15. SACI - Kodrat Manusia
Maaf updatenya telat banget, authornya ambis sama skripsi. Mohon di maklumkan. Sebelum baca, harap tekan tombol VOTE di pojok kiri bawah dan jangan pelit-pelit buat beri komentarnya untuk part SACI kali ini. Terima kasih sudah menunggu dan meluangkan waktu untuk menemani kisah perjalanan waktu Alaska di masa lalu🤍.
Maaf lagi kalau masih menemukan typo yang tak disengaja. Saya sudah berusaha merevisi, tapi manusia tidak luput dari kesalahan🙏😇.
°°°
Alaska keluar kamar setelah selesai berpakaian. Di luar dia menemukan Cokroaminoto yang duduk di sofa tengah fokus membaca selebaran. Alaska berjalan menuju pria itu untuk ikut bergabung. Namun baru beberapa langkah kakinya menapak, pintu luar terbuka. Menampakkan Papanya yang sudah berganti pakaian juga.
"Widiihh, Pak Nasution tampil beda. Agak lebih santai. Habis dari mana Pak?" sapa Alaska bernada jahil.
"Kau sudah tahu pakaianku beda, masih juga nanya-nanya aku habis dari mana."
"Kan sekedar nanya, basa basi."
"Basa basimu paling basi bahkan sudah tak layak konsumsi."
"Belum basi, masih bisa diselamatkan dengan didaur ulang."
"Otak kau itu yang sebaiknya didaur ulang! Ngomong suka ngelantur." sentak Nasution, ujung-ujungnya emosi juga meladeni tutur kata sang Anak.
Alaska terperanjat. Sedetik dari itu ia mendelik. "Woi, Pak Nasution! Kau ini dikit-dikit emosi terus. Hati-hati masuk angin karena kebanyakan mengoceh."
Alaska lantas duduk di sofa tengah yang tak lama disusul Nasution duduk di sofa seberang. Berhadapan dengan Papanya membuat Alaska tanpa sadar bicara kepada pria itu. Spontan.
"Kau kenapa ganti bajunya di luar, bukan di kamar?"
"Takut kau malu." balas Nasution berniat menjahili Alaska tapi malah dia yang dibuat terdiam.
"Malu? Kenapa aku harus malu? Yang harusnya malu itu Kuli Bangunan."
Nasution dan Cokroaminoto sontak terbelalak. Mereka kompak melotot menatap Alaska. Sementara Alaska mati-matian menahan senyum karena senang mendapatkan respons yang sesuai harapan.
"Tuan Hans, boleh jadi Kuli Bangunan adalah pekerjaan yang rendah di mata Tuan, tapi mereka sudah berusaha mencari kerjaan halal. Setidaknya mereka tidak mencuri, mau berusaha."
"Tahu saya, tapi kan jadi Kuli Bangunan memang sering malu."
"Kurang ajar kau!" hardik Nasution, emosinya langsung ia ledakkan. Telunjuk Nasution mengarah tajam ke wajah Alaska. "Tanpa mereka, pabrik-pabrik kau itu tidak akan berdiri kokoh sekarang ini. Dasar kompeni brengsek! Benar kan apa yang aku bilang! Otakmu ini perlu didaur ulang supaya bisa mikir dulu sebelum bicara!"
"Kurang ajar kau bilang? Justru karena aku belajar, makanya aku tahu kalau jadi Kuli Bangunan itu malu."
"Jangan kau tahan aku ya! Mulut Kompeni ini sudah semestinya beradu dengan tanganku." beritahu Nasution ke Cokroaminoto sebelum ia ambil ancang-ancang untuk mencengkeram Alaska.
"Tuan Nasution, jangan gegabah!" Cokroaminoto juga sontak berdiri menahan kedua lengan Nasution.
"ASTAGA, KENAPA INI?!"
Ketiga pria itu sontak menoleh ke sumber teriakan. Dari arah dapur muncul para wanita yang berwajah syok. Melihat kehadiran para wanita sontak mereka para pria terdiam tegap.
Arabella berjalan mendekat. Ia menatap tajam para lelaki sambil berkacak pinggang. "Apaan-apaan kalian ini?! Suara kalian terdengar sampai ke dapur tahu!" Arabella lalu beralih menatap Alaska dan Nasution. "Kali ini sebab apa yang membuat kalian bertengkar? Apa, Nas?!"
Bola mata Nasution berputar. Ia menghembuskan napas berat, setelahnya berterus terang.
"Kompeni ini bilang Kuli Bangunan adalah pekerjaan yang memalukan."
"Mana ada aku bilang begitu." elak Alaska yang langsung dibalas Nasution dengan nada tinggi."
"Ada, Bel! Tanya sama Tuan Cokro! Ya, kan?" Nasution menatap ke Cokroaminoto yang dibenarkan oleh pria itu. "Lihat? Dia ini yang bohong!"
"Ih, mana ada aku bohong. Suwer tekewer-kewer dah, aku tidak bohong." ucap Alaska yang sebagian bahasanya tidak dimengerti oleh semua orang termasuk Arabella dan Nasution yang berasal dari masa depan. Karena di zaman mereka, bahasa itu belum populer.
"Masih juga ngelak. Jelas-jelas kau bilang tadi jadi Kuli itu malu."
"Memang."
"Nah, kan, Bel! Dia mengaku! Si Kompeni Jahannam ini mengaku!"
"Hoi, moncong!" Alaska melempar tatapan maut ke Nasution.
"Kenapa kau mengejek pekerjaan orang, Hans? Itu tidak baik." nasihat Arabella.
"Astaga, kenapa kalian dari tadi menuduh aku mengejek pekerjaan mereka? Aku tidak mengejek. Yang aku bilang adalah fakta lapangan dan kalian pun sama-sama tahu, kalau pekerjaan Kuli Bangunan sehari-hari memang malu. ME-MA-LU! Malu dinding, malu batu-bata, malu kayu, malu paku!"
Raut wajah semua orang cengo. Melihat reaksi semua orang serupa membuat senyum Alaska mengembang. Senyum jahil yang terbit di bibir Alaska itu seketika langsung menyadarkan Nasution. Ia sadar rupanya sedari tadi sedang dikelabui Kompeni itu.
"Kau!" Nasution menunjuk Alaska. Sebentar lagi ingin memuntahkan amarah, tapi Arabella menengahi.
"Hentikan, Nas! Sudah, tidak perlu bertengkar lagi. Yang tadi itu cuma kesalahpahaman, jadi tidak perlu diperpanjang."
"Kesalahpahaman apanya? Jelas-jelas dia sengaja menjahili kita!"
"Kau yang merasa, aku tidak." timpal Arabella telak.
Di momen ini Alaska tampak pura-pura terkejut. Telapak tangan Alaska mengarah ke dada. Menyuruh Nasution tabah. Tingkah Alaska itu tambah membuat Nasution kesal, tapi ia berusaha menahan amarah.
"Daripada kalian bertengkar, mending bantu kami!"
"Bantu apa?" tanya Alaska.
"Kami tidak bisa masak. Apinya tidak bisa dibuat dari tadi." adu Arabella sembari berjalan menuju dapur. Semua orang mengekorinya di belakang.
Sampai di dapur, Arabella menunjukkan masalah yang ia adukan. Di lantai banyak berserakan batu dan kayu bakar yang tersusun mengelilingi membentuk api unggun. Mereka tidak bisa masak karena tidak dapat menciptkan api dari cara tradisional.
"Kenapa tidak bisa?" tanya Cokroaminoto ke istrinya.
"Biasanya aku bisa, tapi kayunya basah. Jadi setiap dicoba, apinya langsung padam."
"Terus bagaimana cara kita menyalakannya kalau yang ahlinya saja gagal?" timpal Alaska dan sedetik dari itu Nasution berceletuk asal.
"Pakai Abangku."
"Orang lagi serius."
"Kan kau sendiri yang bilang sewaktu di kereta api. Menyala Abangku. Begitu kan?"
Alaska berdecak. Memilih tidak menanggapi ucapan Nasution tadi. Sementara Nasution berjongkok. Ia mengeluarkan sesuatu benda kecil dari balik saku celananya. Alaska tampak mengenali benda kecil yang Nasution pegang. Ketika Nasution mengarahkannya ke kayu, barulah Alaska dapat lebih jelas mengetahui benda apa itu.
Mancis. Nasution mengeluarkan benda masa depan untuk menciptakan api. Sekali tekan, api langsung menyembur dari moncong benda itu. Kejadian tersebut tentu mengejutkan orang-orang di masa itu seperti Cokroaminoto, Suharsikin dan Sabina.
"Tuan Nasution, benda apa itu? Bagaimana bisa benda sekecil itu dapat mengeluarkan api?" tanya Cokroaminoto penasaran.
"Di sini kalian mengenalnya dengan sebutan korek api."
"Kami punya korek api, tapi belum pernah saya jumpai korek api yang bentuknya seperti milik Tuan. Bentuk korek api di sini normalnya batangan."
"Mainmu kurang jauh berarti."
"Apa itu keluaran terbaru, Tuan?"
Belum sempat Nasution menjawab, Arabella langsung menyela. Ia dengan sigap menghentikan obrolan kedua pria itu agar tidak terus berlanjut. Jika semakin dalam, Arabella takut Cokroaminoto akan curiga.
"Para pria cepat menyingkir! Kami mau masak! Kalian mau makan tidak?! Malah ngobrol di sini! Minggir!" Arabella mengambil tempat di tengah-tengah Nasution dan Cokroaminoto. Sengaja agar lebih mengusir mereka.
"Kalian mau masak? Aku mau ikut boleh?" tanya Alaska bersemangat. Sabina yang mendengar permintaan Alaska itu mengerutkan dahi.
"Meneer, Meneer kan tidak bisa masak."
"Bisa! Siapa yang bilang tidak bisa? Nih, saya tunjukkan!"
Alaska berjalan cepat ke meja dapur, di mana sudah terususun banyak bahan mentah di sana. Sesudah mengantar ke pabrik, para Abdi Dalem menyempatkan diri membeli bahan pokok untuk konsumsi Alaska dan rombongan.
Alaska memandang seluruh bahan mentah sembari berpikir ingin memasak apa. Tak kunjung mendapat ide, Alaska lantas berbalik menoleh ke semua orang yang hanya terdiam cengo menatapnya.
"Girls, kalian ada ide masakan apa?"
"Kami belum kepikiran sih." jawab Arabella berekspresi aneh. Niatan Alaska yang notabenya laki-laki ingin memasak membuatnya berekspresi demikian. Pasalnya baru kali ini ia bertemu laki-laki yang semangat ingin memasak.
"Di sini ada telur, ayam, cabe, tomat, bawang merah, bawang putih. Untuk sayurannya ada bucis dan kangkung. Aku kepikiran mau buat sambal telur balado sama tumis buncis. Menurut kalian bagaimana?"
Ide Alaska semakin membuat orang-orang di sana berekspresi cengo. Arabella sampai dibuat meneguk saliva. Cengo cukup lama membuat seluruh aktivitas sistem organnya berhenti sejenak.
"Ter--terserah kau sih. Yang penting kau bisa buatnya. Tapi kau bisa sungguhan masak semua itu?"
"Bisalah! Kalau aku tidak bisa buat, tidak mungkin aku berani kasih ide masakan itu. Ayo bergegas buat! Kalian bantu aku potong-potong bumbu dan sayur!"
Alaska menggulung lengan bajunya sampai batas siku membuat urat-urat lengan kekar milik Hans menonjol. Tanpa Alaska sadari, Sabina sempat gagal fokus beberapa saat lantaran matanya tak sengaja menatap urat-urat itu.
Alaska mengambil lima siung bawang putih dan 6 siung bawang merah. Tak lupa ia mengambil pisau dan telanan lalu ia taruh ke atas meja. Dengan cekatan Alaska mengupas semua bawang itu sampai bersih tak sampai sepuluh menit. Gerakan Alaska itu bukan seperti orang amatiran namun mahir, sehingga orang-orang dibuat terperangah. Terutama Sabina yang selama ini tinggal dengan Meneernya itu.
Sepanjang hidup bersama sang Meneer, yang Sabina tahu Meneer-nya itu sangat manja. Tidak pernah melakukan pekerjaan rumah, selalu mengandalkan orang lain, kecuali urusan kantor. Namun kini, ia malah melihat Meneer-nya itu tiba-tiba turun ke dapur untuk memasak. Suatu pekerjaan yang seharusnya dikerjakan perempuan tapi Meneer-nya mampu lakukan dengan sangat baik.
Selesai Alaska mengupas kulit bawang, secara tiba-tiba Arabella menarik telapak tangannya dan mengamati. "Tidak ada goresan. Bagaimana kau bisa mengupas bawang tanpa terkena pisau sedikitpun?"
"Dengan berhati-hati?" jawab Alaska berwajah aneh. Pasalnya lontaran pertanyaan Arabella adalah jenis pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.
"Maksudku, tak butuh latihan untuk semua ini? Oh, ayolah, pasti kau perlu waktu banyak untuk belajar memotong dengan kecepatan seperti tadi. Dapat mahir dalam suatu hal itu berasal dari pengalaman, Hans."
"Dibilang dari belajar tidak juga. Aku hanya sering ikut orangtua masak di dapur."
Alis Sabina seketika bertautan ketika mendengar pengakuan Tuannya. Ada hal janggal lainnya, tapi sama seperti tadi Sabina hanya bisa diam.
"Dari situ kau mulai paham memasak?"
"Mungkin?"
"Sejak kapan kau mulai ikut orangtua memasak?"
"Sejak..." Alaska menerawang. Coba mengingat usianya saat kelas 2 SMP. "... Barangkali saat itu usiaku sekitar 15 atau 16 tahun."
Arabella berdecak kagum. "Sudah lama sekali. Pantas cara masakmu kelihatan mahir."
Alaska tersenyum sejenak sebelum teringat sesuatu yang membuat senyumannya hilang seketika. Alaska menatap semua orang yang ada di sana. Alaska baru sadar sedari tadi orang-orang di sana hanya memperhatikannya tanpa mengerjakan sesuatu.
Tak!
Alaska membanting pisau. "Kenapa kalian tidak bergerak juga? Cuma saya yang lapar di sini? Yasudah, saya sendiri saja yang masak, tapi kalian tidak boleh makan! Soalnya ini masakan saya."
Mendengar ancaman Alaska itu membuat semua orang tersadar. Semuanya langsung kalang-kabut. Mulai bergerak membantu, kecuali Nasution yang malah menarik kursi meja makan dan duduk di sana.
"Ap--apa yang bisa kubantu?" tanya Arabella panik ke Suharsikin di sampingnya.
"Mevrouw Arabella memetik cabai saja, Mbak Sabina masak nasi, dan saya akan potong buncis."
Arabella dan Sabina mengangguk serentak. Para perempuan mulai mengerjakan tugas mereka masing-masing, demikian Alaska. Setelah mengupas bawang, Alaska mengambil beberapa butir telur dan merebusnya ke dalam air.
"Cabainya sudah aku petik, lalu diapakan lagi?" Arabella datang menghampiri Alaska dengan membawa sebongkah cabai di dalam mangkok yang tangkainya sudah ia petik.
"Digiling."
"Digiling? Pakai batu yang bernama ulekan itu kan?"
Alaska mengangguk sambil menahan senyum. Mamanya tampak terlihat lucu dengan wajah kebingungan.
"Hans, aku tidak mengerti. Bagaimana caranya?" ungkap Arabella melas.
"Ma, ternyata pas muda Mama gak pinter masak ya? Alaska gak nyangka banget, Mama yang ngajarin Alaska masak ternyata dulunya gak bisa masak. Sebelum sejago ini, Mama pasti bekerja keras banget ya sampai bisa masak? Mama gak pantang menyerah! Alaska bangga."
"Serahkan kepadaku."
"Lalu aku kerja apa?"
"Tidak ada lagi. Semua orang sudah mengerjakannya, kau bisa duduk menunggu di meja makan."
"Aku mau bekerja seperti yang lain. Aku perempuan, masa cuma diam sementara kau yang lelaki bekerja? Kalah saing dong!"
"Kalah saing gak tuh? Anjay, kelaazz!"
"Biar aku saja yang ulek, tapi sekalian kau bantu. Siapa tahu aku bisa sedikit belajar juga kan?" sambung Arabella menyarankan.
Alaska diam dengan tersenyum simpul, sebelum pada akhirnya ia mengangguk memperbolehkan. Anggukan Alaska membuat Arabella melompat kegirangan. Perempuan itu dengan semangat mengambil ulekan.
"Ini! Cepat tunjukkan kepadaku bagaimana cara mengulek!" seru Arabella tidak sabaran. Senyum lebar turut mengembang di bibirnya hingga menampilkan deretan gigi putih perempuan itu.
Alaska mengambil tangkai ulekan. Bumbu-bumbu yang sudah dikupas bersih Alaska taruh di atas batu ulekan. Perlahan, Alaska menekan bumbu-bumbu itu menggunakan tangkai ulekan. Selanjutnya barulah proses mengulek Alaska lakukan.
"Aku mengerti! Aku sudah mengerti! Sekarang giliran aku!" Arabella langsung merebut tangkai ulekan dari tangan Alaska. Ia mulai memperaktikan cara Alaska barusan. Dengan perlahan ia menekan bumbu yang belum halus baru menguleknya. "Begini bukan caranya?"
"Benar, tapi kurang halus. Lebih ditekan lagi. Itu tomatnya belum hancur merata." Alaska menggenggam tangkai ulekan sekaligus telapak tangan Mamanya. Alaska menggerakkan tangan Mamanya. Mengikuti istruksi dirinya.
Belum sempat selesai, kegiatan Alaska dan Mamanya mesti terhenti karena tindakan Papanya. Datang-datang Nasution langsung menjewer kuping Alaska, membuat Alaska memekik kesakitan dan semua orang histeris.
"Kami tidak akan kenyang karena melihat adegan romantis kalian! Aku tidak mau mati kelaparan, jadi kau saja yang lebih baik mati di tanganku."
"Aw, Papa! Sakit, Pa! Papaaaa! Maaaa!"
"Percuma berteriak, orangtuamu tak memiliki pendengaran serupa kalelawar! Mereka tidak akan tahu Anaknya sebentar lagi mati!" timpal Nasution galak, tak sadar bahwa Papa yang Alaska maksud adalah dirinya.
"Naaasss, lepaskan! Telinga Hans bisa copot!" Arabella sekuat tenaga berusaha menarik lengan Nasution, tapi telapak tangan pria itu tak kunjung lepas dari telinga Hans.
"Kuping copot masih kurang. Sekalian nyawanya ikut copot."
Prang!
Piring besi terjatuh di lantai yang menimbulkan bunyi amat keras sehingga semua orang terinterupsi. Piring itu jatuh karena Sabina baru saja sengaja membantingnya. Dengan wajah datar, Sabina memandang semua orang.
"Bisa kita kembali fokus memasak? Saya lapar, ingin segera tidur. Besok hari yang berat, jadi jangan sampai kita terlambat. Tolong lepaskan juga kuping Meneer saya."
Permintaan Sabina tak langsung Nasution turuti. Ada jeda beberapa detik sebelum Nasution bersedia mengalah. Setelah insiden ricuh usai, semua orang kembali ke kesibukannya masing-masing dalam keadaan senyap. Sabina berhasil membuat suasana rusuh menjadi sunyi seperti dirinya.
Kegiatan memasak selesai. Hidangan pun telah tersusun rapih di atas meja makan. Semua orang duduk rapih di kursi masing-masing. Siap menyantap hidangan. Namun, sebelum makan, tak lupa mereka berdoa menurut kepercayaan masing-masing.
"Hans, pedas. Sambalnya pedas sekali." keluh Arabella, kemudian meneguk air sampai tandas.
"Pedas?" ulang Alaska dengan dahi berkerut. Ungkapan Arabella dibenarkan oleh Cokroaminoto dan istri.
"Sebagai orang Eropa, wajar Mevrouw Arabella merasa kepedasan karena tak terbiasa. Yang aneh itu kami orang lokal. Biasanya aku kuat makan pedas, tapi pedasnya masakan Tuan Hans beda. Pedasnya buat pedih tenggorokan."
"Bahkan telinga juga dibuat berdenging." sambung Cokroaminoto menyentuh kuping kanannya.
Belum lagi Alaska menjawab, Sabina tiba-tiba berdiri di sebelahnya dengan menyerahkan segelas susu putih. Minuman kesukaan yang selalu dipesan Alaska tiap malam kepada Sabina untuk dibawa ke kamar.
"Saya belum mau susu."
"Diminum sekarang supaya Meneer tidak kepedasan."
"Saya tidak merasa kepedasan, Sabina. Lihat muka saya santai macam di pantai. Ambil susu itu buat kamu. Kelihatannya kamu yang kepedasan, sampai mukanya merah begitu."
"Bagaimana bisa kau tidak kepedasan, Hans? Indera perasa kau lumpuh kah? Aneh, semua orang kepedasan, kau sendiri yang tidak."
"Aku juga tidak." sahut Nasution santai.
"Serius?" Arabella melotot takjub menatap wajah Nasution yang tenang, sementara Nasution berdehem membalas.
"Jangankan pedas, rasa masakan ini pun tidak terasa di lidahku. Hambar. Tidak enak!"
"Buat sendiri makanya! Tinggal makan, banyak cerita!" sentak Alaska galak.
"Sudah! Jangan bertengkar! Lagi kepedasan begini semua orang mudah kepancing emosi!" amuk Arabella, sedetik kemudian suaranya memelan. "Masakanmu cuma kepedasan Hans, selebihnya enak. Mevrouw Catharina berhasil mendidikmu. Jarang-jarang ada lelaki yang pintar masak. Apalagi mau terjun ke dapur. Kebanyakan lelaki menganggap memasak adalah kodrat perempuan."
"Aku tidak beranggapan seperti itu." celetuk Nasution. Arabella menatapnya dengan alis terangkat satu. Tak percaya.
"Masa?"
"Sungguh. Mau pembuktian? Kita coba dulu."
"Apanya?"
"Menikah. Kau akan tahu setelah menjalaninya."
Uhuk! Uhuk!
Alaska dan Arabella terbatuk bersamaan. Mereka sama-sama terkejut mendengar ucapan enteng Nasution. Ajakan blak-blakan dengan wajah polos yang tak ada keraguan di dalamnya. Seolah menganggap pernikahan adalah perkara gampang.
"Jangan ulangi lagi. Bercandamu jelek."
"Aku serius."
"Sudah, cukup! Aku tidak ingin mati muda." Arabella mengangkat telapak tangan ke udara. Menyuruh Nasution tutup mulut.
"Kodrat perempuan apa Sabina, yang saya pernah bilang ke kamu?" tanya Alaska, menoleh ke Sabina yang duduk di sebelah kanannya.
"Datang bulan, hamil, dan menyusui." jawab Sabina pelan.
"Selebihnya?"
"Pilihan." jawab Sabina lagi dan Alaska kemudian mengembangkan senyum ke semua orang.
"Kodrat adalah hal mutlak yang sudah diterima manusia sejak lahir. Mutlak artinya tidak dapat diganggu gugat. Contoh kodrat perempuan adalah yang disebut Sabina tadi. Menstruasi, hamil, menyusui. Sedangkan laki-laki kodratnya adalah memiliki sperma. Selain yang disebutkan tadi adalah pilihan hidup. Kenapa disebut pilihan? Karena lelaki maupun perempuan bisa memilih belajar memasak atau tidak. Pilihan itu tidak mutlak, jadi bisa dipelajari." jelas Alaska berhasil membuat Arabella kagum. Terlihat dari matanya yang tak berkedip menatap Alaska disepanjang penjelasan.
"Hans, kau keren. Cara berpikirmu luar biasa. Perempuan yang menikah denganmu pasti akan beruntung."
"Jelas! Aku akan menjadikan dia Ratu dalam istana kami." Alaska tersenyum sombong seraya melirik ke Sabina. "Makanya Bel, nanti ketika kau punya Anak apapun jenis kelaminnya, harus kau biasakan dia mengerjakan pekerjaan rumah sejak kecil. Anak adalah peniru yang baik. Jadi, ajak suamimu untuk melakukan kegiatan baik di depannya agar kelak menjadi suatu kebiasaan baginya."
"Hal baik itu misalnya apa? Memberi kepada orang lain?"
"Bisa juga, tapi lakukan dari yang paling sederhana dulu, seperti mengucap tiga mantra ajaib."
"Mantra ajaib?" beo Arabella. Ia sontak beradu pandang dengan Nasution.
"Maaf, tolong, dan terima kasih adalah mantra ajaib yang sayangnya jarang digunakan orang dalam kehidupan sehari-hari."
"Ah... Kukira apa,"
"Kau mengira apa memangnya?"
"Kau punya kekuatan super." kekeh Arabella kikuk.
"Ada. Aku ada kekuatan super."
"Apa?!" teriak semua orang kaget.
Pandangan Alaska mengedar. Menatap semua orang yang melotot kaget kepadanya. Alaska kemudian mengembangkan senyum disertai penjelasan setelahnya.
"Kekuatan super dalam menghargai hal-hal kecil yang diajarkan orangtuaku hingga menjadi suatu kebiasaan. Menghargai sekedar pemberian baju lama Papa waktu muda atau Mama yang memberikan sebungkus permen mint sebelum sekolah. Itu adalah hal-hal kecil yang aku hargai. Apapun bentuknya."
Arabella berdecak kagum. "Sumpah, Hans. Awal bertemu denganmu kukira kau pria brengsek. Habisnya kau menyebalkan. Tapi seiring berjalannya waktu dekat denganmu, kau boleh juga."
Alaska terkekeh mendengar pengakuan Mamanya. Terlebih di bagian Mamanya yang sempat mengatai ia brengsek. Hampir Alaska dibuat tersedak. Mamanya terlampau blak-blakan.
"Kalau begini terus, lama kelamaan kau berhasil mengubah pikiranku Hans. Soal pernikahan kita. Aku mau deh nikah denganmu."
"HEH!"
Alaska dan Nasution menunjukkan reaksi yang sama secara spontan. Lagi dan lagi Alaska dibuat terkaget-kaget atas penuturan Mamanya. Kali ini ucapan Mamanya semakin ngawur pikir Alaska. Alaska melirik ngeri ke Papanya. Papanya itu sudah mengeluarkan tatapan membunuh. Tampak seperti siap menerkamnya.
"Kau ingin menikah denganku karena aku baik?"
"Ya, sangat! Pria macam kau ini langka Hans, jadi sayang jika aku lewatkan. Lagipula kau ini betul-betul tipeku. Lelaki yang beradab serta memuliakan perempuan."
"Daripada kau menikah denganku, lebih baik kau melahirkan Anak yang serupa denganku. Didik dia dengan baik, maka Anakmu akan mempunyai sifat-sifat baik itu. Menjadi ibu yang mencetak generasi berkualitas, rasanya lebih mengharukan ketimbang mendapatkan. Sebab di mana-mana proses itu yang dinilai, bukan hasil."
"Aaaahhh, benar jugaaa! Pintar kau, Hans. Yaampun, sudah baik, pintar---"
"Ganteng pula." sela Alaska tak melewatkan moment untuk unjuk narsis.
Arabella membuang napas, kemudian ia memejamkan mata dengan kepala mendongak ke atas. Kedua tangannya pun mengepal dan menopang dagu.
"Aku berjanji, Tuhan, akan mendidik Anakku dengan baik bersama suamiku kelak. Semoga Engkau berkenan mewujudkan mimpiku untuk mendapatkan Anak seperti Hans."
"Kau akan dapat, Bel. Percaya padaku." Alaska tersenyum sendu ke arah Arabella. Hati Alaska menghangat mendengar doa Mamanya.
Arabella membuka matanya. "Terima kasih doa dan sarannya, Hans, Anak masa depanku."
Tawa Alaska pecah, namun terdengar serak. Ia merasa lucu bercampur haru kala Mamanya memanggil dia dengan sebutan Anak. Mata Alaska sudah berkaca-kaca. Mati-matian Alaska menahan air matanya agar tak tumpah.
"Terima kasih kembali, Arabella, Mama masa depanku. Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya." ujar Alaska, terselubung makna lain yang hanya ia ketahui seorang.
Namun, insting tajam Nasution bergetar. Ia merasa bahwa ucapan Alaska terselimuti oleh sejuta makna. Nasution terus menatap pria itu penuh curiga seraya otaknya memikirkan banyak kemungkinan. Selagi pikirannya melayang, jari Nasution bergerak mengetuk-ngetuk meja. Genap diketukan sepuluh, jari Nasution berhenti dan ia secara mendadak melontarkan pertanyaan ke Alaska.
"Kau bilang kodrat perempuan ada tiga tadi kan? Datang bulan, hamil, dan menyusui."
Obrolan antara Arabella dan Alaska seketika terhenti. Seluruh pasang mata kompak mengarah ke Nasution. Menunggu ucapan pria itu selanjutnya.
"Bagaimana jika istrimu mandul? Bukankah istrimu sudah menyalahi dua kodrat hamil dan menyusui? Dan apakah kau akan pergi meninggalkan dia setelah tahu ia tak dapat memenuhi kodratnya?"
Selepas mendengar pertanyaan Nasution, kepala Arabella langsung menoleh ke Alaska. Penasaran dengan jawaban pria itu. Perasaan Arabella pun agak-agak cemas. Takut kecewa apabila jawaban Alaska tidak sesuai ekspetasinya.
"Tujuanku menikah dengannya bukan untuk memiliki Anak, tapi karena itu dia makanya aku memutuskan untuk menikah." jawab Alaska, tak sadar menggenggam telapak tangan Sabina.
"Aaaa, so sweet! Dengar kau, Nas! Jawaban Anakku tadi, Nas!" Arabella memukul lengan Nasution bertubi-tubi.
"Apa sih?! Dia bukan Anakmu! Sadar!"
"Anak masa depan!"
"Anak masa depanmu bodoh! Jawaban dia kosong! Sama sekali tak menjawab pertanyaanku!"
"Sebenarnya yang dinyatakan Tuan Hans itu sudah menjawab separuh pertanyaan Tuan Nasution. Namun, tidak sampai menyentuh inti pertanyaan Tuan Nasution. Soal kodrat." ujar Cokroaminoto akhirnya masuk ke dalam obrolan.
"Tidak bisa hamil bukan berarti seorang perempuan menyalahi kodratnya. Kodrat perempuan yang didefinisikan Tuan Hans dan Tuan Nasution sebagai kemampuan biologis untuk melahirkan tadi tidak menentukan nilai atau identitas seseorang. Walau tidak bisa melahirkan, setiap perempuan masih memiliki peran, kemampuan, dan kontribusi yang beragam di masyarakat yang tidak semata-mata bergantung pada kemampuan reproduksi. Lagipula Tuan Hans tadi bilang ada tiga kodrat. Perempuan yang tidak bisa hamil masih bisa datang bulan, itu artinya dia masih memiliki kodrat."
"BETUULL!" tanggap Arabella heboh. Perempuan itu semakin bersemangat ketika orang yang dikagumu turut bicara.
"Kalau hamil adalah satu-satunya kodrat perempuan, lalu kenapa ada banyak perempuan hebat yang sukses di berbagai bidang tanpa harus punya anak? Jadi, kodrat perempuan lebih luas dan kompleks daripada sekadar aspek biologis dan mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, karier, hubungan sosial, dan lain-lain." sambung Cokroaminoto tambah membuat Arabellah memekik histeris.
"Kereennn bangeett, Mas Cokrooo! Oh, my god, cowok idaman!"
"Berisik, Bel! Pita suaramu bisa pecah kalau memekik terus, mau?!"
Alaska terkikik geli melihat reaksi histeris Mamanya. Serupa fans setelah diberi love sign oleh idolnya. Apalagi Mamanya sempat berbahasa gaul.
"Woi, Pak Nasution! Reaksi Mama masa depanku wajar! Opini Tuan Cokro savage able tiada tanding." Alaska menoleh ke Cokroaminoto. "Opini luar biasa, Tuan Cokro. NIM berapa?"
"NIM maksudnya?" tanya Cokroaminoto tidak mengerti.
"Nomor Induk Metalikaaaa!" teriak Alaska, tiba-tiba mengacungkan tanda metal ke udara.
Arabella tertawa keras diikuti semua orang yang tertawa seadanya, kecuali Nasution. Pria itu menatap datar semua orang. Tenaganya terkuras duduk bersama orang-orang yang punya jiwa semangat tinggi.
°°°
Alaska celingak-celinguk mencari keberadaan Papanya. Semua orang sudah masuk ke kamar mereka masing-masing, kecuali Alaska dan Papanya. Sejak makan malam berakhir, Nasution langsung meninggalkan meja makan tanpa sepatah kata. Alaska berpikiran Papanya merajuk, maka dari itu Alaska ingin memastikan asumsinya. Seluruh ruangan sudah Alaska datangi, tapi sosok Papanya tak ia dapati. Tinggal satu tempat yang belum. Bagian luar rumah. Teras.
Alaska mendekati pintu yang terbuka. Beberapa langkah mendekat, Alaska sudah dapat melihat punggung Papanya yang tetap. Nasution berdiri di depan teras dengan posisi membelakangi pintu. Setelah dapat menemukan Papanya, segera Alaska menghampiri.
"Ku cari ke mana-mana, ternyata kau ada di sini. Masuklah ke kamar cepat, aku sudah ngantuk. Atau kau ingin tidur di luar? Syukur kalau begitu." Alaska mengambil posisi berdiri di samping Nasution. Namun, baru saja sampai, Alaska sontak melotot.
"Rokok! Kau merokok, Nasution?!" Alaska melotot marah, sementara Nasution bersikap santai. Malah ia masih menyesap rokok tersebut.
"Kenapa? Kau mau?" tanya Nasution setelah menghembuskan asap rokok ke udara. Ia lalu menyodorkan sebungkus rokok ke Alaska.
"Kenapa kau merokok hah?!" Alaska tak menerima bungkus rokok pemberian Nasution, ia malah bertanya galak. Membuat dahi Nasution mengerut tak suka.
"Jangan dulu. Emosiku sudah kau kuras sewaktu makan tadi, sekarang biarkan aku tenang. Benar yang dikatakan Arabella. Setidaknya dalam sehari kita meluangkan sedikit waktu gencatan senjata."
"Jawab saja pertanyaanku, kenapa kau merokok?!"
Secara tiba-tiba Alaska menepis bungkus rokok di tangan Nasution. Bungkus rokok itu terpental ke lantai. Tidak berhenti sampai di situ, Alaska lalu merebut puntung rokok yang masih berada di genggaman Nasution. Alaska membuang puntung rokok itu juga ke lantai kemudian ia menginjaknya kuat.
"Dasar sok bijak! Gayanya belagak marah-marah ke orang karena merokok di usia dini, taunya pas muda juga perokok berat! Sampai bungkus sebegini besar! Jangan taunya nyuruh orang, Pak Nasution, padahal diri sendiri rupanya lebih parah! Memalukan!" oceh Alaska panjang lebar seraya menunjuk Papanya.
Nasution menatap Alaska dengan wajah datar sama sekali minim ekspresi, namun gigi pria itu sudah beradu kencang saking kerasnya menahan emosi. Pada akhirnya emosi itu meledak juga. Nasution langsung menyentak tubuh Alaska ke dinding dan mencekiknya.
"Apa masalahmu?" ucap Nasution geram. Cekikan Nasution kian lama kian mengetat. "Sudah dari lama aku menahan diri untuk tidak membunuhmu, karena ku pikir kau punya sedikit peran dalam perjalan Arabella untuk menuntaskan misinya. Tapi sekarang aku tidak peduli. Ada dan tidaknya kau, Arabella tetap akan menemui takdirnya! Matilah!"
"Pa..."
Alaska berusaha menarik tangan Nasution agar terlepas dari lehernya, tapi tak berhasil. Oksigen sama sekali tak dapat Alaska hirup. Wajah pria itu sudah bewarna merah. Yang Alaska bisa lakukan hanya meraung. Menyebut samar-samar kata Papa.
"Papa..."
Sedetik panggilan Alaska ini terlontar, secara mengejutkan Nasution merasa ada benda aneh menabrak dirinya. Seketika saja suara-suara asing masuk ke dalam pendengarannya. Samar, namun beberapa suara ada yang berhasil Nasution dengar.
"Lebih baik Papa mati aja."
"Coba aja waktu itu Papa mati, mungkin Mama gak akan pergi."
Suara menghilang, tapi detik selanjutnya samar-samar Nasution melihat punggung seorang pria. Pria itu menuju pintu keluar menjauhinya.
"Siapa dia? Siapa? Ingatan siapa yang sedang aku lihat ini?"
Penglihatan lenyap dan barulah Nasution tersadar. Tubuh Nasution sempat kehilangan kendali. Hampir terjatuh, namun sekuat tenaga ia tetap berdiri tegap. Mendapatkan penglihatan tadi membuat Alaska dapat terbebas dari cekikkan Papanya.
Alaska menyentuh lehernya yang pedih. Dengan mata berkaca-kaca, Alaska menatap Papanya. Tercetak ekspresi kecewa di wajah itu.
"Di keadaan manapun kau terus menebar kekecewaan, Nasution. Aku heran kenapa Arabella lama sekali bertahan denganmu."
Seusai berucap demikian, Alaska berbalik dan melangkah pergi di selimuti amarah. Nasution hanya memandang kosong kepergian Alaska. Ingatan tadi membuat pria itu linglung.
"Ingatan milik siapa tadi? Pria itu siapa? Ingatan dia kah? Tapi ingatan yang mana?" jeda tiga detik, Nasution berpikir lagi. "Kehidupannya di masa depan? Atau di masa lampau? Jika benar salah satunya, kenapa aku yang ditampakkan?"
Banyak pertanyaan hilir mudik di benak Nasution. Pasalnya jarang sekali ia dapat melihat masa lalu maupun masa depan orang tanpa seizin semesta. Kalaupun diziinkan melihat, pasti ada tujuannya. Hal ini yang membuat Nasution bertanya-tanya.
"Apa tujuannya?" gumam Nasution.
Pikiran Nasution teralihkan karena gendang telinganya menangkap suara burung. Nasution berbalik dan menemukan seekor burung hantu bertengger di dahan pohon. Kepala burung hantu itu bergerak-gerak dengan mata bulatnya yang tertuju ke Nasution. Nasution terus memperhatikan burung hantu itu. Gerak-geriknya mencurigakan bagi Nasution. Hati Nasution berkata bahwa burung hantu ini bukan burung biasa.
Untuk memastikannya, telapak tangan Nasution terangkat. Muncul semburan cahaya biru kehitaman yang melayang di telapak tangan pria itu. Nasution ambil ancang-ancang hendak melempar sihir ke burung hantu itu, tapi kalah cepat. Burung hantu itu lebih dulu kabur. Terbang tinggi ke udara.
"Resitor."
°°°
Bersambung...
Definisi omongan adalah doa. Arabella pengen Anak yang punya sifat baik macam Hans, eh beneran dapat apa Alaska. Tiati jangan sampe nyesel di masa depan Tante Arabella, dapat Anaknya beneran Alaska🥲.
FAKTA SEJARAH!
1. Di tahun 1912 ini, orang Indonesia masih menggunakan korek api model batang karena korek dengan pemantik api belum tercipta. Korek api model batang sudah ada sejak 1826. Di awal penemuannya, korek api batangan zaman dulu memiliki kontroversi karena menggunakan belerang. Bau belerang berbahaya karena di inggris dulu banyak menyebabkan penyakit tifus.
Kalo yang pernah nonton Enola Holmes 2 pasti tahu, kasus yang mereka angkat di seri kedua adalah kasus nyata di Inggris soal penyakit tifus yang banyak menyerang buruh pabrik korek api.
Korek api model pemantik (mancis) baru ditemukan pada tahun 1920 dan baru diproduksi di Indonesia pada tahun 1949.
Demikian fakta sejarah yang bisa saya bagi di sini. Lebih kurangnya saya mohon maaf. Mohon maaf sekali lagi karena updatenya ngaret banget. Authornya sudah masuk dalam skripsi era. Mohon dimaklumkan🙇♀️. Terima kasih pula bagi yang setia menunggu SACI update dan tak lupa VOTE & COMMENT supaya lapak ini rame. Kalian luar biasa, NIM berapa? HEHEHE. Lop u tomat❤🍅.
❤Follow IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top