di Soerabaja dan Surakarta. Perempuan diberi upah sebanyak 10 gulden dan laki-laki 15 gulden.

Masih ingin membandingkan, Alaska membuka halaman yang menjelaskan pabrik lain lagi. Kali ini Alaska masuk pada penjelasan pabrik di Batavia. Dan, sistematika kepenulisan laporan sama. Hans juga memberikan gaji serupa.

Muncul rasa kesal setiap membaca upah yang menurut Alaska tak semestinya, ia pun menutup buku catatan kerja Hans kasar. Alaska menopang keningnya pusing.

"Hans mukanya boleh aja ganteng, tapi otak gendeng! Masa ngasih gaji sama rata sih, padahal kan tiap daerah biaya hidupnya berbeda-beda." oceh Alaska yang lagi-lagi tertangkap basah oleh Sabina dalam kesempatan yang sama.

Sabina baru datang setelah membawa ulang pesanan Tuannya yang baru. Segelas susu hangat dan biskuit. Sabina menaruh dua pesanan itu di atas meja. Kedatangan Sabina spontan membuat tubuh Alaska tegap.

"Terima kasih." Alaska melempar seulas senyum ke Sabina. Gelas berisi susu hangat itu Alaska minum seteguk.

"Susunya panas tidak, Meneer?"

Alaska menaruh kembali gelas setelah mencicipi. Kepalanya menggeleng.

"Tidak terlalu. Sudah pas. Manisnya juga."

"Syukurlah, kalau Meneer suka. Kalau tidak ada lagi yang Meneer butuhkan, saya pamit undur diri dulu."

"Tunggu!" Alaska mencegah kepergian Sabina. Ia menarik kursi satu lagi yang berada di sebelahnya. "Duduk sebentar di sini. Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan ke kamu."

Sabina mengangguk samar. Ia duduk di kursi yang posisinya berhadapan dengan Alaska. Setelah Sabina duduk, Alaska mulai membuka percakapan.

"Di kamar kamu tadi, kamu bilang tahu harga pasar karena sering belanja bahan pokok rumah, kan?"

"Nggih, Meneer."

"Berapa harga beras?"

Sabina sempat tersentak karena kaget Tuannya tiba-tiba bertanya harga kebutuhan pokok yang sebelumnya tak pernah laki-laki itu pikirkan. Meski diselimuti rasa heran, Sabina tetap menjawab.

"Seminggu yang lalu saya baru beli bahan pokok termasuk beras, Meneer. Harga beras 15 gulden."

"Berapa kilo itu?"

"Sepuluh kilo."

"Kalau 5 kilo? Ada yang jual beras 5 kiloan?"

"Ada, Meneer, harganya 8 gulden."

"Kata Mama, di rumah selalu beli beras 20 kiloan dan itu dalam 1 bulan udah abis." Alaska mulai menerka-nerka. Membandingkan konsumsi beras di rumahnya dengan keluarga lain. "Kami yang makan 4 anggota keluarga. Lah mereka? 5 kilo walau yang makan 2 anggota pun gak akan tahan sampe satu bulan, gue rasa. 5 kilo itu maksimal 1 minggu udah abis. Apalagi yang makan Buruh. Kerjaan mereka berat, pasti nafsu makan juga meningkat. Anjir, makin dipikirin malah makin kepikiran."

Alis Sabina bertautan. Heran melihat Tuannya yang mendadak diam. Dari wajah yang Tuannya tunjukkan, Sabina tahu Tuannya itu sedang memikirkan sesuatu.

"Kenapa Meneer tanya soal harga beras?" tegur Sabina, basa-basi saja agar Alaska sadar.

"Oh, itu... Hanya mau membandingkan dua elemen agar balance." jawab Alaska yang tidak Sabina pahami sama sekali.

Sebenarnya Alaska sengaja menggunakan istilah sulit, agar Sabina tidak tahu rencananya untuk merevisi upah buruh.

"Harga pokok lain bagaimana, Sabina?" tanya Alaska mengembalikan topik pembahasan mereka. "Seperti garam, gula, tepung, apa sajalah kebutuhan pokok dapur yang kamu ketahui."

"Garam harganya 3,5 gulden, Meneer--"

"Sebentar-sebentar." Alaska tiba-tiba saja menghentikan ucapan Sabina. Ia menunduk, membuka laci tempat pertama kali ia menemukan buku catatan kerja Hans.

"Meneer cari apa?"

"Pulpen. Tahu kan? Yang untuk nulis itu."

Jemari Alaska mengepal. Memperagakan gerak menulis supaya pesannya tersampaikan ke Sabina. Alaska sudah memperkirakan nama pulpen ataupun pena pasti belum dipopulerkan pada masa ini. Berkat bahasa tubuh itu, Sabina paham maksud Alaska.

"Di laci atas, Meneer. Tidak dikunci kalau laci yang itu."

Alaska membuka laci bagian atas. Tersimpan banyak pena lengkap dengan isi tinta di sana. Alaska mengambil salah satu pulpen dan mengamatinya. Model pulpen itu mirip dengan koleksi-koleksi pulpen Papanya di masa depan.

"Pulpennya mirip sama punya Papa. Hhmm, Papa beneran makhluk lawas deh. Pulpen pun masih ketinggalan zaman."

Bibir Sabina mengukir senyum aneh kala mendengar Alaska tiba-tiba membahas Papanya.

"Semua orang memang pakai fountain untuk menulis, Meneer."

"Foun..., apa?" beo Alaska. Nama asing selain pena dan pulpen itu menarik rasa penasarannya.

"Orang Eropa menyebut itu Fountain, tapi Pribumi bilangnya Pena Air Mancur."

"Waahh, di sini sudah kenal istilah pena? Bilang dong dari tadi, kan jadi enak saya ngomongnya." seru Alaska bersemangat membuat ia spontan bicara tidak baku.

Tangan Alaska mulai menggoreskan pena ke buku. Ia menulis ulang informasi yang ia dapat dari Sabina tentang harga-harga bahan pokok. Di sebelahnya, Sabina tampak menunjukkan ekspresi tak biasa melihat aktivitas Alaska. Mata perempuan itu membulat lebar disertai wajah terkejut. Seolah baru saja menerima kabar menggemparkan.

"Beras 10 kilogram seharga 15 gulden. Yang 5 kilogram harganya 8 gulden. Terus garam, harganya 3 setengah gulden. Apalagi setelah itu, Sabina? Harga gula berapa?" Alaska menoleh ke Sabina dan di detik itu dia tertegun setelah menyadari wajah Sabina. "Kamu kenapa? Wajahnya kaku begitu."

Sabina tersentak. Ia sadar lantas menggeleng. Seulas senyum paksa ia torehkan.

"Tidak, Meneer. Tadi saya hanya tidak sengaja melamun sebentar. Saya terkesima dengan tulisan, Meneer."

"Ah, begitu..." Alaska seketika tersenyum sombong. "Respons kamu mestinya biasa saja, Sabina. Kan dari dulu tulisan saya itu memang bagus. Apalagi gambar buatan saya."

Alaska membuka halaman sebelumnya, yang menunjukkan denah lokasi pabrik Surakarta. Ia lalu mendekatkan buku itu ke Sabina.

"Gambar ini saya yang buat, kan?"

Sabina menggeleng. Jawaban Sabina membuat Alaska tersentak. Tebakannya salah.

"Saya yang buat gambar itu, Meneer."

"Hah, kamu? Semuanya? Semua gambar denah di pabrik ini kamu yang buat?" tanya Alaska beruntun. Pasalnya ia amat tak menyangka Sabina yang dikenalnya pendiam memiliki bakat terpendam.

Kali ini Sabina mengangguk pelan dengan senyum malu-malu. Mulut Alaska terbuka. Ia melongo lebar begitupula matanya.

"Woaahh, Sabinaaa kamu keren banget!" puji Alaska yang mendapat reaksi bingung dari Sabina. Ia tak mengerti dua kata terakhir yang Alaska ucapkan. Sadar reaksi Sabina itu tanda orang kebingungan, Alaska pun segera meralat ucapannya. "Maksud saya, kamu luar biasa diberi bakat sehebat ini! Terus kembangkan!"

Sabina menggeleng pelan. "Tidak bisa, Meneer.

"Kenapa tidak?"

"Saya perempuan, Meneer."

"Apa hubungannya bakat dengan jenis kelamin?"

"Jangankan bakat, memimpikan cita-cita pun rasanya haram bagi perempuan." tutur Sabina, terselip nada sedih melalui kata-katanya itu.

"Siapa yang bilang begitu?!"

Suara Alaska drastis meninggi, membuat Sabina terkejut. Sadar baru saja kelepasan, Alaska lantas berdehem. Mengatur suaranya seperti semula. Alaska menatap Sabina lekat.

"Sabina, kodrat adalah sesuatu pemberian dari Tuhan yang tidak mampu dirubah ataupun ditolak oleh manusia. Adapun kodrat perempuan itu datang bulan, hamil, melahirkan, dan menyusui. Aspek itu sudah ada sejak kamu dilahirkan. Tiada yang bisa menolak dan menentang. Tapi bakat dan cita-cita adalah nafsu manusia yang timbul dari keinginan. Kamu bisa mengendalikan, tapi orang lain tak punya kuasa atas itu."

Sabina tertegun. Kedua tangan perempuan itu mencengkram rok batiknya. Ucapan Alaska mampu menciptakan gemuruh di hati Sabina.

"Dua tangan kamu memang tidak bisa membungkam ratusan mulut orang, tapi gunakan sepasang tangan kamu itu untuk menutup telinga. Jangan dengarkan omongan orang yang tidak memiliki andil apa-apa atas dirimu. Terus melangkah. Terus maju. Mimpi adalah satu-satunya kepunyaan manusia yang merdeka."

"Merdeka?" ulang Sabina lirih. Matanya berkaca-kaca setelah mendengar kata merdeka. Itu adalah mimpinya yang sesungguh-sungguhnya!

"Ya, merdeka untuk berpikir, merdeka untuk berpendapat, merdeka untuk berkarya, merdeka untuk segala hal baik bagi dirimu bahkan orang lain."

Air mata Sabina semakin menggenang. Sabina merasakan bulir mata itu sebentar lagi akan jatuh, tapi cepat-cepat ia memutuskan kontak mata. Wajah Sabina berpaling. Alaska yang terpaku pun tersentak kala melihat pergerakan Sabina. Meski Sabina tutupi, Alaska tahu bahwa wanita itu sedang menyembunyikan air mata. Untuk mengalihkan suasana haru itu, Alaska pun ambil tindakan.

"Coba kamu gambar saya." Alaska berpose menopang dagu.

Sabina tampak menahan tawa. Respons Sabina yang demikian membuat Alaska mengernyitkan dahi.

"Kenapa kamu malah ketawa?"

"Meneer lucu."

"Tapi bukan badut loh ya, yang bisa kamu anggap sebagai pelarian. Hiks." Alaska pura-pura memasang wajah sedih. Lagi-lagi tindakan Alaska berhasil memancing tawa Sabina.

"Saya selalu menggambar di sela-sela waktu luang, Meneer. Malam memang waktu luang saya, tapi kadang mata saya sering mendadak kabur, Meneer."

"Ah, kamu rabun senja itu."

"Rabun senja?"

"Rabun senja itu penyakit pada penglihatan. Penglihatan kamu tidak dapat beradaptasi dalam keadaan kondisi cahaya rendah, contohnya saat malam hari. Artinya kamu itu butuh vitamin A, Sabina. Salah satu vitamin A itu Alaska." Alaska menaik-turunkan alisnya.

"Alaska itu apa lagi, Meneer?"

Alaska melongo. Tak menyangka mendapatkan pertanyaan seperti ini. Wajah serius yang Sabina tunjukkan sekarang semakin membuat Alaska cengo. Nampaknya wanita itu tidak bercanda atas pertanyaannya.

"Sabina, kamu serius nanya ini?" tanya Alaska dan Sabina mengangguk mantap. Alaska menutup sebagian wajah. Menahan kesal. Alaska menghirup napas dalam-dalam. "Sabina, saya maklum kamu tidak tahu siapa Alaska, tapi pertanyaan yang kamu lontarkan itu seolah-olah menyatakan Alaska itu benda!"

"Jadi, Alaska itu bukan barang?" timpal Sabina yang tambah membuat Alaska geram.

"Alaska itu oraangg, Sabinaaa! Laki-laki, tampan, manis, bijak bestari, tinggi semampai, idola kaum hawa bahkan bidadari surga!"

"Oohh... Terus, apa hubungannya penyakit mata dengan Alaska? Alaska itu dukun kah?"

"Kodok Empang!" sentak Alaska. "Ah, sudah lah, saya mau lanjut kerja lagi!"

Alaska membolak-balik halaman kasar. Matanya memang tertuju ke buku, tapi pikirannya masih mengarah ke perdebatan tadi. Sabina menatap bersalah campur takut ke Tuannya itu.

"Meneer marah ya?"

"Berisik!" balas Alaska ketus. Sabina langsung bungkam.

Saat tengah membolak-balikkan buku itu, mata Alaska tak sengaja membaca susunan kalimat yang membuatnya tertarik di salah satu halaman.

Tiga Pilar Surga Duniawi.

Demikianlah kalimat yang ditulis besar dalam halaman itu. Alis Alaska mengernyit. Baginya diksi kalimat itu aneh. Merasa janggal, mata Alaska pun bergerak membaca 3 paragraf di bawahnya.

Kilau emas itu semakin terang dengan dibidik oleh cahaya sang illahi. Diriku pun menjadi saksi dan perantara kemegahan itu.

Sepasang binar yang terkandung cinta kasih Tuhan. Memeluk sebongkah batu karang nan keras hingga hancur berkeping-keping. Setiap jengkal tanah yang ia pijak menaburkan kelopak-kelopak bunga. Siapapun bisa terjerat. Aku yang egois ini ingin menikmati candu itu sepenuhnya. Mawar merah mungil itupun aku kungkung ke dalam kawat berduri.

Sepasang zat surgawi amat membebani nafsu duniawi. Atau hanya aku yang berpikir begitu? Pada hakikatnya yang ku inginkan semua merupakan nafsu duniawi. Termasuk rasa manis nan memabukkan saat bibirku bersentuhan dengannya.

"Bjiirrr, ini otak gue yang IQ-nya jongkok atau tulisan Hans yang emang ketinggian? Hans udah macam ngab-ngab senja aje. Pakek segala nulis surga duniawi. Padahal surga itu turu, surga itu turu, surga itu turu. Surga itu turu..., duniawi juga turu...,"

Alaska yang awalnya mengoceh mendadak saja bernyanyi di penghujung kalimat. Tak berlangsung lama nyanyian itu ia akhiri. Alaska sadar penemuan 3 paragraf tulisan Hans ini nampaknya memiliki arti.

Alaska berniat menanyakan hal ini kepada Sabina. Namun niat itu seketika lenyap ketika Alaska melihat Sabina sudah tertidur lelap dalam keadaan kepala menyender di kursi.

"Baru ditinggal sebentar, udah tewas aja Sabina. Ck, ck, ck." Alaska berdecak seiring kepalanya menggeleng kecil.

Alaska bangkit dari kursi. Ia menggendong Sabina. Penuh hati-hati Alaska memindahkan tubuh perempuan itu dari kursi ke kasur. Tapi saat Alaska membaringkan tubuh Sabina ke kasur, tanpa sepengetahuan Alaska ternyata kalung Sabina tersangkut ke kancing bajunya. Alhasil sewaktu hendak bangkit, tubuh Alaska terdorong semakin dekat ke wajah Sabina. Beruntung Alaska gesit menahan tubuhnya dengan kedua tangan menumpu kasur.

Tubuh Alaska membeku. Napasnya spontan saja tertahan saat menyadari posisi mereka amat dekat. Alaska tiba-tiba saja tertegun. Berada dalam keadaan sedekat ini, ia bisa menelusuri wajah Sabina lebih jelas.

"Kenapa dia gak bangun? Malah kayak putri tidur." gumam Alaska dengan mata yang masih terpaku pada wajah Sabina. "Di kisahnya putri tidur bisa bangun karena ciuman sejati dari pangeran. Tapi, memangnya ada cinta yang semacam itu, Sabina?"

Alaska semakin larut dalam lamunan kalau tidak indera penciumannya diusik oleh aroma mawar. Alaska tersentak. Sadar posisinya sudah sedekat ini, bergegas Alaska melepaskan kalung Sabina dari kancingnya. Alaska langsung menjauh dengan napas terengah-engah.

"Apa yang gue lakuin barusan? Lo ngapain, Alaska?! Sadar, sadar, sadar!" Alaska menepuk pipinya bergantian. "Dia bocah umur 17 tahun dan di sini umur lo sudah 25 tahun. Pedofil anjay! Kata gue lo tobat deh, my self! Istighfar tiga puluh tiga kali."

Alaska memijat kening dengan satu tangan lagi berkacak di pinggang. Alaska tak habis pikir dengan tingkahnya sendiri. Alaska membuang napas setelah merasa tenang. Ia menoleh ke jendela yang terbuka lebar. Pantas suhu di ruangan dingin. Ternyata jendela masih terbuka.

Alaska kembali menoleh ke Sabina. Jika jendela itu dibiarkan Sabina pasti kedinginan. Alaska pun berjalan menutup jendela. Sebelum sempat menutup jendela, Alaska spontan berhenti di tempat lantaran terpaku melihat bulan purnama. Bulan purnama yang berbentuk bulat sempurna itu memancarkan sinar yang terang hingga menembus ke dalam kamarnya.

Seketika alis Alaska bertautan setelah melihat bulan purnama itu. Ia jadi teringat 3 pilar surga duniawi yang ditulis Hans. Sinar rembulan mengingatkannya pada paragraf pertama.

Kilau emas itu semakin terang dengan dibidik oleh cahaya sang illahi. Diriku pun menjadi saksi dan perantara kemegahan itu.

Mata Alaska perlahan membulat. Agaknya ia mulai mengetahui makna kalimat itu. Alaska menoleh ke belakang dan menemukan lukisan Hans yang berukuran besar terpajang di tembok. Saat Alaska menoleh, cahaya rembulan langsung menembus ke lukisan itu. Melihat kejadian tersebut, praduga Alaska pun semakin dikuatkan.

Alaska lantas berjalan cepat menghampiri lukisan Hans itu. Alaska meraba-raba, mendobrak-dobrak, bahkan mendorong hingga menarik lukisan itu tapi tidak terjadi reaksi apapun.

"Gue yakin banget di balik lukisan ini ada apa-apanya. Gue udah tamatin semua seri film Sherlock Holmes, woi! Please, jadiin praduga gue bener. Gak mungkin kan, Hans iseng doang nulis kalimat yang penuh teka-teki. Gabut banget artinya tuh orang."

Alaska diam dengan napas terengah-engah setelah mengotak-atik lukisan itu, tapi tidak bereaksi apapun. Alaska diam memikirkan cara lain. Alaska menengok ke belakang lukisan, terdapat celah yang cukup besar di sana. Telapak tangannya bahkan bisa masuk untuk meraba-raba.

Saat tengah meraba-raba, tiga jemari Alaska tak sengaja menekan semacam tombol. Terdengar bunyi setelahnya kemudian Alaska tanpa sadar menggeser lukisan tersebut. Mulut Alaska terbuka lebar. Alaska menemukan semacam berangkas di balik lukisan Hans.

"Ternyata cuma perlu di geser. Capek-capek gue ngedorong dari tadi, tapi dapet hikmahnya doang." Alaska menghembuskan napas lelah. Ia berkacak pinggang melihat berangkas besar di depannya. "Okee, mari kita lihat apa isinya? Apakah doorprize bedah rumah? Gue lebih prefer buka tirai 3 sih, setelah pesan-pesan berikut ini."

Alaska terkekeh karena gurauannya sendiri. Sebelum dapat membuka berangkas tersebut, Alaska masih perlu memikirkan sandinya agar kunci berangkas dapat diputar.

"Tanggal lahir Hans kali, ya? Hhmm, berapa tanggal lahirnya kemaren? 27 januari, berarti 2701? Atau 0127? Ck!"

Alaska berdecak. Ia memilih angka pertama terlebih dahulu. Dan tebakannya tak meleset. Berangkas dapat terbuka. Sandi yang Alaska masukkan benar.

"Hahaha, kayak bocah SD lo, Hans! Mudah banget ditebak. Gue pikir bakal susah macam mecahin sandi morse."

Alaska berdehem. Menyiapkan diri sebelum menarik pintu berangkas. Setelah pintu terbuka, mata Alaska langsung dipenuhi binar. Alaska menemukan puluhan kotak besar berisi Gulden, emas, intan, dan permata.

"Omaygat, omaygat, gue nervous." Alaska menyentuh dengkulnya yang bergetar. "Gue orang kaya. Gue nyasar di tubuh orang kaya! Ahahaha!"

Di saat melihat harta-harta itu, Alaska teringat satu hal penting. Alaska berjalan cepat menuju meja kerja. Ia kembali duduk di sana menulis surat yang menurutnya akan berguna. Surat itu akan ia serahkan besok ke orang yang berhak menerima.

°°°

Bersambung...

Alaska kaget jadi holkay dadakan. Tuh, bersyukur, Las! Gak sia-sia amat masuk ke raga Hans, lo mendadak jadi suger dedi.

Fakta Sejarah!

1. Fountain pen adalah alat tulis jaman dulu, dengan tinta khusus yang dapat diisi ulang, memiliki komponen yang berbeda dengan pulpen jaman sekarang, seperti mata pulpennya dan ukuran bodynya yang biasanya lebih besar. Fountain pen ini mulai populer pada awal abad 19. Sekarang Fountain pen masih sering dipakek, tapi sama pembisnis-pembisnis besar doang karena designya yang klasik.

2. Sebenarnya gak ada hubungannya sih sama fakta sejarah, cuma mengetahui rasa pahit antara kopi robusta dan arabika itu penting di SACI sama related dengan Hans yang punya pabrik kopi. Nanti kalo Alaska udah resmi berkecimpungan di pabrik, kalian bakal lebih sering dapat pembahasan soal kopi. Xixixi.


Terima kasih bagi yang sudah VOTE & COMMENT untuk meramaikan lapak. Sampai jumpa di part selanjutnya. Lop yu tomat❤🍅.

❤Follow IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top