2. SACI - Pindah Jiwa
Tolong jangan lupa VOTE & COMMENT. Ayo kerja samanya ya! Saya bagi-bagi ilmu, kalian kasih saya vote. Ramaikan lapak sebagai Anak Bangsa yang cinta sejarah pahlawannya😁❤. Mohon maaf kalau masih ditemukan typo. Maklum, saya manusia yang tak luput dari khilaf, bukan AI.
°°°
Arabella membekap mulutnya lantaran syock melihat tindakan yang diperbuat Nasution. Nasution, adalah pria yang membuat dirinya terlempar ke masa ini. Pria itu adalah salah satu Resitor yang membawa orang-orang pilihan untuk menjelajah sejarah. Tanpa sepengetahuan kedua orang itu, di masa Alaska hidup, justru mereka adalah kedua orangtuanya.
"Nasution, apa yang kau lakukan?!"
Arabella menjerit histeris, langsung menghampiri Alaska yang tergeletak pingsan di tanah. Tendangan Nasution tampaknya terlampau kuat hingga mengakibatkan Anaknya pingsan dengan darah segar mengalir keluar dari hidung.
"Membantumu, lalu mana terimakasihnya?" jawab Nasution enteng. Mendengar itu, Arabella lantas berteriak marah.
"Membantuku dari apa, hah?!"
"Musang jelek." Nasution mengarahkan pandangannya ke Alaska saat berucap demikian.
"Kau tidak membantuku, malah menyengsarakanku, Nasution! Bagaimana kalau dia mati?!"
"Dikubur. Atau ditenggelamkan saja, lebih praktis." jeda tiga detik, Nasution kembali melanjutkan kata-katanya. "Tapi, aku lebih suka kalau dia dibakar. Ada banyak cara untuk melenyapkan seseorang, kau tinggal pilih.
Arabella melongo tak percaya mendengar penuturan enteng Nasution. Terlebih lagi pria itu berucap dengan raut wajah datar. Seolah kalimat yang ia ucapkan itu adalah kata-kata indah, namun nyatanya mengerikan.
"Kau memang tak berperikemanusiaan, Nasution!"
"Akan ku anggap itu pujian." tanggap Nasution, mengendikan kedua bahu.
Tak ada balasan lagi dari Arabella. Ia memilih tak mau menanggapi ucapan Nasution yang apabila semakin ditanggapi malah semakin menyebalkan saja. Arabella memilih fokus membantu pria yang sedang tak sadarkan diri di hadapannya. Nasution yang sedari tadi memperhatikan pun sontak bersuara tatkala Arabella tampak ingin mengalungkan lengan Alaska ke pundaknya.
"Apa yang kau lakukan?
"Menolongnya, apalagi? Memangnya aku kau? Cepat, bantu aku!"
Nasution menengok ke seberang. Dari kejauhan ia melihat dua orang pria sedang mengarah ke sini. Seperti sedang mencari sesuatu. Menyadari satu hal, Nasution lantas dapat menebak dengan benar.
"Tidak perlu repot-repot, dia sudah dapat bantuan."
Dengan sigap Nasution menarik tangan Arabella hingga berdiri mendekat kepadanya. Ia lalu memasang sihir tak kasat mata agar kehadiran mereka tidak terlihat. Dalam keadaan itu, Nasution dan Arabella mengamati dua pria datang lantas mendekat panik ke tubuh Alaska.
"Ya Allah, Gusti nu Agung! Opo sing kedadean karo, Meneer? Modar awake dhewe! (Ya Allah, Tuhan yang Maha Kuasa! Apa yang terjadi dengan, Meneer? Mampus kita!)" celoteh Darso gelagapan sambil meremas kepalanya.
"Rai bregas Meneer nganti lebam-lebam begini loh. Meneer entek digebugi sopo, yo, kira-kira, Dar? Dedemit kah? (Muka tampan Meneer sampe lebam-lebam gini loh. Meneer habis digebuki siapa, ya, kira-kira, Dar? Dedemit kah?)" celetuk penjual koran yang menunduk tengah mengamati keseluruhan wajah Alaska.
"Kowe setane! (Kamu setannya!)" sembur Darso membuat rekannya itu terhenyak. "Soko wau cocot terus cangkemu iku! Yen wis ngerti Meneer babak belur mengkene, langsung rewangi aja meneng wae! Golek, angkat Meneer menyang pundak aku! (Dari tadi ngoceh terus mulutmu itu! Kalau sudah tahu Meneer babak belur begini, langsung bantu jangan diam saja! Cepat, angkat Meneer ke pundak aku!)"
Darso berjongkok, kemudian rekannya memapah tubuh Alaska naik di punggung Darso. Setelahnya Darso berdiri dan berjalan pergi bersama rekannya itu dengan membopong Alaska pulang ke rumah.
Selepas kepergiaan Alaska dan pembantu-pembantunya, Arabella mendorong tubuh Nasution agar menciptakan jarak di antara mereka. Sebab dia baru sadar sedari tadi Nasution menggenggam erat telapak tangannya.
"Tuh, kan, Nasution!"
"Apa?" Nasution bertanya dengan alis terangkat satu, tak mengerti.
"Laki-laki Belanda itu punya Abdi Dalem. Dia pasti orang berpengaruh."
"Belanda mau berpengaruh atau tidak, semuanya memiliki Abdi Dalem. Kenapa? Karena mereka menganggap pribumi adalah seperempat manusia, dan mereka Rajanya."
"Kenapa matamu menajam kepadaku setiap kali kita membahas Belanda dan Pribumi?" tuding Arabella memicingkan tatapannya.
"Kau bagian dari mereka. Secara genetika, kau murni bagian mereka. Dan pada kenyataanya aku adalah bagian dari Negara ini."
Arabella terkekeh hambar. "Yang benar saja. Nasution, barangkali kau lupa, jadi biar ku ingatkan. Kedua orangtuaku memang Belanda, tapi aku hidup di tahun 1992, era di mana Indonesia sudah merdeka, Indonesia sudah beralih dari orde lama ke orde baru yang dipimpin oleh Soeharto selama tiga dekade, tak ada lagi perang, tak ada lagi penjajahan, tak ada lagi kelaparan, hanya ada kedaulatan Indonesia, jadi kesampingkan ego Tentaramu itu! Aku. Sedang tidak. Mengajakmu. Berperang!!!"
Napas Arabella terengah-engah sesuai mengocehi Nasution dengan panjang lebar sembari menunjuk-nunjuk dada pria itu. Arabella masih mempertahankan tatapannya tajamnya. Menunggu balasan Nasution.
"Tapi, kau adalah keturunan dari Belanda yang berpengaruh di negeri ini. Barangkali kau lupa, jadi biar ku ingatkan alasan kau aku bawa ke sini. Salah satunya karena itu," balas Nasution, meniru kalimat Arabella yang telak membuat perempuan itu membisu.
Cukup lama terdiam kehabisan kata-kata, Arabella tiba-tiba berbalik berjalan pergi tanpa pamit. Nasution yang melihat itu tak tinggal diam. Ia segera menahan kepergian Arabella.
"Tidak sopan meninggalkan orang tanpa pamit."
"Lepas! Aku sudah selesai bicara denganmu!" Arabella menarik lengannya, berusaha untuk melepaskan diri. Namun bukannya terlepas, Nasution malah semakin mengunci pergelangan tangan Arabella.
"Mau ke mana kau? Menemui pria yang sudah beristri itu?"
"Selain karena faktor keturunan orang berpengaruh di Hindia-Belanda, membantu Cokroaminoto sampai menjadi ketua central Sarekat Islam juga merupakan alasan kau membawaku ke sini. Aku ingatkan, barangkali kau lupa." ucap Arabella penuh penakanan. Situasi berbalik. Kali ini Nasution yang dibuat kalah telak.
Ucapan Arabella membuat cengkeraman Nasution mengendur sehingga perempuan itu pada akhirnya dapat melepaskan diri. Arabella melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Ia sampai di sini pun awalnya karena ingin berkunjung ke rumah Cokroaminoto, namun berujung bertemu pria Belanda yang hendak terjun ke sungai.
Secara mengejutkan Nasution kembali menghentikannya. Kali ini bukan lagi menghentikan, namun menariknya mundur.
"Bukannya membantu, kau bisa-bisa malah mengacaukan realitasnya."
Tanpa menunggu balasan Arabella, Nasution langsung menjentikkan jari. Mata Arabella melotot karena tahu setiap Nasution menjentikkan jari, akan keluar berbagai macam keajaiban dari sana. Dan benar saja. Mereka berdua lenyap.
°°°
"Mama..."
Nama itu meluncur lirih dari mulut Alaska dalam keadaan setengah sadar. Alaska terus menggumamkan nama itu, membuat perempuan yang duduk di tepi kasur segera mengusap pelipis Alaska yang dipenuhi keringat.
Usapan lembut di kepalanya membuat Alaska tersadar dan coba membuka mata perlahan. Sewaktu pandangannya sudah jelas, Alaska menemukan seorang perempuan duduk di depannya tengah menyeka kain basah ke pelipisnya. Kejadian ini seperti dejavu karena beberapa saat yang lalu perempuan ini juga adalah orang pertama yang Alaska lihat ketika pertama kali membuka mata di masa ini.
"Stom, wat ben je aan het doen?! Als je dood wilt, kom dan niet hier! Sterf gewoon door toedoen van de inboorlingen! (Bodoh, apa yang kau lakukan? Kalau mau mati jangan di sini! Mati saja di tangan pribumi!)"
Mata Alaska membulat. Alaska yang semula diam coba meresapi segala situasi, tiba-tiba bergerak hendak turun dari kasur. Ia akhirnya ingat kejadian sebelumnya. Ia sempat bertemu Papa dan Mamanya. Jika memang benar itu mereka, Alaska ingin memastikan sekali lagi.
"Meneer! Meneer mau ke mana?!"
Pertanyaan perempuan di dekatnya tak Alaska gubris. Tubuhnya terasa nyeri untuk digerakkan namun Alaska berupaya terus untuk bangkit.
"Meneer, beritahu saya Meneer mau ke mana? Saya bisa bantu!" Perempuan itu menarik tangan Alaska. Terjadi aksi tarik menarik di antara keduanya hingga membuat kancing baju Alaska terlepas.
"Apa sih lo?! Gue mau ketemu Mama!"
Perempuan yang menahan Alaska sempat terdiam beberapa detik. Wajahnya nampak bingung mendengar jawaban Alaska, terutama bahasa yang diucapkan. Terdengar asing, namun ia sedikit bisa memahami ketika kata Mama terlontar.
"Mevrouw (Nyonya) Catharina ada di Batavia, Meneer. Tapi Mevrouw Catharina dan Meneer Idenburg akan kemari menjenguk, Meneer."
"Siapa sih, yang lo maksud? Gue gak ngerti anjir! Bodoamat!" bentak Alaska, langsung berlari menuju pintu tatkala perempuan yang menahannya lengah.
Untuk kedua kalinya seperti di awal terbangun. Alaska dibuat terhenti di depan cermin yang ada di dekat pintu. Alaska diam memandang pantulan dirinya di cermin.
Bola mata Alaska membulat ke arah kancing dadanya yang terbuka karena aksi tarik menarik tadi. Alaska mendapati bekas luka di dada kirinya yang bentuknya mirip dengan tanda lahirnya di raga asli. Posisinya di bagian dada kiri tepat di jantung dan bentuknya yang menyerupai Benua Alaska yang menjadi alasan namanya diberikan.
"Kok bisa tanda lahir gue ada di badan nih Bule jelek?!" Alaska spontan menyentuh dada kirinya dan setelahnya ia meringis kesakitan. "Anj-- ini luka dan masih baru?! Pantes dari tadi dada gue sakit, cok!"
"Meneer! Meneer tidak apa-apa?"
Perempuan tadi berjalan mendekat namun Alaska langsung melangkah mundur. Matanya melebar menatap waspada perempuan itu.
"Cewek ini. Dia dari tadi sok akrab sama gue, pasti dia tahu penyebab luka di badan Bule jelek ini karena apa."
"Apa yang terjadi? Kenapa saya bisa terluka?" tanya Alaska, drastis mengubah tata bahasanya.
"Meneer tidak ingat kejadian semalam?" perempuan itu balik bertanya yang membuat Alaska merutuk di batin.
"Kalo yang ada di tubuh ini si Meneer, dia pasti inget dan bisa langsung ngejawab pertanyaan lo, tapi yang lo tanya sekarang adalah Alaska Prince Nasution! Gue mau jawab apa bjir!"
"Jawab saja, apa susahnya?" cetus Alaska ketus. Cara ini ia gunakan untuk mengalihkan fokus perempuan itu. Dan terbukti, ia langsung menunduk ketakutan.
"Meneer ditembak orang asing dan jatuh ke sungai."
"Demi apa lo, nih, orang kena tembak?" tutur Alaska spontan. Alaska lantas membekap mulut lantaran tutur bahasanya barusan kembali ke sedia kala. Tapi di detik selanjutnya, Alaska teringat perempuan ini sempat membicarakan soal sungai.
"Nih Bule jelek semalam sama-sama jatuh ke sungai. Jangan-jangan di saat itu dia dan gue tukar jiwa?"
"Tadi kamu bilang saya jatuh ke sungai setelah ditembak? Sungai di mana?"
"Sungai di kantor, Meneer." jawab perempuan itu dengan kening berkerut.
"Kantor nih orang---maksudnya saya di mana?"
"Meneer benar-benar tidak ingat apapun?"
"Yaelah, tinggal jawab aja, Neng!" sentak Alaska gregetan.
"Ka--kantor Me--meneer di Balai Kota."
Alaska menjambak rambut frustasi. "Balai Kota lagii! Gue gak tau masalahnya Balai Kota di manaaaa, Mbaaakk!"
"Oke, Mbak. Kita persingkat aja. Sungai tempat saya jatuh itu di mana?"
"Sungai Jembatan Merah, Meneer."
Alaska terdiam. Ia ingat perempuan ini bukan orang pertama yang mengarahkannya ke Jembatan Merah. Sebelumnya pria yang ia temui di halaman belakang rumah juga mengarahkannya ke Jembatan Merah.
"Meneer ini jatuh di jembatan Merah semalam, timingnya sama saat gue jatuh di dorong Bapak tua itu. Orang-orang di sini juga dari tadi mengarahkan gue ke Jembatan Merah. Fiks, portal ke masa depan ada di Jembatan Merah. Tapi, gue gak tau Jembatan Merah di mana. Kantor, Balai Kota, gue pun juga gak tau."
Tatapan Alaska lantas mengarah ke perempuan tadi. Sembari membantin, timbul ide di pikiran Alaska saat tengah bertatapan dengan perempuan.
"Kamu pekerja di sini, kan?" tanya Alaska, perempuan itu tampak gelagapan. Ia menunjuk dirinya.
"Eh? Sa--saya?"
"Iya, kamu, siapa lagi? Kamu karyawan saya, kan? Eh, karyawan gak sih? Gak tau lah! Intinya, kamu kerja di sini kan?"
Kepala perempuan itu mengangguk ragu-ragu. Ia mengiyakan.
"Kamu tahu Jembatan Merah ada di mana?"
"Tahu, Meneer."
"Oke, antar saya ke sana."
"Apa?!" perempuan itu terbelalak. "Meneer mau bekerja, kah? Tapi, Meneer sedang tidak sehat sekarang."
"Apa sih, siapa yang mau kerja woi! Gue mau ke sana doang!" cerca Alaska, di detik selanjutnya ia memperbaiki beberapa kata. "Saya maksudnya. Aissh! Antar aja saya ke sana bisa gak sih?"
"Meneer mau pergi ke kantor sekarang?"
"Gak, tunggu Superman gabung Marvel baru gue pergi ke kantor. Ya, iya, lah sekarang! Ayo!" Alaska menarik perempuan itu untuk berdiri dari posisinya yang duduk di lantai, namun perempuan itu malah menolak.
"Tidak bisa, Meneer. Meneer masih sakit, tidak boleh bekerja. Tunggu Meneer sehat dulu."
"Yaelah, sakit gini doang mah gak ngaruh. Cepet lah, gue gak punya waktu!"
Kembali terjadi aksi tarik menarik di antara keduanya. Alaska yang memaksa agar perempuan itu beranjak berdiri dan perempuan itu yang menahan kepergiaan Alaska. Tarik menarik spontan berhenti ketika Alaska meringis kesakitan menyentuh dadanya.
"Meneer! Meneer tidak apa-apa?"
"Mata lo! Gak liat gue kesakitan?!" bentak Alaska galak, membuat perempuan itu bungkam. Alaska melihat telapak tangannya sudah berlumuran darah sesaat setelah mencengkeram dadanya. Bahkan darah itu terlihat merembes di bajunya yang bewarna putih. "Aaaakkk, dada gue banyak darahnya jir! Ini kenapa?! Gue gak akan mati kan?!"
"Ja--jahitan Meneer belum kering. Makanya saya larang Meneer untuk tidak banyak-banyak bergerak, tapi Meneer malah mau pergi ke kantor."
"Yaa, maap. Kok, lo yang malah marah-marah sih?"
"Saya tidak marah." balas perempuan itu, kemudian mulai memapah Alaska. "Meneer harus kembali istirahat ke kasur. Sini, saya bantu."
Alaska diam saja, tak menolak saat perempuan itu membantunya berjalan. Dengan hati-hati perempuan itu membaringkan Alaska di kasur. Alaska terus memperhatikan aktivitas perempuan itu yang menyelimutinya. Saat perempuan itu hendak membuka bajunya, barulah Alaska merespons.
"Heh, lo mau ngapain?!" Alaska langsung menutup dadanya waspada.
"Membersihkan luka Meneer dan memeriksa jahitannya. Baju Meneer juga mesti diganti."
"Lo mau ganti baju gue?" tanya Alaska shock dan perempuan itu mengangguk, tambah membuat Alaska lebih shock lagi. "Yang bener aja!"
"Kenapa?"
"Kenapa lo bilang?! Pelecehan woi! Kok lo blak-blakan banget sih?!"
"Saya sudah terbiasa melakukannya, Meneer."
"Terbiasa dia bilang? Buset, enak banget nih Bule nasibnya ya? Berarti kalo gitu, nih Bule termasuk Bule mesum. Dih, geli banget masuk ke badan nih orang."
"Gak!" tolak Alaska tegas. "Saya bisa melakukannya sendiri, you know. So, don't touch me! I'am very geli."
"Tapi, darah Meneer semakin banyak keluar, harus segera dibersihkan nanti bisa infeksi, itu kata Dokter."
"Kata Dokter kan, bukan kata Emak gue?" timpal Alaska ngeyel.
"Tolonglah, Meneer." mohon perempuan itu membuat Alaska tertegun melihat ekspresi yang ditunjukkannya.
Alaska mengedipkan mata berkali-kali. Ia berdehem canggung setelah tanpa sadar tertegun menatap perempuan itu. Alaska mengalihkan pandangannya.
"Yaudah, terserah."
Perempuan itu tersenyum, "Meneer tunggu sebentar di sini sampai saya kembali. Saya mau ambil obat luka yang Dokter kasih semalam. Jadi, tolong jangan kabur lagi."
"Hm." balas Alaska cuek dengan masih membuang muka.
Kali ini Alaska tidak mencoba kabur. Ia tetap di tempat sesuai permintaan perempuan itu. Menunggu di kasur hingga perempuan itu datang kembali dengan membawa nampan berisi banyak peralatan kesehatan yang kalau di masa depan bisa dibilang P3K.
"Sini, biar gue aja!" Alaska langsung mengambil gulungan kapas yang ada di nampan.
"Meneer bisa melakukannya?"
"Heh, lo meragukan gue? Gini-gini Kakak gue mantan PMR!"
Alis perempuan itu tampak mengerut mendengar jawaban Alaska, tapi ia tak berkomentar apapun. Ia hanya diam memperhatikan Alaska yang mulai membasahi kapas dengan obat merah.
"Aaghh, kenapa bisa sakit banget sih?" Alaska meringis kesakitan saat obat merah itu menyentuh lukanya. Alaska diam, tak mengoles lagi lukanya lantaran terasa sakit sekali.
"Biar saya saja." ujar perempuan itu, mengambil alih kapas di genggaman Alaska. "Izin, Meneer, saya bersihkan lukanya. Kalau sakit, Meneer bisa tekan tangan saya."
Perlahan namun pasti, perempuan itu mulai membersihkan darah yang membasahi dada Alaska. Alaska mengerang kesakitan, namun sedikitpun ia tak meremas tangan perempuan di depannya sesuai dengan permintaan permintaan perempuan tersebut. Alaska memilih meremas seprai. Perban dari luka tersebut juga perempuan itu ganti baru. Selama membersihkan luka, Alaska memandangi wajah perempuan itu yang sangat fokus.
"Kamu sudah lama kerja di sini?" tanya Alaska basa-basi agar suasana tak begitu hening.
"Lumayan, Meneer." jawab perempuan itu. Suasana sempat hening beberapa saat, sebelum akhirnya berganti perempuan itu yang balik bertanya. "Mohon maaf, Meneer. Boleh saya bertanya satu hal?"
"Boleh aja. Tanya apa emang?"
"Tapi, Meneer tidak marah kan?"
Alaska menghela napas. "Gimana bisa gue marah, sementara gue belum tau lo mau nanya apa? Udah, tanya aja dulu."
Perempuan itu menggigit bibir bawahnya ragu. Ia juga takut-takut melirik Alaska.
"Kalo kamu ragu-ragu gini, justru saya jadi marah. Tanyalah!" lanjut Alaska.
"Eemm, Meneer benar-benar lupa?"
"Lupa apa? Lupa diri?" jawab Alaska niatnya bercanda, tapi perempuan itu justru mengiyakan.
"Iya, lupa semuanya. Meneer tidak ingat apapun?"
Alaska membisu. Ia ragu antara harus berterus terang atau pura-pura ingat. Tapi kalau Alaska memilih opsi kedua, ia juga tidak tahu latar belakang dari raga yang ia tempati. Ia hanya sebatas tahu raga ini dipanggil Meneer, tapi itupun bukan nama aslinya. Sama saja nantinya Alaska akan terlihat seperti orang kehilangan arah.
"Apa kamu bisa dipercaya? Apa kamu bisa menjaga rahasia saya?" tanya Alaska beruntun.
"Meneer adalah Tuan saya. Hidup dan mati saya sudah ada di tangan Meneer sejak saya tiba di rumah ini. Jadi, mudah saja bagi Meneer untuk melenyapkan saya apabila mulut saya lancang membeberkan rahasia Meneer."
"Buset, terlalu lebay gak sih ini? Gue yang jadi ngeri dengernya. Segala pakek hidup dan mati." batin Alaska meringis.
"Iya, saya lupa." cetus Alaska, pada ujungnya memilih berterus terang. "Saya tidak ingat apapun tentang diri saya. Bisa dibilang, saya amnesia. Kamu tahu amnesia?"
"Saya tahu! Dokter Frank memberi tahu saya semalam, kalau ada yang aneh dengan Meneer saat sadar, seperti lupa, tidak bisa berjalan, mendengar, ataupun berjalan, segera beritahu dia. Dan sekarang Meneer lupa, keadaan ini harus diketahui Doker Frank!"
"Eh, jangan dong!" cegah Alaska sedetik dari perempuan itu yang hendak beranjak. "Baru beberapa menit yang lalu kamu bilang gak akan kasih tahu orang-orang soal ini, masa langsung ingkar sih? Nyawa kamu loh jadi taruhannya."
Perempuan meneguk saliva susah payah. Matanya bergerak tak tentu arah, terlihat lucu bagi Alaska. Alaska sampai harus mati-matian menahan tawanya.
"Sekarang, tenang okay? Duduk kembali dan dengar cerita saya sampai selesai." titah Alaska. Perlahan perempuan itu kembali duduk di tepi kasur. "Kamu orang pertama yang saya temui, kamu juga pekerja di sini, jadi saya rasa saya bisa percaya kamu untuk berbagi rahasia."
"Berbagi rahasia?"
"Iya. Sekarang saya berbagi rahasia ke kamu, soal saya yang kenyataannya hilang ingatan. Tidak ada yang tahu masalah ini, kecuali kamu. Dan nantinya, kamu bisa berbagi rahasia juga ke saya. Saya pun janji, akan tutup mulut selayaknya kamu. Hanya kita dan Tuhan saja yang tahu soal rahasia ini. Setuju?"
Alaska menunjukkan jari kelingkingnya ke perempuan itu. Menunggu sampai perempuan itu mengaitkan jari kelingkingnya. Beberapa saat menunggu, penantian Alaska pun tercapai. Walau ragu-ragu, perempuan itu pada akhirnya mengaitkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Alaska. Bersedia berbagi rahasia.
"Good girl." Alaska mengulas senyum lebar, namun wajah perempuan itu malah menegang. "Oke, karena kamu sudah tahu rahasia saya yang hilang ingatan, kamu juga harus siap-sedia saya tanya-tanyai dua puluh empat jam soal apapun dimulai dengan... Siapa nama saya?"
"Meneer juga tidak ingat nama Meneer?" tanya perempuan itu dengan raut wajah khawatir yang malah membuat Alaska kesal.
"Girls, litsen to me. Yang namanya amnesia itu semuanya lupa, tapi untungnya saya gak sampe lupa Tuhan sih." kata Alaska mengecilkan suaranya di akhir kalimat. "Udah jelas? Jadi, kasih tau aja nama saya, gak usah bertele-tele. Kita kan sudah jadi partner."
"Mboten saget (Tidak bisa), Meneer."
"Hah, lo ngomong apa sih? Speak Indonesia, please! Pakek bahasa yang bisa saya pahami kayak tadi."
"Saya tidak bisa, Meneer."
"Kenapaaa?!" tanya Alaska, raut wajahnya amat frustasi.
"Lancang bagi saya menyebut nama Meneer terang-terangan."
"Laillahaillallah!" Alaska berteriak kencang di batin, namun di luar ia menjambak rambut. Tingkahnya tampak aneh di mata perempuan itu.
Alaska menarik napas dalam-dalam. Berusaha bersikap tenang dalam menghadapi perempuan di depan.
"Saya Tuan kamu, bukan?"
"Iya, Meneer."
"So, sebagai Tuan kamu, yang mempekerjakan kamu, saya merasa tidak masalah kamu menyebutkan nama saya. Lagipula saya yang minta. Kalau kamu tidak menuruti permintaan saya, baru itu disebut lancang."
Diam beberapa saat, perempuan itu akhirnya menyebutkan juga nama raga yang Alaska tempati dengan suara pelan.
"Hans."
"Siapa? Bisa dibesarin lagi suaranya?"
"Hans. Hans Frederick van de Idenburg. Itu nama, Meneer."
"Buset, panjang amat namanya! Bakal sulit nih, gue ingat namanya dalam waktu dekat. Tapi, lumayan juga nama nih Bule! 8 per 10 lah, soalnya 10 kan nama gue, wkwkwk. Siapa dulu, Alaska Prince Nasution dong." batin Alaska cekikikan yang ditatap dengan aneh oleh perempuan di depannya. Sadar diperhatikan, Alaska langsung berdehem lantas mengembalikan sikap wibawa.
"Lalu, namamu?"
"Sabina Tasmirah Saraswati, Meneer."
"Dipanggil apa? Saraswati? Indigo lo?" ledek Alaska dengan raut wajah mengejek, tapi detik berikutnya wajah menyebalkan itu berganti menegang ketika perempuan di depannya bicara lagi.
"Sabina. Meneer bisa panggil saya Sabina saja."
°°°
Batavia, 5 Agustus 1912, pukul 10.00 malam.
Seorang lelaki tua tengah berkutat dengan banyak laporan di meja kerjanya. Ia tampak fokus mengerjakan laporan itu sambil sesekali menghisap cerutu.
Tok! Tok!
Ketukan di pintu beberapa saat menghentikan pekerjaannya. Ia mendongak menatap ke arah pintu.
"Masuk!" titahnya mempersilahkan.
Seorang pria berkulit sawo matang masuk mendekati pria berkumis tadi yang kulitnya putih pucat. Ia datang dengan membawa surat.
"Van wie is deze brief? (Surat dari siapa ini?)"
"Ndoro Centini, Meneer. Ndoro mengabarkan Meneer Hans terluka."
"Verdomd! Waarom raakte mijn kind gewond?! Wie heeft het gedaan?! (Sialan! Kenapa Anakku bisa terluka?! Siapa pelakunya?!)" amuk pria itu, yang merupakan Ayah dari Hans, Gubernur Hindia-Belanda di tahun ini, yakni Gubernur Idenburg.
"Ngapunten, Meneer. Saya tidak tahu isi suratnya lebih detail. Utusan Ndoro Centini hanya memberitahu info bahwa Meneer Hans terluka dan meminta kesediaan Meneer datang ke Surabaya untuk menjenguk. Itu saja info yang disampaikan sewaktu menyerahkan surat ini."
Gubenur Idenburg mendengus. Sejenak ia melangkah gusar. "Kau boleh pergi!" titahnya kemudian.
"Nggih, Meneer. Nuwun sewu (permisi)."
Laki-laki Jawa yang merupakan Abdi Dalem dari Gubernur Idenburg melangkah keluar setelah mencium kaki sang Meneer. Setelah itu Gubernur Idenburg kembali duduk di kursi meja kerjanya untuk membaca surat kiriman itu.
Seusai membaca surat itu, tangan Gubenur Idenburg terkepal. Surat tersebut menjadi sasaran amarahnya. Ia meremas surat itu, marah karena mengetahui Anaknya terluka setelah terkena tembakan orang asing. Bola mata Gubernur Idenburg lantas mengarah ke koran harian yang baru saja ia baca.
Soenda Berita
--------
"Cokroaminoto Datang ke Surakarta, Pemogokan Sejumlah Buruh Pecah."
"Cokro... Orang-orangnya pasti dalang dibalik ini semua." Gubernur Idenburg lantas memukul meja. "Kijk maar naar Inlander. Ik zal uw nationalistische beweging definitief doden. (Lihat saja Inlander. Akan ku matikan gerakan Nasionalis kalian secara permanen)."
°°°
Bersambung...
Olaaa, gimana setelah baca part kali ini? Ada greget-gregetnya? Greget sama Alaska, Gubernur Idenburg, atau Om Nasution? Wkwk. Oke, dari kemarin pasti banyak yang salfok ke Abdi Dalem Belanda bukan? Apalagi Om Nas dan Tante Bella sempat bahas soal Belanda yang selalu punya Abdi Dalem orang pribumi. Kenapa bisa gitu ya? Yok kita bahas!
FAKTA SEJARAH!
1. Pribumi Budak Belanda. Sedih sih emang, tapi begitulah kenyataanya. Orang-orang kita dulu sering dijadikan perdagangan manusia sama orang-orang kulit putih, terlebih lagi perempuan. Kalau gak budak rumah tangga tanpa bayaran, ya budak pemuas nafsu🥲.
Artikel di atas menjelaskan kalau dalam rumah tangga, seorang budak dipaksa bekerja tak kenal lelah di pagi, siang, dan malam. Mereka tidur di dalam rumah majikannya. Diketahui dalam catatan sejarah kolonial, budak rumah tangga "sering tidur di lantai dapur atau di gudang," Pada umumnya, para budak rumah tangga yang dipekerjakan secara paksa oleh VOC, akan ditempatkan, tinggal di kamar terpisah. Seperti dimarjinalkan, mereka tidak tidur di kamar layak, kadang bahkan diminta untuk tidur di loteng.
Untuk lebih jelasnya bisa dibaca di artikel ya!
2. Soenda Berita, salah satu surat kabar berbahasa melayu yang terbit pada tahun 1903. Pendiri surat berita ini adalah Tirto Adhi Soerjo. Kalian pernah baca platform surat kabar online artikel tirtho? Yang ini loh! Nah, kayaknya mereka terinspirasi dari nama pahlawan PERS kebangkitan nasional kita itu.
3. Meneer dan Mevrouw adalah sebutan Tuan dan Nyonya dalam bahasa Belanda. Ada yang baru tahu? Coba comment di bawah😁.
Okehh, segitu aja fakta sejarah yang bisa saya bagikan. Lebih kurang saya mohon maaf. Fakta sejarah lain akan kalian temukan di part selanjutnya, DITUNGGU YA! Dan jangan lupa juga VOTE & COMMENT-nya! Jangan biarkan lapak ini sepi. InsyaAllah, saya akan berkomitmen untuk menyelesaikan SACI selayaknya cerita-cerita saya yang lain.
Oh, ya, gaes! Doakan ujian MBKM saya lancar-luncur. Kayaknya minggu depan deh. Do'ain dapat IP 4 yak hehe, aamiin. Sampai jumpa di part selanjutnya! Lop yu tomat🍅❤.
❤Follow IG
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top