6. SACI - Nyai
Pengumuman bentar gaes. Mulai besok saya sudah masuk kuliah. Jadi, saya mohon dimaklumkan apabila SACI lama update, karena saya sudah semester 6. Huhu, malah dosen PA saya sudah minta dikasih judul dan semester 7 awal saya mesti sudah SEMPRO. Tolong doain yang terbaik ya, untuk saya. Intinya, saya tetap akan melanjutkan cerita ini sampai selesai. Sama halnya kayak MTAL, jadi jangan khawatir.
Jangan lupa VOTE & RAMAIKAN LAPAK DENGAN KOMENTAR KALIAN. Tolong jangan buat lapak ini sepi🥺. Bisa jadikan SACI lebih ramai dari MTAL?
°°°
Perjodohan dadakan itu amat mengguncang Arabella dan Alaska. Arabella terkejut karena tiba-tiba akan dinikahkan dengan orang masa lalu yang tidak ia kenal. Pasalnya yang Arabella tahu, tujuan kedatangan keluarga itu berniat memberinya pekerjaan bukan untuk perjodohan. Sementara Alaska terkejut karena ingin dinikahkan dengan perempuan yang di masa depan kelak menjadi Mamanya. Dia adalah Anak perempuan itu.
Merasa perlu ada yang diluruskan, ia pun minta izin untuk bicara berdua saja dengan Alaska. Tahu kedua orang yang berniat dijodohkan itu hendak bicara secara empat mata, dengan senang hati para orangtua mengizinkan. Mereka menganggap bicara berdua dapat memperat kedekatan.
Alaska mengulum senyum melihat tangan Mamanya kini menarik erat pergelangan tangannya. Saat ini Mamanya itu mencari tempat sepi untuk mereka bicara. Tak ada penolakan ataupun protes dari Alaska. Raganya pasrah, mengikuti saja ke mana Mamanya mengarah.
"Apa harus sejauh ini bicaranya?" celetuk Alaska pada akhirnya.
Langkah Arabella seketika berhenti. Ia menoleh tajam ke Alaska, lalu berpindah menatap tangannya yang masih menggenggam lengan lelaki tersebut. Menyadari itu, Arabella segera melepaskan genggamannya dengan sentakan kasar.
"Dengar, aku tidak sudi menikah denganmu!"
"Ouh, langsung ditolak?" Alaska terhenyak. Cukup kaget karena Mamanya tidak basa-basi dulu.
"Kak Ana kayaknya bukan Anak pungut deh. Kasarnya dia mirip banget sama Mama waktu muda." batin Alaska, beberapa saat teringat sifat Kakaknya.
"Tentu, karena aku tak mencintaimu!"
"Tapi kita teman kecil."
"Apa hubungannya?!"
Alaska berdehem, "Karena kita sudah kenal lama, jadi mudah saja komunikasi antara kita berdua. Dari komunikasi, kita bisa lebih dekat, dan perasaan cinta pun bisa muncul."
"TIIDAAKK!"
Mata Alaska menutup spontan. Kupingnya berdenging hebat karena Mamanya berteriak tiba-tiba. Walau demikian, reaksi Mamanya itu justru menjadi alasan Alaska tersenyum.
"Mama lucu banget sih pas muda. Kikuk gitu orangnya. Seru juga jahilin Mama. Jahilin lagi ah,"
"Kamu bukan Arabella kan?" cetus Alaska tanpa basa-basi. Mulai menjalankan rencananya.
"Ha--h? Ka--kau tau dari mana?" tanya Arabella gagap. Respons gugup dan gelagapan yang Mamanya tunjukkan nampak lucu di mata Alaska. Mati-matian Alaska berusaha menahan diri agar tidak tertawa.
"Arabella yang asli sudah mencintaiku sejak kecil." tambah Alaska, semakin meneruskan aksinya.
"Serius? Kau bohong!"
"Melihat kau yang gugup dan ketidaktahuan-mu barusan sudah menguatkan pradugaku, bahwa kau bukan Arabella."
Alaska melangkah mendekat, membuat Mamanya spontan ikut mundur ke belakang. Saat ini Alaska berusaha menyudutkan Mamanya ke meja kayu di seberang sana. Ketika Mamanya tak lagi dapat mundur karena terhalang oleh meja, Alaska lantas melanjutkan.
"Di mana Arabella yang asli?"
"Aku yang asli!"
"Oke, selain emosian, Mama orangnya juga nyolot dan ngotot. Gak bisa disangkal lagi, Kak Ana bukan Anak pungut."
Alaska tersenyum miring. Meski sudah ketahuan, Mamanya masih tak mau menyerah. Melihat itu, Alaska semakin mencodongkan tubuhnya hingga tak ada lagi jarak di antara mereka.
"Berhenti berbohong dan mengakulah!"
"Benar, kau benar! Aku bukan Arabella temanmu! Puas?! Jadi, menyingkirlah!" Arabella coba mendorong Alaska, tapi sedikitpun tubuh jenjang itu tak menjauh.
Pada akhirnya Alaska sendiri yang bergerak menjauh. Tatkala Alaska sudah mundur, Arabella secepat kilat menjauh. Kini terbentang jarak yang amat jauh di antara mereka. Arabella menatap Alaska waspada. Takut pria itu kembali menghimpit dirinya seperti tadi.
"Lalu, kau siapa kalau bukan Arabella?" tanya Alaska pura pura tak tahu.
"Aku memang Arabella, tapi bukan Arabella temanmu. Aku Arabella---" kata-kata Arabella mendadak terputus. Wajah Arabella tampak ragu. "Aku tahu ini tidak masuk akal, terserah kau mau percaya atau tidak, tapi... Aku cucu Arabella. Aku datang dari masa depan."
"Apa?! Cucu?!"
Reaksi Alaska tidak bohong. Ia benar-benar terkejut. Bukan fakta Mamanya adalah orang masa depan, melainkan kenyataan jika teman kecil Hans adalah Neneknya. Dengan kata lain, Hans memiliki hubungan dekat dengan keluarganya.
Arabella menghela napas pasrah. "Aku tahu kau tidak akan percaya, tapi begitulah kenyatannya."
"Namamu sama seperti Nenekmu? Arabella?"
Kepala Arabella mengangguk kemudian Alaska bertanya lagi.
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu pasti, tapi mungkin karena kami mirip?"
"Mirip sekali?"
"Iya, lah! Masa kau tidak sadar? Kau kan temannya. Kau saja tadi hampir tertipu mengira aku adalah Arabella."
Alaska diam. Soal rupa Neneknya yang mirip atau tidaknya dengan Mamanya, Alaska tak tahu. Karena sebenarnya dari awal Alaska sudah tahu kalau Arabella di depannya ini adalah Mamanya. Beruntung Mamanya tidak curiga atas pertanyaannya tadi.
Satu pertanyaan lagi muncul dipikiran Alaska. Terkait keberadaan Arabella yang asli. Arabella Neneknya. Dari situ, barangkali Alaska juga bisa tahu alasan Mamanya terlempar ke masa lalu.
"Jadi, di mana Arabella yang asli?"
"Dia kabur." jawab Arabella enteng.
Alaska terbelalak, "Ke mana?!"
"Kata orang yang membawaku, kau tahu kan? Pria itu. Yang... Eum, menendangmu sewaktu ingin melompat. Nenekku itu kabur ke Banda Neira."
"Hah, Banda Neira?! Terus bagaimana?!" Alaska semakin terbelalak. Malah ia yang panik. Sedangkan Arabella mendesis. Risih mendengar teriakan Alaska.
"Mana aku tahu, kok kau tanya aku sih? Tapi, kata orang yang membawaku itu, namanya Nasution, dia bilang Nenekku kabur dan akan bertemu jodohnya di sana, Kakekku." ucap Arabella sangat berterus terang. Alaska yang mendengar sampai dibuat melongo.
"Mama blak-blakkan banget anjir. Makin mirip Kak Ana, rem mulut mereka sama-sama blong."
Seketika terbit senyum tipis di sudut bibir Alaska. Sikap Mamanya yang polos dan tipikal orang berterus terang, menghadirkan ide dalam pikiran Alaska. Berkat itu, Alaska ingin mengajukan pertanyaan yang lebih mendetail lagi. Pertanyaan yang selama ini menghantui kepalanya.
"Tadi kau mengaku dari masa depan tahun berapa?"
"1992."
Alaska terpaku. Terbesit miris dalam hatinya. Membayangkan Mamanya mesti mengalami peristiwa aneh ini seorang diri, bahkan pada tahun yang baginya juga terbilang lampau. Dan penyebab peristiwa itu terjadi karena ulah Papanya. Kala mengingat fakta satu itu, Alaska menggeram.
"Pria yang membawamu kemari bernama Nasution?"
Arabella mengangguk membenarkan. "Yaps, nama panjangnya adalah Nasution Ahmad. Namanya sangat agamis, bukan? Tapi kelakuan orangnya serupa komunis."
"Ppfftt," Alaska menahan tawa. Mulut Mamanya enteng sekali mengatai Papanya. Untung yang bersangkutan tidak ada di sini.
"Bener juga, kok Papa gak ada di sini? Tapi bagus deh. Kalo ada Papa, bisa abis gue dipukulinya lagi." batin Alaska, setelah sekian lama baru ingat tidak melihat sosok Papanya di manapun.
"Bagaimana ceritanya kamu bisa berpindah masa, Arabella?" Alaska mengembalikan topik obrolan mereka. Dia ingin segera mendapatkan jawaban.
"Oh, tentang itu! Begini---"
Belum sempat Arabella bercerita, tiba-tiba saja seseorang muncul. Entah dari mana, ia langsung menghempas tubuh Alaska ke batang pohon, kemudian mencekiknya.
Bruk!
"Aaggh!" Alaska berteriak kesakitan. Berusaha melepaskan tangan seseorang yang mencengkeram lehernya.
"Papa!"
Mata Alaska melotot lebar. Menyaksikan Papanya sedang mencekiknya hingga kesulitan bernapas. Alaska ingin bersuara, namun tak bisa. Jangankan bersuara, bernapas saja sulit.
"Tenaga Papa kuat banget! Pa, lepasin, Pa! Ini Alaska! Terserah Anak pungut atau nggak, tapi ini Anak situ yang hobi keluyuran! Please inget dikit kek, Bapaakk Nasutiooonn!"
"Dengar aku, kau harus melupakan semua kejadian malam ini. Kau tidak pernah mendengar pengakuan Arabella. Kau tidak tahu dia berasal dari masa depan. Juga, lupakan soal perjodohan kalian! Aku tak akan membiarkan itu terjadi!"
Nasution menatap mata Alaska lekat. Melalui tatapan itu, Nasution tengah menyihir ingatan Alaska. Bola mata Nasution pun berubah menjadi hitam pekat.
Namun tak lama kemudian, Nasution tampak tersentak. Biasanya mata korban akan ikut berubah menghitam jika sihir berhasil. Akan tetapi, bola mata Alaska tak menunjukkan perubahan. Nasution hanya melihat pelupuk mata pria itu berair.
Satu hal yang tak Nasution sadari. Ketika Nasution mengeluarkan sihirnya, jam rantai Alaska bereaksi. Saku jasnya mengeluarkan cahaya keemasan.
Tangan Alaska tampak berupaya menggapai Arabella. Tatapannya pun mengarah ke perempuan itu. Meminta tolong.
"Mama, Alaska beneran udah kehabisan napas. Tolongin Alaska lagi, Ma. Tolongin Alaska dari amarah Papa kayak biasanya,"
Lambat laun mata Alaska tertutup. Bersamaan dengan itu, pikiran Alaska mengingat beberapa kenangan.
Dulu, semasa masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama kelas satu, Alaska ketahuan merokok oleh pihak sekolah. Perbuatan itu ia lakukan bukan keinginan pribadi, namun karena ajakan teman.
Sifat alamiah remaja yang baru merasakan puber, penasaran dengan segala hal, Alaska pun terbujuk rayuan teman-temannya. Alaska mencicip satu batang rokok, namun tindakannya langsung diketahui Guru BK. Hari itu juga, ia dipulangkan. Mendapat skors selama tiga hari tak boleh masuk sekolah. Pulang-pulang bukannya dapat pembelaan, Alaska justru harus menghadapi amukan Papanya.
"Habiskan dalam waktu 10 menit!"
Papanya melempar satu bungkus rokok dan korek api ke meja. Ia menatap tanpa ekspresi Anaknya yang berdiri menunduk.
"Cepat!"
"Pa, Alaska minta maaf. Iya, emang Alaska yang salah, Pa. Alaska janji gak merokok lagi--"
"Papa bilang habiskan!" bentak Nasution menggelegar membuat tubuh Alaska bergetar. "Ayo, merokok depan Papa. Papa mau lihat kamu merokok, gak usah sembunyi-sembunyi lagi!"
Alaska masih belum bergerak. Melihat itu, Nasution melempar satu bungkus rokok lagi.
"Sekali perintah Papa gak kamu turuti, Papa tambah lagi bungkus rokoknya!"
Alaska terbelalak. Ia tak mau bungkus rokok terus bertambah.
"I---iya, Pa!"
Segera Alaska mengambil sebatang rokok lalu menghidupkannya. Alaska menghisap satu batang rokok pertama. Nasution menyaksikan itu tanpa berkedip sedikitpun.
"Terus! Sepuluh menit gak habis, bungkus rokok itu nambah dua kali lipat!"
Dua, tiga, sampai pada batang rokok yang keempat, Alaska sudah tampak terbatuk-batuk namun Nasution tak membiarkan Anaknya itu berhenti. Pada batang rokok kelima ketika Alaska hendak menghisapnya, Arabella datang dan langsung merebut batang rokok itu.
"Kau ini kenapa, Nasution?!"
"Sedang menghukum Anakmu." jawab Nasution dingin. Mendengar Nasution menyebut Alaska hanya Anaknya bukan Anak kita, wajah Arabella lantas mengeras.
"Dia Anakku, jadi biar aku yang menghukumnya!" Arabella beralih menatap putranya. Melihat banyak keringat mengucur di pelipis Anaknya, sebagai Ibu Arabella cemas. "Kamu gak papa, sayang? Sini, kamu sama Mama aja. Gak papa, itu bukan salah kamu. Kamu harus istirahat, nanti sakit."
"Heh, manjakanlah terus Anakmu itu, Arabella. Besok-besok bukan lagi rokok yang dia coba, tapi Narkoba. Jika benar demikian, Anakmu bisa saja menghancurkan karirku. Seorang Anak Jenderal bintang satu ditangkap karena Narkoba, yang benar saja."
Arabella langsung melemparkan tatapan tajam ke suaminya. "Bisa-bisanya kau memikirkan karir, bukan keselamatan Anakmu!"
"Anak kau."
Kenangan buruk itu segera Alaska hapus. Sedetik kemudian, setetes air mata meluncur bebas di pipi Alaska. Entah sedih karena teringat kenangan menyakitkan, atau karena kesulitan bernapas. Perasaan itu campur aduk.
"Kau ini kenapa, Nasution?! Lepaskan!"
Arabella berusaha sekuat tenaga menarik tangan Nasution agar Alaska bebas. Tapi, tenaga perempuan tak sebanding dengan laki-laki. Terlebih Nasution kini menggunakan sihir sehingga tenaganya berkali-kali lipat lebih kuat.
"Aku bersumpah akan membencimu seumur hidup jika dia mati!"
Deg!
Ancaman yang Arabella lontarkan sontak saja membuat Nasution melepaskan cekikannya. Nasution mundur. Menjauh beberapa langkah dari Alaska. Sementara Alaska sudah terduduk lemas di tanah. Pria itu terbatuk-batuk dengan wajah merah.
"Kau tidak serius bukan?" Nasution mendekat ke Arabella. Matanya menatap kosong mata perempuan yang sedang memicing marah itu.
"Ya, bahkan aku sudah membencimu sekarang." tekan Arabella. Napas perempuan itu memburu. Kentara menahan amarah. Amarah itupun meledak ketika Nasution bertanya polos.
"Kenapa?"
"Karena kau meninggalkanku di pelabuhan!"
Bugh!
Tanpa Nasution perhitungkan, Arabella tiba-tiba memukul dadanya.
"Kau berjanji akan membantuku, tapi ternyata tidak!"
Bugh!
Satu pukulan kembali Arabella layangkan. Nasution diam mendengarkan meski Arabella terus memukulnya seiring bicara. Adegan tersebut tak elak Alaska saksikan. Sejujurnya adegan itu sudah tak asing bagi Alaska. Selama dua puluh satu tahun kadang-kadang Alaska menyaksikan adegan sekarang ini.
"Wow, adegan boxing rupanya sudah Mama realisasikan sebelum berumah tangga, ya? Untuk seukuran es batu mencair, Papa sabar juga menghadapi kelakuan Mama dan mau-mau aja! Ke mana pikiran Papa waktu ijah qabul? Apa gak mikir seribu kali sebelum menikahi psikopat?"
"Kau pembohong!"
Bugh!
"Aku membencimu!"
Bugh!
Grep.
Satu pukulan lainnya ingin Arabella layangkan, namun kali ini Nasution menahan tangan perempuan itu. Ia menggenggam erat pergelangan tangan Arabella. Matanya pun tak berpaling sedikitpun. Tatapan Nasution masih tertuju dalam ke Arabella. Seakan mampu menghunus pemilik jiwa.
"Aku tak meninggalkanmu." ucap Nasution, terdapat jeda sebelum dia melanjutkan. "Aku bisa saja menjelaskannya kepadamu sekarang, tapi suatu tuntutan mengharuskanku diam."
Pikiran Nasution terbang memikirkan kejadian tempo lalu. Tiga orang berpakaian hitam yang menjemputnya di pelabuhan adalah rekan sesama Resitor. Mereka diutus Tetua Resitor untuk menjemput Nasution.
Di sebuah ruang gelap tak berujung, Nasution berdiri sendirian. Ketiga rekannya tadi meninggalkan ia bersama Tetua.
"Ada apa kau memanggilku?" tanya Nasution langsung ke inti.
"Untuk memperingatimu."
Sebuah suara tanpa sosok menjawab. Tatapan Nasution kian datar setelah mendapat jawaban barusan.
"Mataku selalu mengawasi kinerja kalian, Resitor, begitupun kalian yang mengawasi kinerja orang pilihan."
"Aku tahu." timpal Nasution singkat. Ia ingin cepat-cepat menyudahi percakapan ini.
"Tapi kau ikut campur!"
Ekspresi datar Nasution pun mengalami perubahan. Alisnya sontak terangkat sebelah. Terkejut sebab tiba-tiba mendapat tudingan.
"Aku tidak pernah melenceng dari aturan."
"Menuruti permintaan perempuan itu hari ini sudah menunjukkan kalau kau naif, Nasution!"
Tetua berteriak. Teriakannya mampu membuat seisi ruangan yang tanpa objek itu bergetar. Tubuh Nasution merasakan getaran tersebut.
"Beberapa kali kau menggunakan kuasa yang kuberi untuk membantu perempuan itu!"
"Aku membantunya untuk menuntaskan tugasnya di masa lalu, ada yang salah?"
"Kau tergerak membantunya karena dorongan hatimu sehingga mengesampingkan logika!"
Diri Nasution tersentak. Tetua menyadari perasaan yang bahkan ia sendiripun tepis. Nasution membuang muka. Reaksi yang Nasution tunjukkan memancing Tetua untuk kembali mencecar.
"Aku beri kau satu kesempatan lagi agar tidak mengulangi kesalahan yang lalu. Jangan pernah menggerakkan kuasamu dengan hati pada hal-hal yang tidak penting. Jika kau melanggar, aku akan menarikmu dari tugas ini dan mencari Resitor lain untuk menggantikan posisimu mengawal Arabella van Leeuwen."
"Kalau aku melanggar?" tanya Nasution menantang balik. Tetua terkekeh atas keberanian Nasution.
"Bukan hanya posisimu yang aku tarik, tapi takdirmu yang akan ku permainkan. Tapi sepertinya sudah dimulai."
Kalimat akhir Tetua menyadarkan Nasution. Mendadak perasaan Nasution jadi resah. Kalimat itu seolah ancaman yang sudah terealisasikan. Bukan hanya perasaan, kini pikiran Nasution ikut berkecamuk.
"Takdir macam apa yang sedang Tetua persiapkan untukku?"
Dahi Arabella mengernyit. Heran menatap Nasution yang tiba-tiba saja melamun. Sudah beberapa menit yang lalu pria itu diam dengan hanya menatapnya.
"Nasution, jelaskan saja padaku. Jangan disembunyikan kalau tidak ingin aku marah." celetuk Arabella yang disusul suara Alaska setelah itu.
"Hei, kenapa kau malah mesra-mesraan dengan pria jahat itu?! Dia sudah mencekikku, Arabella! Calon suamimu!" teriak Alaska mendramatisir.
"Mesra-mesraan teros! Gak di masa lalu, masa depan, bucin melulu! Gue gulung juga nih dunia lama-lama! Atau gue gulung diri sendiri aja deh sambil gulung dadar! AGH!"
"Aku sudah bilang, aku tidak mencintaimu, bodoh!" bentak Arabella kesal.
"Bodoh? Mama jahat banget ngatain Alaska, bodoh. Sakit heart, tapi no blood Alaska dengernya, Ma. Tega!"
"Aku benar-benar akan melenyapkan nyawamu kali ini." Nasution bergerak mendekat ke Alaska, tapi dengan cepat Alaska mundur.
"Eits! Bro, chill! Calm down, okey! Tarik napas, tahan, buang. Ayok, tarik napas lagi biar tidak emosi. Tarik napas, tahan.... Tahan.... Terus, sampe tiga hari."
Alis Nasution mengernyit. Langkahnya sontak berhenti. Nasution merasa aneh dengan tingkah kompeni di hadapannya. Mulut kompeni di depannya amat cerewet, tapi nihil kalimat merendahkan. Malah seperti sedang bicara dengan orang mudah akrab. Berbeda dengan kompeni kebanyakan yang selalu bicara sombong.
"Mati dong!" sahut Arabella.
"Ops, you're lambe very outside girl!" Alaska menoleh ke Papanya. "Bukan aku yang bilang, tapi Arabella, please jadi jinak!"
"Maksudmu aku binatang, begitu?!" Nasution selangkah mendekat membuat Alaska mundur dengan gerakan cepat.
"Waduh, Pak Nasution, kau ini marah-marah terus. Hati-hati, bisa cepat tua."
Nasution melirik Arabella tajam. Ia langsung bisa menebak dari siapa gerangan Alaska tahu namanya.
"Kau mengobrol sudah sejauh mana dengan kompeni jelek ini sampai dia tahu namaku?"
"Sampai batas emosimu!" celetuk Alaska tak elak memancing amarah Nasution lagi.
Melihat Nasution yang sudah mengambil ancang-ancang ingin mengejarnya, Alaska lantas gesit berlari ke arah pintu belakang. Di ambang pintu, Alaska berteriak.
"Arabella, jangan lupa besok ke rumahku! Besok kau sudah bisa bekerja di pabrikku, calon istri! Sampai jumpa, cintaku!"
Arabella terbelalak. Matanya melotot lebar mendengar panggilan Alaska untuknya. Nasution yang mendengar pun ikut kesal. Ia segera berlari menuju pintu, namun Anaknya itu lebih dulu masuk ke dalam rumah.
°°°
Alaska berjalan riang menuju dapur. Sejak kembali dari rumah Mamanya, suasana hati Alaska membaik. Sebelumnya hatinya itu menahan gejolak kesal lantaran melihat pekerja Hans diperlakukan tak manusiawi. Meskipun sempat mendapat perlakuan tak mengenakan dari Papanya, hal itu tak berpengaruh apapun. Perasaan bahagia Alaska masih awet hingga sekarang.
Atau mungkin tidak? Ketika tak sengaja pendengarannya menangkap suara aneh. Suara itu spontan membuat Alaska diam di tempat. Alaska ingin memperjelas pendengarannya.
"Cok, astagfirullah! Gak salah kan, ini? Suara ini kayak suara orang lagi berkembangbiak."
Perlahan kaki Alaska melangkah maju. Berniat mengintip ke samping. Ia rasa suara aneh ini berasal dari arah kiri. Persimpangan sebelum dapur.
Ketika Alaska mengintip di balik tembok, ia melihat Idenburg sedang melakukan hubungan intim dengan Centini di halaman belakang. Pekerja perempuan yang tadi pagi ia lihat diggenggam tangannya oleh Idenburg.
"Brengsek, mereka ngapa bercocok tanam di meja taman! Mata gue udah gak suci lagi! Mesti dicuci pakek kembang tujuh rupa dah ini!"
"Meneer, kenapa belum tidur?"
Spontan saja Alaska membanting tubuh orang yang menegurnya ke dinding. Alaska membekap mulut Sabina dan mengarahkan telunjuk ke mulutnya. Memberi kode agar Sabina jangan berisik.
"Diam, kamu!" bisik Alaska melotot memperingati.
Mata Sabina melebar. Bola matanya bergerak tak tentu. Ia terkejut atas tindakan Alaska yang begitu tiba-tiba sekaligus posisi mereka saat ini. Alaska tengah menghimpit tubuhnya di tembok. Jarak mereka yang dekat membuat Sabina gugup. Saking dekatnya Sabina dapat merasakan deru napas Alaska yang menggebu-gebu.
Sabina terus menatap Alaska yang kini matanya tertutup. Seperti menahan sesuatu. Keadaan sebenarnya memang begitu. Suara desahan itu berdampak besar pada Alaska. Ia laki-laki normal yang sudah dewasa. Mendengar suara itu dalam posisi sedekat ini dengan perempuan membuat hasrat Alaska sebagai laki-laki naik.
"Anjrit, gue malah turn on! Sabina juga kenapa wangi banget!" batin Alaska berteriak.
Sabina yang masih menatap Alaska mengerutkan alis. Heran melihat Alaska yang tampak kesakitan. Pelipis pria itupun dipenuhi keringat.
"Kamu pakai wewangian apa sih?" tanya Alaska kesal. Wangi yang berasal dari tubuh Sabina semakin mengusik dirinya.
Kepala Sabina menggeleng. Sabina mengaku tak memakai wewangian apapun, tapi Alaska mencium jelas wangi mawar menyeruak dari tubuh perempuan itu.
Alaska menoleh panik ke segala arah. Tampak mencari sesuatu. Hingga di suatu titik di dekat arah kirinya, Alaska melihat pintu. Buru-buru Alaska menarik tangan Sabina untuk ikut bersamanya masuk.
Setelah berada di dalam ruangan itu, Alaska baru melepaskan Sabina. Ia menyender ke tembok dengan napas naik turun. Alaska kemudian berbalik menempelkan keningnya ke tembok.
"Meneer tidak apa-apa? Meneer nampak kesakitan."
Tangan Alaska terangkat ke atas. Memberi isyarat supaya Sabina tak menyentuhnya.
"Kamu jangan dekat-dekat saya dulu. Saya mau merenung sebentar."
"Ah, ba--baik, Meneer."
Perlahan Sabina pun mundur ke belakang. Ia diam saja sesuai keinginan Alaska. Menunggu sampai Tuannya selesai merenung.
Masih dalam posisi yang sama, Alaska menoleh ke Sabina setelah beberapa waktu. Alaska bertanya lesu. "Ini di mana, Sabina?"
"Kamar saya, Meneer."
Bola mata Alaska bergerak ke segala penjuru kamar Sabina. Kamarnya tidak terlampau besar. Hanya ada lemari pakaian, kasur dengan kelambu putih, dan meja kerja berukuran kecil. Walau kelihatan sederhana, kamar Sabina tampak nyaman dan sejuk karena bersih.
"Untuk seukuran pekerja yang juga mengabdi di rumah Hans, kamar Sabina terbilang layak. Tapi kan, sama-sama pekerja ya? Kok beda tempat tinggal Sabina dan pekerja lain? Sabina ditempatkan di rumah utama, punya kamar sendiri, dan kebayanya cerah. Gak kumuh kayak pekerja lain. Kulitnya juga cerah kayak pakek Skincare Mrs. Glowing. Anjay! Ah, gak tau lah, puyeng. Sabina mungkin pekerja andalan Hans, makanya dapat bonus kamar bagus."
Alaska melirik Sabina lagi. Sempat pikirannya tadi teralihkan, Alaska kembali mengingat masalah utama. "Kamu tahu yang kita dengar tadi suara apa?"
Sabina mengangguk.
"Desahan."
Mata Alaska spontan menutup. Menyesali mulut Sabina yang bicara terlampau blak-blakan kepada lawan jenis.
"Sensor dulu ngapa, Sabina? Jadi, geli lagi gue keinget posisi mereka!"
"Kenapa mereka berhubungan badan di ruangan terbuka?" Alaska menatap Sabina dengan raut jijik. Sekilas terbayang adegan Idenburg bersama Centini.
"Biasanya di kamar Ndoro Centini, Meneer, tapi saya tidak tahu kenapa malam ini di luar. Mungkin Meneer Idenburg ingin suasana baru." ujar Sabina polos. Mendengar itu, Alaska terbelalak.
"Demi roti jala Mak Limah biadab! Nih Anak perempuan atu congornya enteng bener! Kayak gak ada beban aje gitu udelnya bilang mau suasana baru. Mata lu kelilipan bibir soang, gue pites juga lu lama-lama, Sabina!" oceh Alaska panjang lebar di batin.
Alaska mengusap muka. "Jadi, hal ini sudah biasa?"
Sabina mengangguk semakin membuat Alaska shock.
"Kenapaaa?" tanya Alaska lagi, gregetan.
"Karena itu memang tugas seorang Nyai! Suka tidak suka, mau tidak mau ia harus menuruti semua permintaan Tuannya tanpa terkecuali! Nyai tak boleh menolak, tak boleh protes, hanya boleh menurut perintah! Nyai punya raga dan jiwa tapi semua miliknya itu dikendalikan oleh orang lain!"
Alaska terkejut. Kaget sekaligus tertegun karena Sabina yang dari awal ia kenal tenang mendadak marah. Dan itu marah kepadanya. Untuk pertama kalinya pun Sabina bicara dengan nada tinggi.
Namun, rasa terkejut Alaska dengan cepat tergantikan oleh hal lain. Soal kata Nyai yang berulang kali Sabina sebutkan. Alaska merasa tak asing dengan kata Nyai itu.
"Nyai?" Alaska bertanya ke Sabina yang membuat perempuan itu seketika sadar. Bahwa baru saja ia telah membentak Tuannya sendiri.
Sabina lantas spontan menjatuhkan diri ke lantai. Ia duduk bersimpuh sambil menangkupkan kedua tangan. Sabina memohon ampun.
"Meneer, maafkan saya! Saya tidak bermaksud membentak, Meneer. Ampuni saya! Me--meneer boleh menghukum saya, karena saya memang salah!"
"Eh, Sabina!" Alaska berlutut. Mensejajarkan posisinya dengan Sabina. "Kamu kenapa sepanik ini? Saya tidak marah, saya tadi bertanya."
"Meneer tidak marah? Benar?"
Alaska mengangguk menyakinkan. Mengetahui Tuannya tidak marah, hati Sabina seketika tenang.
"Jadi, Nyai itu apa? Pekerja juga?" ulang Alaska bertanya.
"Nyai pekerja, tapi bukan pekerja biasa. Derajatnya lebih tinggi dari Budak lain, tapi di mata orang Eropa, ia tetap dipandang sebagai Budak."
"Terus? Secara singkatnya, Nyai itu apa?"
"Gundik, Meneer. Perempuan simpanan laki-laki Belanda. Nyai adalah pelacur."
Deg!
Alaska tersentak. Bukan karena terkejut semata, melainkan ia akhirnya ingat pernah mendengar sebutan Nyai di mana. Di film Bumi Manusia ada perempuan bernama Ontosoroh yang sering disebut Nyai. Pada suatu ketika, tokoh utama pernah dihukum cambuk oleh Ayahnya karena ketahuan tinggal di rumah seorang Nyai. Di film itu, Nyai Ontosoroh kehilangan hak asuh atas Anaknya Anneliese karena berasal dari perkawinan yang tidak sah.
Mengingat sosok Nyai Ontosoroh di film, sontak saja Alaska mengamati Sabina. Penampilannya dengan Centini dan Nyai Ontosoroh memiliki kesamaan.
"Dan, kamu..."
Kata-kata Alaska menggantung. Matanya menatap Sabina nanar.
"Pekerja macam apa kamu, Sabina?"
°°°
Bersambung...
Alaska malah seneng dijodohin dengan Emaknya karena bisa menjahili dua orang sekaligus. Papanya dan Mamanya. Wkwk bukan durhaka lagi tuh Anak, tapi udah durjana🤏.
FAKTA SEJARAH!
1. Sebenarnya dalam bahasa Jawa, Sunda, dan Bali, sebutan Nyai itu merujuk pada Adik perempuan atau perempuan muda. Sama kayak sebutan "Jeng". Tapi, beda cerita kalau panggilan "Nyai" kita tarik pembahasannya ke masa Kolonial Belanda. Secara singkatnya benar, Nyai itu adalah perempuan simpanan. Saat datang ke Hindia-Belanda, para laki-laki Eropa tersebut merasa perlu untuk mengambil gundik. Gundik dipandang mendatangkan sisi keuntungan sendiri di samping menjadi istri simpanan yang tidak sah, salah satunya sebagai guru bagi laki-laki Eropa untuk mengajari kebudayaan nusantara khususnya kebudayaan Jawa.
Untuk part ini, hanya satu Fakta Sejarah yang ada dan bisa saya jelaskan. Lebih kurangnya saya mohon maaf. Oh, ya, saya juga mau mengumumkan di lapak ini soal kepindahan MTAL ke Karyakarsa. Bagi yang terlambat baca secara lengkap part 23 dan 56 MTAL, bisa kalian baca full di sana ya!
❤Follow IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top