3. SACI - Masing-Masing Tamu

Perhatian! Part ini terdiri dari 4.700 kata, jadi dimohon kerja samanya untuk meramaikan lapak dengan VOTE & COMMENT. Hargai penulis beserta ilmu yang telah dibagikan di bawah. Terima kasih dan mohon maaf apabila masih menemukan banyak typo saat membaca. Karena penulis hanya manusia biasa, bukan AI❤.

°°°

Arabella keluar rumah untuk menyambut pagi hari yang cerah di tahun 1912. Di depan pintu, ia merenggangkan badan untuk merilekskan tubuhnya. Kepala Arabella kemudian celingak-celinguk mencari koran yang biasa dilempar ke halaman rumah oleh penjual koran keliling. Tapi bukan menemukan koran, Arabella malah menemukan secarik surat di dalam kotak pos yang menggantung di samping pintu masuk.

Arabella mengambil surat yang terbungkus amplop itu. Ia membolak-baliknya untuk menemukan nama pengirim, namun tak ketemu. Akhirnya Arabella dengan tak sabaran membuka amplop tersebut untuk segera mengetahui gerangan pengirim surat.

Voor mijn neef, Arabella.
(Teruntuk keponakanku Arabella)

Mata Arabella seketika membulat bahkan sontak membekap mulut. Baru membaca kalimat awal, tapi Arabella sudah dapat mengetahui pengirim dari surat ini.

"Verdomd! (Sialan)! Ini surat dari Tante Liese! Mau apa lagi Tante-Tante berisik itu mengirim surat ke Nenek? Aagh!"

Arabella mengoceh panjang lebar. Malas sebenarnya ingin membaca lebih lanjut isi surat yang dikirim oleh Tante Neneknya, tapi keadaan menuntutnya harus mengetahui isi dari surat itu. Risiko yang mesti dia tanggung karena mengambil identitas Neneknya di zaman ini.

Ya, Arabella van Leuweun, dapat hidup pada zaman yang bukan semestinya berkat kesamaan namanya dengan sang Nenek. Mereka memiliki nama yang sama, namun beda usia. Di masa ia hidup, yakni tahun 1992, Arabella berumur 22 tahun. Sedangkan Neneknya di tahun ini telah berumur 25 tahun.

Hanya umur yang menjadi pembeda di antara mereka. Selebihnya mereka bak pinang di belah dua. Bukan hanya nama saja yang mirip, namun rupa mereka pun sama. Arabella mengetahui hal ini ketika melihat foto Neneknya sewaktu belia yang terpajang di ruang perpustakaan rumah mereka setibanya ia di Indonesia, dan sebelum mengalami perjalanan waktu ke Hindia-Belanda.

Mata Arabella bergerak-gerak tak tentu tarkala membaca seluruh isi surat. Semakin ia baca surat itu, semakin pula dahinya mengerut diikuti dengan matanya yang melebar.

Over drie dagen of op zijn vroegst overmorgen kom ik aan in Nederlands-Indië. Het is drie maanden geleden dat ik je daar alleen achterliet, oh, mijn nichtje Arabella. Het spijt me dat je tante het druk heeft in Nederland. Maar het goede nieuws is dat ik één week vrij had en die heb gebruikt om bij jou op bezoek te gaan.

Ik zal veel dingen met je doen als je in Nederlands-Indië aankomt. Het belangrijkste is om onze oude familievrienden te bezoeken. Het is lang geleden, maar je zult zeker blij zijn als je hem later ontmoet. Dat kind is nu ook in Surabaya.

Ik mis je, Tante Liese.

(Dalam tiga hari kemudian atau paling cepat lusa, aku akan sampai ke Hindia-Belanda. Sudah tiga bulan sejak aku meninggalkanmu di sana seorang diri, oh, Arabella keponakanku. Maafkanlah Bibimu ini yang sibuk di Negeri Belanda. Tapi kabar baiknya, aku mendapatkan waktu libur selama 1 minggu dan ku gunakan itu untuk mengunjungimu.)

(Banyak hal yang akan aku lakukan bersamamu sesampainya di Hindia-Belanda. Yang paling utama adalah mengunjungi rekan lama keluarga kita. Sudah lama sekali memang, tapi pasti kau akan senang saat bertemu dia nanti. Anak itu juga ada di Surabaya sekarang.)

(Peluk rindu, Tante Liese).

"Oohh, my goooodd!!!" Arabella berteriak keras sontak mencengkeram rambutnya bersamaan dengan surat Tante Lies yang masih ia pegang. Membuat surat itu jadi tak berbentuk.

"Kenapa Lampir berisik itu harus kemari?! Aku baru saja dapat ketenangan!" teriak Arabella, kali ini dengan menjambak rambutnya.

"Ada apa?"

"Aaaakk!"

Arabella menjerit histeris. Terkejut lantaran menemukan Nasution sudah berdiri di belakangnya.

"Nasution...,"

Tiba-tiba saja Arabella menghentak-hentakkan kakinya ke tanah seusai bersuara manja dan menunjukkan bibir mencebik. Tingkah Arabella itu justru ditatap aneh oleh Nasution. Alis pria itu terangkat sebelah.

"Bicaralah! Aku tak mengerti bahasa orang keterbelakangan mental."

"Ha--h? Ka--kau bilang apa tadi? Keterbelakangan mental? Aku?" Arabella menatap Nasution shock. Tidak menyangka secara gamblang Nasution baru saja memakinya.

"Waktu tak banyak. Aku tak mau menyia-nyiakannya untuk meladeni amarahmu yang kekanak-kanakan."

Nasution berbalik, namun segera Arabella menarik tangannya. Arabella tahu, jika Nasution sudah berbalik dan melangkah maka selanjutnya sosok itu akan menghilang. Dan Arabella tak ingin hal demikian terjadi karena sekarang dia sedang membutuhkan sosok itu.

"Tolong aku." pinta Arabella, menatap Nasution dengan wajah memohon.

Nasution sempat terdiam melihat wajah itu. Detik selanjutnya, tubuh tegap itu berbalik penuh menghadap Nasution. Melihat itu, senyum Arabella langsung mengembang. Gerak tubuh itu merupakan pertanda kalau Nasution bersedia menolongnya.

"Tante Lies akan kemari, mengunjungiku, lusa atau tiga hari lagi." Arabella menyerahkan surat Tante Lies ke Nasution, tapi Nasution tak kunjung mengambil surat itu.

"Bukankah itu bagus? Kau bisa minta uang yang banyak kepadanya. Bilang, kau kelaparan di sini dan hampir mati."

Arabella mendesis, "Aku tak membutuhkan uangnya, Nasution! Aku sudah berkecukupan di sini."

"Ya, itu karena aku."

"Ha-ha-ha, te-ri-ma-ka-sih, tapi itu sudah tanggung jawabmu." timpal Arabella menunjuk Nasution tajam.

"Untuk apa aku bertanggung jawab? Aku akan bertanggung jawab kalau kau itu istriku."

Arabella mendelik, "Demi Tuhan, mimpi buruk bagiku kalau sampai jadi istrimu."

"Apa ini? Nampaknya kau mengganggap serius ucapanku tadi." Nasution menyeringai sedangkan Arabella terbelalak. Perempuan itu kemudian berdecak lantas mengembalikan topik.

"Aish, kau mau menolongku atau tidak sih?"

"Kau ingin ditolong bagaimana? Minta tolong itu pada Tuhan, bukan padaku."

"Bisa tidak, kau serius sekali saja?"

"Mimpi burukmu akan jadi nyata kalau aku serius."

"Nasution!" Arabella berteriak kencang. Geram karena Nasution malah mengajaknya adu mulut, bukan memberi solusi. "Sudahlah, kalau kau tak mau membantuku, aku minta tolong Cokro saja."

Arabella berbalik hendak pergi, namun segera Nasution menahan lengannya agar tak bergerak ke mana-mana. Surat yang Arabella serahkan tadi akhirnya ia ambil.

"Kau ingin aku melakukan apa? Membuat kapalnya terbalik di tengah laut?" tanya Nasution, tatapannya fokus membaca isi surat Tante Lies.

"Jangan! Kau bisa membunuh Tante Nenekku!"

"Lalu? Harus ku apakan dia?" jeda tiga detik, Nasution melanjutkan kata-katanya lagi. Wajahnya berubah menatap Arabella bingung. "Apa alasanmu tak menginginkan kehadirannya? Dia hanya ingin berkunjung, menengok keponakannya."

Arabella berdecak, lantas mengalihkan pandangan. "Pergerakanku jadi terbatas kalau ada dia."

"Lagi-lagi soal Cokro, heh?" Nasution tersenyum kecut."

"Aish, bukan hanya itu! Kau ingat pertama kali aku sampai di sini dan bertemu dia?! Dia mengomentari cara berpakaianku, model rambutku, dan terus merutuki berat badanku!"

"Dia khawatir, karena tubuhmu tampak kurus sewaktu pertama kali datang."

"Aku tidak kurus, Nenek saja yang terlalu gendut!" sangkal Arabella, entah mengapa membuat Nasution meringis.

"Masih sama, tak mau dinasihati." batin Nasution.

"Jadi, bagaimana? Kau bisa mengurusnya, kan?" tanya Arabella lagi. Kedua matanya berkedip-kedip seraya tersenyum lebar menengok Nasution penuh harap.

"Sama seperti sebelumnya, itu urusan gampang."

"Bagaimana?"

"Aku tinggal menghipnotisnya---"

"Lagi?!" sela Arabella kaget. Arabella lalu memukul lengan Nasution. "Ih, jangan, Nasution!"

"Apa lagi sekarang? Bukankah cara kemarin berhasil? Buktinya sampai sekarang wanita tua itu tak mengenalimu. Ia masih menganggapmu sebagai keponakannya, bukan cucu dari keponakannya."

Arabella memijat pelipisnya pelan. Memang benar, Nasution menghipnotis pikiran Tante Lies sewaktu mereka sampai di masa ini. Arabella berpindah masa bersamaan dengan Neneknya yang kabur. Neneknya kabur karena mengetahui alasan kepindahannya ke Surabaya. Namun alasan itu hanya Tante Lies dan Neneknya yang tahu. Nasution bilang, Neneknya saat ini berada di Banda Naira. Ia diurus oleh keluarga laki-laki yang kelak akan menjadi suaminya, Kakek Arabella.

Perpindahan waktu itu begitu cepat. Nasution membawanya ke toilet pelabuhan dengan masih memakai baju pada tahun 1992, yang membuat Tante Lies terkejut karena sebelum masuk ke toilet pakaian keponakannya tidak begitu. Tante Lies semakin dibuat bingung tatkala melihat Arabella keluar bersama seorang pria asing. Padahal beberapa menit sebelumnya, ia lihat Arabella masuk seorang diri.

Melihat Tante Lies yang semakin panik bahkan mulai ketakutan, Nasution langsung ambil tindakan. Dengan sekali jentikkan jari, ia berhasil menghipnotis pikiran Tante Lies. Kalimat bohong yang Nasution ucapkan bersamaan dengan sihir itu adalah memberi ingatan palsu kepada Tante Lies. Penyebab pakaian Arabella berubah karena saat di toilet ia berganti pakaian, sementara kehadiran Nasution merupakan pengawal pribadi yang ia pesan untuk menjaga Arabella selama di Surabaya.

"Pokoknya janganlah, aku takut dia jadi gila." alibi Arabella. Nasution lantas mendongak ke atas lantaran menahan kesal.

Namun tiba-tiba Nasution kembali menatap Arabella. Tatapannya berubah serius. Arabella menyadari perubahan itu.

"Apa yang aku dapat jika menolongmu? Aku tidak mau menolong secara cuma-cuma. Segala sesuatu ada bayarannya."

"Dasar, menyebalkan sekali." rutuk Arabella, kemudian mulai berpikir. "Eemm, kau boleh berkunjung ke sini kapanpun yang kau mau! Bagaimana?"

"Penawaran macam apa itu? Tidak menggiurkan. Tanpa penawaran itu, aku tetap bisa menerobos masuk."

Mendadak Nasution berbalik, membuat Arabella panik. Takut pria itu pergi. Arabella lantas dengan sigap menghalangi jalan Nasution. Ia merentangkan tangannya lebar-lebar.

"Baiklah-baiklah, kau mau penawaran yang bagaimana?" ucap Arabella pasrah.

Terbit senyum miring di bibir Nasution. Bola mata Nasution menerawang ke atas. Sedang mencari penawaran pantas yang akan ia sepakati.

"Berhenti menemui pria itu." cetus Nasution bulat.

"Siapa? Cokro?!" Arabella melotot kaget. "Mana bisa aku berhenti menemuinya! Bagaimana aku bisa menuntaskan tugasku, jika kau melarangku bertemu dengannya?"

"Alasan!" sentak Nasution.

"Tapi, memang benar kan?"

Nasution mendengus. Yang dibilang Arabella benar. Arabella mesti sering-sering berinteraksi dengan pria itu, agar tujuan dari tugas perjalanan waktu ini tercapai. Segera mendorong tekad Cokroaminoto menjadi Ketua Cental Sarekat Islam.

"Baiklah, kau boleh menemui pria itu, asal bersama denganku."

Arabella terbelalak. "Yang benar saja!"

"Kenapa? Kau keberatan?"

"Sangat! Masa apa-apa kau mengekoriku terus?"

"Orang-orang di sini dan Tante Nenekmu tahunya aku adalah pengawalmu. Jadi masuk akal apabila aku terus berada didekatmu, termasuk saat bersama Cokroaminoto." Nasution diam, memandang lekat Arabella yang masih ragu-ragu. "Waktuku habis!"

Untuk yang ketiga kalinya Nasution berbalik. Memutuskan beranjak pergi dan lagi-lagi keinginan tersebut sigap Arabella cegah. Arabella menarik tangan Nasution kuat.

"Iya, iya, terserah! Tapi hanya untuk satu minggu."

"Satu bulan."

"Apa?! Kau jangan ngelunjak! Satu minggu!"

"Satu bulan." timpal Nasution lagi, masih mempertahankan keputusan awal.

"Baiklah, baiklah, baiklah! Dua minggu!"

"Satu bulan."

"Aaggh! Yasudah, iya-iya, satu bulan! Puas?!"

Seketika Nasution tersenyum miring. Puas karena di perdebatan ini ia berhasil membuat Arabella kalah tak berkutik. Bola mata Nasution bergerak, mengikuti langkah Arabella yang menuju pintu masuk. Di ambang pintu, Arabella berbalik.

"Tapi kalau kau ingkar, aku akan marah kepadamu selama satu bulan!" ancam Arabella sebelum ia menutup pintu.

Brak!

Pintu rumah tertutup rapat setelah menghasilkan bunyi dentuman keras akibat bantingan dari pemilik rumah. Nasution masih diam di tempat memandang hampa pintu yang telah tertutup rapat. Baru saja Arabella meninggalkan dirinya seusai memberi ancaman.

"Kita lihat saja. Paling dalam tiga hari dia sudah merengek kepadaku seperti sekarang."

°°°

Alaska menatap tajam sosoknya di cermin kamar mandi. Sudah satu hari, tapi raganya masih tak berubah. Padahal Alaska berharap ketika ia membuka mata, ia berada di kamarnya, di tubuh aslinya, dan terbangun di tahun ia hidup. Akan tetapi, kenyatannya Alaska masih berada di tubuh Hans Frederik van de Idenburg.

"Kok bisa sih? Gue masih gak nyangka, beneran deh. Time travel, transmigrasi, tukar jiwa dan sebagainya itu nyata. Kejadian dan sialnya malah ke gue. Dari miliaran orang, kenapa harus gue? Apa tujuannya coba?"

Alaska geleng-geleng kepala. Masih tak habis pikir. Semua yang terjadi saat ini rasanya seperti mimpi bagi Alaska. Namun luka di dadanya terus menyadarkan Alaska berkali-kali, bahwa semua ini bukan mimpi.

Alaska menyentuh dada kanannya. Terdapat bekas luka yang masih merah tertutupi oleh jahitan. Luka itu membentuk tanda lahirnya, Benua Alaska. Alasan namanya diberikan.

"Apa karena gue masuk ke tubuh Hans, makanya tanda lahir gue timbul di tubuh dia? Tapi ini bukan tanda lahir kok. Ini luka." Alaska meringis kesakitan lantaran tak sengaja terlampau kuat menyentuh lukanya. Lagi-lagi rasa sakit ini menyadarkannya, bahwa bekas di dadanya ini adalah luka bukan tanda lahir.

"Bangke... Bangke! Kenapa nih Bule kudu kena tembak sih? Coba dia anteng-anteng aja di rumah, nonton bola misalnya atau main catur, mungkin gue gak akan masuk ke tubuh dia." rutuk Alaska, mecengkeram ujung kanan dan kiri wastafel. "Tapi yang paling bersalah dari semua ini Kakek tua itu! Gabut bener cok, lempar orang ke masa lalu. Freak lo, Pak Tua!"

Panjang lebar Alaska mengoceh di depan cermin, bahkan sampai menunjuk-nunjuk dirinya. Napas Alaska naik turun seusai mengoceh. Alaska menunduk, diam sejenak dengan masih digerayangi oleh ribuan pertanyaan.

"Apapun itu, intinya gue harus nyebur ke sungai Jembatan Merah. Gue harus pulang, gue gak mau lama-lama di sini, apalagi amit-amit terjebak selamanya di tubuh nih Bule jelek." Alaska beralih ke cermin. Menatap serius sosok Hans. Alaska menunjuk pantulan raga Hans di cermin. "Pokoknya Hans, lo harus sehat dulu. Cepet pulih deh, GWS! Biar gue cepet juga ke kantor lo, terus nyebur deh ke sungai Jembatan Merah dan pulang. Good bye, dunia penjajahan! I'm leaving, yeah! Hahaha!"

Tok! Tok!

Ketukan di pintu menghentikan tawa Alaska. Spontan Alaska menoleh ke arah pintu yang di gedor pelan namun bertubi-tubi.

"Apaan?!" teriak Alaska, sebal ke orang yang ada di luar.

"Mohon maaf, Meneer. Meneer sudah selesai mandi?" sahut suara di luar. Alaska memutar bola mata malas karena langsung mengenali pemilik suara ini. Perempuan itu. Sabina.

"Belom, kenapa? Kamu mau mandi bareng saya?" tanya Alaska membuat mata Sabina melotot lebar. Sabina gelagapan.

"Ti---tidak, Meneer. Bukan begitu."

"Yaudah, sana, tunggu!" timpal Alaska cepet. Alaska lalu menggerutu kecil. "Nyebelin bener, dari tadi ngekorin terus. Sebenarnya dia pelayan macam apa sih? Kaki tangan si Hans kah? Udah macam bininya aja."

"Kalau begitu, saya siapkan pakaian Meneer."

"Bacot!" hardik Alaska pelan.

Lebih kurang dari dua puluh menit Alaska menuntaskan kegiatannya di kamar mandi. Ia keluar dengan balutan handuk yang hanya menutupi bagian bawahnya, dari pinggang hingga ke lutut. Sementara bagian atasnya yang menyisakan dada terbuka lebar.

Alaska celingak-celinguk. Memastikan keadaan. Setelah mengetahui keadaan sepi, Alaska baru melanjutkan langkahnya. Saat matanya menengok ke atas kasur, Alaska mendapati benda tak asing tergeletak di sana. Alaska mendekat ke sana untuk melihat lebih jelas. Seketika mata Alaska melebar. Alaska langsung berlari menyambar benda itu.

"Jam rantai gue! Kok bisa ada di sini?!" Alaska tersenyum lebar. Merasa senang dapat bertemu benda dari masanya sekaligus benda kesayangannya. "Perasaan benda ini jatuh deh dari jaket. Siapa yang naruh? Jangan-jangan Pak Tua itu datang?"

Alaska diam sejenak, kemudian meralat praduganya sendiri.

"Ah, gak mungkin-gak mungkin! Tapi, bodo amat sih, yang penting jam ini balik ke gue dalam keadaan..."

Ucapan Alaska spontan terputus bersamaan dengan ia membuka jam ranta itu untuk memeriksa. Untuk yang kedua kalinya mata Alaska melebar. Terkejut karena jam rantainya tak retak sedikitpun bahkan jam yang semula mati jadi hidup kembali. Padahal kenyataanya jam itu telah lama mati dan Alaska ingat betul jam itu retak karena terjatuh sewaktu ia dicekik.

"Aaagghh, padahal gue udah positive thinking cookkk!" teriak Alaska histeris.

Teriakan itu rupanya sampai ke pendengaran Sabina yang kebetulan sudah naik di anak tangga terakhir. Menduga terjadi hal buruk yang menimpa Meneer-nya, bergegas Sabina masuk tanpa mengetuk pintu.

"Meneer! Ada apa?!"

Alaska menoleh dan terkejut menemukan Sabina telah berdiri di depannya dengan napas terengah-engah. Alaska lalu berteriak lagi yang membuat Sabina lebih terkejut.

"Aaaghhh! Lo ngapain kemariii?!" Alaska sontak berlari ke atas ranjang dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Malu karena baru saja tubuhnya ditatap oleh seorang gadis asing.

"Sa--saya kan sudah bilang, saya ambil baju Meneer dulu sembari Meneer mandi." jeda tiga detik, Sabina tiba-tiba mendekat. "Meneer sudah selesai mandi, boleh segera ganti pakaian. Saya bantu."

"DIAM KAMU DI SITU!" Alaska menunjuk Sabina tajam sambil melotot. Perintah tegas Alaska itu spontan membuat Sabina berhenti di tempat. "Saya bisa pakai baju sendiri! Saya bukan anak kecil lagi, you understand?"

"Ba--baik, Meneer. Sa--saya taruh bajunya di sini." Sabina melangkah pelan, menaruh pakaian itu di ujung kasur.

"Ngapain lagi masih di sini? Get out!" usir Alaska galak.

"Tapi, Meneer, saya harus kembali lagi ke sini setelah Meneer selesai berpakaian."

"Kenapa lagi?!"

"Meneer hilang ingatan. Meneer perlu mengenal diri Meneer agar orangtua Meneer tidak curiga besok."

°°°

Sabina menaruh buku tebal di atas meja. Alis Alaska terangkat satu, menatap penuh tanda tanya buku apa yang ada di depannya. Kini Alaska duduk di bangku sementara Sabina berdiri searah dengannya.

"Apaan nih?" tanya Alaska.

"Buku silsilah keluarga, Meneer."

"Buset! Saya cuma mau tahu orangtua saya aja, gak perlu sampe ke Nenek-Moyang." oceh Alaska tak habis pikir.

"Tapi ini perlu, Meneer. Bagaimana jika sewaktu-waktu Meneer Idenburg membahas soal keluarga ke Meneer dan Meneer tidak bisa menjawab?" sangkal Sabina namun Alaska justru mengerutkan kedua alisnya.

"Meneer Idenburg siapa?"

"Ayah, Meneer."

Alaska mendadak diam sebelum akhirnya mengoceh.

"Aduuhh, udahlah, bahas yang penting-penting aja! Bahas yang masih hidup. Otak saya terlampau mager buat mengingat hal-hal yang tidak penting. Lagian saya di sini cuma sebentar kok."

Dahi Sabina tampak mengerut sewaktu mendengar kalimat akhir yang Alaska lontarkan. Namun soalan itu tak mau ia perpanjang. Sabina memilih menurut. Ia pun ambil posisi duduk berhadapan dengan Alaska, dan mulai membuka halaman pertama.

"Baiklah, saya akan memperkenalkan diri Meneer dan kedua orangtua Meneer."

"Hm." balas Alaska malas-malasan. Sambil menopang dagu, Alaska menengok ke halaman buku yang Sabina buka.

"Ini, Gubernur-Jenderal Idenburg. Dia Ayah Meneer." Sabina menunjuk foto yang terdapat di salah satu halaman.

"Hah, Gubernur-Jenderal?" ulang Alaska, kaget bukan main. Bahkan tubuh Alaska spontan tegak begitu gelar itu disebutkan.

Sabina mengangguk. "Ayah Meneer adalah Gubernur-Jenderal di Hindia-Belanda."

Alaska menarik buku itu untuk dibaca lebih dekat. Mata Alaska amat fokus membaca tulisan-tulisan yang mendeskripsikan Gubernur-Jenderal Idenburg. Dari mulai nama lengkap, umur, tahun resmi menjabat sebagai Gubernur-Jenderal Hindia Belanda, tanggal lahir, asal daerah, uraian pendidikan, istri, Anak, beserta prestasi yang pernah diperoleh selama menjadi Gubernur-Jenderal ataupun sebelum itu. Bahkan di sana juga menerangkan bahwa Gubernur-Jenderal Idenburg pernah menjadi Gubernur Suriname dan pemeluk agama kristen yang taat hingga menetapkan hari minggu sebagai hari libur.

"Oh, jadi dari sini asal muasal tiap hari minggu itu libur, supaya ummat Nasrani bisa fokus ibadah." batin Alaska setelah membaca informasi yang buku terangkan. "Mampus, kayaknya Hans ini berasal dari keluarga yang agamanya kuat. Gimana gue bisa fokus jalani sholat nanti, ya? Takut banget pas hari minggu diajak ke Gereja. Aku kan bukan Anak Tuhan Yesus."

Resah batinnya sampai membuat wajah Alaska mengekspresikan perasaan itu terang-terangan. Sabina menyadarinya, dan lantas bersuara.

"Ada apa, Meneer?"

"Eh? Ti--tidak." Alaska menggeleng. Diam beberapa saat, Alaska lalu menunjuk ke nama seorang perempuan yang tertulis sebagai istri Gubernur-Jenderal Idenburg. "Perempuan ini Ibu saya?"

Sabina mengangguk lantas membuka halaman lain yang mengarahkan Alaska untuk mengenal Ibu Hans.

"Mevrouw Catharina adalah Anak dari Residen Surabaya yang menjabat saat ini."

"Residen? Dokter Residen?"

Sabina terbelalak. Ia menggeleng kuat. "Bu--bukan, Meneer, bukan! Residen itu kepanjangan tangan dari Gubernur-Jenderal. Residen memimpin masing-masing daerah yang ada di Hindia-Belanda."

"Oh, jadi, tiap daerah Hindia-Belanda ada Residennya?" ucap Alaska setelah menarik kesimpulan. Sabina mengangguk membenarkan. Mendapati pembenaran itu, Alaska mulai membatin lagi.

"Hhmm, Residen ini keknya semacam Gubernur setelah Indonesia merdeka. Atau Walikota? Bupati?"

"Residen semacam Walikota atau Bupati?" tanya Alaska cepat lantaran penasaran.

"Beda, Meneer. Kalau jabatan Bupati dipegang oleh pribumi."

"Oalah...., gituuu!" Alaska berseru sambil mengangguk berkali-kali. "Unik juga sistem pemerintahan zaman ini, ya. Seru buat dipelajari."

Alaska melontarkan senyum lebar ke Sabina setelah bergumam demikian. Namun bukannya balas tersenyum, Sabina malah menatap Alaska dengan kening berkerut. Aneh terhadap ucapan Alaska barusan, tapi Alaska justru mengabaikan ekspresi Sabina.

"Berarti Sabina, saya ini Anak orang berpengaruh? Secara Ayah Gubernur-Jenderal dan Ibu Anak Residen Surabaya."

"Gak di sini doang sih. Di masa gue hidup, gue juga Anak orang berpengaruh. Bapak Jenderal TNI, cuy! Jangan sombong dulu lo, Hans! Hahaha," lanjut Alaska di batin.

"Meneer juga orang berpengaruh." celetuk Sabina semakin menarik rasa penasaran Alaska untuk mengulik sosok Hans.

"Berpengaruh karena apa?"

"Meneer memiliki kebun dan pabrik kopi yang terkenal di seluruh Hindia-Belanda. Pabrik Meneer sudah banyak membuka cabang di mana-mana, sekarangpun sedang buka cabang lagi di Bandung."

Mulut Alaska terbuka lebar. Terkejut setelah mengetahui fakta tentang Hans. Alaska tak menyangka raga yang ia pakai termasuk orang kaya pada zamannya. Bahkan dari lahir sudah menjadi orang kaya.

"Akhirnya ada juga sisi positif lo, Hans. Wkwk gini dong, kan gue gak malu-malu amat numpang di tubuh lo. Kirain kan, lo cuma seonggok penjajah gak berguna." batin Alaska terkikik senang. Tapi di detik selanjutnya, Alaska dibuat penasaran satu hal lain.

"Hans ini---maksudnya, saya ini umur berapa?"

"Sekarang umur Meneer 25 tahun."

"Wadoohh, Hans lebih senior dari gue empat tahun tapi udah mapan. Iwrih deh."

Alaska menatap Sabina dari atas ke bawah. Membahas soal umur, Alaska jadi ikut penasaran dengan umur perempuan di depannya. Pasalnya dari cara bicara dan tindakan Sabina sangat terlihat dewasa.

"Umur kamu sendiri berapa, Sabina?"

Sabina tiba-tiba menunduk. "Umur saya tu--tujuh bel--las, Meneer."

"Hah! Serius kamu?!" teriak Alaska sangat terkejut.

"I--iya, Meneer. Memang ada apa, Meneer?"

"Kamu gak sekolah? Kok kamu udah kerja aja di sini?"

Tatapan Sabina seketika meredup. Matanya menunduk, tak berani menatap Alaska.

"Saya tidak pernah sekolah, Meneer." ucap Sabina pelan.

Alaska tertegun mendengar pengakuan Sabina. Ternyata memang benar segala cerita film, buku-buku, maupun orang terdekatnya, bahwa orang di zaman dulu apalagi perempuan jarang yang mendapatkan pendidikan. Dan kini, Alaska dihadapkan langsung oleh fakta itu.

"Untuk baca tulis, kamu tahu?"

"Dulu, awal saya menjadi pekerja di sini, Meneer pernah mengajar saya membaca, tapi hanya dua minggu."

"Kenapa tiba-tiba berhenti?" tanya Alaska penasaran.

"Meneer diminta Meneer Idenburg untuk kembali ke Batavia, karena Mevrouw Catharina sakit. Tapi seterusnya, cukup lama Meneer menetap di Batavia untuk mengurus pabrik Meneer yang juga ada di sana."

"Jadi, saya sempat pergi dari sini?"

Sabina mengangguk, "Meneer pun baru satu bulan di sini sejak kembali dari Batavia."

"Ah..."

Alaska langsung diam tak lagi bertanya apapun setelah informasi tadi. Tatapan Alaska kemudian mengarah ke sabina dan Sanina pun tak lama juga menatap dirinya. Alhasil keduanya saling pandang dalam hening.

"Kalau saya punya waktu luang, saya akan kembali mengajarkan kamu. Baca, tulis, menghitung, mengenal bahasa lain, apapun itu yang kamu perlukan." ucap Alaska tulus.

Alaska sendiri pun merasa tak pernah berucap setulus ini kepada orang lain. Sabina yang pertama. Hati Alaska terenyuh saat mendengar pengakuan Sabina, maka dari itu ia merasa harus membantu perempuan itu untuk maju.

"Tidak perlu, Meneer. Saya tidak mau merepotkan, Meneer.

"Kalau saya merasa direpotkan, sejak awal saya tidak akan menawarkan." balas Alaska, nampaknya telak karena Sabina tak menyangkal lagi setelahnya.

Melihat itu, Alaska lanjut bicara lagi.

"Siapapun perlu menimba ilmu, apalagi perempuan. Perempuan mesti berpendidikan agar tidak mudah diremehkan oleh laki-laki dan dapat berdiri di kaki sendiri. Dengan pendidikan, perempuan bisa menjadi apapun yang dia mau. Merdeka yang sebenar-benarnya bagi manusia adalah berpendidikan."

°°°

Seorang pria masuk ke dalam sebuah gang yang bertuliskan Gang Peneleh, VII No. 29-31 Surabaya. Di gang itu, berdiri rumah yang bertuliskan rumah Peneleh. Pria itu masuk dan disambut oleh Tuan Rumah yang merupakan orang paling aktif dalam organisasi Sarekat Islam. Salah satu alasan orang tersebut diajak untuk bergabung ke dalam organisasi dan kelak akan menjadi ketua yang membawa organisasi memiliki dua juta anggota. Dialah Cokroaminoto.

"Aku terkejut Tuan Hoedi tiba-tiba ada di depan rumahku. Kenapa tak mengabari jika ingin berkunjung? Aku bisa menjemput Tuan di stasiun."

"Tuan Cokro pun sama, tidak mengabariku sepulang dari Surakarta." balas Hoedi atau yang bernama lengkap H. Samanhoedi. Kelak beliau akan naik menjadi ketua Sarekat Islam sedangkan Cokroaminoto mendampinginya sebagai wakil.

"Aku baru saja sampai kemarin, Tuan."

Tuan Hoedi tersenyum menanggapi. Ia mengangguk kecil. "Di mana Tuan Cokro bermalam selama di Surakarta?"

"Aku menginap di rumah Soedarmo. Sahabat karibku itu yang mengundangku, kan?" Cokroaminoto tergelak yang disusul oleh Tuan Hoedi.

"Berbagilah kepadaku, keputusan apa yang kalian dapat di Surakarta?"

"Aku berencana mendiskusikan ini bersama bersama anggota, tinggal menyusun hari yang tepat. Tuan Hoedi jangan main curang."

Tuan Hoedi terkekeh. "Mumpung ada aku, sekalian saja kita tentukan hari itu. Aku bisa memberi saran hari yang pas."

"Boleh saja. Memang sudah seharusnya dari awal aku minta saran orang lain."

"Termasuk penyelesaian masalah pemogokan buruh di Surakarta?" timpal Tuan Hoedi telak. Cokroaminoto tampak tersentak. Menyadari perubahan raut wajah Cokroaminoto, Tuan Hoedi lanjut bicara. "Tuan Cokro harus menyelesaikan masalah itu juga, karena pihak Belanda sudah banyak yang mengecam. Publik berhak tahu masalah sebenarnya. Dan, jangan sampai masalah ini membuat Gubernur-Jenderal Ideburg turun tangan. Akan berbahaya untuk keberlangsungan Sarekat Islam."

Cokroaminoto diam, menimbang-nimbang ucapan Tuan Hoedi barusan.

"Kemungkinan ini sudah aku pikirkan. Apabila sewaktu-waktu aku dipanggil untuk menghadap pemerintah, akan aku penuhi. Namun, aku tidak akan memberi kesaksian apapun ke publik, karena aku merasa tidak perlu. Rakyat cukup pandai menilai, siapa dalang dibalik pemogokan Buruh-buruh. Bukan aku ataupun Sarekat Islam, melainkan pemerintah itu sendiri. Ketidakadilan-lah yang membuat para Buruh bergerak."

°°°

Alaska berdiri seorang diri di kamarnya dengan menggenggam jam rantai miliknya. Alaska lalu menatap keluar jendela. Angin sepai-sepoi menerpa dedaunan pohon. Kicau burung terdengar bersahutan. Sinar matahari pun dengan leluasa masuk memencar ke dalam. Suasana pagi yang indah tanpa suara klakson mobil.

"Masih gak habis pikir, jam gue mendadak kelihatan baru. Masa tuh Bapak Tua sempat service jam gue dulu sebelum dibalikin? Tapi, apa, iya, beneran dia yang bawa jam ini? Gue ingat betul waktu pertama kali terbangun di sini, jam ini gak ada gue bawa."

Alaska memandang foto keluarganya yang berada di lingkaran atas dan di bulatan bagian bawah terdapat jam yang jarumnya bergerak. Melihat foto keluarganya itu, tanpa sadar mata Alaska berair. Sebelum sempat meneteskan air mata, Alaska langsung mendongak agar air mata itu tak jatuh.

"Aish... Malah homesick." Alaska menghela napas. "Yaudahlah, mungkin ini udah jalan Tuhan supaya gue dapat ketenangan. Situasi rumah lagi gak baik dan Tuhan menjauhkan gue dari permasalahan itu. Rezeki Anak sholeh, yah, gini."

Alaska terkekeh. Tak berlangsung lama, Alaska dikejutkan oleh suara keributan yang berasal dari luar. Kebetulan pintu kamarnya sedang terbuka, jadi suara apapun dapat bebas masuk. Penasaran apa yang terjadi di luar, Alaska buru-buru memasukkan jam rantai itu ke saku baju dan turun ke lantai bawah.

Alaska menyadari suara itu berasal dari ruang tamu. Selepas turun dari tangga, Alaska langsung bertolak ke sana. Dari kejauhan, Alaska sudah dapat melihat ada seorang pria tua yang hendak melempar Sabina dengan cangkir keramik.

"Dasar Inlander tidak tahu di untung! Sudah baik hati Anakku memungutmu, tapi kau malah mencelakainya!" amuk pria tua itu.

Sebelum sempat mengenai Sabina, sigap Alaska menangkap gelas itu. Kehadiran Alaska yang begitu tiba-tiba membuat semua orang di ruangan itu terkejut. Hadirin di sana dibuat semakin terkejut setelah mendengar kata-kata Alaska selanjutnya.

"Siapa yang kasih masuk orang gila ke dalam rumah saya?!"

°°°

Bersambung...

Waduuhh, lambe Alaska gak di masa kini dan masa lalu sama aja. Minta di sosor soang🙏. Tapi lebih takut di sasar perempuan, padahal dia ngakunya playboy. Gak jelas emang, sosor juga nih. Jiah.

FAKTA SEJARAH!

1. Tau gak, kalo plat nomor kendaraan tiap daerah itu ada karena faktor Residen yang memimpin masing-masing daerah di Hindia-Belanda. Pada zaman penjajahan Belanda, seorang residen menjadi penguasa penjajahan tertinggi sekaligus mewakili Gubernur Jenderal Hindia Belanda di wilayah kekuasaannya. Residen pun menjadi wakil dan lambang Pemerintah Hindia Belanda di keresidenannya dengan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif di tangannya. Dengan itu, kekuasaannya mutlak dan tak terbatas. Info lengkap kalian bisa kunjungi website di bawah ini.

2. Sebagian isi percakapan di rumah Cokroaminoto bersumber dari buku PDF ini. Bisa loh kalian download gratis, tinggal search di google sesuai dengan judul buku.

3. Alamat rumah Cokroaminoto itu asli. Sumbernya saya dapat di salah satu akun Instagram sejarahwan.

4. Sepak terjang Gubernur-Jenderal Idenburg bisa kalian baca di website ini, lengkap termasuk Ideburg menjadi pencetus pertama hari minggu sebagai hari libur nasional. Dalam Website ini juga menerangkan bahwa Idenburg adalah Nasrani yang sangat taat, makanya Alaska ketar-ketir wkwk😵‍💫.

5. Tuan Hoedi yang bertamu ke rumah Cokroaminoto adalah ketua SDI (Sarekat Dagang Islam).

Okee, segitu aja Fakta Sejarah yang bisa saya bagikan. Mohon maaf apabila ada salah penyampaian ataupun ada Fakta Sejarah yang terlewat. Maaf juga atas keterlambatannya, semoga maklum terutama bagi Readers baru🙏. Saya emang gini, suka gak konsisten update. Saya harap kalian mengerti🥰. Lop yu tomat❤🍅.

❤Follow IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top