5. SACI - Nasib Budak Belanda

Maaf ya, updatenya telat banget. Soalnya lapak sepi, agak rindu sih sama notif MTAL yang baru beberapa menit update langsung ratusan. Tapi gapapa, mungkin karena SACI masih baru? Makanya, ayok share cerita ini ke orang terdekat kalian biar makin banyak yang baca! InsyaAllah walau sepi kayak kuburan, saya akan komitmen untuk terus melanjutkan SACI sampai selesai😁.

Sebelum baca, jangan lupa VOTE & COMMENT! Ramaikan lapak juseo~~~

°°°

Sore harinya, Alaska diajak oleh Ibu Hans untuk minum teh bersama di gazebo taman belakang. Sebenarnya Alaska malas memenuhi undangan tersebut. Ia sedang kesal kepada Ayah Hans yang menurutnya menyelewengkan kekuasaan. Bersikap seenaknya kepada Sarekat Islam dengan menerbitkan surat perintah skros. Mematikan hak-hak pribumi untuk memperjuangkan nasib mereka.

Namun, setelah Alaska berpikir ulang, sepertinya ia harus memenuhi undangan Ibu Hans. Barangkali pesta teh sore hari ini merupakan kebiasaan antara Ibu dan Anak itu. Apabila Alaska menolak, bisa menimbulkan kecurigaan dalam benak Ibu Hans. Ibu lebih mengetahui watak Anak-anaknya. Dan tentu, insting seorang Ibu tak dapat diragukan.

Jadi, di sinilah Alaska. Duduk berhadapan dengan Ibu Hans sembari menikmati teh madu yang Sabina sajikan.

"Ik ben blij dat het goed met je gaat, Hans. (Ibu senang kau baik-baik saja, Hans)"

"Aduh, pakek Bahasa Belanda pulak dia. Ngapa gak Bahasa Indonesia aja sih, kan bisa. Rasa mau tersedak gue, tiap ngomong pakek Bahasa Belanda." rutuk Alaska di batin. Pengucapan Bahasa Belanda yang menyebutkan huruf R dengan di tahan ke dalam tenggorokan seringkali membuat Alaska tersedak. Maka dari itu, Alaska jarang menggunakan Bahasa Ibunya ketika berdialog.

"Toen ik hoorde dat je was neergeschoten, dacht ik ga je verliezen, zoon. Gelukkig ben je nog steeds bij ons teruggekomen. Anders zal mama alleen zijn. Jij bent het enige kind dat moeder heeft. (Mendengar kau ditembak, Ibu pikir, Ibu akan kehilanganmu, Nak. Syukurlah kau masih kembali kepada kami. Kalau tidak, Ibu akan sendirian. Kau Anak yang Ibu punya satu-satunya.)" ujar Catharina lirih sembari mengusap telapak tangan Alaska.

Alaska menatap tangan Ibu Hans yang sedang menggenggamnya.

"Oalah, Hans Anak tunggal toh. Buset! Anak tunggal kaya raya dong?! Giillss kata gue teh!"

Seulas senyuman lantas Alaska torehkan. Alaska tersenyum manis menanggapi dan turut membalas genggaman tangan Ibu Hans. Benar-benar menunjukkan respons alamiah Anak yang menyayangi Ibunya.

"Het gaat nu goed met mij, Moeder. (Aku sekarang sudah baik-baik saja, Bu.)"

"Anjaasss, bagus gak akting gue? Wadoohh, dilanjutin lama-lama gue bisa dicasting Hanung Bramantyo, main Bumi Manusia part dua."

"Moeder heeft je hier uitgenodigd omdat ze vanmiddag de zorgen van je vader over jou hoorde, Hans. (Ibu mengundangmu kemari karena mendengar keresahan Ayahmu kepada kau tadi siang, Hans.)"

Dahi Alaska spontan mengernyit. "Tadi siang? Soal percakapan kami dengan Cokroaminoto kah?"

"Moeder was erg verrast toen ze de bekentenis van je vader hoorde, dat je in dat gesprek de indruk wekte dat je hem onder controle had. Alsof jij de koning bent. Dat moet je niet doen, Hans. (Ibu sangat terkejut mendengar pengakuan Ayahmu, kalau di percakapan itu kau terkesan mengaturnya. Seolah kau itu adalah Raja. Tak sepantasnya kau begitu, Hans.)"

Alaska tersentak. Kata-kata Ibu Hans membuat Alaska terkejut bukan main. Tak Alaska duga seorang Ibu malah mempermasalahkan sikap Anaknya yang coba mengambil sudut pandang pada perspektif kebenaran.

"Gak salah lagi, keluarga Hans benar-benar sinting! Masa orangtua malah mempermasalahkan perbedaan pendapat Anaknya sih? Wah, gak bisa nih! Sebagai Anak yang hidup dalam keluarga yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, gue gedek banget sama sikap apatis keluarga Hans!" batin Alaska mengoceh panjang lebar. Tapi ketika berbicara dengan Ibu Hans, Alaska menggunakan bahasa santun nan lemah lembut.

"Tunggu sebentar, Bu, Hans belum paham apa yang Ibu bicarakan. Maksudnya soal Hans yang protes terhadap keputusan Ayah yang menginginkan Cokroaminoto mengaku dirinya bersalah di hadapan masyarakat, padahal tidak?" tanya Alaska coba mempertegas. Ibu Hans mengangguk.

"Tapi, apakah Ibu sudah mendengar masalahnya secara keseluruhan, alasan kenapa Hans protes kepada Ayah?" tanya Alaska lagi dan kali ini Ibu Hans menggeleng.

"Tuh, kan! Nih Ibu-ibu dengernya dari satu pihak doang. Suaminya manipulatif nih!" batin Alaska berteriak kesal.

"Kalau begitu, Ibu dengar dulu cerita lengkapnya. Hans akan beritahu agar Ibu dengar dari kedua belah pihak."

"Tidak perlu." sergah Catharina, menghentikan niat Alaska yang sebentar lagi hendak menjelaskan. "Cerita Ayahmu saja sudah cukup memberitahu Ibu, bahwa terjadi perbedaan pendapat kan, antara kau dan Ayahmu? Kau menolak keputusan Ayahmu yang menginginkan Cokroaminoto bicara di depan publik dan justru menyalahkan Ayahmu atas pemberontakan para Buruh?"

"Benar, tapi Hans bertindak seperti itu karena tidak ingin ada orang yang tertindas. Hans ingin keadilan, Ibu."

"Pendidikan yang ditetapkan sejak Ratu Wilhelmina mencetuskan Politik Etis pada tahun 1901 kepada Pribumi itu sudah cukup adil! Apalagi yang diinginkan Pribumi-pribumi sialan itu?! Setelah berhasil mendapatkan pendidikan, lalu mereka menginginkan juga kemerdekaan, Hans! Mereka memberontak! Sarekat Islam adalah bentuk dari pemberontakan itu!"

Alaska tercengang. Tak dapat berkata-kata. Tapi ada satu hal yang bisa Alaska simpulkan dari ucapan Ibu Hans barusan.

"Jadi, itu memang kesengajaan?" tanya Alaska dengan suara tercekat. Alaska menatap lekat Catharina yang mulai gugup. "Kalian memanfaatkan pemogokan para Buruh untuk membekukan Sarekat Islam? Karena sudah lama kalian ingin membekukan organisasi pergerakan itu, tapi tak menemukan celah yang pas?"

"Ini demi kebaikan kaum kita, Hans. Sejak inlander-inlander itu mendapatkan pendidikan, mereka semakin berlaku kurang ajar. Lihat saja organisasi-organisasi pergerakan yang mereka buat. Mereka berusaha menyingkirkan kita."

"Karena tanah ini memang bukan milik Belanda!!!" bentak Alaska menggelegar sontak berdiri.

Intonasi suara Alaska yang tiba-tiba meninggi membuat Sabina yang baru saja datang berniat menaruh camilan terperanjat di tempat. Nampan yang ia bawa jatuh. Bukan hanya itu. Catharina juga terkejut hingga mengalami sesak. Sigap Sabina mendekat panik.

"Mevrouw! Mevrouw tenang dulu! Ambil napas perlahan! Meneer, tolong saya!" Sabina berteriak, menoleh ke Alaska yang hanya mematung di tempat.

Alaska shock lantaran tak menyangka tindakannya mampu memberi efek yang luar biasa bagi Ibu Hans. Alaska juga melupakan cerita Sabina terkait Hans yang mendadak pulang ke Batavia karena mendengar Ibunya sakit.

"Walah..., bakal meninggal gak nih? Tapi, bukan salah gue kan? Dia sendiri kok yang punya penyakit."

"Meneer!" Sabina berteriak lagi menyadarkan Alaska. Akhirnya meski ragu-ragu, Alaska pun menghampiri.

"Oh, iya, iya, diangkat aja, bawa masuk." celetuk Alaska enteng.

"Ya, saya tidak bisa membawa Mevrouw seorang diri!"

"Terus gimana?"

"Bantu saya membopong Mevrouw ke dalam, Meneer!" bentak Sabina geram terhadap sikap Alaska yang banyak tanya.

"Oh, gitu. Oke-oke! Ngomong dong, dari tadi."

Alaska mengambil jubah Catharina yang tergantung di kursi, kemudian melampirkannya ke pundak perempuan itu. Lalu bersama Sabina, ia merangkul tubuh ringkih Ibu Hans untuk membawanya masuk ke dalam rumah.

Di halaman belakang, mereka melihat Idenburg sedang duduk. Dari kejauhan mereka dapat melihat pria itu tengah membagikan sesuatu kepada pelayan rumah. Pelayan rumah yang semuanya berasal dari Pribumi itu mengantre, mengambil pemberian Idenburg dengan cara berjalan sambil berjongkok. Bukan hanya itu saja. Sebelum mengambil pemberian, pelayan-pelayan tersebut terlebih dahulu mencium kaki Idenburg.

Mendapati adegan tak mengenakan itu, sisi kemanusiaan Alaska merasa tersentil. Alaska putuskan menghampiri tempat kejadian tanpa menoleh ke Ibu Hans lagi.

"Kamu tolong bawa Ibu saya sampai ke kamarnya, Sabina."

Hanya itu pesan yang Alaska berikan. Setelahnya ia berjalan cepat, pergi meninggalkan Catharina yang kebingungan. Ia heran terhadap putranya yang seharian ini bersikap aneh. Biasanya putranya akan sangat khawatir jika ia batuk sedikit. Tapi tadi, ia sudah sesak napas pun, putranya malah bersikap acuh. Kemudian sekarang, putranya meninggalkan ia bersama pelayan dan lebih memilih mengurus hal lain.

"Akhir-akhir ini Meneer memang sedang sibuk. Mevrouw biar saya saja yang temani, ya?" hibur Sabina. Lewat tatapan yang Catharina tujukan ke Hans, Sabina tahu kalau Ibu itu kecewa.

"Anakku bersikap begitu pasti gara-gara kau!" balas Catharina ketus. Sabina tersentak. Kata-kata yang Catharina lontarkan berbanding terbalik dengan ucapannya yang lemah lembut.

Catharina menoleh ke Sabina. Kini keduanya berhadapan.

"Kau pasti sudah meracuni otaknya, bukan? Huh, semua Gundik sama saja! Ingin mendapatkan posisi pertama, tapi tak kan kubiarkan kau melahirkan keturunan Anakku. Ingat posisimu! Kau hanyalah penghangat ranjang, pemuas nafsu, dan rendahan! Anakku akan ku nikahkan dengan bangsawan keturunan Belanda!"

Puas menghardik Sabina, Catharina lantas berbalik. Dagunya terangkat sombong. Dia melangkah pergi seorang diri. Sabina hanya mematung di tempat. Sorot mata perempuan itu berubah redup.

"Ya, saya hanya seorang Gundik, yang hidup dan matinya bergantung kepada Tuannya."

Beralih di tempat kejadian. Alaska datang ketika sebilah kayu hendak Idenburg hantam ke seorang pelayan tua. Sigap Alaska langsung melindungi pelayan itu dengan memeluknya. Melihat kehadiran Putranya yang tiba-tiba, niatnya pun Idenburg urungkan. Kayu yang sudah ia genggam tertahan di udara.

"Wat ben je aan het doen?! Voorkomen! (Apa yang kau lakukan? Menjauh!)" teriak Idenburg, tapi Alaska tak bergeming. Alaska malah balik berteriak.

"Waarom wil je hem slaan?! (Kenapa kau mau memukulnya?!)"

"Heb je net tegen mij geschreeuwd? Jouw vader? (Baru saja kau membentakku? Ayahmu?)" Idenburg tercengang beberapa saat. "Ah, persentan! Budak ini menjijikan! Tangannya yang penuh luka borok itu menyentuh kakiku! Akh, bisa-bisa aku tertular penyakitnya!"

Sontak Alaska menengok ke tangan pelayan tua yang sedang ia peluk. Memang banyak luka borok yang sudah kering maupun basah. Namun kenyataan itu tak membuat Alaska jijik. Alaska malah merasa iba. Terlebih ketika melihat kedua tangan pria tua itu gemetar.

"Ayo, berdiri."

Alaska membantu pria tua itu berdiri dengan masih menggenggam erat kedua bahunya. Alaska lantas menatap Idenburg sengit.

"Memukul orang dengan alasan apapun itu tak dibenarkan! Lagipula ini salah Ayah! Siapa suruh minta mereka mencium kaki, Ayah!"

Idenburg tertawa sumbang setelah mendengar ucapan Alaska yang justru menyalahkannya. Telunjuk Idenburg mengarah tajam ke semua pelayan yang berkumpul di sana.

"Aku memberi mereka bonus dengan kemurahan hatiku, jadi sudah sepantasnya Inlander-inlander ini berterima kasih!"

"Dengan mencium kaki Ayah? Gak habis thinking!"

Dahi Idenburg sempat mengerut. Merasa aneh dengan kalimat terakhir yang Alaska ucapkan. Tapi wajah kebingungan itu berubah cepat menjadi raut meremehkan.

"Kembalikan gulden-gulden yang kuberikan kepada kalian! Tuan kalian nampaknya lebih mampu memberi kalian bonus! Bukan begitu, Meneer Hans?" sindir Idenburg, menyeringai ke Alaska. Alaska tak berkomentar apapun. Ia bungkam dengan tatapan sengit masih terpatri.

"Cepat, Inlander sialan!" titah Idenburg sekali lagi.

Satu persatu para pelayan Hans maju menaruh satu koin perak ke atas meja. Hans memperhatikan sambil menghitung jumlah mereka. Ada 10 pelayan. Enam di antaranya laki-laki dan empat pelayan perempuan. Tubuh mereka kurus, ringkih, dan kumal. Tua maupun muda sama, tak terawat.

"Setengah gulden." gumam Alaska dapat di dengar Idenburg. Idenburg pun menoleh dan sedetik dari itu mata Alaska menajam. "Hanya setengah gulden yang Ayah berikan, tapi Ayah seolah sudah memberikan ribuan gulden ke mereka!"

"Jangan sampai kayu ini malah aku arahkan ke kau." Idenburg kembali mengangkat sebilah kayu yang awalnya ingin ia hantam ke pria tua di samping Alaska.

"Meneer Idenburg, tolong jangan sakiti Tuan kami. Sakiti saja kami. Meneer Hans tidak bersalah!"

Secara mengejutkan pria tua yang Alaska tolong berlutut sembari menyembah. Tak lama, pekerja-pekerja lain meniru tindakannya. Semuanya berlutut. Memohon hal yang sama agar Hans diampuni.

"Benar, Meneer Idenburg! Meneer Hans tidak bersalah, sakiti saja kami!!!"

"Otak mereka kayaknya udah dicuci kompeni deh. Sumpah, gue gak bisa berkata-kata lagi selain ya Allah, tolong Hamba!" Alaska berteriak di batin. Miris melihat pemandangan di sekitarnya.

"Heh, tak ku sangka kau mampu membuat budak-budakmu sampai memihak kau seperti ini, Hans. Ayah jadi bangga." Idenburg tersenyum bangga. Kayu di tangannya ia buang ke tanah.

"Bacot, jelek! Gue gak mau denger omongan lo! Lo gilaaa! Dakjal insecure sama kelakuan lo!"

"Baiklah, akan ku anggap masalah ini tak pernah terjadi. Hari ini kau beruntung. Prestasimu telah menyelamatkan dirimu sendiri, Nak." Idenburg menepuk pundak Alaska bangga. "Setelah ini, bersihkan dirimu dan bersiap. Nanti malam kita akan pergi ke rumah salah satu rekan. Jangan sampai, kau tertular borok Inlander itu."

Sebelum pergi, Idenburg berteriak menyampaikan informasi ke seluruh pekerja Hans.

"Tapi, bonus kalian tetap tidak jadi kuberikan! Ingatlah, kebaikanku jarang terjadi dan tak bersifat lama! Salah kalian yang memancing amarahku!"

Setelahnya Idenburg berbalik. Melangkah pergi masuk ke dalam rumah. Alaska menatap kepergiaan pria Belanda itu dengan tatapan kesal.

Dengan diikuti pekerja lain, Alaska membopong pria tua tadi masuk ke dalam ruang peristirahatan. Sebenarnya ini kali pertama Alaska masuk. Alaska pun baru tahu kalau para pekerja Hans menetap di sini.

Saat pintu di buka, Alaska merasakan udara yang bercampur debu. Begitu menyengat dan tak mengenakkan. Alaska sampai terbatuk-batuk.

"Meneer kembali saja, biar Pak Trisno kami yang urus." sahut salah seorang pekerja perempuan. Ia sadar gerak-gerik Alaska terlihat tak nyaman.

"Tidak masalah, saya mau sekalian berkunjung."

"Berkunjung?"

Jawaban Alaska mengundang respons heran di antara para pekerja. Mereka saling pandang. Alaska menyadari itu. Bagi mereka tindakan Alaska tampak seperti hal yang baru.

"Keliatannya Hans gak pernah blusukan. Sampe para pekerjaannya pun terheran-heran. Gak baik bener lo, Hans!"

Di antara para pekerja itu, Alaska menemukan wajah yang tak asing. Alaska pernah bertemu dengan pekerja itu sewaktu pertama kali ia terbangun di tahun ini.

"Hei, i know you!" Alaska berseru, menunjuk seorang pekerja laki-laki. "Kamu---"

"Saya Darsono, Meneer." sela pekerja yang Alaska tunjuk, memperjelas dirinya.

"Yeah, whatever. Kamu yang ngomong sama penjual koran tempo lalu, kan? Yang saya temui di halaman?"

"Nggih, Meneer. Meneer ingat saya." Darso tersenyum lebar. Senang ditegur oleh Tuannya.

"Iyaps, tadi Darso nama kamu kan? Saya minta tolong dong Darso, kamu cari betadine di rumah utama."

"Betadine iku opo, Meneer?" tanya Darso polos. Alaska menepuk jidatnya. Ia lupa sedang bicara dengan orang zaman dulu. Dilihat dari respons bingung Darso, sepertinya nama Betadine belum dikenal pada zaman ini.

"Euumm, obat merah, kamu tahu?"

"Oh, ya, tahu-tahu!" seru Darso mengangguk paham.

"Nah, ambil obat merah di rumah utama. Semisal tidak ketemu, kamu cari Sabina. Tanya ke dia. Dia pasti tahu."

"Nggih, Meneer. Nuwun sewu."

Seusai Darso melenggang keluar, Alaska mengarahkan Trisno untuk duduk di salah satu kasar. Alaska celingak-celinguk. Mengamati setiap sudut ruangan. Ruangan itu hanya berbentuk persegi panjang. Tak terlampau besar. Berisi 10 ranjang, perempuan dan laki-laki jadi satu. Dapur, kamar mandi, lemari pakaian berada di satu tempat. Banyaknya perabotan membuat keadaan terasa sesak.

"Jujurly, tempat tinggal mereka gak sehat banget. Pantes kalo Bapak ini kena penyakit kulit." Alaska mengalihkan pandangannya ke tangan Trisno yang dipenuhi luka borok.

"Tunggu sebentar, ya, Pak. Nanti kita obati." ucap Alaska lembut. Kepala Trisno mengangguk-angguk kaku. Pandangannya terus mengarah ke bawah.

"Matur suwun, Meneer."

"Sejak kapan Bapak...., Trisno kena penyakit ini?" tanya Alaska penasaran.

"Kira-kira dua bulan yang lalu, Meneer."

Alaska terbelalak. "Dua bulan yang lalu?! Kenapa tidak berobat?! Kenapa didiamkan?!"

"Ampun, Meneer! Sa--saya tidak punya uang un--tuk berobat!"

Trisno spontan berlutut diikuti semua pekerja. Mereka mengambil sikap yang sama. Menangkup kedua tangan. Alaska yang melihat itu sontak menarik tubuh Trisno agar segera berdiri.

"Pak, Pak, tidak perlu sampai sebegitunya! Jangan takut, saya cuma tanya, Pak! Berdiri! Yang lain juga berdiri kembali!" titah Alaska tegas.

Trisno kembali duduk atas paksaan dari Alaska. Para pekerja pun turut berdiri. Kepala Alaska menunduk. Ia memijat pelipis pusing. Sikap para pekerja yang sedikit-sedikit takut kepadanya membuat Alaska serba-salah dalam bertindak.

"Besok cek kesehatan. Bukan hanya Pak Trisno, tapi kalian semua." putus Alaska bulat.

"Ta--tapi kami tidak punya uang untuk berobat ke Dokter, Meneer." sahut salah seorang pekerja. Perempuan. Dengan nada gemetar.

Alaska menghela napas. "Tidak perlu berobat ke Dokter dan pakai biaya. Besok atau kemungkinan lusa Dokter pribadi saya yang akan datang ke sini untuk memeriksa kalian. Kalian harus sehat. Semuanya, baik fisik, mental, spiritual. Kalian sudah menuntaskan kewajiban kalian, saya juga mesti melaksanakan kewajiban saya sebagai Tuan. Mensejahterakan para pekerja saya."

Seluruh pekerja langsung saling pandang. Menunjukkan respons yang sama. Kedua mata mereka melotot. Terkejut mendengar bahwa mereka akan diperiksa oleh Dokter Tuannya. Suatu fasilitas yang tak pernah mereka dapatkan.

"Terima kasih, Meneer." ucap Trisno. Matanya berkaca-kaca. Terharu karena baru pertama kalinya selama ia bekerja di rumah Hans, mendengar Tuan kejam itu berkata manis secara langsung kepada para pekerja.

"Lalu... Soal upah. Apa menurut kalian upah yang saya beri tidak cukup?" tanya Alaska sengaja memancing agar langsung mendapatkan fakta lapangan.

"Sangat cukup, Meneer!"

"Iya, Meneer, sangat!"

"Upah kami sudah lebih dari cukup, Meneer!"

Bergantian semua pekerja bersuara. Tapi Alaska tahu, pengakuan barusan adalah kebohongan. Mulut mereka berkata cukup, tapi ekspresi ketakutan di wajah mereka mengatakan hal sebaliknya.

"Kalau kalian merasa cukup, lalu kenapa tadi bilangnya tidak ada uang?"

Hening.

Kali ini tak ada satupun yang menjawab. Alaska menghela napas panjang.

"Tidak cukup, bukan? Jujur saja sama saya, akan saya tambah gaji kalian."

Serentak mereka terbelalak. Mereka saling pandang dengan raut wajah amat terkejut. Tak menyangka Meneer mereka yang kejam akan memberi upah tambahan.

"Berapa upah yang saya berikan ke kalian?" pertegas Alaska. Pandangan mereka bersamaan menatap fokus Alaska.

"Mohon maaf, Meneer. Tapi, Meneer yang memberi kami upah, jadi Meneer yang lebih tahu." celetuk salah seorang pekerja.

"Iya, tahu. Tapi, saya mau mendengar pengakuan langsung dari kalian. Soalnya saya ada dapat beberapa info yang berbeda tentang upah kalian." bohong Alaska sebagai pancingan.

Dan berhasil. Mereka semua panik. Respons mereka selalu sama setiap ketakutan. Menunduk dan menangkup kedua tangan.

"Ampun, Meneer. Kami tidak bohong! Upah kami memang benar-benar enam gulden untuk laki-laki dan tiga gulden untuk perempuan."

Seketika terbit senyum tipis di bibir Alaska. Akhirnya ia tahu jumlah upah pekerja di rumah Hans. Tinggal Alaska mencari info jumlah upah Buruh Pabrik Hans. Tapi, Alaska menemukan masalah lain.

"Enam gulden dan tiga gulden ya? Jumlah segitu banyak atau nggak di zaman ini? Ish, di masa depan gulden udah gak dipakek lagi sama Belanda. Mereka ganti mata uang pakek Euro. Jadi, gue gak tau satu gulden misal dirupiahkan bakal dapat berapa ribu. Oh my good, pusing pala ganteng gue. Lama-lama darah rendah gue berubah jadi darah muda. Eh, darah tinggi deng."

°°°

Brak!

Pintu terbuka tiba-tiba, mengangetkan Arabella yang sedang duduk melamun di meja rias. Lies, Bibi Neneknya itu yang baru datang hari ini masuk tergesa-gesa.

"Oh mijn God, Arabella, ben je er klaar voor? (Astaga, Arabella, apa kau sudah siap?)"

"Sudah, ada apa?" Arabella menatap heran Lies yang datang terburu-buru.

"Cepat kita turun ke bawah. Mereka sudah datang!"

"Hah, sudah?! Erg snel (cepat sekali!) Duh, Bibi, aku tidak bisa menemui mereka, aku gugup sekali."

"Apanya yang tidak bisa?!" Lies menangkup wajah Arabella. "Dengar, kau membutuhkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan bagus. Mereka orang-orang penting, Arabella! Terlebih keluarga kita sudah lama mengenal mereka. Ini keuntungan bagus! Kau jangan sia-siakan!"

"Tapi, Bibi---"

"Kau butuh pekerjaan kan?! Uang?!"

"Sebenarnya tidak juga sih. Nasution sudah mencukupiku selama ini." batin Arabella menjawab. Tapi pada kenyataannya, Arabella justru mengangguk. Membenarkan.

"Nah, makanya ikut aku!" jeda tiga detik, Lies memperbaiki anak rambut Arabella. "Kau harus tampil cantik. Cantik sekali! Siapa tahu ini hari keberuntunganmu."

Dahi Arabella mengernyit. "Apa hubungannya pekerjaan dengan aku harus cantik?"

"Kalau kau cantik, kau bisa mencuri hati mereka agar segera menerimamu."

"Tidak masuk akal!" timpal Arabella takjub. Alasan Lies bagi Arabella tidak nyambung satu sama lain.

Arabella keluar kamar bersama Lies menuju ruang utama. Tamu yang Lies maksud sudah menunggu di sana. Ketika sudah sampai, mata Arabella melotot menemukan wajah yang tak asing di antara tamu-tamu tersebut.

"Kau!" Arabella menunjuk seorang laki-laki yang sama tercengangnya.

"Mama..."

Alaska membeku. Ia kembali bertemu Mamanya dalam ketidaksengajaan lain. Dari atas hingga ke bawah Alaska mengamati sosok Mamanya. Mamanya yang masih muda, cantik, berkarisma. Melihat itu, Alaska hampir saja menangis kalau tidak Idenburg bersuara memecah keheningan.

"Zoals verwacht kennen ze elkaar nog! (Sudah kuduga mereka masih kenal!)" Idenburg tertawa, lalu menepuk pundak Alaska. "Kau masih kenal perempuan cantik itu kan, Hans?"

Alaska tersadar. Menunjukkan raut linglung. Tentu ia tak mengenal apa hubungan Mamanya dengan keluarga Hans sehingga mereka saling kenal. Yang ia ketahui Arabella adalah Mamanya. Tapi sangat tidak mungkin ia bicara terus terang, kecuali Alaska ingin menciptakan kehebohan. Dalam keadaan itu, sebenarnya Alaska tengah mencari jawaban tepat. Namun, Idenburg lebih dulu menyela.

"Dia Arabella, Hans! Teman kecilmu sewaktu masih di Netherlands!"

Kepala Alaska mengangguk-angguk saja sambil cengar-cengir. Seakan seperti orang yang baru ingat. Kenyataannya Alaska sama sekali tak memiliki ingatan itu.

"Dit kind is vaak vergeetachtig. (Anak ini memang sering pelupa.)" kata Idenburg disambung Catharina.

"Hij heeft veel aan zijn hoofd, Will (Dia sedang banyak pikiran, Will)"

"Kom op, ga zitten, liefje. (Ayo, duduk, sayang.)" Lies menarik tangan Arabella untuk duduk di sebelahnya.

"Jadi, ini Arabella. Sudah sangat dewasa dan cantik sekali. Wajar Hans sampai melongo tadi. Dia pasti sedang terpesona." puji Catharina, melirik Alaska sambil tersenyum menggoda. Alaska yang mendapati tatapan itu malah berekspresi aneh.

"Yaps, Mama gue cantik banget. Kalo dia gak cantik, nggak mungkin gue bisa terlahir setampan ini. Tapi tatapan lo gak gitu juga, jir! Mencurigakan! Gue Anaknya woi!"

"Selain cantik, keponakanku ini sangat pandai, Tuan dan Nyonya Idenburg. Dia pintar memasak..."

"Betul!" sahut Alaska sepakat di batinnya.

"... Pintar merajut..."

"Betul!"

"... Dan keponakanku ini juga orang berpendidikan lulusan Universitas Leiden."

"Hah, bukannya Mama lulusan Ilmu Komunikasi UNPAD?"

Alaska menoleh kaget ke Arabella. Tanpa sadar ucapan Lies membuat Alaska berpikir panjang. Di mulai dari alasan Mamanya ada di zaman ini, kemudian Mamanya hadir di zaman ini dengan memakai identitas asli tanpa dicurigai, serta memiliki hubungan dengan keluarga Hans.

"Karena itu, Arabella ini pintar sekali dalam urusan pembukuan, ekonomi, perpajakan. Kemampuan komunikasinya juga baik."

"Wah, cocok sekali kalau Arabella bergabung di Pabrik Hans. Mereka kan juga sudah kenal dari lama, jadi mudah saja bagi mereka bekerjasama." timpal Idenburg terpukau.

Semua pertanyaan itu memenuhi kepala Alaska. Dia jadi larut memikirkan semua kejanggalan itu sehingga kehilangan fokus menyimak obrolan orang-orang di sana.

"Keponakan katanya? Arabella keponakan perempuan di tahun 1912 yang di zaman ini bahkan Mama gue belum lahir! Dan kalau memang Mama juga mengalami perjalanan waktu, harusnya dia gak punya identitas di sini karena gak pernah terlahir di masa ini. Tapi, Mama gue makek nama asli dan raga asli di zaman ini! Seolah dia emang terlahir di tahun ini! Apa yang sudah Mama alami sampe bisa di titik sekarang?"

Tatapan Alaska yang sedari tadi lurus ke arahnya pun disadari oleh Arabella. Arabella lantas balik menatap Alaska namun dengan wajah datar. Melalui ekspresi itu Arabella memperingati Alaska untuk berhenti menatapnya. Dan Alaska langsung paham. Segera ia tersadar.

"Hoe, Hans? (Bagaimana, Hans?)" Idenburg bertanya ke Alaska.

"Wat? (Apa?)" Alaska balik bertanya dengan wajah cengo. Sedari tadi ia tak menyimak pembicaraan.

"Astaga, Anak ini melamun lagi!" seru Idenburg geram. Lies tertawa menimpali.

"Iya, dari tadi aku melihat Tuan Hans menatap Arabella terus. Jangan begitu, kau bisa terpesona dengan keponakanku, Tuan Hans."

"Arabella ingin bergabung di Pabrikmu sebagai sekretaris. Kebetulan juga posisi itu sudah lama kosong kan, sejak Phillip meninggal? Bagaimana menurutmu?" jelas Catharina.

Alaska tertegun. Segera ia menoleh ke Mamanya. Bibir Alaska kemudian tertarik ke atas. Tersenyum tipis. Hatinya menghangat. Alaska bahagia.

"Mama mau gabung ke Pabrik gue? Berarti gue bakal sering ketemu Mama dong jadinya? Mau banget lah! Dengan cara itu, gue bisa pendekatan ke Mama! Gue juga rindu sama Mama. Setidaknya kehadiran Mama bisa mengobati rasa rindu gue, meskipun saat ini Mama belum kenal sama Anaknya."

"Tentu. Saya akan sangat senang menerima Arabella di Pabrik saya." jawab Alaska, tanpa mengalihkan pandangannya dari Arabella sedetikpun. Alaska berucap sambil menatap Mamanya lekat dengan senyum tipis terpatri.

"Aaahhh, Tuan Hans nampaknya benar-benar tertarik dengan keponakan sayaaa!" seru Lies girang.

Di detik selanjutnya, tanpa Alaska sangka-sangka Idenburg mencetuskan suatu keputusan yang mengejutkan. Sambil terkikik, Gubenur-Jenderal Hindia Belanda itu membuat Alaska dan Arabella terbelalak.

"Bagaimana kalau mereka kita nikahkan saja?"

°°°

Bersambung...

Duh, jangan sampe si Alaska jadi Sangkuriang. Om Nasution sudah siap nonjok Alaska, baik di masa lalu maupun masa depan, wkwk. Bodo amat Anak sendiri, yang penting pukul dulu - Nasution everytime. MENYALAAHHH ABANGKUUHH🔥. ILMU PADIII🎋.

FAKTA SEJARAH!

1. Upah Buruh referensi yang saya ambil bersumber dari artikel ini, ya! Adapun lebih kecil, itu karena alasan tersendiri yang akan dijelaskan lagi di part mendatang. Jadi, Buruh laki-laki dan Perempuan itu dibedakan gajinya. Dan Buruh yang direkrut pemerintah Belanda biasanya yang belum menikah. Kalaupun sudah, misal laki-laki, mereka harus siap-siap kehilangan Anak dan istri. Istri dan Anak perempuan kemungkinan jadi Gundik atau pekerja Porstitus, misal laki-laki yah bakal jadi Budak lagi. Memang susah hidup bangsa kita zaman dulu.

2. Gulden adalah mata uang resmi yang dipakai kerajaan Belanda dari tahun 1610 hingga 1817. Setelah tahun 1817, dikenalkan mata uang gulden Hindia Belanda, yang digunakan sampai tibanya pendudukan Jepang pada Perang Dunia ke-2. Ketika terjadinya kedatangan Sekutu dan NICA, mereka pun sempat membuat gulden NICA, meskipun saat itu penggunaan rupiah sudah meluas. Penggunaan gulden terakhir di wilayah Indonesia adalah sebagai mata uang Nugini Belanda, yang digunakan hingga tahun 1963. Tiap tahun Gulden berubah-ubah. Ada Gulden saat Raja Willem I, II, III hingga ke Ratu Wilhelmina.

3. Siapa sih, Ratu Wilhelmina? Ratu Wilhelmina (Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau; adalah Ratu Belanda sejak 1890-1948. Ratu Wilhelmina adalah orang yang paling tidak rela melihat kemerdekaan Indonesia. Melansir iNews.id, alasan Wilhelmina tidak rela Indonesia merdeka karena Indonesia merupakan sumber utama perekonomian untuk bangsanya.


4. Terakhir, soal Gundik. Gundik, Nyai, Budak, adalah perempuan simpanan dan cukup tersohor pada zaman kolonial dulu. Sebutan nyai adalah bagi mereka perempuan-perempuan pribumi yang dijadikan gundik para orang Eropa di Hindia Belanda. Gundik adalah cerminan nyata penderitaan kala itu. Gundik dijadikan semacam inventaris yang siap diperjualbelikan, dikeruk untuk mengerjakan segala hal yang dibutuhkan oleh majikan-mulai dari pekerjaan rumah, kamar, serta merawat anak-anak buah pergundikannya dengan para kulit putih berhidung gonter-terkadang bahkan dibuang dengan beban anak-anak Indo Eropa di tangan, tanpa tanggung jawab para majikannya.

Selain upah Buruh, masalah Nyai ini akan juga di bahas pada part selanjutnya. Stay tuned ajah🤩.

Okeh, segitu aja Fakta Sejarah yang dapat saya sampaikan. Kalaupun terkesan setengah-setengah, memang disengaja karena akan dikupas lebih dalam di part selanjutnya. Kenapa mesti part selanjutnya? Ya, karena di part itu inti permasalahan sesungguhnya. Okeh?😙.

Terima kasih yang sudah Vote & Comment untuk meramaikan SACI. Yang belum, jangan lupa VOTE-nya dan berikanlah sedikit komentar yang membangun 🤌. Lop yu tomat🍅❤.

❤Follow IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top