11. SACI - Perjalanan Menuju Surakarta

Mohon maaf lahir batin sudah buat kalian menunggu lama. Tidak bermaksud menelantarkan cerita ini, hanya saja penulisnya sudah memasuki semester akhir. Mohon dimaklumkan dan didoakan kelancaran pengerjaan skripsweet-nya.

Sebelum baca jangan lupa VOTE & ramaikan part ini dengan komentar kalian yang seru-seru. Monoton banget tiap liat kolom komentar sepi kayak kuburan. Masa penulis gak dapat feedback sih?

°°°

Pada akhirnya Nasution gagal menangkap orang yang ia duga sebagai Resitor. Pria itu lenyap ditelan oleh kerumunan. Namun kejadian yang demikian sudah biasa bagi Nasution. Justru dengan hilangnya pria itu secara misterius semakin menguatkan dugaan Nasution bahwa pria tadi memang Resitor. Sebab lenyap secara mendadak adalah keahlian biasa seluruh Resitor dalam hal mengelabui.

Alaska menatap penuh tanda tanya orangtuanya yang baru sampai. Pasalnya mereka sempat berhenti di tengah jalan. Membuat pikiran Alaska disinggahi banyak pertanyaan sebab yang membuat mereka diam di tengah-tengah kerumunan. Seakan sedang mencari sesuatu.

"Ada sesuatu yang terjadi? Kenapa kalian lama di sana?"

"Oh itu---" penjelasan Arabella menggantung tiba-tiba. Matanya melirik ke Nasution, membuat kecurigaan Alaska semakin bertambah.

"Kunci rumah Arabella jatuh, jadi kami mencarinya dulu." tukas Nasution mengambil alih.

Meski terbilang logis, alasan Papanya itu tentu tak Alaska percayai mentah-mentah. Dalam lubuk hatinya Alaska masih merasa curiga, namun rasa curiganya itu tak ia perpanjang. Alaska memilih untuk menyimpan kecurigaannya.

"Begitu..." Alaska mengangguk kecil berkali-kali. Sorot matanya kemudian beralih ke Mamanya setelah sebelumnya sempat terkunci ke Papanya. "Lalu kunci rumahmu sudah ketemu atau tidak, Arabella?"

"Sudah kok. Ini." Arabella menunjukkan kunci rumahnya yang terdiri dari banyak kunci lain.

Alaska mengangguk lagi. Tak lama cerobong kereta api berbunyi bersamaan dengan keluarnya kepulan asap. Orang-orang sekitar serentak berbondong-bondong masuk.

"Kereta kita sudah mau berangkat, sebaiknya kita bergegas masuk sebelum lebih ramai lagi orang yang berdatangan." celetuk Cokroaminoto. Seluruh barang bawaan pun mereka angkut.

Sabina hendak mengambil dua tas sekaligus, barang bawaan Alaska dan miliknya namun Alaska langsung merebut tas-tas itu. Sabina tersentak.

"Biar saya yang bawa, Meneer."

"Saya saja, kamu jalan duluan."

"Tapi---"

"Tas ini berat." Alaska mengangkat lebih tinggi kedua tas di tangan kanan dan kirinya untuk menjukkan. "Yang perempuan masuk duluan, biar kami yang bawa barang-barang."

Mulanya perempuan-perempuan diam belum bergerak. Ketika Suharsikin memberikan tasnya ke Cokroaminoto, barulah Arabella menaruh tasnya yang kemudian membuat Sabina tak lagi keberatan Alaska membawa barang.

"Ayo, Mbak Sabina, Mevrouw Arabella, kita masuk ke dalam." Suharsikin merangkul Sabina dan menoleh ke Arabella.

"Perlakukan barang-barangku dengan balutan iman, Nasution. Awas sampai kutemukan lecet di koperku!" peringat Arabella sebelum pergi, namun dibalas tak sesuai dugaan oleh Nasution. Nasution menyeringai.

"Larangan adalah perintah bagiku."

"Nas, demi Tuhan, aku bersumpah kau harus menjaga koper itu karena ada make up-make up ku di sana!" rengek Arabella semakin memancing Nasution untuk menggodanya.

"Ah..., gincu-gincu yang membuat bibirmu seperti disengat tawon itu ya?"

Nasution dan Arabella larut dalam perdebatan mereka sehingga melupakan dua laki-laki yang masih ada di sana. Eksperesi keduanya beragam menyimak tontonan di hadapan mereka. Cokroaminoto canggung sementara Alaska mengulum senyum.

"Debat mulu, gue kawinin juga lu berdua sekarang." batin Alaska, di saat itu ia merasa heran memikirkan jalan cerita Mama dan Papanya bisa menikah padahal setiap bertemu saja mereka tak luput dari pertengkaran.

Adu mulut itu dapat berakhir setelah kepulun cerobong kereta api berbunyi sekali lagi. Arabella langsung masuk ke dalam kereta diikuti para lelaki yang mengangkut barang-barang.

Selagi berjalan, Nasution melemparkan sindiran ke Alaska.

"Tadi itu kau mencoba sok gentle, kan?"

Alaska menoleh ke Papanya. Ia sempat diam beberapa saat memikirkan jawaban telak. Dan sudut bibir Alaska pun samar terangkat kala berhasil menemukan jawaban.

"Hanya segelintir ajaran basic manner dari Ayahku waktu kecil yang coba kuterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Aku harap kau juga dapat mengajarkannya kepada Anak-anakmu nanti." nasihat Alaska setelahnya menepuk pundak Nasution dua kali dan berlalu pergi.

Nasihat Alaska barusan benar-benar telak. Nasution sampai dibuat tertegun di tempat. Pria itu menoleh menatap punggung Alaska yang menjauh dengan dahi mengerut.

"Ini tidak benar. Hatiku bergemuruh setiap dia membahas orangtuanya." jeda tiga detik, Nasution menepis ucapannya. "Mungkin karena aku sering menyidir orangtuanya juga setiap kali dia berbuat kesalahan. Ya, bisa jadi."

Nasution melanjutkan langkahnya begitupula dengan cibiran terhadap Alaska.

"Basic manner apanya? Omongannya kepadaku tadi tak pakai basic manner tuh. Sok-sokan basic manner. Cih!"

°°°

Nasution masuk ke dalam salah satu ruangan di gerbong kelas satu. Tak sama seperti kereta api zaman sekarang, kereta api di abad 20 awal punya tiga kelas. Kelas satu diisi oleh para bangsawan. Pada kelas ini para penumpang disediakan ruangan yang bisa ditempati secara khusus. Tersedia kursi berhadapan yang dapat diduduki tiga orang untuk masing-masing. Ada meja, vas bunga, kursi yang dilengkapi bantal empuk dan kanan kiri berdiri lampu kecil beserta kipas angin. Kategori yang terbilang nyaman pada masa itu bagi bangsawan.

"Woah, arsitektur kereta ini sangat mirip dengan kereta api di Enola Holmes!" seru Alaska bersamaan dengan kedatangan Nasution. Mata Alaska berbinar menatap ke setiap sudut.

"Good, kau membawa koperku dengan baik. Sekarang taruh ke atas dengan baik pula, Nasution." titah Arabella.

Nasution mendelik. Wanita itu seenaknya memerintah dirinya. Nasution rasa, Arabella perlu diberi teguran. Dan Nasution pun menemukan cara yang elegan untuk membalas Arabella. Ia pura-pura oleng saat hendak menaruh koper Arabella di atas. Alhasil Arabella sontak berdiri menahan kopernya sehingga kepalanya terbentur rak. Kejadian itu juga membuat keduanya saling bertatapan.

"Ayo, teruskan saling pandangnya sampai biji mata kalian keluar!" sindir Alaska membuat Arabella dan Nasution langsung tersadar. Arabella dengan cepat mendaratkan bokongnya di kursi sementara Nasution berdehem canggung.

Nasution celingak-celinguk canggung mencari bagian kosong di kursi. Hanya tersisa di sebelah Arabella, berada di sisi jendela dan berhadapan dengan Alaska. Pria itu duduk di seberangnya bersama Cokroaminoto dan istri. Sedangkan Sabina duduk satu deretan di dekat pintu keluar. Bersebelahan dengan Arabella dan sehadap dengan istri Cokroaminoto. Cokroaminoto yang berhadapan dengan Arabella. Usai mengamati posisi duduk semua orang, akhirnya Nasution tahu alasan yang membuat wajah Arabella cemberut. Dugaan kuat Nasution mengatakan karena perempuan itu tidak dapat duduk berdekatan dengan laki-laki yang ia inginkan.

"Siapa yang mengatur posisi duduk kita?" tanya Nasution. Arabella menjawab dengan dagu mengarah ke Alaska. "Kali ini aku satu pendapat dengannya." sambung Nasution yang langsung Arabella hadiahi tatapan sinis.

"Keretan ini bahkan punya kipas angin." celetuk Alaska masih mengagumi interior kereta. Telunjuk Alaska menarik tali yang menggantung di kipas angin membuat baling-baling kipas bergerak. "Masih berfungsi ternyata! Aku kira rusak. Seluruh interior dirawat dengan baik. Ruangannya pun nyaman dan bersih."

"Tuan Hans tak henti-hentinya menganggumi kereta buatan bangsa Tuan. Seharusnya Tuan tak perlu kaget lagi dengan interior di tempat ini. Tuan sudah terbiasa menaiki gerbong kelas satu."

Alaska melirik ke Sabina ketika mendengar ucapan Cokroaminoto. Melalui tatapannya, Alaska bertanya kebenaran ucapan Cokroaminoto. Terkait dirinya yang sudah sering menaiki gerbong ini. Dan mata Sabina berkedip dua kali. Mengiyakan.

"Ah, memang aku sudah biasa memesan gerbong ini Tuan, hanya saja gerbong ini mengingatkanku dengan Enola Holmes. Pada suatu moment, Enola pernah menaiki kereta yang deskripsinya mirip dengan kereta ini. Jadi, baru sekarang aku menganggumi kereta yang sering aku datangi." alibi Alaska yang tak disangka menarik minat Cokroaminoto untuk melanjutkan pembicaraan.

"Siapa itu Enola Holmes, Tuan Hans? Di awal kedatangan kita, Tuan juga sempat menyebut nama itu."

"Enola Holmes itu tokoh dalam cerita favorit saya semasa remaja. Dia adalah adik perempuan dari detektif terkenal pada era Victoria yang bernama Sherlock Holmes. Enola pun juga menjadi detektif karena ingin mengikuti jejak Kakaknya." tutur Alaska menceritakan novel kesukannya yang belum terbit di masa ini, melainkan nanti pada tahun 2008.

Lantaran novel Enola berasal dari masa depan, Alaska sampai dibuat was-was saat menceritakannya ke Cokroaminoto. Matanya mengedar menatap semua orang, terutama Mama dan Papanya. Ia harap dua orang itu tidak tahu mengenai kisah Holmes bersaudara. Tapi dilihat dari reaksi mereka yang menyimak dengan santai, sepertinya kedua orang itu tidak tahu mengenai novel Sherlock Holmes yang sebenarnya sudah ada di tahun ini. Novel Sherlock Holmes lebih dulu terbit dari Enola Holmes, yakni pada tahun 1887.

"Sherlock Holmes? Nama yang satu ini terasa tidak asing." gumam Cokroaminoto.

"Tuan Cokro bisa mendapatkan kisah Sherlock Holmes di toko buku."

"Dengan buku Enola Holmes juga?"

Pandangan Alaska menerawang ragu. "Aku tidak yakin apakah buku adiknya dijual di sini."

"Tidak masalah, akan kucari nanti. Terima kasih atas rekomendasi bacaannya Tuan Hans. Aku juga terbilang suka dengan hal-hal berbau misteri, sebab negeri ini pun penuh misteri yang mesti diselesaikan."

"Bahkan seluruh tempat, Tuan Cokro. Di ruang ini pun tidak menutup kemungkinan tersimpan misteri. Seperti jerigen di balik kaki Arabella itu, bisa saja ada misteri yang kita tidak sadari."

Alaska tiba-tiba berjongkok mengeluarkan jerigen minyak dari bawah kolong kursi. Tindakan Alaska yang tanpa izin membuat Arabella murka.

"Hans, di mana tata kramamu?! Di sini ada orang yang duduk Hans! Minta izin dulu kalau mau mengambil sesuatu!"

"Berkali-kali aku sudah bilang dia tidak sopan, tapi kau masih terus membelanya. Lihat, Anak itu mengacuhkan ocehanmu, Bel. Tidak sopan, ngeyel dikasih tahu, dan sekarang mengotak-ngatik barang orang seenaknya. Lengkap sudah rasa tidak sopan dalam dirinya. Pria menyedihkan!" celetuk Nasution memanas-manasi.

"Hans, sudah! Taruh kembali jerigen-nya, itu milik orang!" Arabella menarik kerah Alaska berharap menghentikan aksi pria itu, namun gagal. Alaska abai dan terus menarik drigen itu. Setelah keluar, Alaska malah mengeluh menatap jijik kedua tangannya yang lengket.

"Iyuh, pantas jerigennya berat, masih ada minyaknya ternyata. Penuh, guys! Siapa orang bodoh yang ninggalin minyak sepenuh ini? Sayang sekali."

"Tidak sengaja tertinggal sepertinya." timpal Cokroaminoto. "Jerigen itu aku rasa milik penumpang sebelumnya. Kembalikan lagi ke tempat semula, Tuan Hans. Nanti petugas atau penumpang itu sendiri yang akan menjemputnya."

"Oke lah!" Alaska membuang napas sembari mendorong jerigen masuk ke dalam kolong. Alaska menegakkan tubuhnya. "Misi detektif kita gagal, guys! Ayo cari misi lain!"

"Kita?! Jangan bawa-bawa kita! Aku tak terlibat dalam misi bodoh dadakanmu!" protes Nasution diikuti keluhan Arabella.

"Hans, jangan lagi! Mending kau duduk kembali ke tempat!"

"Syut! Diam kalian, fans! Jangan berisik, kalian bisa menganggu konsentrasi detektif Hans." Alaska mengarahkan jari telunjuknya ke Nasution dan Arabella, sedangkan matanya fokus mengedar ke segala sisi.

Pria itu sungguh-sungguh menjalankan misi selayaknya detektif!

Penyelidikan Alaska berhenti ketika matanya menangkap ukulele di atas rak kursinya. Ukulele itu sedikit tertutupi barang-barang bawaan mereka. Alaska memiliki hobi bermain gitar dan banyak mengoleksi gitar dari yang akustik sampai elektrik. Oleh sebab itu, ia begitu bersemangat saat menemukan ukulele di dalam kereta. Alaska langsung mengambil ukulele itu.

"Guys, kita dapat bahan misteri baru! Lihat apa yang aku temukan di atas sana!" Alaska menjukkan ukulele yang baru ia dapatkan ke semua orang.

"Kau ini semberono terus, Hans. Sekarang apa yang kau ambil?"

"Ukulele, Bel, masa kau tidak tahu." timpal Alaska sembari jarinya bergerak menyesuaikan tuner. Selanjutnya Alaska beralih memetik senar untuk mendengar hasil suara yang telah ia atur.

Treng....

"Tuan bisa memainkannya?" tanya Cokroaminoto yang seketika membuat senyum Alaska mengembang lebar. Pria itu menyugar rambutnya ke belakang.

"Sudah jelas! Tampan, kaya raya, smart, dermawan dan pandai bermain alat musik adalah elemen yang sengaja Tuhan ciptakan ke dalam diri saya."

Nasution dan Arabella sama-sama mendelik. Merekapun saling lempar pandang. Dari mimik wajah itu mereka jadi tahu satu sama lain jika mereka satu pendapat. Merasa geli dengan sikap sombong Alaska.

"Sebutan-sebutan tadi terlalu berlebihan, Hans. Kita sama-sama tahu tidak ada manusia yang sempurna." ujar Arabella yang disambung Nasution melempar tantangan.

"Ketimbang banyak cakap, mending kau langsung buktikan. Kami bukan orang dengan IQ di bawah 78 yang mudah percaya tanpa adanya data konkert."

"Bjir, Mak-Bapak gue kompak banget bully Anak sendiri." batin Alaska tak menyangka begitupula raut wajahnya sekarang.

Alaska berdehem. "Baiklah kalau kalian memaksa. Mau tidak mau aku mengeluarkan suara emasku yang sebenarnya mahal."

Bola mata Nasution berputar malas saat Alaska menyebut suaranya emas dan mahal. Kedua tangan pria itu bersedekap dada, menunggu pertunjukkan Alaska.

"Karena Arabella yang meminta, jadi lagu ini khusus ku persembahkan untuknya."

Senyum Arabella sontak mengembang ketika mendengar lagu yang akan Alaska mainkan dipersembahkan khusus untuknya. Dagu Arabella terangkat sombong dengan masih mempertahankan senyumnya.

Jreng~~~

Alaska menggenjrang senar gitar, menimbulkan irama beraturan untuk intro.

I love you Mommy. My sweet-sweet, Mommy. You make me happy, when i was sad. ♪

Arabella terbelalak bahkan semua orang di sana pun juga. Lagu yang Alaska persembahkan untuk Arabella di luar dugaan. Lirik lagu itu berisi rasa sayang Anak kepada ibunya. Sangat tidak cocok untuk dipersembahkan kepada seorang perempuan yang masih lajang. Kalaupun sudah punya Anak, tetap saja lagu itu tidak pantas dinyanyikan oleh seorang pria kepada perempuan yang bukan berstatus sebagai Ibunya.

"Lagu apa yang kau nyanyikan itu, Hans?!" teriak Arabella murka.

Jemari Alaska yang asyik memetik gitar berhenti begitupun nyanyiannya. Alaska mendongak dengan wajah polos menjawab pertanyaan Arabella.

"Lagu i love you Mommy, my sweet-sweet mommy."

"Het maakt mij niet uit (aku tidak peduli), tapi kenapa dari sekian banyak lagu malah lagu itu yang kau nyanyikan untukku?!"

"Kenapa? Kau tidak suka?"

"Bukan tidak suka, tapi lagu itu tidak cocok untukku!" teriak Arabella. Mata perempuan itu sampai melotot-lotot. Sudah semarah itu ekspresi Arabella, namun Alaska masih menyikapi dengan tenang.

"Kan kau bakal jadi Ibu juga. Anggap saja tadi itu latihan seolah kau sedang berada di sekolah Anak laki-lakimu dan mendengarkannya bernyati di atas panggung."

"TIDAK MAU!"

"Sudah, Bel. Mau kau jelaskan panjang lebarpun ia tetap tidak akan mengerti. Orang ini sengaja memancing amarahmu." Nasution menghentikan amarah Arabella. Nasution lantas melirik sinis Alaska. Ia juga ikut kesal terlebih ketika ia melihat tak ada rasa bersalah di wajah Alaska.

"Maaf." Alaska memecahkan keheningan yang sempat menyelimuti mereka. Kepala pria itu tertunduk. Sembari tangannya memain-mainkan senar, Alaska berterus terang. "Sebenarnya aku rindu Mamaku. Aku ingin berterus terang bahwa aku sayang dan tulus cinta kepadanya, tapi terhalang oleh keadaan. Jadinya yah, aku mengungkapkannya dengan lagu."

"Aku bukan Ibumu, Hans. Persembahkan lagu itu ke Mevrouw Catharina, bukan aku. Kau salah orang."

Alaska menarik paksa kedua sudut bibirnya. Ia tersenyum masam seraya mengangguk paham agar masalah ini cepat selesai.

"Lagu selanjutnya!" seru Alaska berusaha nampak biasa saja. "Kali ini pakai bahasa yang sama-sama kita pahami saja, ya? Supaya bisa dinikmati bersama. Mau lagu apa? Silakan request."

Tatapan Alaska mengedar ke semua orang. Menunggu jawaban, namun tak satupun dari mereka yang bersuara. Sorot mata Alaska pun berhenti ke Sabina. Ia baru sadar sedari tadi perempuan itu diam. Sabina memang tipikal orang yang tak akan bersuara jika tak diajak bicara.

"Tadi saya sudah mempersembahkan lagu untuk Arabella, sekarang saya ingin mempersembahkan lagu untuk Sabina."

Sabina tersentak saat namanya disebut. Saat ia mendongak, ternyata tatapan semua orang sudah mengarah padanya.

"Lagu ini saya persembahkan khusus untuk Sabina, pendamping hidup saya." pertegas Alaska yang semakin membuat Sabina terkejut. Reaksi semua orang pun tak jauh beda.

"Bukankah yang calon istrinya itu kau, tapi kenapa yang disebut pendamping hidup malah Gun---" bisikan spontan Nasution terhenti karena Arabella menendang kakinya. Arabella balik berbisik memperingati.

"Kecilkan, suaramu, Nasution. Nanti orang yang bersangkutan dengar."

Jreng~~~

Alaska menggenjrang senar-senar ukulele sebelum mulai.

♪ Jangan pergi dari diriku. Tak sanggup harus hidup tanpamu. Kar'na jauh lebih indah. Bila kita bersama. Seperti yang terjadi kemarin ♪

Untuk ketiga kalinya tindakan Alaska berhasil membuat semua orang terkejut. Lagu yang Alaska bawakan lagi-lagi mengundang reaksi mengejutkan. Kalau lirik lagu Arabella tadi berisi kasih sayang Anak untuk Ibunya, lirik lagu untuk Sabina merangkai perasaan cinta kepada kekasih.

♪ Takkan hilang cintaku padamu. Takkan hilang walau kau memilih pergi. Takkan hilang. Sampai di ujung waktuku. Mencintamu... ♪

Tak seperti Arabella, Sabina hanya terdiam kaku mendengar lagu yang Alaska nyanyikan. Hingga lagu itu selesai pun ekspresi Sabina masih sama. Akan tetapi jantung wanita itu bereaksi diikuti suhu tubuhnya yang memanas.

"Kelihatannya lagu yang saya bawakan kali ini bagus, sampai membuat kalian semua terpukau. Hahaha, tepuk tangan dulu lah buat saya!"

Alaska menepuk tangan heboh yang membuat semua orang akhirnya sadar. Cokroaminoto, istrinya, dan Arabella pun menuruti perintah Alaska. Mereka bertepuk tangan meski tak seheboh Alaska. Pikiran mereka masih terngiang oleh lagu Alaska tadi. Sedangkan Nasution seperti biasa, menatap reaksi heboh Alaska dengan wajah malas dan Sabina menyembunyikan wajah malu.

"Bagaimana suara saya? Bagus kan, sahabat?"

"Suaramu serak-serak." celetuk Nasution.

"Ya kan? Tuh, Pak Nasution mengakui kalau suara saya erak-serak sexy!" seru Alaska terkekeh senang.

Namun, euforia kebahagiaan Alaska itu tak berlangsung lama. Tawa Alaska seketika lenyap ketika Nasution kembali bersuara.

"Serak-serak berserakan. Baru kali ini aku dengar orang nyanyi taruhannya nyawa."

"HAHAHA!"

Komentar pedih Nasution sontak mengundang gelak tawa orang-orang. Nasution tersenyum mengejek ke arah Alaska. Ia menikmati tawa orang-orang yang tertuju pada Alaska itu.

"Aih, shibal!" hardik Alaska, sengaja pakai bahasa Korea agar Papanya tidak paham. Jika pakai bahasa Inggris Papanya mengerti dan akan mengamuk jika tahu ia menghardiknya.

Sesi bernyanyinya Alaska sudahi. Alaska kemudian menaruh ukulele ke samping, namun sorot matanya malah tak sengaja menangkap hamparan sawah dari balik kaca kereta. Asyik bernyanyi membuat Alaska tak sadar perjalanan mereka sudah sejauh ini.

"Woah! Woaahhh!" Alaska berteriak heboh menunjuk jendela. Tingkah Alaska ini sontak membuat orang jadi ikut menengok ke arah yang ia tunjuk.

"Ada apa, Tuan Hans?" tanya Cokroaminoto penasaran gerangan apa yang membuat Tuan Belahda itu heboh luar biasa.

"Banyak padi, Tuan Cokro! Ada sawah! Tuh lihat hijau-hijau semua! Wah!"

Lagi-lagi semua orang syock akibat perbuatan Alaska. Kali ini perkara sawah. Nasution tersenyum remeh memandang Tuan Belanda yang baginya seperti orang udik.

"Makanya apa-apa kau jangan bergantung ke orang. Kerjakan sendiri, lihat dunia luar sehingga kau tak se-norak ini ketika melihat sawah."

"Apa itu norak?" beo Suharsikin. Asing dengan bahasa itu sehingga ia begitu penasaran dengan artinya.

"Udik. Tahu sekarang?" Nasution memberi jawaban dan Suharsikin pun akhirnya paham. Ia mengangguk.

"Menyala, Abangkuuuhh! Ilmu padiii! Makin lama makin maaahaall!"

Semua orang terlonjak kaget. Alaska tiba-tiba berteriak dengan sudah membuka jendela. Orang-orang di sana terheran-heran. Sejak kapan Tuan Belanda itu sudah bergerak mendekat ke jendela? Beberapa menit yang lalu perasaan masih duduk.

"Dari mana Tuan tahu beras sekarang sedang mahal?" Cokroaminoto langsung menembak Alaska dengan pertanyaan.

"Dari Sabina." Alaska mengarahkan tatapannya ke seberang. "Beberapa waktu lalu saya sempat menanyakan harga barang pokok."

"Untuk apa Tuan menanyakan hal itu?" tanya Cokroaminoto tidak mengerti.

"Untuk melakukan perbandingan antara pemasukan dan pengeluaran para pekerja saya. Hasilnya, saya dapat mempertimbangkan gaji yang sesuai untuk mereka. Agar mereka tercukupi, sejahtera, dan ikhlas lahir batin bekerja dengan saya. Jika semua itu sudah terpenuhi, maka hasil yang saya dapat juga berkah. Saya tidak ingin bernikmat-nikmat di atas kesengsaraan orang lain, Tuan Cokro."

"Jadi, Tuan sudah memulai?"

"Sudah, meski baru permulaan. Saat Tuan Cokro saya undang ke rumah saya kemarin untuk bekerjasama."

"Pembagian bonus itu?" tanya Cokroaminoto lirih. Mata pria itu sekilas berkaca-kaca. Alaska ikut merasakan perasaan terharu Cokroaminoto.

"Bulan depan akan saya bagikan gaji mereka yang terbaru sekaligus bonus. Saya berjanji akan memanusiakan mereka selama saya masih diberi kesempatan hidup di sini."

Sadar hampir menjatuhkan air matanya, Cokroaminoto langsung memalingkan wajah. Ia menunduk sejenak menutup kedua matanya. Tak lama, Cokroaminoto kembali menegakkan tubuh.

"Alam negeri ini kaya, tapi rakyatnya tetap miskin. Memanusiakan manusia, itu adalah hal yang juga ingin saya lakukan. Dan mimpi itu hanya akan terwujud apabila negeri ini merdeka."

Alaska menatap Cokroaminoto lama. Mimpi Cokroaminoto itu mengingatkan Alaska akan penampakan Indonesia kedepan. Tepatnya di tahun ia hidup. Menurut pandangan Alaska, fisik Indonesia sudah merdeka tapi jiwanya tidak. Masih banyak pribumi yang bekerja di bawah kepimpinan orang asing. Hasil alam dikelola oleh orang asing, sementara penduduk asli menjadi pekerja mereka. Fakta itu membuat Alaska kasihan dengan mimpi Cokroaminoto yang tak sepenuhnya terwujud.

"Bagaimana jika setelah merdeka keadaan negeri ini masih sama? Kemiskinan, kelaparan, perbudakan, kebodohan, masih merajalela?" Alaska menarik napas susah payah. Tenggorokannya terasa tercekat. "Bagaimana jika kemerdekaan itu hanya didapat sebatas fisik saja, bukan batin?"

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri." Cokroaminoto mengutip potongan surah Ar-Ra'd ayat 11. "Kemerdekaan yang sesungguhnya akan dapat tercapai apabila bangsa ini mau bergerak melakukan perubahan. Saya sudah berjuang sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya. Baik dan buruknya nasib negeri ini tergantung pada pilihan bangsanya."

Alaska mengangguk berkali-kali dengan menahan sesak dalam dadanya. Dapat Alaska lihat jelas mimpi Cokroaminoto melalui sorot matanya.

"Yah, semoga... Semoga kemerdekaan sesungguhnya yang Tuan Cokro impikan untuk negeri ini terwujud atas perjuangan yang sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya."

"Aamiin. Aamiin, ya rabbal 'alamin." Cokroaminoto tersenyum penuh keyakinan.

Obrolan diselubungi haru itu disaksikan semua orang bahkan seluruh dzat alam raya. Lontaran kata-kata dari Cokroaminoto maupun Alaska mampu membius semua orang. Percakapan kedua laki-laki itu menyihir semua pasang mata yang ada di sana untuk enggan berpaling. Kini tatapan Nasution terkunci ke Anaknya.

Sebagai orang yang hidup di masa setelah Indonesia merdeka, Nasution sadar segala praduga yang Tuan Belanda itu lontarkan ke Cokroaminoto akan menjadi kenyataan. Namun jauh dari lubuk hatinya yang terdalam, Nasution tak merasa kalau ucapan Tuan Belanda di seberangnya ini adalah praduga semata. Melainkan berupa peringatan yang seakan telah pria Belanda itu ketahui.

"Siapa kau ini sebenarnya? Segala petunjuk masa depan mengarah padamu. Benarkah kau bagian dari masa ini?"

°°°

Hhmm, batin Papa Nasution mulai bekerja nih. Kontak batin orangtua dengan Anak tuh paling gak bisa disangkal.

Fakta Sejarah!

1. Kereta api yang Alaska naiki adalah kereta api era Victoria varian W. Kereta api jenis W ini masih bisa dibilang baru karena keluar pada awal abad 20, tepatnya tahun 1911.

Semua gerbong penumpang (dibangun tahun 1911-1922) memiliki panjang sekitar 58 kaki (17,68 m), lebar 9 kaki 6 inci (2,90 m) dan dilengkapi dengan atap clerestory. Gerbong kelas satu yang Alaska pesan tersedia satu kompartemen untuk wanita dan dua kompartemen untuk merokok. Kereta era Victoria variask W ini juga dilengkapi dengan toilet khusus gender di setiap ujungnya, dan ruang depan (dengan pintu yang dapat dikunci) untuk berjalan ke gerbong lain di kereta tertentu.

Maksud ruang depan yang dapat dikunci itu kayak gini loh... Terdapat lorong di setiap ruang kelas satu yang menghubungkan ke gerbong berikutnya, yakni kelas dua.

Terima kasih yang masih setia mengikuti SACI walau sering telat update-nya. Yang sabar ya. Penulisnya sudah masuk semester akhir wkwk😭🤝. Tapi, saya jamin, SACI akan di penuhi plot twist yang penuh teka-teki sampai buat kalian hah-heh-hoh. Ada beberapa yang saya buat akan mengajak kalian untuk berpikir kritis, eaaa. Pokoknya di setiap kalimat selain ada hikmahnya ada juga poin-poin yang sengaja saya buat untuk mengajak kalian berpikir bagi yang mau-mau aja untuk diajak berpikir. Biar IPK-nya gak 2.3 :v

Tetap ikuti saja okaayy. Lagian masa cogan macam Alaska dan Hans gak dikawal. Sayang dong😋😗.

Bagi yang belum VOTE, silakan VOTE jangan sampai lupa. Ramein juga dong lapaknya dengan komentar-komentar kalian. Sebenarnya dari part awal bahkan part inipun sudah ada teka-teki. Dan kalo sudah masuk di puncaknya ayo keluarkan berbagai macam teori kalian hehe. Lop u tomat 🍅❤.

❤Follow IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top