13. SACI - Porak-Poranda
Malam gaes, maaf baru update. Lama banget ya nunggu? Alhamdulillah kemarin ada juga pembaca yang nyariin cerita ini, makanya saya langsung tancap gas ngetik. Karena sebenarnya belum mau lanjut sih, soalnya lapak ini sepi banget. Vote dan komentar jomplang. Kolom komentar saking sepinya pas dicek dikerumuni rayap noh. Wkwk. Makanya ramein dong. Diam diam bae.
°°°
Seorang pria berpakaian lusuh dengan blangkon di kepalanya sedang membersihkan meja kerja. Sambil bersiul ia membersihkan seluruh permukaan meja bahkan hingga pada sudut-sudut terkecilnya. Saat tengah fokus bekerja, seseorang tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu dulu, membuat pria itu terperanjat.
"Jancok, ngagetin wae kowe (Sialan, ngagetin saja kamu!)"
"Heh, kowe dudu cawe-cawe bersihin ing pabrik malah ing ruwang Meneer! (Kamu bukannya bantu-bantu bersihin di pabrik malah di ruang Meneer!)"
"Iki aku wis resik-resik (ini aku sudah bersih-bersih.)" balas pria itu enteng ke temannya dengan kembali menggosok-gosok kemoceng ke meja.
"Bersihin opo si kowe? Ruwang Meneer wis resik, lah wong dheweke ora tau mrene. Mending kowe melu aku rewangi resik-resik ing pabrik. Kacau sanget ing kana. Butuh akeh tenaga (Bersihin apaan sih kamu? Ruang Meneer sudah bersih, lah wong dia tidak pernah ke sini. Mending kamu ikut aku bantu bersih-bersih di pabrik. Kacau sekali di sana. Butuh banyak tenaga)"
"Kowe wae kang mrana, aku wis krasan ing kene (kamu aja yang ke sana, aku sudah betah di sini)" timpal pria itu, kali ini nada bicaranya berubah acuh.
"Pantes krasan ing kene. Bisa merayap menyang ngendi-ngendi tanganmu iku. (Pantes betah di sini. Bisa merayap ke mana-mana tanganmu itu)" sindir temannya tepat sasaran. Temannya terbelalak langsung membatah.
"Endi tau aku mangkono (Mana pernah aku begitu!)"
Mendengar suara rekannya yang drastis meninggi, membuat pria di ambang pintu semakin yakin bahwa tuduhannya benar. Ia menyeringai, tak berkomentar apa-apa. Namun senyumnya mampu membuat temannya itu pada akhirnya jujur tanpa dipaksa.
"Namung siji gulden kok (cuma satu gulden kok!)"
Jawaban enteng disertai wajah polos temannya membuat emosi pria di ambang pintu naik. Ia berjalan geram sembari mengoceh menuju temannya yang berdiri di meja kerja.
"Cuma-cuma! Sadina jupuk siji gulden bisa nikahi si Nyai kowe! Kowe yen kawruhan Meneer bisa tinggal jeneng, Jayadi! Ya Allah gusti nu agung! (Cuma-cuma! Sehari ambil satu gulden bisa nikahi si Nyai kamu! Kamu kalau ketahuan Meneer bisa tinggal nama, Jayadi! Ya Allah Gusti nu Agung!)" teriak pria itu mengguncang tubuh temannya supaya sadar. Tapi bukan sadar atau merasa bersalah, temannya malah berdecak acuh.
"Ck! Meneer ora arep eling. Wong dheweke arang mrene (Ck! Meneer tidak akan sadar, Restu. Wong dia jarang ke sini)"
Restu cengo. Nasihatnya tak mempan untuk menyadarkan Jayadi. Ia pun mundur beberapa langkah dengan kedua tangan terangkat. Menunjukkan terang-terangan ke Jayadi kalau dirinya menyerah dan tak memperdulikan lagi.
"Durung kena getahe kowe iku. Pokoke aku ndak melu-melu, Jayadi! Aja gawa-gawa aku conto sirahmu wis ing pancungan. (Belum kena getahnya kamu itu. Pokoknya aku ndak ikut-ikutan, Jayadi! Jangan bawa-bawa aku semisal kepalamu sudah di pancungan.)"
"Selagi kowe tutup cangkem, aku ora arep kawruhan (Selagi kamu tutup mulut, aku tidak akan ketahuan.)"
Jayadi kemudian membuka laci meja kerja. Ia tunjukkan isi dalam laci itu yang berisi banyak gulden ke Restu.
"Kowe ora gelem jupuk uga kah? Mumpung ing kene. Ndelok, Meneer ngolehake mangkono wae gulden-guldene. Awake dhewe tinggal jupuk (Kamu tidak mau ambil juga kah? Mumpung di sini. Lihat, Meneer membiarkan begitu saja gulden-guldennya. Kita tinggal ambil)"
Kepala Restu menggeleng-geleng miris. "Wong gendeng kowe! (Orang gila kamu!)"
Sempat hening sejenak, sayup-sayup mereka mendengar suara deru mobil mendekat. Penasaran, mereka berjalan ke jendela. Menengok ke bawah untuk memastikan siapa yang datang. Tampak tiga buah mobil satu persatu memasuki gerbang.
"Sopo yo kang teko? Geneya akeh mobil kang mlebu mrene? (Siapa ya yang datang? Kenapa banyak mobil yang masuk ke sini?)" tanya Jayadi ke Restu, namun yang ditanya tak menjawab.
Mata Restu menajam, fokus menunggu salah satu orang di dalam mobil itu keluar. Mobil paling depan terbuka lebih dulu. Menampakkan salah seorang yang perawakannya mereka kenal.
"Jancok! Meneer, cok!" teriak Restu spontan. Jayadi yang juga melihat orang di bawah adalah Tuannya pun ikut kalang-kabut.
"Restuuu, Restuuu! Seje kali omonganmu iku dijogo! Dadi donga, kan? Meneer tenan teko mrene (Lain kali omonganmu itu dijaga! Jadi doa kan? Meneer beneran datang ke sini!)" oceh Jayadi. Ia langsung mengembalikan kotak yang berada di genggamannya ke laci. Mereka lantas pontang-panting keluar dari ruangan itu.
°°°
Setelah keluar dari mobil, Alaska mengamati pemandangan sekitar di kantor pabriknya. Lumayan asri dan terjaga. Alaska melihat gedung perkantorannya yang bertingkat satu. Samping kanan-kirinya berjejer tanaman bonsai. Dari mulai masuk gerbang hingga menuju pintu masuk gedung terdapat setapak jalan.
"Not bad." gumam Alaska mengangguk-angguk kecil.
"Lama sekali!"
"Nenek kau nyimeng!" Alaska berteriak kaget lantaran mendapati Nasution tiba-tiba muncul di hadapannya. "Kau kenapa suka sekali muncul tiba-tiba hah?! Jantungku lama-lama bisa copot!"
"Mana Arabella?" Nasution malah bertanya, tak menanggapi ocehan Anaknya. Tak lama dari pertanyaannya, suara Arabella terdengar.
"Nas, kau sudah di sini saja."
Melihat Arabella keluar dari mobil baris kedua, Nasution langsung berjalan menghampiri wanita itu dengan melewati Anaknya yang memasang wajah sangsi.
"Bener-bener kelakuan nih Bapak satu ye, minta disedot ubun-ubunnye." batin Alaska mengoceh.
"Aku malas menunggu di sana." jawab Nasution.
"Tuan Nasution cepat sekali tahu-tahu sudah sampai di sini." celetuk Cokroaminoto, mendekat bersama istrinya.
"Karena aku tak mengikuti kebiasaan orang sini. Lambat." timpal Nasution selalu pedih di setiap kata-katanya.
Karena dari awal sudah dikagetkan oleh Papanya, Alaska jadi lupa kehadiran Sabina yang seharusnya sudah keluar mobil. Kepala Alaska celingak-celinguk mencari keberadaan Sabina. Di belakang mobil, Alaska melihat punggung pria Abdi Dalem yang menjadi sopirnya. Saat didekati, Alaska memergoki Abdi Dalem yang menegur Sabina di Keraton itu sedang mengobrol dengan yang bersangkutan.
"Mereka ngobrol keliatan akrab banget."
"Ekhem!"
Alaska berdehem. Sengaja keras-keras untuk mengagetkan kedua orang itu. Cara Alaska berhasil membuat keduanya gelagapan, tapi juga menarik perhatian semua orang yang ada di sana. Sorot mata Mama dan Papanya, serta Cokroaminoto dan istri. Si Abdi Dalem langsung melipat kedua tangan ke depan dengan kepala menunduk.
"Sedang membicarakan apa kalian?" Alaska menatap keduanya lekat bergantian. Kemudian sorot mata Alaska berhenti di Sabina yang berdiri di seberang. "Sabina, ke sini kamu!"
Perintah Alaska segera Sabina turuti. Perempuan itu berjalan cepat mendekat. Ia langsung ambil posisi di sebelah Alaska. Alaska kembali menargetkan sorot matanya ke si Abdi Dalem.
"Kamu mau berbuat yang tidak sopan lagi ke Sabina seperti di Keraton?"
"Tidak, Meneer. Sedikitpun tak ada niat saya ingin berlaku demikian ke perempuan ini---"
"Namanya Sabina! Panggil namanya dengan benar!" sela Alaska tak terbantahkan. Titah tegas Alaska membuat Abdi Dalem itu sampai memejam mata takut.
"Nggih, Meneer. Tadi saya hanya menanyakan ke Ndoro Sabina mau diletakkan di mana barang-barang Meneer. Hanya itu, Meneer. Tak ada maksud lain lagi." terang Abdi Dalem itu langsung ke inti.
"Taruh langsung ke rumah peristirahatan."
"Baik, Meneer." Abdi Dalem itu berbalik hendak pergi, namun Alaska menghentikannya.
"Tunggu!"
Abdi Dalem itu berbalik, "Ada lagi yang Meneer butuhkan?"
"Saya belum tahu nama kamu."
"Meneer bisa panggil saya Satria."
"Umur?"
"Dua puluh enam, Meneer."
"Ouh, selisih setahun lebih tua dari saya." Alaska diam beberapa saat. "Walau sempat kesal sama kamu, tapi saya tetap harus sopan ke yang lebih tua. Jadi saya akan panggil kamu Bang Sat. Jemput kami jam lima ya, Bang Sat. Jangan sampai telat, Bang Sat."
Seketika semua mata melotot ke arah Alaska. Mendapati reaksi terkejut mereka, Alaska memasang wajah polos bercampur kaku dengan batin yang bermonolog.
"Dari bentukan-bentukannya mereka tau kata Bangsat itu gak baik. Dan artinya juga, kata bangsat udah populer di sini. Asik, ada kosa kata kasar yang bisa gue omongin. Akhirnya! HAHAHA!"
"Kau! Dari mana kau belajar bahasa kotor itu hah?!" Nasution berteriak marah menunjuk Alaska. Amukan Papanya itu tentu membuat Alaska agak takut karena mirip dengan cara Papanya marah di masa depan.
"Aku belajar lah!"
"Apa para pekerja Meneer Hans yang mengajari? Lain kali jangan disebut lagi kata-kata itu, Meneer Hans. Itu kata tidak baik." celetuk Suharsikin. Istri Cokroaminoto itu memasang wajah miris. Tatapan tersebut membuat Alaska merasa menjadi orang paling berdosa di muka bumi.
"Dari sekian banyak kosa kata baik, kenapa kau malah menggunakan kata itu, bodoh?! Itu kata-kata sampah!" bentak Papanya masih mengamuk.
"Barusan kau juga berkata-kata sampah! Kau mengataiku bodoh. Apa bedanya kau dengan ku sekarang?!"
"Bedalah! Aku susah dewasa! Sudah pantas mengucapkan kata itu! Lagipula kata bodoh pantas untukmu!"
"Woi, umurku di sini sudah 25 tahun, Pak Nasution! Sudah legal! 25 tahun itu sudah dewasa!"
"Dewasa apanya?! Tingkahmu masih seperti bocah ingusan!"
"HEH! Diam kalian!" Arabella langsung berdiri di tengah-tengah dua pria itu. Menghentikan adu mulut mereka. "Kalian sama-sama belum dewasa! Buktinya hal sepele begitupun sampai kalian besar-besarkan. Sudah! Cukup! Malu dilihat orang! Lebih baik kalian pisah, kalau disatukan selalu bertengkar!"
Arabella menoleh ke Alaska, "Hans! Kau menjauh dari sini dan mendekat ke Tuan Cokro. Tuan Cokro, Tuan pergi masuk duluan bersama Hans ke dalam. Dan ajari sekalian Hans untuk berbicara kosa kata Melayu yang baik-baik. Kalau dia tidak mau belajar, tampar saja mulutnya jangan ragu!"
Alaska spontan menutup mulutnya. Ancaman Mamanya tak pernah gagal membuatnya takut walau belum menjadi seorang Mama di masa ini. Di depan, Alaska dapat melihat jelas Papanya tersenyum puas di saat Mamanya lengah.
"Dan kau!"
Tatapan Arabella kemudian berbalik ke Nasution dan secepat itu pula wajah Nasution berubah datar.
"Urusanmu denganku."
Satu alis Nasution terangkat. Ia memandang tanpa berkedip wajah marah Arabella. Hingga di suatu detik, sudut bibir Nasution terangkat.
"Dengan senang hati."
°°°
Alaska dan rombongan mulai memasuki gedung kantor. Baru saja beberapa saat masuk, mereka menemukan seorang laki-laki paruh baya tengah menyapu lobi. Spontan Alaska menengok ke segala penjuru lobi. Ia salut karena obi kantor Hans terbilang luas, namun mampu disapu oleh pria paruh baya seorang diri.
"Sepi sekali, tidak ada satu orangpun." celetuk Arabella. Alaska menimpali dengan menunjuk pria searah mereka.
"Itu ada orang."
"Bukan, maksudku tidak ada orang lain selain pria itu. Pekerja-pekerjamu yang lain ke mana?"
"Mana aku tahu, kita sama-sama baru datang. Kita tanya Bapak itu saja."
Langkah kakinya Alaska percepat. Ia berjalan lebih dulu untuk menghampiri pria di depan. Alaska akan bertanya ke beliau ke mana para karyawan lain.
"Permisi, Pak."
Pria yang Alaska tegur menoleh. Alaska menyadari wajah pria di depannya menegang tiba-tiba diikuti matanya yang berkaca-kaca. Alaska yang ditatap demikian keheranan. Alaska menunjuk canggung dirinya sendiri, kemudian ia menoleh ke belakang. Hendak menyampaikan rasa herannya ke rombongan. Namun, Alaska malah menemukan ekspresi Sabina sama seperti Bapak di depan. Wajah tegang dengan mata nanar. Mereka pun juga saling pandang.
"Sabina kenapa lagi sih? Dalam satu hari ini kelakuannya aneh banget. Tadi sama si Abdi Dalem, sekarang sama Bapak ini."
"MENEER!"
Teriakan kencang seseorang mengalihkan pandangan Alaska bahkan semua yang ada di sana. Alaska sontak menoleh ke tangga, tempat asal muasal suara kencang yang memanggilnya tadi. Di sana terlihat dua orang pria terbirit-birit turun. Seusai menginjakkan kaki di anak tangga terakhir, salah seorang dari mereka terjatuh. Membuat Alaska meringis sejenak. Alaska hendak menolong, tapi urung karena pria itu langsung tegak kembali. Mereka berdua ambil posisi tegap berbaris di depan Alaska.
"Kamu tidak apa-apa?" Alaska bertanya ke pria yang sempat jatuh. Pria itu Jayadi, pelaku yang sering diam-diam mengambil satu gulden milik Hans tiap hari.
"Ti--tidak, Meneer." jawab Jayadi gugup.
"Kami agak terkejut Meneer datang. Mari kami antar ke ruangan Meneer." Restu hendak memandu, tapi dengan cepat Alaska hentikan.
"Saya mau langsung ke pabrik. Antar saya ke sana."
Keduanya tampak terkejut, kemudian lempar pandangan satu sama lain. Dahi Alaska mengernyit. Sadar gerak-gerik mereka ada yang aneh.
"Kenapa masih diam? Jadi, mau antar saya atau tidak? Kalau tidak saya bisa pergi sendiri." Alaska sebentar lagi hendak melangkah, namun Restu langsung mencegah.
"Meneer mau mengecek pabrik?"
"Bukan, saya mau mengecek dosa-dosa para pemimpin negeri." jawab Alaska ngaco, kemudian drastis nada bicaranya meninggi. "Jelas saya mau mengecek pabrik lah, makanya saya ke sini!"
"Kelepasan kan gue jadinya. Mancing sih. Pura-pura bego, ntar bego beneran gue ketawain lo!"
"Cepat antar saya! Sekalian saya mau mengecek keadaan para pekerja lain. Ada yang mau saya sampaikan."
"Kalau Meneer mau meriksa keadaan pekerja, biar saya panggilkan mereka semua ke sini."
"Kalian itu pada kenapa sih?!" bentak Alaska, suaranya kian meninggi selepas mendengar anjuran Restu. "Saya sudah bilang dari awal, saya mau ke pabrik. Tinggal antar apa susahnya?!"
"Meneer."
Lelaki paruh baya yang menyapu tadi menegur Alaska. Ia sudah berdiri di dekat Alaska dengan kepala agak menunduk hormat.
"Saya bisa antarkan Meneer ke pabrik. Biar saya saja."
"Terserah, bagi yang mau dan berkenan! Ayo!"
Alaska berjalan lebih dulu dengan diselimuti perasaan kesal. Begitu rombongan Alaska berlalu, Jayadi dan Restu memandang satu sama lain. Wajah mereka terlihat cemas bercampur kesal. Kesal kepada pekerja paruh baya tadi yang tak bekerjasama.
Di perjalanan menuju pabrik, Cokroaminoto yang berada di barisan bersama istri menyadari satu hal. Bahwa cara jalan Meneer Hans sama dengan Nasution. Cokroaminoto dapat menyadari dengan jelas persamaan itu karena Tuan Belanda itu berjalan di posisi paling depan sementara Nasution di barisan kedua.
"Dilihat-lihat cara jalan Tuan Hans dan Tuan Nasution mirip, ya?" celetuk Cokroaminoto yang dapat didengar oleh Nasution dan Arabella lantaran posisi mereka tak terlampau jauh.
Sontak langkah Arabella dan Nasution berhenti, membuat Cokroaminoto dan istri juga berhenti. Mata Arabella membulat saat menatap Cokroaminoto.
"Benar kan? Ternyata bukan aku saja yang menyadari kemiripan itu!"
"Mulai..." Nasution menanggapi ucapan menggebu-gebu Arabella dengan nada malas.
"Serius, Nas! Bukan hanya cara jalan yang mirip, kadang-kadang aku berpikir karakter kalian sama."
"Itu kan terkadang, berarti tak selalu sama."
"Tapi kadang-kadangnya banyak!"
Bola mata Nasution berputar malas diiringi dirinya yang membuang napas kasar. Tiba-tiba Arabella menepuk dadanya.
"Nah, salah satunya ini! Caramu memutar bola mata dan membuang napas sama seperti Hans!"
"Berhenti bicara omong kosong! Sekarang lanjut berjalan!" Nasution menatap Arabella dengan tatapan membunuh yang berhasil membuat perempuan itu ketakutan. Arabella patuh, langsung menggerakkan kedua kakinya.
Nasution yang masih berdiri di tempat, menatap Cokroaminoto tajam.
"Dan kau. Aku masih menaruh hormat kepadamu sebagai sosok Guru Bangsa, jadi jangan buat rasa hormat itu hilang."
Setelah berucap seperti itu, Nasution membalikkan tubuhnya dan melangkah menyusul Arabella. Ketika sosok Nasution sudah agak jauh, Cokroaminoto baru bersuara. Sengaja agar yang bersangkutan tak mendengar.
"Marahnya pun mirip dengan Meneer Hans. Entah mengapa aku merasa mereka seperti Kakak dan Adik jika kemiripan keduanya muncul bersamaan."
"Tapi, Kangmas, sekilas cara tersenyum Meneer Hans malah mirip dengan Mevrouw Arabella." timpal Suharsikin.
"Loh?" Cokroaminoto diam sejenak. Sedang menyandingkan senyum Arabella dan Meneer Hans di pikirannya. "Benar juga. Bukankah engkau merasa kesamaan ini aneh? Semacam bukan kebetulan."
°°°
Setelah berjalan sepanjang 200 meter lebih, Alaska dan rombongan akhirnya sampai di pabrik. Keadaan yang awalnya ramai seketika senyap saat Alaska datang. Alaska menatap bingung sekelilingnya. Para pekerja langsung diam di tempat dengan kepala menunduk. Sebenarnya Alaska sudah biasa melihat reaksi ini, tapi menurut Alaska reaksi yang kali ini lebih parah. Wajah seluruh pekerja Hans pucat pasi.
"Ada apa? Kenapa mereka setakut ini lihat gue? Padahal gue belum ngomong apapun. Jangankan ngomong, orang baru juga nyampe."
Saat memandang keadaan sekitar, Alaska banyak menemukan jejak maupun bercak lumpur di lantai. Sangat kotor sekali. Seperti tak pernah dibersihkan. Alaska juga melihat para pekerja semuanya memegang pengepel lantai.
"Apa yang sudah terjadi di sini? Kenapa pabrik kotor sekali? Penuh dengan lumpur. Kaki-kaki kalian pun juga." Alaska memperhatikan satu persatu kaki para pekerjanya yang tanpa alas. "Habis main dari mana? Kotor-kotoran."
Hening.
Tak ada satupun yang menjawab.
Alaska memijat pelipisnya. Ia terkekeh hambar. Reaksi yang sudah biasa ia dapati setiap mengajak para pekerja berdialog.
"Harusnya gue gak perlu nanya, karena tingkah mereka pasti begini. Bungkam semua! Entah apa yang lo lakuin Hans, sampe para pekerja setakut ini sama lo."
"Meneer."
Alaska menengok ke sebelahnya. Pria paruh baya yang mengantarnya tadi kembali menegur.
"Mari saya antar ke kebun, supaya Meneer sendiri yang lihat keadaannya."
Alis Alaska mengernyit. "Maksudnya?"
Pertanyaan Alaska itu pada akhirnya terjawabkan setelah ia turun langsung memeriksa kebun. Alaska menatap kaku kebun Hans yang dipenuhi lumpur. Seluruh tanaman kopi porak-poranda tak tertanam rapih di jalurnya. Keadaan kebun kopi Hans saat ini seperti baru saja terkena angin puting beliung.
"What the... Hell..."
°°°
Alaska menatap tajam seluruh pekerja yang menunduk ketakutan. Alaska langsung mengumpulkan seluruh pekerja di satu tempat. Ruangan petak itu dipenuhi orang, namun sunyi. Hanya terdengar sayup-sayup suara mesin pabrik.
Alaska membuang napas, setelahnya bicara penuh penekanan. "Jelaskan ke saya kenapa pabrik bisa porak-poranda begitu?"
Hening. Masih saja. Selalu begitu. Mereka bungkam setiap di tanya. Terlebih situasi sedang tidak enak begini. Mereka dilanda ketakutan, jadilah semuanya semakin enggan bicara.
"Jawab sebelum kesabaran saya habis! Setidaknya satu orang di sini mewakili."
"Hans, sabar. Jangan teriak-teriak, mereka semakin takut jadinya." Arabella berucap pelan. Ia mengusap lembut pundak Hans, berupaya menurunkan amarah pria itu.
Tindakan Mamanya sangat tepat. Alaska agak menurunkan emosinya. Dan Alaska pikir, situasi yang kacau begini tak dapat diselesaikan dengan emosi. Mesti dipikirkan dengan kepala dingin.
"Kamu! Kamu yang menyambut saya di depan." Alaska menunjuk Restu tiba-tiba, membuat yang bersangkutan langsung gelagapan. "Saya butuh jawaban di sini, apa dan mengapa pabrik bisa hancur seperti itu. Tolong, jelaskan ke saya. Saya tidak marah, jadi jangan takut."
Restu celingak-celinguk. Setelahnya ia maju dua langkah. Restu mulai terus terang.
"Akhir-akhir ini, Surakarta dilanda hujan deras, Meneer. Terus begitu tiap malam, paginya kebun sudah hancur akibat angin kencang dan tergenang banjir. Bencana ini membuat pendapatan kita juga menurun. Biasanya kita bisa memanen 70 ton untuk Arabika dan 50 ton untuk Robusta, tapi bulan kemarin hasil panen menurun drastis. Kita hanya mendapatkan 25 ton Arabika dan 10 ton Robusta saja saat panen, Meneer."
"Kejadiannya sudah berlangsung dari sebulan yang lalu, tapi kenapa kalian tidak mengabari saya segera?"
Sontak Restu mengerutkan dahi. Reaksi kebingungan yang ditunjukkan Restu juga Alaska lihat pada wajah semua pekerja Hans. Mendapati reaksi ini, Alaska sudah dapat menebak ada yang janggal.
"Meneer, kami sudah mengirimkan banyak surat sejak sebulan yang lalu terhitung dari awal bencana ini melanda pabrik."
"Banyak surat? Gue gak ada nerima satu surat pun dari Surakarta. Oh, atau jangan-jangan waktu Hans belum koid. Hans yang nerima surat itu, makanya gue gak tau."
"Kapan terakhir kali kalian mengirim surat ke saya?" tanya Alaska memastikan.
"Lima hari yang lalu, Meneer."
"Wanjer, itu gue udah mendarat di sini. Udah mayan beradaptasi juga sebagai seorang Meneer, tapi kok gak sampe tuh surat cinta Buruh-buruh ke tangan gue?"
"Kami pikir, Meneer kemari karena sudah menerima surat laporan kami." sambung Restu.
Alaska menggeleng pelan, "Saya tidak pernah menerima satupun surat dari kalian, bahkan yang terakhir. Saya kemari karena melihat berita di surat kabar soal pemogokan para Buruh di Surakarta. Salah satu yang terlibat adalah Buruh-buruh saya. Maka dari itu saya ke sini. Saya ingin memeriksa keadaan kalian. Apa yang salah sampai kalian nekat mengambil tindakan se-anarkis itu."
"Maaf soal itu, Meneer. Sebenarnya kami hanya ingin unjuk rasa karena gaji kami bulan kemarin tidak dibagikan. Tapi kami tidak menyangka aksi kami juga diikuti oleh buruh lain sampai rusuh. Kalau buruh yang terlibat banyak dari Sarekat Islam, kami juga tidak mengetahuinya. Bukan maksud kami mencoreng nama Sarekat Islam, Ndoro." Restu menunduk kepala canggung ke arah Cokroaminoto.
"Boleh saya masuk sebentar, Tuan Hans?" pinta Cokroaminoto pelan. Kepala Alaska mengangguk memperbolehkan.
Sorot matanya kemudian ia arahkan penuh ke Restu. "Berapa buruh yang tergabung dalam Sarekat Islam di sini?"
"Sekitar tiga puluh orang, Ndoro Cokro."
"Yang ikut aksi pemogokan malam itu berapa orang anggota Sarekat Islam?"
"Hanya 10 orang, Ndoro."
"Kamu termasuk?"
"Nggih, Ndoro." Restu mengangguk kaku. Canggung karena ditanya langsung oleh ketua Sarekat Islam cabang Surabaya. Orang yang punya pengaruh besar, setara dengan Ketua Sarekat Islam. Pengaruh itu yang kelak membuat Cokroaminoto naik menjadi Ketua Sarekat Islam sesungguhnya.
Cokroaminoto tersenyum masam. "Hanya 10 orang dari Sarekat Islam yang tergabung aksi, tapi berita menyiarkan seolah-olah Sarekat Islam punya andil besar dalam gerakan anarkis itu."
"Memang hanya 10 buruh dari Sarekat Islam di pabrik ini yang ikut aksi pemogokan kemarin, Ndoro. Tapi, tak lama aksi berlangsung, ada sekelompok orang yang mengaku sebagai Sarekat Islam ikut masuk ke dalam aksi. Kami percaya karena mereka turut mengibarkan bendera Sarekat Islam. Mereka menyebut diri mereka sebagai Sarekat Islam cabang Surakarta."
Wajah Cokroaminoto menegang seketika setelah mendengar laporan Restu. "Tidak mungkin. Aku bersama seluruh anggota Sarekat Islam Cabang Surakarta sedang melakukan rapat besar di rumah Ketua SI malam itu. Tidak mungkin ada satu anggota pun yang tidak hadir, karena kami mencatat nama-nama yang hadir di buku agenda. Semua nama terisi tanpa terkecuali. Terlebih anggota Sarekat Islam di Surakarta tak terlampau banyak, jadi tidak mungkin ada anggota yang bisa hadir mengikuti aksi malam itu. Apalagi kalian bilang sekelompok orang yang datang."
"Berarti kemungkinan ada yang coba mengadu domba Sarekat Islam dengan pemerintah, Hans?" bisik Arabella yang rupanya sampai ke pendengaran Cokroaminoto. Cokroaminoto pun mengoreksi.
"Bukan dengan pemerintah, tapi rakyat. Justru aku punya dugaan pemerintah Hindia Belanda ada andil dalam permasalahan ini."
Saat sedang diam, tiba-tiba Alaska teringat salah satu laporan Restu. Alasan mereka mogok kerja karena bulan lalu tak mendapatkan hak mereka. Hampir melupakan hal sepenting itu, dengan cepat Alaska angkat bicara.
"Siapa yang bertanggung jawab di sini?"
"Pak Paiman, Wagiyo dan Slamet, Meneer."
Alaska terkekeh miris. "Pribumi semua. Di mana mereka sekarang? Ada di sini?"
Restu menggeleng pelan. Tampak ragu. Dengan pelan Restu mengutarakan lagi keadaan yang sebenarnya.
"Sejak bencana melanda kebun, mereka tidak pernah kemari lagi, Meneer."
"Itu kan tanggung jawab mereka. Kenapa mangkir dari tugas? Kalian sudah coba tanyakan ke mereka kenapa tak datang?"
"Tidak, karena mereka tidak pernah datang, Meneer. Tapi saat awal bencana terjadi, kami mengadu untuk minta saran apa yang mesti kami lakukan ke mereka."
"Terus apa kata mereka?"
"Mereka bilang itu bencana, fenomena alam. Alam yang menginginkan, jadi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Sabar saja kata mereka, Meneer."
"COOOKKK! JANCOOOKK! KEPALA BAPAK ANG SABAR!"
Semua syok berat. Tak menyangka akan mendengar umpatan itu dari Tuannya yang berdarah Belanda tulen. Tuannya yang mereka kenal kejam memang tak segan-segan mengumpat. Jangankan mengumpat, memukul pun adalah hal biasa. Namun ketika mendengar umpatan yang dikeluarkan Tuannya hari ini justru menggunakan bahasa daerah pribumi, mereka sangat syok karena belum pernah terjadi.
"Ha--hans. Sab--sabar. Jangan pakai urat." Arabella yang ikut kaget sampai suaranya gemetar, coba menenangkan Hans kembali. Tapi caranya kali ini tak berhasil.
"Mana bisa sabar! Orang begitu jangan dikasih sabar, hantam langsung di tempat bagusnya!" timpal Alaska menggebu-gebu.
Balasan Alaska membuat Nasution tersenyum miring. Entah mengapa ia senang mendengar balasan dan emosi Alaska yang meledak-ledak. Sesuai ekspetasi.
"Kalau mereka tidak bisa kasih solusi, terus untuk apa aku rekrut mereka jadi ketua divisi? Orang gila pun bisa jawab begitu!"
"Iya, Hans. Tau-tau. Tapi, sabar, oke?" balas Arabella seadanya. Ia bingung mesti menanggapi seperti apa Hans yang sedang diselimuti amarah. "Hans, coba tarik napas dulu. Tenangkan diri."
"Tidak bisa, Bel, tidak bisa! Aku keesssaaaalll soalnyaaa!" ujar Alaska gregetan.
Sikap Alaska saat ini secara tak langsung menampakkan sosoknya yang memang masih remaja. Begitu yang dilihat oleh orang-orang di sana, terutama Nasution. Ia orang yang dari awal menyadari Tuan Belanda itu bertingkah seperti remaja awal saat marah.
"Bisa, Hans. Kau bisa. Ayo, ikuti aku. Tarik napas."
Alaska mengikuti perintah Arabella.
"Tahan... Buang..."
Alaska membuang napasnya perlahan. Saat Alaska sudah mengikuti seluruh perintahnya, Arabella mengulangi anjuran tadi sampai tiga kali dengan masih diikuti oleh Alaska.
"Sudah bisa sabar?" tanya Arabella memastikan lagi.
Alaska menganggukkan kepalanya berkali-kali dengan bibir cemberut. Lagi-lagi tingkah Alaska ini terlihat seperti remaja labil. Dan pada kenyataannya memang begitu. Alaska hanyalah seorang laki-laki berusia dua puluh satu tahun, namun dituntut menjadi dewasa tiba-tiba.
Fokusnya kembali Alaska tujukan ke seluruh pekerja.
"Upah kalian yang kasih mereka kan?"
Restu mengangguki pertanyaan Alaska. Setelahnya Alaska melontarkan pertanyaan lagi.
"Terus kenapa bulan kemarin kalian tidak dapat upah?"
"Itu..." ucapan Restu menggantung. Tampak pria itu ragu untuk berterus terang. "Mereka bilang kami tidak becus bekerja hingga pabrik mengalami kerugian besar, karena itu bulan kemarin kami sudah selayaknya tak mendapatkan gaji, Meneer."
"Mereka bilang begitu?" tanya Alaska tak menyangka. Melihat mata Tuannya yang sudah melotot-lotot, membuat Restu agak ngeri merespon. Restu pun hanya mengangguk singkat.
"NENEK KAU BANYAK NYIMENG, BILANG! HARUSNYA PAS DIA NGOMONG BEGITU LANGSUNG KALIAN TEMPELENG KEPALA DIA!"
"HAAANSSS, ASTAGAAA ANAK INI!"
"Aku kesal, Bel!"
"Kan sudah dibilang jangan pakai emosi!"
"Meneer, tenangkan diri dulu." sahut Sabina sembari menyentuh lengannya.
Alaska membuang napas sekaligus amarahnya. Ia diam sejenak untuk menenangkan diri. Setelah amarahnya reda, barulah Alaska bicara.
"Tadi kalian sedang gotong royong, kan?" tanya Alaska dan serentak pekerja Hans mengangguk. "Lanjutkan. Saya dan yang lain mau diskusi sebentar untuk mencari jalan keluar masalah ini. Setelah selesai saya akan panggil kalian kemari."
"Baik, Meneer." jawab para pekerja.
"Silakan meninggalkan tempat ini."
Para pekerja meninggalkan ruang pertemuan begitupun Alaska dan rombongan. Alaska mengajak rombongannya untuk naik ke ruang kerja. Di sana Alaska akan memulai diskusi.
Setibanya di ruang kerja, Alaska langsung menyender ke kursinya dengan menutup kedua mata. Keadaan Alaska yang terlihat kacau di tatap prihatin oleh orang-orang. Arabella yang khawatir lantas menoleh ke Sabina. Lewat tatapannya, Arabella minta Sabina untuk menanyakan keadaan Alaska.
"Meneer tidak apa-apa?"
"Capek, Sabina..." keluh Alaska masih dengan kedua telapak tangan menutup mata.
"Meneer mau kembali saja ke rumah peristirahatan? Supaya bisa istirahat."
"Jangan panggil saya Meneer lagi. Saya tidak mau jadi Meneer-Meneer. Saya tidak bisa jadi Meneer-Meneer."
"Terus kau mau jadi apa kalau bukan Meneer-Meneer?" tanggap Nasution sewot.
"Jadi ilalang saja. Cuma diam dan melambai-lambai mengikuti angin berhembus."
"Cepat mati kau kena makan sapi."
"AAAAAGGHH!" Alaska berteriak dalam keadaan wajahnya yang tertutup tangan.
Kesal melihat Alaska yang merengek, Arabella ambil tindakan. Ia berdiri dan langsung berjalan menuju kursi kerja. Dengan sekali tarikan, Arabella melepaskan tangan Alaska yang dari tadi menutup wajah.
"SUDAH! Berhenti mengeluh!"
"Kenapa kau yang jadi marah-marah, Bel?" tanya Alaska sebal.
"Karena dari tadi kau mengeluh, bukannya cari jalan keluar! Kau yang punya pabrik masa tidak bisa mikir jalan keluar demi kebaikan pabrikmu sendiri sih?"
"Karena emang pabrik ini bukan punya Alaska, Ma." jawab Alaska di batin.
Alaska membuang napas berat. Ia diam dengan tangan yang menopang kepala lesu. Alaska sudah berusaha mencari jalan keluar, tapi ia hanyalah seorang remaja berusia 21 tahun yang sebelumnya pun tak punya pengalaman di bidang bisnis. Ia cuma Mahasiswa semester 6 Hubungan Internasional.
"Tuan Hans."
Panggilan Cokroaminoto membuat Alaska mendongakkan kepalanya. Alaska menengok ke pria itu.
"Saya ada cara untuk menyelamatkan kebun, Tuan."
Seketika bibir Alaska tertarik membentuk senyum yang amat lebar. Kedua mata pria itu menatap Cokroaminoto penuh binar.
"Ini nih yang ditunggu-tunggu dari tadi! Menyalaaa, Guru Bangsakuuu!"
"Tapi..."
Lanjutan kata-kata Cokroaminoto spontan menghentikan kegirangan Alaska. Alaska membeku dengan perasaan was-was. Menunggu kalimat Cokroaminoto setelahnya.
"Cara saya ini membutuhkan tenaga dan biaya yang besar."
°°°
Bersambung...
Kesian Alaska. Bebannya berat banget. Mimpi apa semalam sebelum dia time travel ya? Dan semakin maju part semakin banyak juga misteri-misteri berdatangan. Wkwk cerita ini dimainkan oleh dalang yang mengerikan. Dalang yang tidak segan-segan menumpahkan darah demi ambisinya. Dan yang pasti ada dalang dibalik dalang. Tidak semudah itu menemukan dalang sesungguhnya di cerita ini. Kalian harus benar-benar teliti menebak.
Alaska: Iya woiii, tau gitu gue gabung timnas. Ntar foto gue banyak betebaran di sosmed diedit sama cegil-cegil gue dengan sound Baby by Me😞.
FAKTA SEJARAH!
1. Bentuk logo pertama Sarekat Islam gini ya gaes, begitupun benderanya. Pas pecah jadi SI putih dan merah, lambangnya pun ikut berganti.
Fakta Sejarah di part ini cuma satu gaes. InsyaAllah di part selanjutnya bakal ada fakta sejarah yang lebih banyak. Terima kasih bagi yang masih menunggu cerita ini. Maaf kalau sampai di part ini SACI masih banyak kurangnya. Dan juga tolong ramein cerita ini supaya saya makin semangaaatt ngetiknya. Lop yu tomat❤🍅.
❤Follow IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top