16. SACI - Cinta
SACI UPDAAAATTEE! Nungguin ya? Hehe. Sebelum baca, jangan lupa VOTE terlebih dahulu dan ramaikan kolom komentar part ini! Jangan biarkan lapak sepi guys😊🙏.
°°°
Setelah pertengkaran dengan Papanya di teras, kini Alaska diselimuti rasa canggung. Papanya tidur di kasur bawah, sementara ia di kasur atas. Tak ada satupun dari mereka yang bicara. Alaska melamun menatap langit-langit kamar. Menunggu rasa kantuk datang, tapi tak kunjung tiba. Malah matanya semakin segar.
Di kasur bawah, Nasution juga sebenarnya tidak bisa tidur. Namun berbeda dengan Alaska, pria itu coba memaksakan diri untuk tidur. Dengan memejamkan matanya. Tapi ketika matanya terpejam, bayangan tentang pria yang ia lihat saat mencekik Alaska tadi terlintas. Membuat diri Nasution terusik hingga ia tanpa sadar berdecak. Suara itu dapat di dengar Alaska.
"Kau belum tidur?" celetuk Alaska, menunggu respons Papanya dalam keheningan.
Beberapa detik berlalu, yang terdengar hanya suara jangkrik. Papanya tak menjawab, tapi Alaska yakin pria itu belum tidur. Kesal karena Nasution mengabaikannya, Alaska pun bangkit. Merubah posisinya yang semula berbaring menjadi duduk. Alaska lalu menunduk untuk menatap ke kasur bawah.
"Matamu masih berkedip sedikit. Kau tidak pandai akting tidur, Pak Nasution. Tak ada Sutrada yang mau merekrutmu menjadi Aktor kalau begini."
Nasution berdecak. Sedetik dari itu, matanya terbuka perlahan. Ia menatap Alaska datar dalam posisinya yang masih berbaring.
"Apa yang kau inginkan? Mau aku mencekik lehermu lagi?" ancam Nasution membuat Alaska terbelalak.
"Astaga, Pak Nasution. Hidupmu dipenuhi oleh buruk sangka. Hati-hati kena hepatitis, kau."
Nasution berdecak lagi. Kali ini tatapan dinginnya berubah. Alisnya menukik tajam. Menatap Alaska kesal.
"Katakan saja apa yang kau inginkan sampai mengusik tidurku?"
Alaska menyeringai. "Benar bukan? Kau belum tidur. Lalu kenapa kau tak menjawab panggilanku tadi?"
"Tidak penting, sialan." balas Nasution, dengan enteng menghardik Alaska di akhir kalimat.
Alaska terbelalak mendengar betapa entengnya Papanya itu berucap kasar. Padahal saat menjadi Papanya, pria itu selalu marah setiap kali ia dan Ana saling melontar ucapan kasar. Nasution yang ia kenal dalam mode Ayah selalu mengajarkan mereka untuk bertutur kata sopan.
Nasution bangkit dan duduk. Ia mengacak-ngacak rambutnya kesal. Ia lalu menatap Alaska. Menyadari pria itu yang mendadak tertegun.
"Kenapa kau? Kena mental? Tak tahan dengan kata-kata kasar?" tanya Nasution bertubi-tubi dengan senyum remeh terpatri. Nasution kemudian menyeringai. "Kompeni lemah!"
Alaska semakin tersentak. Tapi ekspresinya kali ini tidak tertegun lagi, melainkan menatap Papanya dengan bibir terangkat satu. Persis seperti orang yang siap menghujat.
"Mulutmu kasar sekali seperti aspal rusak." cibir Alaska, menatap Nasution sinis. Alaska lalu mengibas tangannya ke udara. "Kau sendiri yang bilang di depan teras, kalau dalam sehari setidaknya kita harus punya waktu genjatan senjata."
"Sekarang kau menyetujui saran Arabella itu?" Nasution berdecih pelan, lantas menyeringai. Ia lalu memfokuskan tatapannya kepada Alaska. Sorot mata Nasution berubah serius. "Baiklah, sekarang kita genjatan senjata, dan setelahnya apa?"
"Berdialog dengan normal dari hati ke hati." jawab Alaska tersenyum lebar.
Nasution mendelik. Geli pada bagian kata-kata dari hati ke hati. Nasution menatap Alaska sejenak. Tatapannya penuh antisipasi.
"Lima menit! Kau hanya punya waktu sebanyak itu untuk dapat berdialog denganku. Setelahnya aku tak akan peduli lagi denganmu."
Alaska mendengus. Papanya lebih menyebalkan saat muda. Mata Alaska mengamati sosok Nasution dulu sebelum mulai bicara. Sebuah pertanyaan Alaska ajukan.
"Kau ini manusia?"
Satu alis Nasution terangkat. Tak menduga akan mendengar pertanyaan yang blak-blakan begini. Tapi pria itu tetap menjawab.
"Manusia."
"Mana mungkin manusia biasa bisa melakukan perjalanan waktu."
Nasution terkekeh mendengar balasan skeptis Alaska. Terlebih sorot mata menyipit yang tengah Alaska tujukan padanya saat ini.
"Benar. Aku manusia, tapi yang diberi sedikit kelebihan oleh sang Illahi."
Untuk sesaat Alaska diam. Sorot matanya tetap tertuju kepada Nasution, tapi pikirannya mundur ke beberapa waktu. Fokus kepada tingkah Papanya yang tak biasa. Papanya bisa membawa Mamanya ke masa lalu, sering muncul dan hilang tiba-tiba, dan punya kekuatan sangat kuat. Alaska merasakan itu ketika Papanya mencekik ia di teras tadi. Cekikannya terasa tak asing. Mirip dengan cekikan pria tua yang mendorong ia ke sungai. Karena dia, Alaska juga terjebak di masa lalu, sama seperti Mamanya.
"Jangan-jangan Papa dan pria tua itu satu komplotan? Cara berpakaian mereka pun sama. Mereka jugalah yang membuat gue dan Mama balik ke masa lalu." batin Alaska terus menatap Papanya lekat. Nasution sendiri juga menatap Anaknya saat ini. Ia tahu saat ini Alaska sedang memikirkan sesuatu. Dan Nasution dapat menebak, hal tersebut tak jauh tentang dirinya.
"Kau bilang diberi kelebihan." celetuk Alaska, tiga detik menjeda. "Apa itu? Kelebihan yang diberikan oleh Sang Illahi kepada dirimu?"
Nasution diam. Kemudian satu tangannya terangkat ke atas. Sebuah api keluar dari sana. Seketika mata Alaska membulat. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Selanjutnya Nasution merentangkan kedua tangannya. Seluruh ruangan berubah beku. Alaska terbelalak. Kepalanya bergerak ke segala sisi, mengamati dinding-dinding kamar yang membeku. Kedua tangan Nasution lalu mengepal. Bersamaan dengan itu dinding kembali normal. Tak lagi membeku.
"Itulah kuasa Illahi yang diberikan kepadaku." sahut Nasution terukur, menatap Alaska tenang. Tanpa emosi.
Napas Alaska berat. Masih tak percaya dengan fenomena yang ia saksikan barusan. Ia dibuat sulit berkata-kata. Namun, pada akhirnya Alaska pun dapat bicara.
"Jadi... Kau memiliki sihir?"
"Sejenis itu. Tapi, hanya dengan seizin Illahi. Aku tak bisa sembarangan menggunakannya. Akan ada konsekuensi."
Alaska merasakan seperti ada beban berat yang mesti Papanya tanggung dari jawaban itu. Alaska jadi terpikir satu hal. Tentang masa depan Papanya.
"Sampai kapan kuasa itu berlaku?"
Satu alis Nasution spontan terangkat sedetik. Denyut refleks karena menanggapi pertanyaan Alaska lainnya yang tak terduga.
"Entahlah." Nasution mengangkat kedua bahunya.
"Jawaban macam apa itu?" Alaska memicingkan mata tidak suka. Nasution menghela napas berat. Dengan setengah hati, ia akhirnya memberikan jawaban yang lebih spesifik.
"Aku sudah bilang. Aku manusia yang hanya diberikan sedikit kelebihan. Sama seperti manusia lainnya, aku juga tidak tahu rencana yang diberikan Illahi kepadaku. Aku hanya berjalan sesuai garis takdir yang telah tertulis untukku."
"Ya, aku tahu itu. Maksudku, apakah kau tidak takut dengan segala sesuatu yang bisa saja terjadi di masa depan? Punya kuasa seperti itu pastilah memiliki tanggungjawab besar. Apa kau tidak takut, kedepannya itu bisa menjadi boomerang untukmu? Parahnya lagi, kepada Anak dan istrimu nanti?" celoteh Alaska panjang lebar, tapi justru dibalas enteng oleh Nasution.
"Aku tak berpikiran untuk menikah."
Alaska terbelalak. "Hah?! Ke--kenapa? Kenapa tidak mau menikah?!"
"Gimana nasib gue ini, coookkk?!"
Alis Nasution mengernyit. Bingung melihat pria kompeni di depannya tiba-tiba panik dan bicara gagap, lalu mempertanyakan pilihan hidupnya. Seolah sangsi.
"Kenapa? Suka-suka akulah!"
"He--hei, jangan begitu! Kau harus menikah! Ada Anak yang harus lahir!" Alaska bergerak turun ke kasur bawah. Ia semakin panik dan cemas. Alaska hendak menyentuh lengan Nasution, tapi segera pria itu jauhkan tangannya sebelum sempat Alaska sentuh.
"Lah? Ngatur!"
"Kau harus mencoba dulu. Kau tidak akan tahu kalau belum mencobanya, kan?"
Kening Nasution semakin berkerut tidak suka karena Alaska terus memaksanya. Nasution geleng-geleng kepala tidak habis pikir, lalu dia berdiri.
"Kau saja yang coba dulu. Jadi tester ku sana."
Alaska terbelalak. Terkejut karena balasan enteng Papanya dan melihat pria itu beranjak hendak pergi. Sebelum mencapai pintu, Alaska langsung menggenggam tangan kiri Nasution menggunakan kedua tangannya.
"Sumpah, menikah itu enak! Kau akan punya istri cantik dan Anak-anak lucu yang baik hati."
"Tapi, boong. Yahahayuk, pal, pale, pal, pale, pal, setiap hari kau bakal sebal karena punya Anak dua, tapi rasanya seperti punya Anak sepuluh." sambung Alaska terkekeh di batin.
Nasution terbelalak. Kaget mendapati kedua tangan Alaska sudah melingkar di lengannya. Sorot matanya kemudian beralih. Melotot menatap Alaska.
"Kau kenapa sih?! Dari tadi sok ngatur dan sok tahu!" bentak Nasution menggebu-gebu. Stok sabarnya mulai habis setiap kali Alaska memaksa. Nasution kembali membentak. Kali ini dengan perintah tegas. "Lepas tidak tanganku?! Lepas!"
Alaska menggeleng keras. "Tidak mau, sebelum kau ubah pikiran sungsang itu!"
Mata Nasution menyipit. Ia tak suka pola pikirnya dikatai begitu. Nasution kemudian membalas dengan penuh penekanan dan menatap Alaska tajam.
"Bagian mana dalam pikiranku yang kau bilang sungsang itu, hah?!"
"Di bagian kau tidak ingin menikah!" balas Alaska tegas, dan Nasution membalas lebih tegas.
"Itu prinsipku! Kau tidak bisa memaksakan kehendak orang lain, kompeni! Muncungmu enteng sekali saat bilang menikah itu enak! Seakan menikah hanya sebatas punya istri cantik dan anak-anak lucu! Kau naif! Pernikahan itu kompleks! Punya istri cantik dan Anak-anak lucu hanya luaran, sedangkan dalamnya pernikahan itu rumit! Ada janji serta komitmen yang mesti dipegang. Dan dua aspek itu yang sering dikhianati manusia, jadi aku tak akan menyerahkan hatiku pada hal-hal yang menyengsarakan begitu! Cinta dan pernikahan itu omong kosong! Cinta akan pudar saat pernikahan berjalan, digantikan rasa bosan, oleh karena itu banyak pasangan bercerai dan selingkuh! Konsep cinta yang kau bilang dalam pernikahan tadi berpatok pada fantasi yang diciptakan novel romansa atau film!"
Perlahan genggaman Alaska di tangan Papanya mengendur. Alaska tertegun. Tak menyangka Papanya waktu muda pernah punya pikiran begini. Takut akan menikah. Alaska langsung sadar, pikiran ini bisa ada dalam benak Papanya pasti karena satu hal.
"Apa Papa punya trauma masa lalu?" batin Alaska menerka. Kemungkinan itu yang masuk akal dari semua hal.
"Semoga berhasil menemukan cinta yang kau bilang tadi di dunia nyata, kompeni!"
Nasution lantas menyentak tangannya, sehingga membuat Alaska terjengkang dan jatuh ke kasur. Alaska mengaduh kesakitan. Meski jatuh di kasur, tapi kasur bawah kapuknya sangat tipis. Tetap saja pantatnya terasa menghantam lantai secara langsung.
"Aduh, sakit banget, bajingan. Kejam banget Bapak gue sama Anaknya sendiri, macam Bapak tiri di sinetron channel Ikan Terbang." batin Alaska mengusap pantatnya sembari menatap Nasution yang membuka pintu. Pria itu pergi meninggalkan kamar, tapi Alaska terbelalak ketika mendengar suara samar 'klik'. Papanya mengunci ia dari luar.
Segera Alaska bangkit. Ia berlari menuju pintu dan menggedor-gedor.
"Heh, Pak Nasution! Buka pintunya! Kenapa kau kunci aku! Woi! Kau mau ke mana?!"
Di luar, Nasution tersenyum sinis menatap pintu. Ia melihat ke arah kunci kamar yang masih tertancap di dalam lubang. Sebenarnya ia tak berniat mengunci Alaska. Namun, melihat kunci ada di sana, pikiran Nasution tak elak tergiur untuk mengunci pria kompeni itu di dalam. Siapa yang tahu tekad pria kompeni itu kuat, sehingga mengejarnya sampai di luar hanya untuk berdebat soal pernikahan.
Sorot mata Nasution beralih dari pintu dan tak sengaja menatap ke kamar Arabella. Alis Nasution sontak mengerut ketika mendapati pintu kamar Arabella terbuka lebar, sehingga ia bisa melihat suasana dalam kamar itu yang gelap. Diliputi oleh rasa penasaran, kaki Nasution bergerak dengan sendirinya mendekat. Ia perlahan melangkah ke sana. Penuh kehati-hatian.
Setelah sampai di dekat pintu, kepala Nasution menyembul sedikit untuk melihat keadaan di dalam. Dengan bantuan cahaya rembulan, Nasution dapat melihat sosok Arabella yang tertidur. Cahaya rembulan yang masuk lewat jendela mengenai wajah perempuan itu. Di sebelahnya tak ada sosok Sabina. Nasution pun akhirnya tahu pintu terbuka karena perempuan Jawa itu pergi.
Kepala Nasution menengok ke sana ke mari. Tak ada satupun orang, termasuk tanda-tanda Sabina. Setelahnya, tatapan Nasution kembali menuju ke dalam kamar. Kaki Nasution seperti tergerak lagi dengan sendirinya. Ia masuk lebih dalam ke kamar. Nasution semakin dekat di tepi kasur, matanya mengamati sosok Arabella yang terbaring lelap di kasur.
Perlahan, kakinya melangkah ke sebelah Arabella. Sosoknya yang menjulang tinggi menghalangi cahaya rembulan. Membuat bayangannya memenuhi tubuh Arabella. Berada di sebelah Arabella semakin membuat Nasution dapat melihat seluruh tubuh gadis itu yang meringkuk. Nasution dapat merasakan udara dingin berhembus mengenai tengkuknya. Nasution lalu menoleh ke kaca yang terbuka dan kembali ke Arabella. Perempuan itu kedinginan.
Nasution menarik napas, kemudian ia berbalik menuju jendela. Pria itu menutup jendela dengan pelan. Setelah itu, Nasution kembali menatap Arabella. Sorot matanya tenang mengamati lagi sosok Arabella dari ujung kaki hingga kepala.
"Hanya saat tidur kau baru berhenti berisik." gumam Nasution seperti bisikkan. Sudut bibir pria itu nyaris terangkat membentuk seulas senyuman.
Nasution lalu sedikit membungkuk. Menarik selimut yang ada di tepi kasur ke seluruh tubuh Arabella. Tapi baru saja Nasution menegakkan kembali tubuhnya, Arabella menendang selimut itu. Menyebabkan selimut itu turun hingga pinggangnya.
Nasution membuang napas kasar seiring bola matanya berputar. Nasution kembali menunduk untuk menarik selimut itu lagi.
"Pakai selimut. Kau bisa mati kedinginan." ujar Nasution berbisik.
Sama seperti sebelumnya, untuk kedua kalinya Arabella menendang selimut itu. Tidurnya sedikit terusik dengan alis merengut tidak suka. Nasution menatap jengah ekspresi merengut yang dibuat wanita itu saat tidur.
"Bahkan saat tidur kau tetap keras kepala."
Satu tangan Nasution mencengkeram dua pergelangan tangan Arabella sekaligus agar perempuan itu tak bisa membuang selimutnya lagi. Sedangkan satu tangannya Nasution gunakan untuk menarik selimut. Ia memasukkan kedua tangan Arabella ke dalam selimut, lalu menyelimuti seluruh tubuh wanita itu sambil membisikkan sebuah ancaman.
"Aku cekik ya kau, kalau membuang selimut ini lagi."
Nasution menegakkan tubuhnya kembali. Ia menunggu reaksi Arabella. Apakah perempuan itu akan kembali melepaskan selimutnya atau tidak. Setelah ditunggu satu menitan, Arabella tak bergerak. Nasution sedikit tersenyum miring.
"Bagus, sepertinya ancamanku tembus ke mimpinya."
Sekali lagi, Nasution mengamati sosok Arabella yang sekarang sudah berselimut. Sorot matanya berhenti di wajah Arabella yang tertutupi oleh beberapa anak rambut. Kedua tangan Nasution yang berada di sisi tubuhnya terbuka dan terkepal berulang kali. Tangannya seperti ingin menguasai pikirannya untuk bergerak, menyentuh dan menepikan anak rambut itu. Sementara logikanya mati-matian menghentikan niatan itu.
Nasution berdecak. Ia tidak tahan. Setelah berdebat hebat pada diri sendiri, akhirnya ia putuskan bergerak perlahan menepikan anak rambut di sekitar wajah Arabella. Jemari Nasution bergerak lembut. Seperti Arabella adalah porselen yang hampir setengah jadi. Dapat hancur jika disentuh terlalu kuat.
Jemari Nasution tanpa sadar berlama-lama di sana. Bergerak sangat lambat menepikan rambut itu. Bahkan gerakan tangannya seperti belaian halus.
"Kau tidur seperti orang mati." celetuk Nasution setengah berbisik. "Apa yang kau mimpikan, hingga tidurmu bisa setenang ini?"
Beberapa saat Nasution terdiam. Suasana di kamar yang remang-remang itu sangat sunyi. Hanya terdengar suara jangkrik dan detak jantungnya yang semakin lama semakin bertambah cepat.
"Kau tahu. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku menyesali sesuatu, yaitu membawamu. Kenapa dari semua orang yang ada di dunia atau dari sekian banyak Resitor, aku harus dipasangkan denganmu?"
Nasution diam lagi. Ia meneguk ludah kasar. Mendadak tenggorokannya tercekat. Percakapan ia dan Alaska tentang cinta dan pernikahan tiba-tiba hadir tanpa diminta. Membuat gejolak emosi yang Nasution tahan dalam dirinya bertambah.
"Kau mengganggu. Hadirmu mengganggu." ucap Nasution agak tersendat oleh napasnya yang mulai tak beraturan. Nasution menarik napasnya, mencoba tenang. "Suaramu, senyumanmu, tingkahmu, pola pikirmu, amarahmu, semuanya mengganggu ketenanganku. Itu menyebalkan. Membuatku muak dengan diriku sendiri. Kau sama seperti bocah Belanda itu. Menganggap dunia hanya berputar pada kalian. Berpikir cara kerja alam sesederhana itu. Emosi kalian yang beragam membuatku kesal."
Jemari Nasution masih mengusap perlahan, bahkan hanya sekedar sentuhan samar di rambut-rambut Arabella.
"Dan berhentilah meminta terlalu banyak padaku. Kau bisa membuatku berakhir menyerahkan seluruh jiwaku padamu. Bahkan seluruh dunia jika kau mau."
°°°
Dari arah dapur, Sabrina berjalan hendak kembali ke kamar. Ia baru saja menuntaskan urusannya di kamar kecil. Namun, gedoran pintu yang berasal dari kamar Tuannya membuat Sabina spontan menoleh ke sumber suara. Mata Sabina menatap pintu kamar Meneernya yang terkunci, tapi dari dalam pintu itu dipukul-pukul. Terdengar suara orang juga yang Sabina kenal.
"Meneer?" gumam Sabina dengan alis mengernyit.
Sabina menoleh sejenak ke kamarnya yang masih terbuka. Setelah itu ia kembali ke pintu kamar Tuannya. Kaki Sabina pun melangkah cepat mendekat. Ketika sudah dekat di pintu, Sabina bisa mendengar lebih jelas suara Meneernya dari dalam.
"Buka pintunya, Pak Nasution! Kenapa kau harus mengunciku?!"
Mendengar itu, Sabina terbelalak. Ia dapat melihat kunci tertancap di lubang knop pintu. Langsung saja Sabina memutar kunci tersebut. Membuka pintu kamar Tuannya. Namun begitu Sabina mendorong pintu, di dalam Alaska juga menarik. Akhirnya Sabina tersungkur ke depan, menabrak tubuh Alaska.
Alaska dengan sigap mengalungkan lengannya di punggung Sabina. Lantaran kaget, Alaska pun belum sempat menyeimbangkan tubuhnya. Alhasil Sabina terjatuh di atas tubuh Alaska dan punggung Alaska harus bertabrakan dengan lantai semen yang keras.
Bola mata Sabina membulat. Sekujur tubuh Sabina membeku. Sulit digerakkan karena terkejut melihat Alaska dalam jarak sedekat ini. Sorot mata Alaska juga terpaku pada Sabina. Matanya sedikit bergerak menelusuri kontur wajah perempuan itu. Bagaimana permukaan kulit wanita itu yang terlihat tampak halus jika dilihat dari jarak sedekat ini. Bulu matanya yang lentik dan panjang, hampir menyentuh kelopak matanya sendiri.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Alaska memecah keheningan.
Sabina tersentak. "Ma--maaf, Meneer!"
Sabina akhirnya sadar, lalu berusaha untuk bangkit dari tubuh Alaska. Namun telapak tangan Sabina tak sengaja menekan luka tembak di dada Alaska, membuat Alaska sontak meringis.
"Aw, ssshhh..." Alaska menunduk ke arah dadanya.
"Meneer, maaf! Saya benar-benar tidak sengaja!" Sabina terbelalak, langsung mengangkat kedua tangannya menjauh dari dada Alaska.
Sabina pun menjauh dari tubuh Alaska dengan mencari tumpuan lain, yakni pundak pria itu. Setelah Sabina bergeser, Alaska menggunakan kedua sikunya untuk duduk. Ia menunduk dan mengusap pelan bajunya di bagian dada.
Sabina berdiri dan menggenggam lembut lengan Tuannya. "Sebaiknya Meneer duduk di kasur. Mari saya bantu."
Alaska pun bangkit. Berdiri tegak dan berjalan dituntun oleh Sabina untuk duduk menyender ke kepala kasur. Sabina seperti hendak pergi, tapi segera Alaska genggam lengannya. Alaska mendongak. Menatap perempuan itu sendu.
"Kamu mau ke mana?"
"Saya membawa obat luka Meneer yang diberikan Dokter Frank di dalam koper Meneer. Saya mau ambil. Kata Dokter Frank, luka Meneer harus rutin dibersihkan dan diganti perbannya minimal dua kali sehari. Saya hampir lupa, tapi untunglah saya sekarang ingat." jelas Sabina lembut. Kepala Alaska pun menganguk. Perlahan, ia melepaskan genggamannya dan membiarkan Sabina pergi menuju kopernya yang berada di atas meja rak.
Tak butuh waktu lama, Sabina berbalik kembali menuju kasur. Perempuan itu membawa obat-obatan beserta alat antiseptik di tangannya. Sabina duduk di tepi kasur. Perlatan antiseptik tadi ia taruh di pangkuannya.
"Izin, Meneer." kata Sabina, mengarahkan tatapannya ke kancing baju Alaska. Begitupula kedua tangannya yang sudah terangkat. Alaska yang tahu perempuan itu meminta izin untuk membuka kancing bajunya pun mempersilahkan dengan bergumam singkat.
"Apa sih, pakek izin segala. Langsung buka aja. Kalo gini, canggungnya jadi makin kerasa ngena ke empedu gue." rutuk Alaska di batin.
Sorot mata Alaska tak pernah lepas memperhatikan wajah Sabina dan berganti ke tangan wanita itu yang sedang membuka satu-persatu kancing baju piyamanya sekarang.
"Kamu kenapa belum tidur?" celetuk Alaska, membuat Sabina untuk beberapa saat mendongak. "Besok hari yang berat. Gotong royong itu melelahkan, Sabina."
"Tadi saya keluar sebentar untuk ke kamar kecil, tapi malah dengar suara Meneer teriak-teriak dari dalam kamar. Saya akan kembali tidur setelah ini selesai, Meneer." jawab Sabina, kembali menunduk dan membuka kancing terakhir piyama Alaska. Tenggorokan Alaska sempat tercekat saat Sabina merentangkan piyamanya lebih lebar. Membuat seluruh bagian tubuhnya, dari dada hingga ke perut terekspos.
"Nih cewek kok tenang amat? Gak ada canggung-canggungnya, padahal lagi buka baju cowok loh. Ini malah kebalikannya, gue yang dibuat kena mental. Curiga gue dia ini udah biasa buka-buka baju Hans. Hih." batin Alaska heran, dan di akhir ia bergidik akibat asumsinya sendiri.
"Saya dikunci Nasution." beritahu Alaska dengan nada ketus setelah terdiam cukup lama.
Sabina tersenyum maklum sambil fokus membuka perban yang ada di luka Alaska.
"Karena apa Meneer bisa berakhir dikunci Tuan Nasution?"
"Kami berdebat. Perdebatan biasa sebenarnya. Bisa diselesaikan dengan kepala dingin. Bahkan saya sudah menasihati dia secara baik-baik, tapi dia malah marah-marah, lalu keluar dan tiba-tiba mengunci saya."
Senyuman Sabina semakin lebar. Terlihat sedikit geli mendengar keluhan Alaska. Sabina menaruh semua perban lama Alaska, kemudian menuangkan alkohol ke kapas.
"Meneer berdebat apa dengan Tuan Nasution sampai beliau tega mengurung Meneer?"
"Eleh, dia marah dan gak marah pun selalu tega padaku--aaww!" Alaska sontak mengaduh kesakitan, membuat Sabina yang baru saja menempelkan kapas basah oleh alkohol ke lukanya langsung berhenti.
"Masih sakit kah, Meneer?" tanya Sabina khawatir.
"Ti--tidak." Alaska menggeleng dengan suara tergagap. "Saya tadi kaget karena hawa dingin alkohol menyentuh luka saya. Mengingat ini luka, jadi gerak refleks fisiologis saya mengambil alih."
"Begitu..." Sabina mengulas senyum kecil. "Boleh saya lanjutkan, Meneer?"
"Tentu. Tentu saja. Silakan." Alaska mengangguk kecil. Tubuhnya rileks saat merasakan Sabina menekan-nekan pelan lukanya dengan kapas alkohol.
"Apa perdebatannya?" celetuk Sabina, menanyakan lagi soal permasalah antara Tuannya dan Nasution yang sempat tertunda tadi.
"Soal cinta dan pernikahan. Nasution tidak percaya kedua aspek itu. Baginya semua itu omong kosong, sehingga ia tak ingin menikah. Saya berilah dia nasihat. Saya bilang, kita tidak akan tahu kalau belum dicoba. Segala sesuatu itu perlu dicoba. Eh, dianya malah tantrum. Ngamuk-ngamuk tidak jelas."
Sabina terkekeh kecil mendengar aduan Alaska. Sembari menempelkan kapas yang telah menempel betadine, Sabina memberi jawaban. "Tak apa, Meneer. Yang penting, Meneer sudah berusaha menasihati Pak Nasution. Hidup ini terus berjalan. Dalam perjalanannya, manusia akan bertemu banyak orang dengan kejadian beragam. Seiring berjalannya hal tersebut, pikiran manusia akan berubah sebab memang pada hakikatnya kita ini makhluk dinamis."
Bibir Alaska tertarik membentuk senyum simpul. Jawaban Sabina entah mengapa menghangatkan hatinya. Perempuan itu bicara bijak dengan tutur kata yang lembut pula.
"Yah... Pria itu akan menyerah pada akhirnya. Tunduk menjadi budak cinta." gumam Alaska disertai senyum simpul. Teringat beberapa kenangan Papanya di masa ia hidup.
Cinta pria itu lembut kepada istri dan Anak perempuannya. Dan pria itu mengalami perubahan yang amat drastis. Di masa ia hidup, Papanya lebih manusia dan selalu tersenyum. Tertawa lepas tanpa tapi. Alaska rasa, keceriaan Mamanya berhasil menyinari awan gelap yang menyelimuti hati Papanya seiring waktu terus berjalan.
"Bagaimana menurut kamu, Sabina?" tanya Alaska tiba-tiba, membuat Sabina yang sedang menempelkan kain kasa pada kapas terhenti. Mata Sabina membulat kebingungan. Tampak lucu bagi Alaska.
"Bagaimana apanya, Meneer?"
"Cinta dan pernikahan. Apa kamu juga menganggap itu omong kosong? Atau hal tabu mungkin."
"Tidak!" Sabina tertawa geli. Kepalanya tertunduk sambil geleng-geleng kecil. Melihat itu, Alaska juga ikut terkekeh. Sabina kembali menatap Alaska dan menempelkan plester luka. Sebuah sentuhan terakhir. "Cinta bukan omong kosong. Bagi saya cinta itu indah, lembut, suci, sempurna, dan abadi. Dan pernikahan itu menyenangkan. Pernikahan akan meriah seperti ulang tahun jika menikah dengan orang yang tepat. Jadi, baik dan buruknya pernikahan itu tergantung kepada siapa kita menikah."
"Kamu bijak sekali, seperti orang yang sudah siap untuk menikah besok. Atau seperti orang yang sudah menikah." canda Alaska, menatap Sabina dengan binar geli.
"Saya masih kecil, Meneer." balas Sabina tersenyum malu. Kedua telapak tangan perempuan itu bertumpu di pangkuannya setelah selesai mengganti perban luka.
"Saya tahu. Tapi tidak ada salahnya jika sudah memikirkan hal-hal tadi. Itu sebuah tanda dari kematangan berpikir. Perempuan berpendidikan cara berpikirnya rata-rata begini. Cerdas dan bijak."
Alaska diam sejenak. Senyumnya semakin lebar, lalu ia melanjutkan dengan suara lebih rendah.
"Saya suka."
°°°
Bersambung...
All, maaf saya baru update karena sibuk banget akhir-akhir ini. Sibuknya itu yang sampai buat capek, kepikiran, dan stres karena udah masuk revisian. Saya juga harus mengejar target sempro tahun ini. Dan tahun depan harus bisa udah wisuda. Do'ain ya, bulan ini atau bulan depan saya sudah sempro. Katanya 40 orang yang aamiinkan, doanya bakal qobul. Tolong ramaikan kolom komentar guys.
Untuk part ini, tidak ada FAKTA SEJARAH ya, guys. Part kedepan tentu ada, InsyaAllah. InsyaAllah juga, cerita ini akan tetap lanjut karena artis yang memerankan Nasution beberapa kali notice cerita ini di postingan instastory saya. Hehe. Siapa tahu kan jadi film. Makanya saya semangat untuk terus lanjutin cerita ini. So, kalian tenang aja hehe.
Dan terima kasih saya ucapkan bagi readers yang masih setiap buat nungguin SACI update. Terima kasih juga untuk vote & commentnya. Tolong bagi yang belum vote & comment, segera lakukan untuk meramaikan lapak SACI. Love you tomat all❤🍅.
Follow IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top