4. SACI - Sarekat Islam Dibekukan

Maaf ya update telat, saya kemarin mempersiapkan seminar ujian Kampus Mengajar dan baru saja selesai hari ini. Alhamdulillah 😁. Sebelum baca, jangan lupa VOTE & ramaikan lapak ini dengan Komentar postif yang membangun. Jangan biarkan lapak sepi serta share SACI ke orang terdekat supaya makin banyak juga readers yang teredukasi🥰🦉.

°°°

"Siapa yang kasih masuk orang gila ke rumah saya?!"

Seluruh pasang mata di ruangan itu serentak menatap Alaska. Semuanya melotot kaget, tak terkecuali pria tua yang ia bentak. Melihat reaksi orang-orang yang begitu, mendadak perasaan Alaska tak enak. Matanya pun ikut melotot, menoleh kaku ke Sabina di sampingnya.

"Sabina... Kenapa orang-orang di sini melotot ngeliat saya?" tanya Alaska penuh penekanan.

"Orang-orang kaget, Meneer berani bentak Ayah Meneer sendiri." jawab Sabina enteng.

Bagaikan ada petir tak kasat mata menyambar jiwa Alaska. Alaska terdiam kaku. Tak berani menoleh ke pria yang baru saja ia bentak. Padahal kemarin ia sudah membaca silsilah keluarga Hans, namun malah membuat kesalahan sebelum mulai. Masalahnya wajah pria di depannya tak mirip dengan wajah Gubernur-Jenderal Idenburg yang ada di foto. Mungkin karena foto yang ada di buku sudah usang. Ditambah lagi foto di zaman ini belum bewarna. Oleh sebab itu, Alaska sulit mengenali wajah Gubernur-Jenderal Idenburg di dunia nyata.

"Kenapa kamu gak bilang ke saya?" Alaska bertanya lagi. Terselip nada kesal sekaligus malu dalam nada bicaranya.

"Meneer ndak tanya saya dulu, main nyelonong saja marah-marah."

Alaska menggigit bibir bawahnya. Semakin kesal setelah mendengar jawaban Sabina. Tapi sebenarnya yang dikatakan Sabina benar. Salahnya karena datang langsung mengamuk. Namun Alaska pun punya alasan kuat dibalik itu. Ia tak suka melihat kekerasan terlebih kepada perempuan.

"Mijn zoon, waarom praat je zo tegen je vader? (Anakku, kenapa kau bicara begitu dengan Ayahmu?)

Seorang perempuan paruh baya tiba-tiba mendekat ke Alaska. Rambutnya pirang bergelombang dan kedua bola matanya bewarna biru langit. Warna biru muda yang tampak cerah dipandang. Saking cerahnya, Alaska seolah bisa berkaca ketika perempuan itu menyentuh wajahnya.

Melihat raut khawatir yang perempuan itu tunjukkan persis seperti Mamanya setiap kali ia pulang telat, Alaska sudah dapat menebak siapa gerangan orang ini. Seulas senyum tipis lantas terbit di bibir Alaska.

"Yang satu ini, pasti Ibunya Hans."

°°°

Seusai kejadian memalukan itu, Alaska langsung meminta maaf kepada Ibunda Hans dengan alibi bahwa tadi ia sedang melakukan akting untuk menakut-nakuti Pribumi. Semata agar dipandang hebat. Mendengar alasan Alaska, amarah Idenburg hilang seketika. Ia lantas memeluk Anaknya bangga. Namun mendapatkan perlakuan demikian membuat Alaska berpikir jika keluarga Hans sinting. Mereka malah mendukung tindak kekerasan.

Kini keluarga kecil itu tengah berkumpul bersama di meja makan. Berhubung kedua orangtua Hans datang di saat Alaska hendak sarapan, alhasil Alaska turut serta menjamu mereka. Sekalian menguatkan karakter seorang Anak kepada orangtua.

"Bagaimana lukamu, Nak? Vader (Ayah) dengar, kau ditembak?" tanya Idenburg disusul oleh istrinya.

"Apakah lukanya serius?" Catharina menatap Alaska khawatir di seberang sana.

"It's okay, Dad, Mom. I'am okay, i'am fine, i'am very nice. Trust me!" Alaska terkekeh sembari meraba dada kirinya yang terdapat luka tembak di sana.

Sama seperti sebelumnya sewaktu ia berteriak di ruang tamu, kedua orangtua Hans lagi-lagi menatapnya kebingungan. Menyadari reaksi yang serupa itu, Alaska sontak berbisik ke Sabina. Kebetulan perempuan itu berdiri di sampingnya tengah menuangkan teh.

"Kali ini apa salah saya, Sabina?"

"Meneer baru saja berbahasa Inggris."

"Ya, memang kenapa?"

"Meneer tidak pernah menggunakan bahasa Inggris di depan keluarga, kecuali pada rapat bersama orang Eropa. Makanya orangtua Meneer bingung."

"Hah, apa salahnya? Itu soal yang sepele." protes Alaska tidak terima. Jawaban Sabina terdengar klise.

"Meneer benci orang Inggris." tukas Sabina terus terang. Alaska seketika dibuat bungkam.

Terbesit pertanyaan baru di benak Alaska. Mengenai alasan Hans membenci orang Inggris. Alaska ingin menanyai hal itu ke Sabina, tapi ia tahan. Akan Alaska tanyai perihal itu nanti. Tunggu kedua orangtua Hans pergi. Sekarang yang mesti Alaska lakukan adalah mengoreksi kesalahannya lagi.

"Maksudnya, met mij gaat het goed, Vader, Mader. Gezond! (Keadaanku baik-baik saja, Ayah, Ibu. Sehat!)" sambung Alaska cepat. Ia terkekeh hambar lantas bernapas legah.

"Makasih les bahasa Belanda-nya, Mama. Berguna juga."

Lahir dari ibu yang Belanda tulen menjadi tuntutan bagi Alaska untuk mendengar dan berdialog menggunakan bahasa itu. Kadang-kadang Mamanya memakai bahasa Belanda ketika bicara, selebihnya lagi campur atau seluruhnya berbahasa Indonesia. Paling sering Bahasa Belanda Mamanya gunakan ketika marah.

"Ik ben dankbaar! Maar je moet voorzichtig zijn. Sarekat Islam-leden zijn overal. Ze zijn als een verzameling schadelijke termieten. Ik nodig Cokroaminoto uit om zijn getuigenis te vragen en om u persoonlijk mijn excuses aan te bieden voor de daden van zijn leden. Als hij niet komt, maak je dan klaar, ik zal zijn organisatie verbieden. (Syukurlah! Tapi, kau harus tetap hati-hati. Anggota Sarekat Islam ada di mana-mana. Mereka bagai kumpulan rayap yang merugikan. Aku mengundang Cokroaminoto untuk meminta kesaksiannya sekaligus meminta maaf secara pribadi kepadamu atas ulah anggota-anggotanya. Jika dia tidak datang, siap-siap saja Organisasinya itu aku bredel.)" ucap Idenburg mengepalkan tangannya. Sorot mata pria itu tampak menyimpan amarah yang luar biasa.

"Is het bewezen dat Sarekat Islam het brein is? (Apa sudah terbukti jika Sarekat Islam dalangnya?)" tanya Catharina.

"Ik ontving een rapport van de inwoner van Surakarta, Cath, dat bewezen was dat de stakende arbeiders, vooral in de Hans-fabriek, lid waren van Sarekat Islam. Wie kan ze nog meer verplaatsen? Natuurlijk de topfunctionarissen van Sarekat Islam, van wie Cokroaminoto er één was. Ik kreeg ook informatie in de krant dat Cokroaminoto in Surakarta was toen de staking plaatsvond. (Laporan dari Residen Surakarta aku terima Cath bahwa para Buruh yang mogok terutama pabrik Hans, terbukti merupakan anggota Sarekat Islam. Jadi, siapa lagi yang dapat menggerakkan mereka itu? Tentu para petinggi Sarekat Islam, salah satunya Cokroaminoto. Aku pun dapat info di koran kalau Cokroaminoto ada di Surakarta sewaktu pemogokan terjadi.)"

"Tunggu. Sarekat Islam apa yang mereka maksud? Dari kemarin nama ini terus muncul. Sarekat Islam, gue merasa gak asing sama namanya." batin Alaska bertanya-tanya.

"Maar ook Meneer moet voorzichtig zijn, vooral met Cokroaminoto. (Tapi Meneer juga harus hati-hati, terutama kepada Cokroaminoto.)" sahut seorang perempuan pribumi, datang menghidangkan kue lapis di hadapan Idenburg.

Di seberang, Alaska menatap perempuan itu dengan kening berkerut. Selain mempertanyakan sosoknya, Alaska juga penasaran terhadap nama yang perempuan itu sebutkan. Tadi pun Idenburg turut membahas nama yang sama. Cokroaminoto.

"Aahh, kue lapis buatanmu memang yang paling enak, Centini." puji Idenburg dengan bahasa Indonesia kurang fasih.

Sekilas tangannya sempat menyentuh tangan perempuan yang ia panggil Centini itu. Alaska memergokinya. Dan Alaska juga merasakan perubahan raut wajah Catharina, Ibu Hans. Rahang perempuan itu mengeras. Ia menutupi raut wajahnya dengan menunduk menatap hidangan sembari mengaduk-aduk tak tentu.

"What the hell... Terang-terangan banget anjir, nih kompeni ngegoda pribumi. Ngomong-ngomong perempuan pribumi ini siapa lagi? Pekerja Hans juga kah? Dih, Hans masa melihara Tante-Tante pelakor rumah tangga Mama-Papanya sih? Sebagai mantan Anak Cemara, gue geli banget ngeliat adegan tadi."

Alaska memilih mengabaikan adegan menggelikan tadi. Ia beralih ke hidangan yang tersedia banyak di meja. Lauk pauk lengkap, dari mulai ikan, ayam, daging, sayur-mayur dan buah-buahan. Namun dari semua itu, Alaska tergiur dengan daging panggang yang cara penyajiannya mirip steak. Alaska pun memotong daging itu lantas ia taruh ke piringnya.

Satu potongan kecil ia cicip dan lidahnya dapat merasakan berbagai macam rasa rempah-rempah yang kuat. Alaska menyukai hidangan ini. Sangat menikmatinya sampai-sampai tak sadar kalau kedua orangtua Hans tengah menatapnya.

"Eet veel, zoon, om je voeding te verbeteren en je gezonder te maken. (Makan yang banyak, Nak, untuk perbaikan gizimu supaya semakin sehat.)" celetuk Catharina, tersenyum puas melihat Anaknya lahap makan.

"Geen wonder dat je daarom zo honger hebt, Cath. Gebraden varkensvlees is zijn lievelingseten. (Pantas makanya lahap begitu, Cath. Daging babi panggang memang makanan kesukannya.)"

HUEK!

Tiba-tiba Alaska langsung memuntahkan makanan yang awalnya ia kunyah. Ekspresi senang kedua orangtua Hans seketika berubah jijik. Muntahan Alaska tercecer ke mana-mana. Baju Alaska pun juga ikut kotor terkena bekas muntahannya sendiri.

"Meneer! Sini, saya bantu bersihkan!" Sabina datang dan langsung membersihkan pakaian Alaska dengan menggunakan kain bersih. "Meneer tidak apa-apa? Kita bersihkan baju Meneer dulu. Ayo, kita ke kamar mandi."

Alaska tak berkomentar apapun. Ia menurut mengikuti Sabina yang menuntunnya ke belakang. Di dapur terdapat sebuah sumur. Sabina mengambil air dari sana sementara Alaska duduk memperhatikan.

"Biar saya saja." Alaska langsung mengambil alih kain di tangan Sabina. Sambil membersihkan dirinya, Alaska bersuara lagi. "Siapa yang masak daging panggang itu?"

"Ndoro Centini, Meneer."

"Dan kenapa kamu gak kasih tahu saya kalau itu daging babi?" Alaska menatap Sabina tajam. Tatapan Alaska itu sukses membuat Sabina gugup.

"Me--neer... Ndak... Tanya..." cicit Sabina menunduk dalam.

Alaska berdecak. Tatapannya lantas ia alihkan. Alaska menutup sebagian wajahnya. Malu atas peristiwa tadi sekaligus memikirkan daging babi yang telah ia makan separuh. Dalam agamanya melarang pemeluknya mengonsumsi babi. Tapi kini Alaska melanggar aturan itu.

"Memangnya kenapa, Meneer?" celetuk Sabina tiba-tiba, kembali memancing emosi Alaska.

"Kamu bilang kenapa?! Saya gak bisa makan babi, Sabina!"

"Tapi, babi makanan kesukaan, Meneer."

Seketika Alaska bungkam. Amarahnya sirna berganti linglung. Sekarang Alaska dibuat bingung mesti menjawab bagaimana.

"Duh, Hans..., Hans! Kenapa makanan kesukaan lo mesti babi, sih? Beban moral banget bagi gue! Mending lo suka makan seblak aja, please." ratap Alaska di batin.

"Akh, pokoknya sekarang saya gak mau lagi makan babi!" kilah Alaska, lalu menunjuk Sabina. "Dan kamu, siapapun pekerja di sini jangan ada yang masak babi. Cukup masak daging ayam, sapi, ikan, sama makanan laut, kecuali babi. Oke? Oh, sama anjing! Itu juga jangan!"

"Nggih, Meneer." Sabina mengangguk tanpa protes, meskipun dalam benaknya ia diliputi pertanyaan kenapa Meneer-nya mendadak tak mau lagi makan babi.

"Semua pembicaraan kami di depan, kamu dengar?" tanya Alaska tiba-tiba.

"Saya dengar, tapi ndak ngerti Bahasa Belanda, Meneer."

Alaska berdecak, "Mereka bahas Sarekat Islam dan Cokroaminoto. Sarekat Islam itu apa? Dan siapa Cokroaminoto? Kamu tahu?"

"Soal pemogokan buruh, Meneer?"

"Nah, iya, saya juga dengar tentang itu tadi. Masalah apa itu? Kayaknya ini menyangkut tentang saya."

"Betul, Meneer."

"Terus?" pancing Alaska.

Sabina diam sebentar. Semula ragu untuk mengutarakan. "Ja--jadi, banyak Buruh di Surakarta yang serentak mogok kerja, termasuk buruh pabrik Meneer di sana. Kebanyakan buruh yang mogok diketahui adalah anggota aktif Sarekat Islam. Aksi mogok buruh juga bertepatan di malam Meneer tertembak. Maka dari itu, Meneer Idenburg mencurigai anggota Sarekat Islam sebagai pelaku penembakan Meneer."

"Lalu, apa hubungannya dengan Cokroaminoto?"

"Saya baca di koran, Cokroaminoto ada di Surakarta saat aksi pemogokan buruh berlangsung. Jadi, di malam yang sama, terjadi pemogokan buruh, kehadiran Cokroaminoto, dan penembakan Meneer. Maka dari itu, Meneer Idenburg juga menduga Cokroaminoto terlibat dalam menggerakkan pemogokan buruh-buruh di Surakarta, termasuk menyuruh anggotanya untuk menembak Meneer." jelas Sabina, disimak serius oleh Alaska sampai-sampai kening pria itu berkerut.

"Oke, oke, saya paham. Tapi, yang jadi pertanyaan saya itu, siapa Cokroaminoto ini? Kenapa sosoknya sangat disangkutpautkan, Sabina?"

"Tuan Cokro adalah seorang bangsawan yang menghapus gelarnya agar dapat melebur dengan pribumi yang derajatnya dianggap satu perempat manusia oleh kaum Eropa. Tuan Cokro kemudian bergabung dengan Sarekat Islam untuk memperjuangkan hak-hak pribumi. Dan belum lama ini, beliau diangkat menjadi ketua Sarekat Islam cabang Surabaya. Sebab itu, pengaruhnya sangat membuat gusar petinggi-petinggi Hindia-Belanda."

"Cokroaminoto... Sarekat Islam..." Alaska menggumamkan dua nama itu berulang kali setelah mendengar penjelasan Sabina. Semakin diulang, nama itu semakin terasa familiar di ingatan.

Hingga di suatu ketika, sebuah moment pada masanya melintas di pikiran. Alaska ingat saat SMA, Guru sejarahnya pernah membahas soal Politik Etis. Secara garis besar, Alaska ingat Politik Etis adalah kebijakan yang dikeluarkan Belanda untuk pribumi dengan memberikan akses pendidikan kepada mereka.

Kebijakan ini dikeluarkan bermula dari tuntutan Partai Liberal atas kerugian pribumi atas sebab Sistem Tanam Paksa. Belanda menilai, dengan diberlakukannya kebijakan ini, pribumi bisa menjadi Sumber Daya Berkualitas, berpendidikan, sehingga dapat diupah rendah. Tapi, tanpa Belanda sadari, Politik Etis justru melahirkan kaum pelajar yang dikenal sebagai Bumiputera.

"Diantara kaum Bumiputera itu adalah Cokroaminoto, Sang Juru Selamat. Politik Etis justru memunculkan kaum terpelajar yang kelak membebaskan negeri ini dari kolonial Belanda." gumam Alaska. Bola matanya melebar. Melihat reaksi Alaska yang demikian membuat Sabina penasaran sekaligus agak khawatir. Sabina lantas menegur Tuannya itu.

"Ada apa, Meneer?"

Alaska mendongak. Menatap Sabina yang berdiri berhadapan dengannya.

"Sabina, Ayah saya bilang, ia akan mengundang Cokroaminoto atas sederet tuduhan-tuduhan tadi."

"Betul, Meneer. Lalu..., kenapa?" tanya Sabina hati-hati lantaran tidak mengerti maksud Alaska, namun tak ingin menyinggung perasaan Tuannya.

"Bagaimana saya harus bersikap di depan Raja Tanpa Mahkota?"

°°°

Dan di sinilah Alaska. Pada akhirnya ia bertemu dengan Cokroaminoto. Sekarang pria itu duduk tepat searah dengannya. Di sebelah Cokro, hadir seorang pria lain yang Alaska ketahui dari obrolan Idenburg, bahwa pria itu ialah Samanhoedi, ketua Sarekat Dagang Islam. Cokroaminoto datang bersama pria itu.

"Undanganku untuk pribadi, tapi yang datang dua orang. Apa ini menandakan seorang Cokro tidak percaya diri? Orang bilang, tidak percaya diri tanda seseorang tengah menyembunyikan sesuatu." sindir Idenburg.

Cokroaminoto membalas dengan kekehan. Sindiran itu bahkan tak membuatnya gentar.

"Tuan Hoedi merupakan ketua Sarekat Dagang Islam. Tentu ia berhak hadir, apalagi ini menyangkut soal organisasinya. Bukankan persoalan itu yang membuat Tuan Gubernur mengundang saya ke sini?"

Cokroaminoto tiba-tiba menengok ke Alaska. Membuat Alaska yang sedari tadi menatap Cokroaminoto langsung tersentak. Melihat reaksi Alaska itu, Cokroaminoto tersenyum miring.

"Jika aku tak percaya diri sekarang, tidak mungkin Anak Tuan sampai melongo menatapku. Sisi atraktif-ku nampaknya berhasil memikat Anak, Tuan." ujar Cokroaminoto melemparkan sindiran balik.

"Inlander weet het zelf niet. U kunt dit doen dankzij onze vrijgevigheid. (Inlander tidak tahu diri. Kalian bisa beginipun gara-gara kemurahan hati kami.)" hardik Idenburg pelan, namun ketiga orang di sana dapat mendengar.

Alaska melayangkan tatapan tak suka ke Idenburg, tapi yang bersangkutan tak menyadari itu. Walau sudah dicecar oleh kata-kata tak mengenakan, kedua pribumi di depan masih bersikap tenang.  Samanhoedi bahkan bicara langsung ke inti.

"Kita persingkat saja, karena waktu kami tak banyak. Penjelasan macam apa yang Tuan Gubernur ingin dengar dari kami?" Samanhoedi menambahkan lagi setelahnya. "Walau seharusnya penjelasan ini Tuan tanyakan langsung ke Buruh yang bersangkutan, tapi kami akan tetap menjawab."

"Soal ulah anggota kalian tentunya yang amat meresahkan. Kalian pasti sudah mendengar berita pemogokan buruh di Surakarta di berbagai koran. Dan banyak masyarakat yang merasa resah dan rugi akibat pemogokan para Buruh. Banyak produksi pabrik-pabrik yang terhambat karena gerakan ekstrim ini, termasuk pabrik Anak saya."

Alaska tersentak karena tiba-tiba dirinya dibahas dalam obrolan. Terlebih arah tatapan kedua petinggi Sarekat Islam mengarah padanya sekarang.

"Hingga kini, pemogokan buruh masih berlangsung. Ditakutkan keresahan masyarakat kian meningkat. Apabila ini terjadi, tentu akan ada perlawanan pula dari masyarakat dan terjadilah bentrok antar buruh dan warga sipil."

"Buruh juga warga sipil." tukas Samanhoedi yang diangguki Idenburg.

"Benar, tapi bukan itu poinnya. Saya menilai, gerakan buruh ini perlu diredam demikian juga keresahan masyarakat."

"Langsung saja ke intinya, Tuan. Percuma bicara banyak, tapi poin yang ingin disampaikan jadi tak tersentuh." kritik Cokroaminoto. Idenburg mengangguk dengan raut wajah menahan kesal.

"Mayoritas buruh yang bergerak adalah anggota Sarekat Islam, namun tak ada tanggapan Tuan-tuan atas permasalahan ini ke muka publik sehingga timbul persepsi macam-macam di antara masyarakat. Masyarakat dan Buruh butuh jawaban agar masalah ini redam."

"Baik, tanggapan dan jawaban, lalu apa hubungannya dengan kami?" desak Cokroaminoto tak sabaran. Pernyataan Idenburg terus berputar-putar.

"Jawaban atas keresahan masyarakat ada di kalian. Kalian mengakulah, bahwa pada kenyataannya kalian adalah dalang dibalik pemogokan para Buruh."

Deg!

Alaska dan Samanhoedi terbelalak, namun tidak untuk Cokroaminoto. Raut wajah pria itu tetap tenang walau baru saja dihadapkan pada jurang.

"Apa-apaan maksud nih kompeni?! Kok malah menimpakan permasalahan ke orang lain? Gemes banget gue dari tadi sama dia, pengen gue raup tuh mulut! Sekate-kate!" Alaska menatap Idenburg sangsi.

"Memang terdengar tak adil, namun pada setiap permasalahan harus ada pihak yang disalahkan agar masalah selesai. Walau demikian, tidak akan ada pihak yang dirugikan termasuk, Tuan. Semua ada keuntungan. Buruh merasa gerakannya mendapat dukungan dari atasan, masyarakat menemukan jawaban, dan Tuan-tuan akan lebih dipandang sebagai pahlawan bagi organisasi karena berhasil menggerakkan Buruh. Masalah butuh jawaban, Tuan-tuan."

"Tunggu sebentar."

Alaska tiba-tiba bersuara. Membuat semua orang yang ada di sana serentak menoleh kepadanya. Semula Alaska dibuat gugup karena mendapati perhatian itu. Tapi, Alaska coba meredam perasaannya. Ada hal yang lebih perlu ia utarakan.

"Jadi kita akan menyalahkan mereka atas perbuatan yang tak mereka lakukan? Seriously? Tidak akan ada pihak yang dirugikan apanya? Tentu mereka akan rugi secara personal di mata masyarakat."

Alis Idenburg menukik tajam. Sangsi dengan sanggahan Anaknya.

"Wat ben je aan het doen, ze zelfs verdedigen? Hun leden zijn schadelijk voor jouw fabriek, Hans. (Kau ini apa-apaan, malah membela mereka. Anggota mereka merugikan pabrikmu, Hans.)"

"Emang beneran terbukti Buruh-Buruh yang memberontak itu anggota Sarekat Islam? Bisa aja itu ulah orang gabut. Kan, banyak tuh, orang cuma numpang tenar. Yaelah, lu sebagai pemimpin harusnya bisa menengahi, bukan buat kisruh. Slepet juga nih!" sangkal Alaska kebablasan tanpa ia sadari memakai bahasa gaul.

Tapi, tak berlangsung lama, Alaska sadar bahwa ucapannya tadi bukanlah KBBI yang baik dan benar. Karena bahasanya terdengar asing, orang-orang di sana memandangnya aneh. Alaska pun jadi salah tingkah.

"Waar heb je het over? Je taalgebruik is vreemd sinds je gewond bent geraakt. Kijk, door jouw mensen raakte mijn zoon gewond en het liep zo af! (Kau ini bicara apa? Bahasamu aneh semenjak terluka. Lihat, karena orang-orangmu Anakku terluka dan jadi begini!)" amuk Idenburg menunjuk Cokroaminoto dan Samanhoedi.

"Eh, woi, bukan gitu!" bentak Alaska spontan. Lagi-lagi ia memancing reaksi aneh dari ketiga orang itu. "Maksudnya... Sebentar."

Alaska menarik napas. Mengendalikan dirinya agar tak bicara aneh lagi.

"Dengan menimpakan permasalahan ke mereka itu bukan menyelesaikan masalah, justru menimbulkan masalah baru. Siapa yang jamin masyarakat bisa tenang setelah mendengar pernyataan bersalah dari mereka? Dan, bukan itu yang Buruh butuhkan. Buruh demo, mogok kerja, tentu ada masalah yang juga merugikan mereka. Lagipula kemaslahatan Buruh merupakan tanggung jawab pabrik. Penyelesaian yang sebaiknya Ayah lakukan adalah mendatangi pendemo, mendengarkan dialog mereka, bukan malah menimpakan masalah ke orang lain. Pasti ada penyebab yang membuat Buruh bergerak."

"Itu karena upah yang mereka dapat tidak sebanding dengan jerih payah yang mereka keluarkan. Saya senang Tuan Hans dapat berpendapat dengan benar. Semoga kedepannya Tuan Hans juga dapat berlaku adil kepada Buruh-Buruh, Tuan." celetuk Cokroaminoto.

Alaska tersentak. Teringat demo semacam ini bukan hanya terjadi di masa lalu, tapi di masa depan pun sudah sering. Salah satu pemogokan Buruh yang pernah terjadi adalah saat diterbitkannya UU Cipta Kerja dan kasus Marsinah. Semua permasalahan Buruh itu terjadi berdasarkan minimnya gaji yang mereka terima. Kejadian ini pun turut mengingatkan Alaska dengan kasus Daendels.

"Bener, Buruh bergerak karena menuntut hak mereka. Jadi, sekecil apa gaji yang mereka dapat sampe bergerak mogok begitu? Berapa gaji yang Hans kasih ke Buruh-buruhnya? Kejadian ini dipikir-pikir mirip kasusnya sama Daendels."

"Genoeg! Hou je mond, Hans! Ik heb het recht om hier te spreken! (Cukup! Kau diam, Hans! Aku yang berhak bicara di sini!)" Idenburg membentak Alaska sampai membuatnya terperanjat. Alaska menatap shock pria tua di sampingnya.

"Bajingan, seenaknya dia bentak gue! Senyebelin-nyebelinnya Bapak kandung gue, gak pernah dia bentak-bentak sama Anaknya. Anjir, gue cekik juga lo!"

"Kebaikanku datang hanya sekali. Aku sudah memberikan solusi terbaik untuk Tuan-tuan, jadi apa keputusan, Tuan? Semakin cepat, semakin baik."

Cokroaminoto dan Samanhoedi tidak langsung menjawab. Mereka menimbang-nimbang keputusan. Telunjuk Cokroaminoto mengetuk-ngetuk meja seiring pertimbangan itu. Bertepatan dengan telunjuknya berhenti bergerak, Cokroaminoto pun menentukan putusannya.

"Bagaimana jika kami menolak?"

Idenburg menarik sudut bibirnya. Tersenyum licik. Ia lalu mengeluarkan selembar kertas dari dalam saku jasnya. Kertas tersebut ia taruh ke atas meja dan didekatkannya ke Cokroaminoto.

"Keputusan pembekuan ini yang menjadi solusi terakhir untuk pergerakan ekstrim Sarekat IsIam."

°°°

Alaska mengejar kepergian Cokroaminoto dan Samanhoedi. Pada akhirnya Cokroaminoto mengambil solusi terakhir. Mulai hari ini, pemberlakuan skrors atau pembekuan untuk Sarekat Islam berlaku.

"Tuan Cokro, tunggu!" Alaska berteriak, coba menghentikan langkah keduanya, tapi mereka sama sekali tak bergeming. Petinggi Sarekat Islam terus melangkah seolah teriakan Alaska adalah nyanyian bagi mereka.

"Haji Omar Said Cokroaminoto!"

Begitu Alaska meneriaki Cokroaminoto dengan nama panjangnya, barulah sosok itu berhenti di tempat. Cokroaminoto menoleh, melihat Alaska yang berjalan terseok-seok dengan napas memburu. Alaska lelah berlari dari tempat perjamuan yang ada di belakang rumah sampai ke halaman depan.

"Seberapa luas sih rumah, Hans? Capek banget rasanya gue, kayak puasa tapi gak buka-buka."

Alaska berhenti di teras. Mengatur napasnya sejenak.

"Tunggu dulu... Tuan... Cokro... Aminoto... Haaahhh!"

Alaska menarik napas dalam-dalam, setelahnya barulah menghampiri Cokroaminoto dan Samanhoedi.

"Apa lagi yang Tuan inginkan dari kami?" tanya Cokroaminoto tak bersahabat.

"Saya akan membantu, Tuan-tuan!" cetus Alaska yang amat mengejutkan Cokroaminoto dan Samanhoedi. Namun rasa terkejut itu tak berlangsung lama. Wajah Cokroaminoto kembali datar.

"Selama ratusan tahun bangsa Tuan mengambil keuntungan dari kami dan menjanjikan banyak hal, lalu Tuan pikir kami akan percaya dengan janji yang sudah klise ini?"

"Tapi, saya serius ingin membantu Tuan-tuan, membantu Sarekat Islam, membantu para Buruh. Saya janji akan mengkoreksi upah yang saya berikan ke mereka. Saya akan atur ulang lalu memberikan upah yang sesuai! Kalau bisa, ayo kita kerja sama!"

Ucapan terakhir Alaska menarik minat Cokroaminoto. Hal itu terlihat dari gerak tubuh Cokroaminoto. Alis pria itu serentak mengerut dan tampak menimbang-nimbang penawaran Alaska barusan.

"Atas dasar apa Tuan ingin membantu kami?"

"Kemanusiaan yang adil dan beradab."

°°°

Arabella mendatangi pelabuhan dengan ditemani Nasution. Sesuai janji, Nasution akan membantu Arabella untuk mencegah kedatangan Tante Neneknya. Dan pada hari ini merupakan perkiraan jadwal kedatangan Tante Neneknya. Jadi sebelum Tante Neneknya sampai ke rumah, mereka sudah harus menghentikan kedatangan perempuan itu.

"Aku akan ke sana dulu untuk melihat apakah kapalnya sudah datang. Kau tunggu di sini, Nas, nanti aku akan kembali."

"Jadi, aku tenggelamkan kapalnya?" bisik Nasution sengaja menggoda. Arabella mendesis lantas memukulnya.

"Jangan macam-macam! Kau bilang sudah ketemu cara lain. Pokoknya jangan ditenggelamkan dan hipnotis."

Nasution berdehem singkat sambil mengangguk. "Baiklah, terserah Mevrouw Arabella."

Selepas itu, Arabella mulai beranjak pergi dan meninggalkan Nasution sendirian di tempat. Dalam penantiannya, tiba-tiba datang tiga orang berpakaian hitam. Pakaiannya serupa modelnya dengan yang Nasution pakai. Pria-pria itu menghampiri Nasution.

"Ada apa kalian kemari?" tanya Nasution dingin.

"Tetua meminta kami untuk menjemputmu."

Setelah jawaban itu terlontar, ketiganya secara tiba-tiba mencekal kedua Nasution. Sedetik dari itu, mereka menghilang dengan membawa serta Nasution. Beberapa saat saja, Arabella datang namun tak menemukan Nasution.

"Nas! Nasution!"

Arabella berteriak. Menoleh ke sana ke mari mencari pria itu di tengah keramaian. Tak puas, Arabella sampai bergerak mencari Nasution ke setiap sudut hingga pada suatu titik ia dipertemukan oleh seorang perempuan yang justru pada hari ini ingin ia hindari.

"Je bent hier net om mij op te halen, nietwaar, mijn neef? (Kau baru saja sampai di sini untuk menjemputku, ya, keponakanku?)"

°°°

Bersambung...

Pak Jenderal ternyata pas muda juga sudah pernah dijemput, tapi ini bukan Cakrabirawa😭☝. Walah, Alaska keknya kebelet banget mau kerjasama bareng Cokroaminoto and the geng. BTW WOI ALASKA UDAH MAKAN BABI😭.

FAKTA SEJARAH!

1. Soal Politik Etis yang pernah Alaska pelajari di SMA juga pernah pasti kalian pelajari di sekolah kan? Karena sudah dipelajari, singkat saja kalau POLITIK ETIS adalah bentuk tanggung jawab moral pemerintah kolonial Belanda terhadap pribumi, rakyat Indonesia, yang mengalami penderitaan luar biasa akibat politik tanam paksa kolonial Belanda. Politik Etis ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 1901 oleh Van Deventer atas tuntutan partai Liberal.

Tujuan Politik Etis semula memberikan pendidikan kepada kaum Pribumi sekaligus dengan cara itu, mereka akan mendapatkan SDM kualitas tinggi tapi bisa mereka upah rendah. Namun siapa sangka Politik Etis justru memunculkan kaum terpelajar (Bumiputera) kayak: Cokroaminoto, Bung Hatta, Bung Syahrir, Soekarno, dan organisasi-organisasi pergerakan nasionalis seperti Sarekat Islam, Muhammadiyyah, Jong Minahasa, dll.

2. Karena pemogokan yang dilakukan para buruh yang mayoritas adalah anggota Sarekat Islam, ditambah nggak ada klarifikasi dari petinggi Sarekat Islam, akhirnya Idenburg mengeluarkan surat keputusan pembredelan/pembekuan/diskros untuk keaktifan Sarekat Islam. Meski demikian, Sarekat Islam tetap aktif bahkan semakin banyak masa yang bergabung. Sumber ini saya temukan di PDF Cokroaminoto di bawah. Bisa kalian download secara GRATIS kok.

3. Tahu Daendeles gak? Gubernur-Jenderal Netherlands yang menerapkan kerja rodi untuk pribumi sehingga terciptalah Jalan Anyer-Panarukan. Sempat Alaska singgung juga dan menyangkutpautkan hal ini dengan gaji para Buruh sehingga terjadilah demo mogok kerja. Dulu, kita mengira Daendels gak kasih gaji ke pribumi, menurut kalian bener gak gengs?

SALAH, ya! Daendels ternyata kasih upah kok buat pekerja kerja rodi pribumi, cuma itu dikorupsi. Info lebih lengkap akan dibahas di part berikutnya. Fakta Sejarah yang saya bahas sekarang sekedar pengenalan Daendels dan Kerja Rodi dulu. Part besok baru secara lengkap oke, karena besok soal gaji Buruh ini yang akan dibahas secara rinci.

Segitu aja FAKTA SEJARAH yang dapat saya berikan. Lebih kurang, saya mohon maaf ya cintah. JANGAN LUPA VOTE & COMMENT jugaaa dong. Jangan biarkan lapak ini sepi. Sedih banget😭☝. Share juga SACI ke orang terdekat, biar makin rame yang baca dan dapat ilmu pengetahuan baru🥰. Love you tomat❤🍅.

❤FOLLOW IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top