12. SACI - Sambutan Keraton Surakarta

Tolong jangan lupa tekan VOTE & RAMAIKAN LAPAK DENGAN MENGIRIM KOMENTAR TERBAIK KALIAN ALIAS YA ALLAH SAKIT KEPALAKU NENGOK KOLOM KOMENTAR SEPI KAYAK KUBURAN KERAMAT. Jujurly sudah diambang muak sama pertumbuhan pembaca cerita ini yang tambah episode bukannya rame tapi makin sepi🥲☝.

°°°

Menghabiskan waktu selama empat jam perjalanan, akhirnya Alaska beserta rombongan sampai juga di stasiun Solobalapan. Stasiun tertua yang sudah berdiri sejak tahun 1871 itu dinamakan Solobalapan karena berada dekat sekali dengan area pacuan kuda. Sebelum sampai di stasiun, Alaska sempat melihat area pacuan kuda tersebut. Pada masanya tempat itu sudah tak beroperasi.

Alaska turun seusai semua para wanita ia persilahkan lebih dulu keluar. Ia keluar sebelum Papanya dan setelah Cokroaminoto. Baru saja turun dari kereta, tiga orang laki-laki menghampiti mereka. Ketiganya serentak tersenyum ramah dan salah seorang menyapa.

"Selamat siang, Meneer Hans, Tuan Cokro."

"Siapa?"

Alaska mengamati lekat ketiga orang itu. Pakaian mereka serupa. Mengenakan baju hitam dengan blangkon di kepala selayaknya Cokroaminoto sekarang dan pria Jawa lainnya. Perbedaannya hanya pada motif. Sorot mata Alaska kemudian beralih ke arah dada. Dua di antara tiga orang itu mengenakan bros bewarna emas yang berlambangkan bulan, bintang, matahari dan bumi, sementara yang satunya tidak. Atribut lain yang tak luput dari perhatian Alaska adalah sebuah selempang kecil yang mengalung di leher mereka. Selempang itu bewarna dominan kuning cerah dengan pinggiran bewarna merah. Di ujung selempang itu menempel tiga pentol kecil kerincingan untuk masing-masing sisi dan di ujungnya terjurai rumbai-rumbai.

"Kami utusan Sunan Pakubuwono diperintahkan untuk menjemput Tuan sekalian." jawab pria yang sedang Alaska amati. Di sebelahnya, Cokroaminoto berceletuk.

"Ah, Abdi Dalem Keraton Kasusunan Surakarta?"

"Tuan kenal?" tanya Alaska langsung. Alaska terkejut Cokroaminoto tahu asal muasal orang-orang ini.

Kepala Cokroaminoto mengangguk. "Mereka adalah utusan Sunan Pakubuwono sepuluh, Tuan. Raja yang saat ini berkuasa di Keraton Surakarta. Mereka datang menjemput kita."

"Saya mengerti, tapi apakah mereka bisa dipercaya? Maksud saya, bagaimana Tuan tahu kalau mereka benar-benar utusan--- siapa tadi? Si Sunan-sunan Surakarta? Bisa jadi mereka hanya mengaku-ngaku untuk menjebak kita."

Seluruh kecurigaan yang Alaska muntahkan blak-blakan membuat semua orang tercengang. Langsung di depan orangnya Alaska terang-terangan menyatakan kecurigaan. Beberapa detik sempat tercengang juga, tak lama bibir Cokroaminoto mengembangkan senyum tipis.

"Tuan, kebanyakan orang memang sulit untuk dipercaya dan kita pun sejak kecil sudah diwanti-wanti orangtua untuk tidak sembarangan percaya terhadap orang lain. Saya maklum. Terlebih Tuan dibesarkan oleh bangsa yang sejak dulu sudah biasa mempermainkan kepercayaan orang."

Deg!

Alaska tersentak. Untaian kata-kata Cokroaminoto sempat menyentil lerung hatinya. Alaska rasa Mamanya pun merasakan hal demikian. Pasalnya saat Alaska lirik, mata Mamanya sempat membulat.

"... Tapi, Anda bisa menaruh rasa percaya itu kepada bangsa kami."

"Hanya untuk saat ini, tidak untuk kedepan."

Alaska tersenyum paksa. Ia cukup kecewa terhadap alasan Cokroaminoto yang amat sederhana. Andai Cokroaminoto tahu bahwa kata-katanya itu tidak semudah menaruh kepercayaan kepada bangsa ini kelak. Terlebih pada zamannya yang di mana para penjahat negeri berkeliaran tanpa diadili. Tikus-tikus berdasi mengisi kursi-kursi gedung yang seharusnya mewakili rakyat, tapi justru mematikan kepercayaan rakyat itu sendiri.

"Mari, Tuan." sahut Abdi Dalem utusan Keraton, memfokuskan kembali pandangan Alaska kepadanya.

"Saya tidak ada agenda dengan Kasunanan Surakarta. Saya datang untuk bertemu Residen yang bertugas di sini, Meneer van Wijk."

"Meneer van Wijk sudah menunggu kedatangan Tuan sekalian." balas Abdi Dalem itu mengejutkan Alaska. "Perintah penjemputan Tuan sekalian pun turun atas perintah Meneer van Wijk."

"Kenapa Meneer van Wijk malah di sana? Di surat saya tulis untuk minta kesediaannya bertemu di kediaman pribadinya."

"Untuk soal itu kami kurang tahu, tapi bagi Meneer van Wijk permasalahan pabrik Meneer dan Sarekat Islam tampak pelik, jadi Meneer van Wijk merasa mesti berdiskusi juga dengan Sunan Pakubuwono selaku pemangku kekuasaan Surakarta."

Alaska terdiam setelah mendengar penjelasan Abdi Dalem itu. Cukup lama terdiam, Alaska melirik ke Cokroaminoto yang rupanya juga tengah menatapnya. Sewaktu bertatapan, wajah Cokroaminoto seolah menyiratkan, 'lihat, benar bukan yang kukatan? Makanya kau jangan ngeyel. Orang ini memang utusan Keraton'.

Alaska membuang napas berat kemudian melontarkan perintah ketus.

"Hati-hati bawa barang-barang kami, terutama barang perempuan itu. Kalian akan berakhir dengan tragis kalau barangnya sampai rusak."

Serentak pandangan ketiga Abdi Dalem itu mengarah ke Arabella. Menerima tatapan yang amat dadakan itu membuat tubuh Arabella menegang. Kemudian seusai tatapan para Abdi Dalem terputus darinya, berganti Arabella yang menatap Alaska sinis.

Alaska melangkah lebih dulu. Kepergiaan Alaska seolah menjadi magnet rombongannya untuk ikut bergerak. Nasution yang berjalan di belakang Arabella mempercepat langkahnya hingga sejajar dengan perempuan itu.

"Padahal tadi ada waktu senggang sedikit, kenapa tak kau gunakan untuk memukul wajahnya?" Nasution berbisik tepat di kuping Arabella. Arabella mengusap risih kupingnya.

"Sebelum memukul wajahnya, kupukul dulu wajahmu, Nasution! Mau?"

"Galaknya yang tidak bisa duduk bersebelahan dengan Cokroaminoto."

Mata Arabella spontan melotot. Wanita itu langsung menghujami Nasution dengan cubitan-cubitan di sekujur tubuh. Bukannya kesakitan, Nasution malah cekikikan.

"Ih, kau ini! Masih dibahas-bahas masalah itu! Diamlah!"

"Lupakanlah pria itu. Kan kau sekarang sudah punya Hans. Kalian sebangsa, cocok!"

"Aku cekik ya, sekarang kau, Nas! Aku mau pulang, Nasution! Aku tidak punya takdir di masa ini maupun orang-orangnya!"

"Halah, kalau yang dijodohkan denganmu itu Cokro, kau sudah pasti mau menetap dan mati di sini."

"Ah, sudah! Aku tidak mau dengar! Orang gila kalau diladeni sekali makin menjadi!" Arabella berlari sembari menutup kuping. Ia mendahului rombongannya untuk menghindari Nasution.

Alaska menatap punggung Mamanya yang menjauh. Kepala Alaska menggeleng kecil. Alaska tahu betul sebab apa yang membuat Mamanya sampai kabur begitu.

"Papa kalo sehari gak ngerecokin Mama, meriang kali ya? Gak nyangka banget mereka yang bucinnya naudzubillah melebihi kucing musim kawin, pernah jadi Tom and Jerry pada masanya. Berantem mulu!"

"Tuan Hans."

Alaska menengok ke sebelahnya. Ternyata Cokroaminoto yang barusan menyapa.

"Ada apa? Apa ada sesuatu yang tak mengenakan bagi Tuan di Keraton Surakarta?

"Tidak ada." balas Alaska singkat.

"Lantas kenapa saya perhatian Tuan tampak berat hati untuk ke sana? Tuan mendadak bungkam."

Alaska menarik napas panjang. "Saya hanya lelah."

"Gue mendadak badmood anjer! Paham gak lo?"

Dalam keadaan saling mendiami, Alaska tiba-tiba teringat satu hal penting yang membuat ia otomatis bersuara. Sesuatu yang penting ini pun menghempaskan perasaan kesal Alaska tadi dengan menggantikannya menjadi rasa ingin tahu.

"Bagaimana Tuan Cokro langsung tahu kalau mereka benar-benar utusan Keraton?"

"Di awal mereka sudah memperkenalkan diri." Cokroaminoto berekspresi aneh. Pasalnya pertanyaan Alaska itu adalah pertanyaan yang tak perlu dijawab karena ia pun juga sama-sama dengar saat para Abdi Dalem memperkenalkan diri.

"Selain itu. Apa hal yang membuat Tuan yakin mereka benar-benar utusan Sunan Keraton Surakarta selain perkenalkan diri dan mesti menaruh kepercayaan ke bangsa ini?" Alaska menatap Cokroaminoto malas. Ia tahu isi kepala Raja Jawa tanpa Mahkota itu.

"Karena bros yang mereka pakai." jawab Cokroaminoto. Pikiran Alaska langsung tergambarkan bros yang telah ia lihat sebelumnya menempel di dada kanan mereka.

"Jika Tuan Hans perhatikan di bros itu terdapat gambar bulan, bintang, matahari dan bumi yang merupakan logo Keraton Kasunanan Surakarta."

Kepala Alaska spontan mengangguk-angguk sambil mulutnya membulat. Akhirnya ia tahu arti dari elemen-elemen angkasa yang menempel di bros mereka.

"Nama bros itu kalau saya tidak salah ingat adalah Sri Radya Laksana. Jika ditarik artinya, Radya adalah kerajaan dan Laksana adalah identintas. Maka ketika keduanya digabungkan akan memiliki makna lambang kerajaan." terang Cokroaminoto lebih lanjut. Bibir Alaska yang mulanya hanya membulat, sekarang mengeluarkan bunyi 'O' samar.

"Lambang-lambang seperti bintang, bulan, matahari, dan bumi itu secara spesifik ada artinya kah?" tanya Alaska, tidak hilang sampai disitu rasa penasarannya.

"Ada. Matahari memiliki arti manfaat tanpa mengenal pamrih, bulan yang berarti cahayanya akan menerangi kegelapan atas ketidapastian, bintang sendiri akan menjadi penuntun dari kegelapan itu atau makna lainnya adalah Tuhan Yang Maha Esa, dan bumi bermakna awal dan akhir kehidupan manusia."

"Bagaimana dengan padi dan kapas?" tanya Alaska lagi lebih penasaran sebab lambang itu mengingatkannya dengan sila kelima Pancasila.

"Sandang dan Pangan yang bermakna kesusilaan."

Alaska kembali mengangguk-anggukan kepala. Sedang membicarakan bros, Alaska jadi teringat dua orang di antara tiga Abdi Dalem itu tidak memakai bros. Hanya satu yang memakai, pria yang Alaska ajak bicara.

Untuk memastikan ingatannya, Alaska menoleh ke belakang. Menengok para Abdi Dalem yang mengekori mereka. Tapi, Alaska malah dibuat heran melihat hanya ada dua Abdi Dalem yang tengah mengikuti mereka. Pria yang Alaska ajak bicara yang memakai bros, dan yang tak memakai bros. Satunya lagi tidak ada. Abdi Dalem satunya lagi yang juga tidak memakai bros menghilang dari rombongan.

"Yang satunya lagi ke mana? Apa masih ambil barang-barang di gerbong? Tapi seinget gue gak ada barang yang ketinggalan deh. Semua barang yang ada di rak udah gue pastiin kosong."

"Ada lagi yang ingin Tuan tanyakan?"

Suara Cokroaminoto menyadarkan Alaska. Masalah tadi untuk sementara Alaska singkirkan. Fokusnya Alaska kembalikan dulu ke percakapan antara dirinya dan Cokroaminoto.

"Banyak sebenarnya." ungkap Alaska.

"Salah satunya dulu. Akan saya jawab satu persatu pertanyaan Tuan selagi kita berjalan hingga sampai ke luar."

Alaska tertawa kecil. Ucapan Cokroaminoto itu menandakan ia sedia menjawab segala pertanyaan Alaska, maka dari itu Alaska mengambil kesempatan emas ini.

"Kapan lagi bisa ngomong panjang kali lebar, kali tinggi, bagi sudut siku-siku sama Guru Bangsa. Lebih baik tahu dari sumbernya langsung ketimbang gue baca di ratusan halaman buku. Bikin sakit kepala!"

"Masih soal bros. Tuan Cokro bilang, bros melambangkan Identitas Kerajaan. Tapi, hanya satu Abdi Dalem yang mengenakan bros. Dua lainnya tidak. Maka tidak salah kecurigaan saya tadi soal mereka, bukan?'

"Ah, soal itu... Saya lupa menjelaskan satu hal. Disebut sebagai identitas kerajaan tujuan sebenarnya untuk itu, Tuan."

"Maksudnya?"

"Abdi Dalem yang memakai bros adalah Abdi Dalem yang sudah resmi didaulat oleh Keraton, sedangkan yang tidak pakai adalah Abdi Dalem pemula. Abdi Dalem magang."

"Ha? Hahaha!"

Tawa Alaska pecah. Ia tertawa lantaran istilah magang sudah dikenal di zaman ini.

"Apa lagi yang ingin Tuan tahu?"

Sorot mata Alaska mengarah ke atas. Sedang mengingat-ingat. Selain bros yang membuatnya penasaran karena memiliki komponen alam semesta, Alaska juga penasaran dengan selempang kecil yang mengalungkan di leher mereka. Warnanya yang terang mencolok penglihatan sewaktu mereka pertama kali datang.

"Selempang kecil yang mengalung di leher mereka. Itu apa?"

"Samir."

"Namanya Samir?" ulang Alaska tak menyangka. Kepala Cokroaminoto mengangguk membenarkan.

"Wadidaw, kayak nama orang."

"Ngomong-ngomong soal itu, Samir juga menjadi penyebab saya percaya dengan pengakuan mereka. Samir baru akan dipakai Abdi Dalem jika sedang mengembang perintah Sunan. Jika tidak, Samir akan di sampingkan ke belakang." terang Cokroaminoto.

"Termasuk Abdi Dalem magang juga?"

Cokroaminoto mengangguk. "Pembeda status mereka hanya berada di penggunaan bros."

Percakapan keduanya berhenti ketika telah sampai di depan kendaraan jemputan mereka. Mulut Alaska terbuka. Melongo tak percaya dengan apa yang ia lihat. Tiga buah kereta kencana disertai sepasang kuda untuk masing-masing kereta terparkir di hadapannya. Kereta kencana selayaknya yang pernah ia lihat di kartun-kartun kerajaan tontonan Kakaknya. Di kereta barisan kedua juga sudah ada Mamanya yang lebih dulu naik.

"What the fuck!" cetus Alaska spontan. Tatapan Alaska masih tak teralihkan pada kereta kencana di depannya.

"Silakan naik, Tuan-tuan. Kereta ini dikirim Sunan Pakubuwono untuk menjemput Tuan-tuan ke Keraton."

"Hah? Kita seriusan pergi pakai kereta kencana ini?" tanya Alaska tak percaya. Lagi-lagi Abdi Dalem yang sebelumnya ia ajak bicara menjawab.

"Betul, Meneer Hans. Sunan Pakubuwono telah menyediakan kencana ini khusus untuk menjemput Meneer Hans beserta rombongan."

"Di Keraton tidak menyediakan mobil kah?"

"Ah, kau ini dari tadi banyak protes." Papanya berceletuk, menarik perhatian seluruh pasang mata di sana. "Kalau dia mengeluh terus, kalian tinggalkan saja dia. Dia tidak mau naik delman, maunya naik jabatan."

"Heh!" Alaska berkacak pinggang marah. Nasution membalas tatapan marah itu dengan tatapan sombong.

"Beginikah kedua orangtuamu mengajarimu sopan santun? Masih untung Sunan itu mau menjemputmu." Nasution kemudian merendahkan suaranya. "Entah kau sudah mendapatkan pengetahuan dasar ini atau tidak dari Ayahmu, tapi biar aku beritahu secara sukarela. Dunia tak selamanya tertuju kepadamu. Jika kau tak pernah menghargai kebaikan orang lain, maka kejahatanlah yang akan berdatangan padamu."

Setelah memberi petuah, Nasution berlalu menuju kencana barisan kedua. Ia langsung menduduki bagian kosong yang ada di sana, tak memperdulikan ocehan protes dari Arabella.

"Apa sih? Papa marah-marah gak jelas mulu." oceh Alaska pelan.

"Saya duluan Tuan Hans."

Alaska tersenyum mempersilahkan Cokroaminoto bersama istri naik ke kereta barisan ketiga. Alaska lalu melangkah mendatangi Sabina. Telapak tangan kanannya kemudian terulur.

"Duduk sama saya."

"Apa tidak sebaiknya yang duduk dengan Meneer itu Mevrouw Arabella?"

"Dan kamu duduk dengan Nasution?"

Sabina tersentak dan langsung menggeleng kecil. Ia menundukkan kepala dalam-dalam. Merasa ucapannya tadi menyinggung perasaan Tuannya.

Alaska menghela napas. Tak lagi meminta persetujuan Sabina, Alaska langsung menggenggam erat tangan wanita itu untuk ikut bersamanya duduk di kereta kencana.

°°°

Alaska terperangah sejak melewati gerbang Keraton. Bangunan yang sedang ia lihat sekarang walau bukan gedung tinggi menjulang seperti di zamannya, tapi terlihat berkelas dengan corak dan arsitekturnya yang rumit. Lingkungan sekitar yang banyak dipenuhi pepohonan dan bunga membuat suasana sekitar menjadi asri. Aroma bunga pun hilir-mudik melintasi penciuman Alaska. Sumber aroma itu Alaska yakini berasal dari bunga-bunga yang tengah bermekaran di sini.

Selain lingkungan yang asri, fokus Alaska juga terbagi kepada Abdi Dalem yang banyak melintas di sekitar Keraton. Alaska perhatikan mereka tampak sibuk. Beberapa barang tak luput mereka bawa saat melintas. Seluruh Abdi Dalem yang Alaska lihat mengenakan Samir di lehernya.

"Pantes mereka keliatan sibuk. Lagi ngerjain tugas dari Raja."

Semakin masuk lebih dalam ke area Keraton, Alaska menemukan Abdi Dalem pria tengah bertukang. Mereka tampak mendirikan pondasi. Di arah lain, pendengaran Alaska menangkap sebuah suara denting gamelan. Alaska spontan menengok ke sana. Ada para Abdi Dalem juga di bagian itu sibuk mengotak-ngatik instrumen musik dan membersihkan perwayangan.

"Fiks, Keraton lagi nyiapin acara. Tapi, apa? Kayaknya seru. Mau ikutan deh. Kira-kira gue---maksudnya Hans bakal diundang gak ya? Masa gak diundang? Meneer Belanda berpengaruh nih, Bos!"

Kereta berhenti di depan bangunan yang paling lebar dan luas dari yang lain. Area Keraton di penuhi oleh bangunan-bangunan yang terpisah. Semacam rumah pendopo. Bangunan besar di depannya ini Alaska tebak sebagai bangunan utama. Pasalnya arsitekturnya paling mencolok di antara yang lain. Juga, terdapat lambang kerajaan berukuran besar terpampang di atas atap bangunan.

"Kediaman Raja atau aula? Buset! Gede banget Keraton Surakarta! Gue sih pernahnya masuk ke Keraton Jogja sama Papa, kalo Surakarta belom. Ini first time. Gila, gila! Gedean Keraton Jogja atau Surakarta?"

Alaska turun dari kereta kencana. Alaska tak langsung beranjak. Ia malah berjalan memutar menuju ke sisi Sabina. Selayaknya di stasiun, Alaska kembali mengulurkan tangan. Membantu Sabina untuk turun. Kali ini, Alaska menadahkan tangannya dengan senyuman manis dan badan sedikit menunduk. Persis seperti Pangeran yang menyambut kedatangan Tuan Puteri.

"Selamat datang, Lady Sabina. Silakan turun dengan hati-hati."

Sabina mengulum senyum malu. Ia belum menyambut uluran tangan Alaska. Wanita itu masih duduk di tempat.

"Meneer, saya bisa turun sendiri."

"Eits! Tidak ada penolakan! Perempuan cantik memang sepantasnya mendapatkan pelayanan dari laki-laki tampan." Alaska kembali mengambil telapak tangan Sabina seperti di stasiun, lantaran perempuan itu tak kunjung menyambut uluran tangannya.

Setelah Sabina turun dari kereta, Alaska tiba-tiba berceletuk.

"Saya minta maaf."

Alis Sabina mengerut. Tidak mengerti maksud Tuannya yang minta maaf tiba-tiba.

"Saya minta maaf atas ucapan saya ke kamu yang kurang mengenakan waktu di stasiun. Nada bicara saya sempat ketus. Suasana hati saya mendadak tidak enak. Seharusnya saya bisa kendalikan diri, bersikap profesional. Sekali lagi, maaf. Tidak bermaksud menjadikan kamu sasaran amarah."

Sabina diam coba mengingat-ingat kejadian yang Tuannya maksud. Sabina tidak tahu pasti, namun Sabina rasa kejadian sebelum mereka naik kereta yang sedang Tuannya bahas.

"Tidak apa, Meneer. Tidak ada yang salah. Sama sekali saya tidak tersinggung. Saya maklum terhadap perasaan manusia. Hal yang mudah berubah-ubah. Saya juga mengerti, Meneer pasti sedang lelah makanya perlu diam dulu sejenak."

Alaska mengangguk mantap.

"Baguslah."

Perhatian Alaska dan Sabina teralihkan ketika tiba-tiba Cokroaminoto datang menghampiri. Pria itu membicarakan hal yang sama dengan isi pikiran Alaska di awal.

"Sepertinya Keraton akan mengadakan acara."

"Saya juga berpikir demikian. Tuan tahu acara apa itu?"

"Kali ini saya tidak bisa menebak. Keraton Surakarta banyak menggelar acara."

"Hei, Hans! Kelewatan sekali kau!"

Arabella datang, membuat obrolan kedua pria itu terputus. Dengan berapi-api, Arabella yang baru saja datang memuntahkan amarahnya yang tertahan selama di perjalanan.

"Sebenarnya yang calon istrimu itu aku atau perempuan ini?" Arabella menunjuk Sabina murka. "Kenapa kau malah memilih duduk bersamanya, sementara kau meninggalkanku dengan pria lain? Kurang ajar memang kau ini, Hans! Semua pria sama saja!"

"What the hell! Nih ceritanya gue lagi dilabrak Mak gue kah? Mama marah karena cemburu atau kesal karena duduk berdua lagi sama Papa? Sampe segitunya."

"Tunggu, apa? Calon istri? Kalian akan menikah?" Cokroaminoto menatap Alaska dan Arabella bergantian. Wajah Arabella menegang. Amarah yang sudah diubun-ubun membuat fokus Arabella kepada kehadiran Cokroaminoto luput.

"Rencana itu sudah lama. Tuan Cokro baru tahu sekarang?" Nasution ikut nimbrung. Tiba-tiba sudah berdiri di belakang Arabella sambil memegang kedua pundak wanita itu.

Alaska menyipitkan matanya ke arah Papanya yang tengah tersenyum sombong.

"Mulai..., kompor. Demi Allah, Papa pembawa kayu bakar banget deh. Seseorang tolong selamatin gue dari drama ikan terbang ala-ala!"

Doa Alaska rupanya dikabulkan oleh Tuhan. Abdi Dalem yang ia ajak bicara menghampiri. Otomatis menghentikan perdebatan sebelum dimulai.

"Tuan-tuan. Sunan Pakubuwono dan Meneer van Wijk sudah menunggu di dalam."

Segera setelah mendengar ajakan itu, Alaska dan rombongan berjalan mengekori Abdi Dalem menuju pendopo besar di depan mereka. Namun belum sempat kaki Alaska menginjak anak tangga pertama, Abdi Dalem itu menginstruksikan suatu hal.

"Dadi wong Jawo, kowe ngerti kan kudu opo yen pengin madhep Raja? Opo maneh status kowe endhep (Sebagai orang jawa, kamu tahu kan harus apa kalau ingin menghadap Raja? Apalagi status kamu rendah)"

"Nggih."

Mata Alaska melirik Sabina dan si Abdi Dalem bergantian. Situasi di antara kedua orang itu tampak tak mengenakan menurut sudut pandang Alaska yang berdasarkan tatapan si Abdi Dalem saat melihat Sabina dan kepala Sabina pun menunduk mematuhi dengan hormat perintah tersebut.

Alaska yang sudah lumayan lama menjadi Tuan Sabina lantaran menumpang di tubuh Hans, tahu betul jika Sabina menundukkan kepala begitu berarti ada suatu perintah yang tak bisa ia tentang. Ada suatu tekanan. Namun karena kedua orang itu berdialog menggunakan bahasa Jawa, Alaska jadi tak mengetahui isi percakapan mereka.

"Lagi ngomong apa kalian? Tolong ya! Di sini ada bermacam orang yang berasal dari tempat berbeda-beda. Ada Belanda, Jawa, dan Sumatera. Jadi, gunakan bahasa yang dapat semua pihak pahami." oceh Alaska yang membuat situasi berbalik. Ekspresi wajah si Abdi Dalem yang sekarang tampak ketakutan. Kepala Abdi Dalem itu langsung tertunduk.

Alaska menatap lekat Abdi Dalem tersebut, tapi ia masih diam tak berkutik. Padahal Alaska sudah menunggu penjelasan orang itu.

Alaska berdecak.

"Oke, sebagai jalan tengah. Ulang omongan kamu tadi dengan bahasa Melayu, seperti yang saya ucapkan sekarang. Atau mau pakai bahasa Inggris? Bahasa apa maunya biar sama-sama enak, Abangkuh? Tinggal bilang, Abangda. Saya bisa semua bahasa termasuk bahasa alien, araso? Ara-ara!"

Semua orang serentak melirik satu sama lain dengan mata memicing. Ucapan terakhir yang keluar dari mulut Alaska tadi terdengar aneh bagi mereka.

"Kenapa masih diam?" sentak Alaska galak.

"Saya bisa bantu jelaskan, Tuan Hans." sahut Cokroaminoto. "Ada satu tradisi yang berlaku di seluruh kerajaan pulau Jawa. Laku Dodok namanya. Tradisi yang mengharuskan seseorang berjalan jongkok apabila ingin menemui Raja."

"I see, yang kayak di film Kartini." batin Alaska, teringat salah satu scene di mana Aktris yang memerankan sosok Kartini mesti berjalan sambil jongkok saat hendak menemui Ayahandanya.

"Tapi, kenapa hanya Sabina? Kita semua juga ingin bertemu Raja."

"Bukan hanya perempuan ini, tapi laki-laki itu juga." sela Abdi Dalem mengintrtupsi rasa heran Alaska.

Sadar laki-laki yang dimaksud adalah dia, Nasution segera ambil tindakan. Dengan ketus Nasution menolak dan lantas melenggang pergi.

"Sekeno muncung kau bae. (Sesuka omonganmu saja)."

Alaska menatap punggung Papanya yang menjauh. Bahasa yang Papanya gunakan tadi berhasil membuat Alaska terkekeh sejenak. Sudah lama ia tak mendengar Papanya menggunakan bahasa daerah asal tempatnya tinggal, yakni Jambi. Alaska mengapresiasi tindakan Papanya meski pada zaman ini terbilang salah, tapi Papanya lahir di saat Indonesia merdeka. Ia adalah seorang Patriot. Pantang di perintah manusia kecuali untuk kepentingan Negara.

"Tuan Nasution mau ke mana?" tanya Cokroaminoto kepada Arabella.

"Tak perlu dipikirkan. Dia akan kembali setelah urusan kita selesai di sini. Makhluk merdeka seperti dirinya tak bisa diperintah."

"Pendirian saya masih sama. Saya tidak mengizinkan kamu memerintah perempuan di sebelah saya." Alaska bersidekap dada dengan dagu terangkat sombong.

"Tapi, Meneer Hans, ini memang sudah aturan Keraton."

"Aturan Keraton ya, aturan Keraton. Tapi, perempuan ini milik saya, jadi dia ikut aturan saya." Alaska memberi penekanan di kata 'milik', membuat jantung Sabina tersentak.

Adu mulut antara Alaska dengan Abdi Dalem itu rupanya sampai ke pendengaran Sunan Pakubuwono dan Meneer Van Wijk yang menunggu di dalam pendopo. Mereka pun lantas keluar mendatangi tempat suara perdebatan berasal.

"Wonten punopo? (Ada apa ini?)"

Alaska menoleh ke bariton seorang pria yang baru saja bertanya. Berdiri dua orang pria di depan pintu masuk pendopo. Pertama kali bertatapan, hal pertama yang Alaska sorot adalah cara berpakaian kedua orang itu. Yang satunya berpakaian jas hitam dengan hiasan bordir bunga keemasan. Setelan bawahnya ia memakai rok kain jarik motif Parang Kusumo. Sorot mata Alaska kemudian beralih ke bagian atas. Kepala pria itu menggunakan sebuah topi yang pernah dipakai oleh Raja Keraton Jogja sewaktu ia ikut bersama Papanya dalam kunjungan resmi TNI.

"Nih orang pakai Kuluk. Fiks, dia Rajanya." batin Alaska langsung dapat menebak.

Alaska lalu beralih ke pria yang berdiri di sebelah Sunan Pakubuwono. Sama seperti sebelumnya, Alaska juga mengamati penampilan pria yang sebenarnya sudah ia duga sebagai Meneer Van Wijk. Tampak jelas dari wajah pria itu yang Eropa Tulen. Pakaian orang itu pun serupa dengan Alaska sekarang.

"Nuwun sewu Gusti Prabu. Wonten sakedhik masalah. Meneer Hans nolak babunipun nglampahaken tradisi laku ndhodhok. (Mohon maaf, Gusti Prabu. Ada sedikit masalah. Tuan Hans menolak Babunya menjalankan tradisi jalan jongkok)."

"Gunakan bahasa yang bisa dipahami! Sudah saya bilang sejak awal!" bentak Alaska menggelegar. Semua Abdi Dalem yang berada di sekitar halaman sampai serentak menoleh ke arahnya.

"Saya mengerti! Sangat mengerti itu adalah sebuah tradisi. Tidak ada niatan dalam hati saya untuk melanggar tradisi tersebut. Di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung, saya paham! Saya yang bukan orang sini mesti manut aturan. Tapi, kenapa hanya diberlakukan kepada seseorang? Jika benar demikian ini tradisi, kami semua yang datang juga haruslah melakukan."

Kepala Sunan Pakubuwono mengangguk berkali-kali dengan gagahnya. Kemudian, Sunan Pakubuwono pun membalas ucapan Alaska menggunakan bahasa Melayu fasih.

"Benar, dahulu saat VOC masih berkuasa, siapapun utusannya juga akan berjalan jongkok apabila hendak menemui Raja saat itu. Sultan Agung, Raden Mas Rangsang, salah satu Raja Mataram. Tapi, itu terjadi pada saat negeri ini masih direngkuh oleh sistem Kapitalis. Di mana bangsa Tuan masih menginginkan keuntungan dari kami. Namun sekarang sudah berubah. Masa kolonial menyebabkan tradisi itu hanya diberlakukan untuk pribumi yang berstatus rendah. Ini tak ubah seperti kesempatan pendidikan dan kesehatan yang pribumi dapatkan."

Alaska tertegun. Penjajahan ternyata amat berdampak bagi kehidupan manusia. Bahkan seorang Raja dibuat tak punya kuasa atas teritoralnya sendiri. Gelar Raja hanya sebatas gelar. Kekuasaan sesungguhnya sudah beralih ke pemerintahan Belanda sejak VOC runtuh.

Sorot mata Alaska melirik ke Van Wijk yang sedari tadi diam menyimak. Seolah tahu apa yang sedang Alaska pikirkan, barulah Van Wijk bicara.

"Het heeft geen zin om de nederige Inlanders te verdedigen. (Tak ada gunanya membela Inlander rendahan)"

Tangan Alaska terkepal kuat mendengar kalimat itu. Napas Alaska sampai dibuat memburu lantaran menahan amarah dalam dirinya yang menggebu-gebu. Namun, dua wanita yang berarti dalam hidup Alaska berhasil memadamkan kobaran amarah tersebut. Mamanya menggeleng pelan. Memberi kode agar Alaska tak bertindak makin gegabah. Sementara Sabina menyentuh pelan lengannya.

"Meneer, tak apa. Saya sudah biasa melakukannya. Anggap saja ini memang tradisi yang mesti saya lakukan sebagai seorang pribumi."

"Cokroaminoto dan istrinya juga pribumi, tapi mereka tak melakukannya."

"Bagaimanapun mereka berasal dari keturunan darah biru, sebab itu Tuan Cokro dan Istri pantang melaksanakannya."

Alaska masih tak kunjung bereaksi. Ia tetap pada pendirian semula, hingga pada akhirnya Cokroaminoto yang menasehati.

"Tuan Hans, tak guna sekarang bersikap idealis. Terkadang memang kita mesti mundur beberapa langkah agar dapat melompat lebih jauh. Mengalah untuk hasil yang besar tak membuat diri kita rendah. Boleh saja status Raja melekat di Sunan Pakubuwono, namun yang punya kuasa sesungguhnya adalah Van Wijk. Dan dari awal pun tujuan kita adalah menemui Van Wijk. Jadi, ikuti saja maunya Tuan, agar urusan kita dan Van Wijk mudah."

"Tapi, Sabina--"

"Sabina sudah bilang ia tak masalah, jadi, Tuan tak perlu khawatir. Anggap ini adalah tradisi murni, bukan sebagai pembeda status maupun jabatan seseorang."

Setelah dinasehati tiga orang sekaligus, akhirnya ego Alaska melunak. Ia memilih mengalah dalam perdebatan. Merelakan Sabina melaksanakan tradisi Laku Ndhodhok. Namun sebelum beranjak ke dalam Pendopo, Alaska berpesan kepada Sabina sambil mengusap lembut pipi perempuan itu.

"Kalau merasa kakinya sakit, tak perlu dilanjutkan. Berhenti. Duduk saja, ya!"

Usapan singkat di pipinya memberi dampak besar bagi konsentrasi Sabina. Untuk beberapa saat Sabina seolah tersihir yang membuat ia hanya mampu mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata. Orang-orang yang menyaksikan juga bereaksi tak kurang dari Sabina. Mata mereka melotot dengan mulut melongo.

"Apa?" Alaska menatap datar orang-orang di hadapannya. "Baru saya usap pipinya, kalian sudah kaget. Belum saya cium."

Kalimat terakhir dari Alaska barusan tambah memicu reaksi syok orang-orang. Sedangkan Alaska tampak biasa saja, berjalan mendahului Sunan dan Van Wijk melangkah ke Pendopo.

Sabina mulai melaksanakan tradisi Laku Ndhodhok. Bersamaan dengan para Abdi Dalem perempuan yang membawa hidangan, Sabina berjalan perlahan sambil berjongok memasuki Pendopo. Alaska sempat berhenti tak jauh dari kursi pertemuan. Ia menoleh sedikit ke belakang. Terlihat Sabina masih jauh tertinggal. Pendopo yang berbentuk persegi panjang ini amat panjang menjulang ke depan, membuat perjalanan seseorang terbilang cukup jauh.

"Sengaja banget kayaknya milih bangunan ini buat pertemuan. Awas kalo sampe kaki Sabina pegel, gue kokop ubun-ubun lo Van Wijk." gumam Alaska geram.

Alaska hendak menoleh kembali ke depan, namun tak sengaja ekor matanya menangkap seseorang yang ia kenal. Orang itu berjalan mengendap-endap masuk ke dalam ruangan salah satu bangunan yang ada di arah kirinya.

"Abdi Dalem yang ngilang di stasiun! Kok dia udah nyampe sini aja? Buset! Gercep bener! Mustahil nyampenya cepet modal pakek kereta kuda doang. Dari mana aja tuh orang?"

Alaska masih memperhatikan ruangan yang baru saja dimasuki Abdi Dalem sambil otaknya mengingat-ingat. Saat masuk, Alaska ingat Abdi Dalem itu menenteng sesuatu di tangan kirinya. Namun karena terhalang oleh tubuh, Alaska jadi tak tahu benda apa yang Abdi Dalem itu bawa.

"Meneer Hans."

Panggilan Sunan Pakubuwono menyadarkan Alaska. Alaska menoleh dan tertegun saat mengetahui semua orang sudah menunggunya di kursi pertemuan. Dengan segera Alaska berjalan cepat menyusul. Menyebabkan fokusnya kepada Abdi Dalem di ruangan tadi buyar.

Alaska mengambil posisi duduk diapit oleh Cokroaminoto sebelah kanan dan Mamanya sebelah kiri. Sementara Sunan Pakubuwono dan Van Wijk duduk di seberang. Sabina yang sudah sampai dari tadi diarahkan untuk duduk di lantai bersama barisan para Abdi Dalem.

"Terima kasih atas hadiahnya Meneer Hans, Tuan Cokro. Sangat indah. Semoga Tuan berdua juga suka hadiah pemberian saya. Para Abdi Dalem sudah langsung saya tugaskan untuk menaruh hadiah-hadiah Tuan sekalian di rumah peristirahatan."

Alaska memaksakan seulas senyum menanggapi ucapan basa-basi Sunan Pakubuwono yang membahas perihal hadiah kiriman darinya. Sebuah porselen yang ia pesan dari pedagang China. Cokroaminoto bilang apabila hendak berkunjung ke Keraton, haruslah membawa buah tangan. Alaska sudah tahu tradisi itu, karena di zamannya tradisi serupa merupakan tata krama yang telah diadopsi oleh orang masa depan. Namun Alaska tak sangka jika buah tangan yang dimaksud harus berbentuk barang. Pada zamannya buah tangan yang ia bawa berupa makanan.

"Sunan telah menyiapkan tempat penginapan khusus untuk Meneer Hans dan Tuan Cokro selama berkunjung di Surakarta." celetuk Van Wijk menambahkan.

"Saya mendapat kabar dari Meneer Van Wijk kalau Meneer Hans akan berkunjung ke Surakarta. Tentu merupakan suatu kehormatan bagi saya bisa menyambut Tuan dan hanya rumah penginapan sederhana yang mampu saya persembahkan untuk Tuan-tuan."

Lagi, Alaska hanya tersenyum membalas. Peristiwa Laku Ndhodhok membuat Alaska malas banyak bicara dengan orang-orang sini.

"Meneer Idenburg menitipkan Putranya ke saya, jadi saya berusaha untuk menyambut Meneer Hans sebaik mungkin. Salah satunya mengajak kesediaan pihak Keraton dalam menyambut kedatangan Tuan-tuan." sambung Van Wijk yang salah satu kalimatnya terasa janggal bagi Alaska.

"Tunggu. Van Wijk bilang Idenburg nitipin gue ke dia? Jadi, Idenburg tahu gue dan Cokroaminoto bakal datang hari ini? Perasaan gue gak ada ngasih tau dia deh, kapan gue dan Cokroaminoto bakal ke Surakarta. Idenburg cuma tahu gue mau ngajak Cokroaminoto kerjasama meluruskan permasalahan di Pabrik Surakarta. Tapi, kalo soal waktu keberangkatan, gue gak ada bilang apapun ke tuh orang."

"Kebetulan sekali, kedatangan Meneer Hans dan Tuan Cokro bertepatan dengan peringatan Wilujengan Hadeging." tutur Sunan Pakubuwono yang langsung dibalas Cokroaminoto.

"Oh, sekarang sudah 17 suro? Pantas saya lihat di luar Abdi Dalem banyak punya kesibukan."

"Belum, tapi tiga hari lagi. Jadi, saya harap Meneer Hans dan Tuan Cokro berkenan tetap tinggal sampai perayaan Keraton kami terselenggara."

"Bahas apa ini?" bisik Alaska kepada Cokroaminoto.

"Wilujengan Hadeging. Sebuah pesta selamatan menyambut hari lahirnya Keraton Surakarta yang diperingati setiap tanggal 17 suro."

Tanpa komentar lebih lanjut, kepala Alaska mengangguk berkali-kali. Di sebelahnya, Arabella dengan mata berbinar mendekatkan tubuhnya sambil mengguncang kecil lengan Anaknya.

"Hans! Ada pesta, kan? Kita pergi, ya? Ya? Ya? Ya? Aku mau menghadiri pestanya, pasti banyak makanan enak-enak."

Alaska tersenyum simpul melihat tingkah Mamanya yang memohon bak Anak kecil.

"Kau mau menghadiri pesta itu karena tergiur dengan makanannya? Itu saja, Bel?"

"Tidak juga sih. Biasanya acara orang-orang Jawa akan menghadirkan Wayang, Kuda Lumping, Tarian dan Sinden. Bagus, Hans! Bakal meriah! Kita harus pergi!"

"Iya, iya, kita pergi."

"Wah, terima kasiiihh, Hans!" Alaska spontan memeluk lengan kiri Hans saking bahagianya.

Tingkah sejoli ini tentu tak lepas dari tatapan semua orang yang ada di sana. Beragam tatapan ditunjukkan orang-orang. Van Wijk dan Pakubuwono yang berekspresi aneh, lalu Cokro dan Istri yang tersenyum maklum. Namun di antara itu semua, ada satu orang yang berekspresi sangat jomplang. Sabina yang duduk di antara para Abdi Dalem menundukkan kepalanya dalam-dalam setelah melihat adegan tadi. Ia meremas kain jariknya kuat-kuat.

"Terima kasih Meneer Hans, sudah bersedia hadir di agenda kami nanti." ujar Sunan Pakubuwono.

"Kami juga berterima kasih atas sambutan Keraton Surakarta yang repot-repot menyediakan tempat penginapan selama kami di sini." timpal Cokroaminoto mewakili Alaska yang malas bicara.

"Kami senang dilibatkan membantu urusan Meneer Hans dan Tuan Cokro. Kalau butuh apa-apa lagi, Meneer dan Tuan Cokro bisa menghubungi saya kapan saja."

"Betul, kami masih membutuhkan bantuan kalian." celetuk Alaska yang pada akhirnya masuk dalam obrolan. "Awalnya saya cuma butuh bantuan Meneer Van Wijk. Tapi, karena Sunan dan Keraton bersedia membantu, kenapa tidak saya gunakan?"

Alaska diam sejenak menatap kedua petinggi Surakarta yang duduk di hadapannya. Kemudian perlahan Alaska menyunggingkan senyuman.

"Kami butuh bantuan kalian untuk mengkoordinir pribumi, orang Eropa, Belanda, maupun Indo untuk berkumpul mendengarkan pidato kebenaran yang akan disampaikan Cokroaminoto setelah kami menyelesaikan masalah di pabrik. Supaya tidak ada lagi kesalahpahaman di antara banyak pihak. Termasuk menutupi celah bagi pihak yang ingin mengambil keuntungan dari permasalahan ini."

Senyuman Alaska kian mengembang ketika sorot matanya mengarah ke Van Wijk. Dapat Alaska lihat rahang pria paruh baya itu mengeras.

°°°

Alaska menatap hampa pemandangan yang sekarang tengah tersaji di hadapannya. Cokroaminoto dan rombongannya yang lain juga berekspresi tak jauh beda dengan dirinya. Mereka cengo. Seakan nyawa mereka direnggut paksa oleh Tuhan hingga menanggalkan tubuh saja. Pemandangan pertama yang Alaska dapati setiba di kebun Pabrik melenceng jauh dari dugaan.

"What the... Hell,"

Seluruh kebun kopinya luluh lantah dengan tanah yang becek penuh lumpur seperti habis dihantam badai. Kebun kopi Alaska di Pabrik Surakarta porak-poranda.

°°°

Bersambung...

Dalam satu hari Alaska dapat sambutan yang buat dia kaget sampe badmood. Semoga gak rugi bandar, ya, Las. Siap-siap pusing menjalankan tugas seorang Meneer Pabrik😌🤣.

FAKTA SEJARAH!

1. Kasunanan Surakarta
Keraton Surakarta Hadiningrat atau Keraton Surakarta adalah istana resmi Kesunanan Surakarta Hadiningrat yang terletak di Kota Surakarta. Keraton ini didirikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II sekitar tahun 1743-1744 sebagai pengganti Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan pada tahun 1743.

2. Abdi Dalem
Abdi Dalem itu Pembantu Kerajaan yang bertugas menjaga ruang pusaka, menyiapkan perlengkapan upacara, serta menyiapkan keperluan Sri Sultan, Permaisuri, dan Putra-putri Sultan yang tinggal di dalam keraton.

3. Atribut Abdi Dalem: Bros Sri Radya Laksana dan Samir bisa dibaca di foto ini ya. Sumber dari jurnal artikel.

Samir

Bros Sri Radya Laksana


4. Sunan Pakubuwana X beserta Atribut Raja. Dalam penggambaran cerita saya, gak sedikit pun saya buat Pakubuwono X itu lemah dan tak berdaya. Ini masih awal pertemuan kita ke beliau. Nanti pada suatu episode dan kesempatan, akan saya ceritakan betapa power fullnya Pakubuwono X ini. Salah satunya organisasi pergerakan macam Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam dapat bantuan besar dari Sunan Pakubuwana X pada masa itu. Terus, Kasunanan Surakarta adalah satu-satunya wilayah yang berani mengibarkan bendera merah-putih atas perintah Sunan Pakubuwana X.

5. Residen Van Wijk
Beliau nyata ya say, beneran seorang Residen Surakarta yang menjabat pada tahun 1909 sampai 1914. Untuk foto pelaku sejarah gak ketemu.

6. Laku Ndhodhok atau jalan jongkok dilakukan oleh seseorang yang dianggap lebih rendah derajatnya di hadapan orang yang dianggap lebih tinggi derajatnya. Abdi dalem di setiap keraton maupun puro di Jawa masih melakukan tradisi ini.

7. Cokroaminoto dan Istri Darah Biru. Keduanya berasal dari keluarga priyayi, keluarga ningrat. Makanya tradisi Laku Ndhodhok tidak dilakukan pasangan suami-istri itu, karena kasta mereka sudah setara Pakubuwono X.


8. Wilujengan Hadeging adalah pesta rakyat. Semacam perayaan hari ulang tahun tapi dalam konteks kerajaan. Untuk lebih lengkap bisa baca di sini ya!

Segitu aja FAKTA SEJARAH yang dapat saya sampaikan di part ini. Lebih kurangnya, saya mohon maaf. Dan terima kasih kepada Readers yang telah memberikan vote serta komentar. Komentar kalian tuh buat SEMANGAATTT JADI RAMEEIIINN!

Follow IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top