10. SACI - Pembuktian Memanusiakan Manusia

Mohon maaf sebesar-besarnya karena lambat banget publish. Terakhir kali awal ramadhan dan ini udah di penghujung ramadhan pula. Dikarenakan udah menginjak semester akhir, saya udah mulai nyusun proposal skripsi dan lain hal yang menyangkut kelulusan.

Jadi mohon pengertiannya buat pembaca semua. Kemungkinan juga publish kedepan bakal lambat atau bisa-bisa hiatus sampai waktu libur semester tiba. Libur pun tetap fokus pada pengerjaan skripsi. Kalau memang demikian, mohon bantuannya para readers untuk mengawal cerita ini agar jauh dari plagiator. Apabila ketemu cerita yang serupa dengan SACI, segera lapor ke saya di DM sosmed manapun ya supaya bisa saya tindaklanjuti. Terima kasih atas semua pengertiannya.

Akhir kata saya ucapkan; Minal'Adzin Wal Faidzin, mohon maaf lahir dan batin! Selamat berlebaran semuanya ✨🙏

Hati-hati ranjau typo bertebaran di mana-mana. Happy Reading guys💕.

°°°

Alaska keluar kamarnya setelah menemukan surat asing. Dengan masih membawa surat tersebut, Alaska mencari Sabina untuk ditanyai. Seluruh penjuru lantai atas telah di telusuri, namun Alaska tak menemukan Sabina. Saat Alaska menengok ke lantai bawah, akhirnya sosok yang ia cari ketemu. Dari lantai atas, Alaska melihat Sabina sedang membukakan pintu untuk seseorang. Langsung saja Alaska berlari menuruni tangga.

"Sabina!"

Sabina menoleh ke sumber suara yang memanggilnya. Tampak Alaska menuruni anak tangga tergesa-gesa. Sabina pun menghampiri Tuannya setelah mempersilahkan beberapa orang masuk.

"Ada apa, Meneer?"

"Kamu lihat ada orang masuk ke kamar saya?"

Alis Sabina mengerut kemudian menggeleng. "Tidak, Meneer. Orang yang terakhir kali keluar kamar Meneer adalah saya. Itupun saya membereskan tempat tidur."

"Kamu yakin? Tidak ada yang masuk? Laki-laki?" tanya Alaska beruntut. Alaska lebih memperjelas pertanyaanya, namun jawaban Sabina masih sama. Satupun tak ada orang yang masuk ke kamarnya terlebih laki-laki.

Alaska kemudian menoleh ke sekumpulan orang yang berdiri di belakang Sabina. Cukup lama waktu berlalu, Alaska baru sadar jika bukan hanya mereka berdua yang ada di ruangan ini.

"Mereka siapa?" tanya Alaska. Tak lama terdengar seruan pria di antara orang-orang itu.

"Hans! Bagaimana kabarmu?!"

Pria yang berteriak tadi mendekat dan langsung memeluk Alaska. Tindakan pria itu yang amat tiba-tiba tak sempat Alaska hindari. Saat pria itu memeluknya, Alaska memberi kode ke Sabina lewat gerakan alis. Lewat kode itu Alaska bertanya siapa gerangan pria yang tengah memeluknya.

"Dokter Frank." jawab Sabina dengan gerakan mulut lambat yang langsung dimengerti oleh Alaska. Mulut pria itu spontan membentuk huruf O setelah tahu.

"Aku sangat cemas menerima pesanmu malam-malam buta yang meminta aku datang memeriksa ke rumah. Kupikir kejadian tempo lalu saat kau di tembak orang asing terulang lagi." tutur Dokter Frank sedetik melepas pelukannya.

"A--ku hanya demam sedikit." balas Alaska canggung. Alaska bingung harus bersikap bagaimana di hadapan Dokter pribadi Hans. Dari cara bicaranya, Alaska pikir Dokter ini sangat akrab dengan Hans.

"Ya, aku tahu, karena kau tenggelam di sungai Jembatan Merah, kan?"

Alaska sedikit tersentak. Terkejut Dokter Frank bisa tahu kejadian kemarin. Padahal pesan yang ia kirim tak ada memberi tahu perihal peristiwa itu.

"Tidak perlu terkejut. Aku memaksa budak-budakmu untuk jujur." sela Dokter Frank, semakin menyentak Alaska. Bukan hanya karena pekerjanya yang tak bisa jaga rahasia, namun juga karena panggilan Dokter Frank kepada pekerjanya.

"Enteng bener nih lambe Abu Lahab manggil manusia budak. Ciri-ciri mulut manusia yang dirindukan kobaran api neraka jahannam."

"Beritahu aku. Kali ini kecelakaannya tak sengaja atau disengaja lagi?"

"Jembatannya licin, jadi aku tergelincir." alibi Alaska. Mata Dokter Frank memicing tak percaya.

"Ini tidak bohong kan?"

"Cius tekewer-kewer, no tipu-tipu." jawab Alaska, sengaja memakai bahasa gaul agar Frank tak mengerti. Dan terbukti. Pria Belanda itu kebingungan. Alhasil ia tak bertanya apa-apa lagi.

Perbincangan Alaska dengan Dokter pribadi Hans pun berakhir sampai di situ. Setelahnya mereka mulai melakukan pemeriksaan di kamar. Awalnya pemeriksaan ditujukan untuk cek suhu tubuh saja, karena itu memang alasan Alaska meminta Dokter Frank datang. Memeriksa kondisinya yang demam. Namun pemeriksaan malah merembet ke skala yang lebih besar ketika Alaska membuka baju untuk memulai pemeriksaan formal seperti detak jantung dan laju pernapasan. Di saat itu lah Dokter Frank menemukan luka tembak Hans yang belum kering.

"Ya Tuhan, Hans! Kenapa lukamu makin parah?!" teriak Dokter Frank. Alaska tak menjawab, melainkan cengo lantaran diteriaki tiba-tiba.

"Ini harus dijahit ulang, Hans!" tambah Dokter Frank. Barulah wajah Alaska berubah panik.

"SERIUS?! JANGANLAH!"

"Harus, Hans, kalau tidak lukanya akan membusuk. Lihat! Banyak jahitan yang lepas. Kenapa bisa sampai begini, Hans? Kau apakan lukamu?"

"Mana aku tahu! Coba tanya lukanya, kan dia yang lepas sendiri." balas Alaska ngaco. Dokter Frank melempar tatapan kesal atas jawab itu.

"Ambil posisi yang benar, Hans. Aku mau memperbaiki jahitanmu."

"Tidak mau!" tolak Alaska tegas.

"Meneer."

Suara Sabina membuat Alaska spontan menoleh. Sabina yang sedari tadi diam di sudut ruangan melangkah maju. Wanita itu mengambil bantal lantas menyusunnya senyaman mungkin.

"Sender ke sini, Meneer," Sabina menepuk bantal beberapa kali. "Luka Meneer harus segera di jahit supaya tidak semakin parah."

"Sakit Sabina dijahit-jahit!" seru Alaska mendramatisir. Dengan suara lembut Sabina membujuk Alaska.

"Tidak, Meneer. Tidak akan sakit karena sebelum itu sudah dikasih obat pereda nyeri."

"Bius maksudnya? Tetap saja sakit, mesti disuntik dulu! Saya takut suntikan woi!"

"Kau takut suntikan, Hans? Sejak kapan?" celetuk Frank janggal. Selama menjadi Dokter keluarga Idenburg, yang Frank tahu Hans tampak biasa saja setiap di suntik. Tak pernah takut. Oleh sebab itu pengakuan blak-blakan Hans tadi membuat Frank heran.

"Sejak tuyul jadi gondrong!" jawab Hans ngaco, lagi dan kembali di sengaja untuk membungkam Frank.

"Saya temani Meneer di sini bagaimana? Supaya Meneer tidak takut." sahut Sabina.

Alaska diam menimbang tawaran Sabina. Pada akhirnya bujukan Sabina berhasil meluluhkan keras kepala seorang Alaska. Alaska mau menyender di kasur untuk menjalani operasi kecil dengan di temani Sabina di sampingnya.

Di tengah operasi itu, Frank bersuara untuk mengisi suasana.

"Apa kau sudah menemukan pelakunya, Hans?"

"Siapa?" tanya Alaska penasaran.

"Yang menembakmu. Kau harus segera mendapatkannya. Aku yakin pelakunya tak jauh dari sini. Jika belum tertangkap, takutnya kejadian naas kemarin bisa terulang."

Ucapan Frank tidak Alaska jawab. Pria itu malah diam berkutat dengan pikirannya sendiri, membuat ucapan Frank lambat laun tak terdengar begitupun suasana sekitar. Alaska larut dalam pikirannya.

"Masalah penembakan Hans perlu diselesaikan juga gitu? Aih, gak mau ah! Nambah kerjaan aja." batin Alaska awalnya ingin bersikap acuh, namun teringat kalau pelaku penembakan masih buron. "Tapi, kalo gak dicari tahu, nyawa gue terancam. Gue lagi pakek tubuh Hans soalnya. Beban banget deh, lo, Hans. Lo yang punya masalah hidup, malah gue yang disuruh mikir."

"Saranku, kau cari saksi mata yang ada di tempat kejadian. Itu bisa jadi bukti yang kuat untuk menyeretnya ke pengadilan. Apa kau ingat ada saksi mata waktu itu, Hans?"

"Aw, sakit, Sabina!"

Alaska tiba-tiba mengaduh kesakitan, langsung menarik tangannya yang semula di genggam Sabina. Teriakan Alaska tentu membuat Frank menghentikan pekerjaannya. Alaska bertetiak kesakitan sebab secara mendadak Sabina menggenggam kuat tangannya sampai kuku-kuku perempuan itu menancap di kulit.

"Kamu kenapa?!" bentak Alaska marah. Tampak Sabina gelagapan. Ia ingin meraih tangan Alaska kembali untuk meminta maaf, tapi Alaska menghindar.

"Me--meneer, maaf! Saya tidak sengaja! Tadi saya agak ngeri melihat Meneer dijahit."

"Tapi, ingat-ingat juga kamu lagi megang tangan orang!"

"Meneer, saya benar-benar minta maaf. Maafkan saya. Tangan Meneer jadi luka, kah?"

"Bukan luka lagi, tapi kuku-kuku kamu ngecap di tangan saya."

Alaska memperlihatkan punggung tangannya yang terdapat bekas tancapan lima kuku jari tangan. Sabina yang diperlihatkan bukti nyata tak dapat berkata apa-apa lagi setelahnya. Perempuan itu hanya bisa diam dengan raut bersalah.

"Setelah operasi ini selesai, aku akan meresepi obat penurun panas dan mengobati luka baru itu juga, Hans. Kau tak perlu khawatir." sahut Frank, kembali melanjutkan pekerjaannya. Frank menghela napas, lalu bicara lagi. "Dalam satu hari kau banyak sekali menerima cidera, tapi walau begitu aku bisa menanganinya seorang diri, Hans. Tak perlu kau libatkan banyak tenaga medis. Toh mereka sekarang menunggu di luar."

Pikiran Alaska sontak saja mengarah ke tamu-tamu lain yang datang bersama Frank hari ini. Memang Alaska sendiri yang meminta dibawakan banyak tenaga medis dalam suratnya kepada Frank semalam.

"Oh, itu bukan untukku." jawab Alaska berhasil menimbulkan lipatan kecil di dahi Frank.

"Lalu, siapa?"

"Para pekerjaku."

°°°

Di halaman belakang rumah Hans yang luas. Alaska duduk di kursi memperhatikan para pekerja yang sedang di periksa oleh tenaga medis bawaan Dokter Frank setelah ia selesai menjalani operasi. Empat orang tenaga medis secara bertahap memeriksa kesehatan para pekerja rumah Hans yang berjumlah sepuluh orang.

"Meneer..."

Alaska menengok ke bawah. Ada Sabina yang sedari tadi duduk bersimpuh di dekat kakinya.

"Apa?"

"Meneer masih marah sama saya?" Sabina menatap Alaska melas.

"Dari awal saya tidak marah. Kamu yang berlebihan menanggapi."

"Karena saya merasa bersalah sudah melukai tangan Meneer."

"Sudahlah, jangan diperpanjang lagi. Saya tidak marah." balas Alaska dengan cepat menyudahi.

Beberapa saat keduanya sempat saling diam sebelum pada akhirnya Sabina bersuara lagi.

"Boleh saya lihat tangan Meneer yang luka?"

Alaska menyodorkan telapak tangannya yang terbalut perban. Rasa bersalah Sabina yang sempat meredah kembali mencuat saat melihat telapak tangan Alaska sampai di perban. Berarti luka akibat perbuatannya sangat parah.

"Meneer." Sabina memanggil Alaska pelan. "Saya tahu, Meneer tidak marah sama saya. Tapi saya masih merasa bersalah. Apa yang bisa saya lakukan untuk melunasi kesalahan saya?"

Alaska diam berpikir. Sembari otaknya bekerja, mata Alaska tak terlepas menatap Sabina.

"Turuti kemauan saya." cetus Alaska.

"Dengan senang hati, Meneer. Apa itu?"

"Ambil kursi yang ada di sana," Alaska menunjuk kursi di dekat pohon. "Dan taruh di sini. Duduk di samping saya."

Sabina menggeleng keras. Langsung menolak perintah Alaska itu.

"Ngapunten, Meneer! Saya tidak bisa! Pantang saya duduk bersebelahan dengan, Meneer. Tempat saya memang seharusnya di sini."

"Apa sih? Lebay! Pantang itu kalo berangan nikah sama karakter fiksi! Duduk di kursi atau di pangkuan saya? Pilihannya cuma dua!" ucap Alaska tegas. Mata Sabina terbelalak. Tak menyangka dengan tawaran Tuannya.

Karena tidak ingin memilih tawaran kedua, terpaksa Sabina menuruti permintaan awal Tuannya. Diam-diam Alaska melirik Sabina yang tampak kaku duduk di sampingnya. Keadaan Sabina yang begitu membuat Alaska mesti mati-matian menahan tawa.

"Hans!"

Teriakan seorang perempuan spontan membuat Alaska maupun Sabina menoleh ke sumber suara. Senyuman Alaska kian melebar tatkala melihat Mamanya datang.

"MAM---Bel!" Alaska balas berteriak memanggil Arabella setelah sebelumnya hampir menyebut perempuan itu Mama.

Alaska berdiri susah payah, karena lukanya yang baru dijahit terasa nyeri saat digerakkan. Untungnya Sabina dengan cekatan langsung membantu Alaska berdiri sekaligus memegangi Tuannya itu agar tak jatuh.

"Bagaimana keadaanmu? Semalam pekerjamu datang memberitahu kalau kau demam tinggi."

"Iya, itu aku yang minta, termasuk agar kau datang hari ini, Bel."

"Sekarang keadaanmu bagaimana? Masih demam?"

Tanpa diduga, Arabella tiba-tiba menyentuh kening hingga rambut Alaska untuk memastikan langsung. Tindakan Arabella itu memicu reaksi yang beragam dari ketiga orang di sana. Alaska tersenyum bahagia karena sudah lama tak merasakan usapan lembut Mamanya, Sabina melotot terkejut, sementara Nasution sudah mengeluarkan tatapan membunuh.

Kaki Nasution maju hendak menjambak rambut Alaska, tapi Arabella yang sadar segera menendang pria itu sebagai bentuk peringatan. Peristiwa tadi terjadi amat cepat, jadi Alaska tak mengetahuinya.

"Sudah agak kurang. Sudah dikasih obat juga. Minum teratur, paling demamnya langsung turun setelah itu." jawab Alaska.

"Aku sudah bilang dari awal untuk ganti baju dulu kan, tapi kau tak menggubris ucapanku. Kau malah marah-marah."

"Iya, maaf. Soal kemarin sepenuhnya salahku. Terima kasih juga sudah peduli, Arabella." ucap Alaska tersenyum lebar.

"Salah orang kau berterima kasih kepadaku. Terima kasihnya ke Nasution. Dia tahu yang menyelamatkanmu waktu tenggelam. Oh, dia juga semalam demam, tapi sekarang sudah sembuh. Haha, lucu sekali kalian dua pria berbarengan demam semalam seolah punya ikatan batin yang kuat, ya!"

Alaska tertegun mendengar pengakuan Mamanya. Sontak saja ia menoleh ke Papanya dengan raut wajah tak percaya. Awalnya Nasution menatap Alaska datar. Tapi lama-kelamaan tatapan pria itu berubah bingung tatkala menyadari kedua mata Alaska berkaca-kaca.

Sebenarnya di moment itu Alaska tengah mengingat kenangan lama. Kejadian sewaktu ia tenggelam dulu. Alaska ingat betul Papanya hanya diam melihat ia tenggelam tanpa berniat menyelamatkan. Bangun-bangun Alaska sudah berada di kamar dengan di sambut tatapan cemas Mamanya.

"Hei, Hans!"

Alaska tersentak. Panggilan Arabella menarik kesadarannya.

"Mana terima kasihnya?" Arabella melirik-lirik ke Nasution sebagai kode untuk Alaska.

Mulut Alaska terbuka hendak berterima kasih ke Papanya, namun niatnya itu terurungkan sebab kedatangan Darso. Darso yang sudah selesai diperiksa menggiring seorang tamu lain masuk.

"Tuan Cokro." Alaska menyapa ramah tamu ketiganya.

Saat melihat yang datang adalah Cokroaminoto, mata Arabella langsung diprnuhi binar. Ia menoleh ke Nasution yang memasang tampang datar.

"Aaaa, Naass! Cokro datang! Dia di sini! Oh, my god!" seru Arabella menahan diri untuk tak berteriak. Arabella mengguncang-guncang tangan Nasution lantaran salah tingkah.

"Berhenti mengguncang tanganku, Arabella!" peringat Nasution kesal.

"Aku ini sedang senang tahu, Nasution!"

"Telan rasa senangmu sendiri!"

Alaska melirik tingkah Mama dan Papanya. Perdebatan antara keduanya amat lucu. Alaska menahan tawa melihat tingkah kedua orangtuanya.

"Terima kasih sudah berkenan datang, Tuan Cokro." sambut Alaska, menjabat tangan Cokroaminoto.

"Aku datang karena ingin menagih janji Tuan Hans," balas Cokroaminoto sedikit membubuhkan sindiran halus. Alaska sadar dengan sindiran itu. Ia hanya tersenyum hambar menanggapi.

Cokroaminoto menoleh ke perempuan di samping Hans yang ia kenal. "Nona Arabella. Kenapa Nona bisa di sini?"

"Ah, a--aku sekarang kerja di sini! Mm--maksudnya aku sekretaris Hans! Sekretaris pab--pabrik Meneer Hans! Yah, begitulah!" jawab Arabella terbata-bata. Ditanya oleh orang yang disuka membuat Arabella menjadi gugup.

Tingkah aneh Mamanya itu ditatap Alaska heran. Di satu sisi, ia teringat ucapan Kakaknya saat mengamuk. Sebelum pergi, Ana sempat membahas sosok Cokroaminoto. Dari situ, Alaska tahu bahwa Mamanya pernah mencintai orang di masa lalu yang bernama Cokroaminoto.

"Mama keliatan banget lagi nervous karena diajak ngobrol sama crush. Omongan Kak Ana bener. Cinta pertama Mama itu Cokroaminoto, bukan Papa."

Sorot mata Alaska kemudian mengarah ke Papanya. Meski wajah pria itu konsisten, datar, tak pernah berubah, tapi Alaska dapat merasakan ekspresi yang tersembunyi. Perasaan tidak suka, kesal, cemburu jadi satu.

"Apa saat ini Papa sudah jatuh cinta sama Mama? Jatuh cinta lebih dulu dari Mama dan memilih memendam perasaan itu? Bagaimana mungkin pria kaku macam Papa bisa lebih dulu luluh?"

"Tuan Hans."

Alaska tersadar. Ia menoleh ke Cokroaminoto yang baru saja memanggilnya.

"Saya sudah memenuhi undangan Tuan, tapi maaf-maaf saja waktuku tak banyak. Jadi, apa yang ingin Tuan sampaikan ke saya?"

"Banyak hal yang ingin saya sampaikan ke Tuan Cokro, maka dari itu saya secara khusus mengundang Tuan. Sebaiknya Tuan singgah dulu sebentar, tak enak bicara di sini." Alaska merentangkan tangannya mempersilahkan.

"Saya akan siapkan tempatnya untuk tamu-tamu, Meneer." ujar Sabina yang diangguki oleh Alaska. Sabina lalu menarik tangan Darsono untuk ikut membantunya.

"Selagi menunggu, Tuan Cokro bisa duduk dulu di sini." Alaska menarik kursi yang sebelumnya di tempati Sabina.

Cokroaminoto memenuhi arahan Alaska itu. Pria itu duduk di sana menyisakan satu kursi kosong. Kursi milik Alaska tadi.

"Bel, duduk di sini." Alaska memberikan kursi miliknya untuk Arabella, tapi perempuan itu menolak.

"Eh, tidak usah! Kau yang perlu duduk di sana, Hans, karena sekarang kau sedang sakit. Duduklah,"

"Terus, kau bagaimana?"

"Aku? Tetap berdiri. Kan, ada Nasution di sampingku yang sama-sama berdiri."

"Duduklah di kursi ini." Cokroaminoto berdiri, bermaksud memberikan kursinya untuk Arabella.

Tubuh Arabella seketika membeku. Perasaan gugup kembali menerpa dirinya. Arabella belum bergerak sama sekali. Ia masih berdebat dengan diri sendiri antara menerima atau justru menolak pemberian Cokroaminoto.

Namun belum sempat Arabella menanggapi, Nasution sudah lebih dulu angkat bicara.

"Hidup jangan dipersulit! Toh jika Arabella tidak duduk, tak akan membuat beras di rumah orang-orang habis, kan? Jadi, kalian duduk saja dengan tenang di sana, dan mulailah bicara! Jangan pedulikan kami!"

"Buset, amukan orang yang lagi cemburu ngeri betul yak! Menyala-nyala Bapakkuuhh!" batin Alaska terkikik. Puas menyaksikan dengan mata kepala sendiri tingkah Papanya jika sedang cemburu.

Alaska menoleh ke Cokroaminoto di sebelahnya. Ia siap memulai obrolan dengan pria itu.

"Jadi, Tuan Cokro, tujuan saya memanggil Tuan ke sini adalah untuk---"

"Hans."

Frank datang membuat ucapan Alaska berhenti seketika. Kedatangan Frank otomatis mengalihkan perhatian semua orang sepenuhnya ke pria itu.

"Ini dia laporan kesehatannya. Mau ku bacakan?" Frank menyerahkan sebuah buku agenda berisi catatan kesehatan para pekerja Hans. Alaska menengok buku catatan itu.

"Oh, sudah selesai? Semuanya sudah diperiksa?"

Frank mengangguk.

"Boleh, bacakan saja tolong." sambung Alaska. Frank mengangguk lagi seraya menarik kembali buku catatan kesehatan.

"Sebentar, maaf menyela."

Cokroaminoto memotong pembicaraan. Buku catatan, obrolan Alaska dengan Frank, serta keramaian tenaga kesehatan di taman belakang ini sudah dari tadi menjadi tanda tanya bagi Cokroaminoto.

"Boleh saya bertanya? Hari ini di rumah Tuan ada agenda apa? Kenapa banyak perawat kesehatan sekarang? Apa... Ada pekerja yang sakit? Atau meninggal?" tanya Cokroaminoto dengan wajah harap-harap cemas.

Perlahan senyum Alaska mengembang. Detik selanjutnya pria itu tertawa kecil.

"Pekerja yang sakit ada, tapi tidak parah. Kemarin yang saya ketahui, ada satu pekerja yang sakit kulit. Tapi kalau meninggal, tidak ada. Ini hanya pemeriksaan kesehatan biasa bagi para pekerja, Tuan Cokro. Dan akan dilaksanakan rutin mulai hari ini."

Cokroaminoto terbelalak diikuti semua orang di sana tak terkecuali Frank. Dokter itu terkejut mendengar informasi dadakan yang sebelumnya tidak didiskusikan dulu dengan dirinya.

"Apa? Pemeriksaan rutin? Untuk para pekerja Tuan?" Cokroaminoto mengulang pertanyaannya, berharap jawaban yang ia dengar tadi barangkali salah. Namun ternyata tidak. Alaska bahkan lebih menegaskan jawabannya.

"Ya, pemeriksaan kesehatan ini akan rutin saya selenggarakan untuk para pekerja saya setiap satu bulan sekali. Cek kesehatannya yah..., seperti cek tensi, cek gula darah, cek asam urat, dan lain-lain sesuai anjuran Dokter. Ya, kan, Frank?"

Frank mengangguk kaku. Mengiyakan seluruh perkataan Alaska tadi dengan pikiran bercabang. Ia masih memikirkan keputusan Alaska yang menginginkan ia dan tenaga medis lain setiap 1 bulan sekali memeriksa pekerja rendahan.

"Tuan benar-benar yakin dengan keputusan Tuan ini? Tidak salah?"

Alaska mengangguk disertai alis mengerut. Ia bingung kepada Cokroaminoto yang terus bicara berbelit-belit.

"Sangat yakin. Apa yang salah dengan pemeriksaan rutin?"

"Tidak salah, tapi kebijakan Tuan ini menyangkut para pekerja Tuan. Maksud saya kebijakan Tuan malah menguntungkan mereka."

"Terus? Justru bagus bukan? Dengan diperiksa secara rutin, kesehatan para pekerja saya bisa terkontrol. Mereka pun tidak mudah sakit dan hidup sejahtera."

Nasution berdecak. Obrolan dua pria itu semakin berbelit-belit. Nasution yang muak lantas masuk ke dalam obrolan.

"Ini antara omongan Cokroaminoto yang ketinggian atau memang otak kau yang IQ-nya rendah? Terus terang saja, Cokroaminoto itu sebenarnya ragu dengan tindakan kau! Seorang Tuan Belanda yang biasanya kejam mendadak baik kepada para pekerjanya pasti ada niatan terselubung!"

"Nas! Jangan bicara kasar begitu!" bentak Arabella memukul lengan Nasution.

"Apa? Aku hanya bantu meluruskan karena dari tadi otaknya tidak nyambung-nyambung macam Mahasiswa yang IPK-nya dua koma tiga!"

"Nasution! Masih juga kau ini! Diamlah, ini pembicaraan antara Cokro dan Hans, kau jangan ikut campur!"

"Persetan!" sentak Nasution, setelahnya pria itu diam memalingkan muka.

Sementara itu mulut Alaska sudah terbuka lebar. Syock terhadap dua hal. Baru saja dimaki Papanya dan dicurigai Cokroaminoto. Alaska menghela napas. Mencoba mengatur perasaannya sebelum bicara.

"Tuan Cokro, saya tidak menyangka Tuan punya pikiran se-negatif itu terhadap saya. Tapi, yah... Semua orang punya masa lalu dan masa depan juga tentunya. Barangkali memang masa lalu saya amat buruk, tetapi saya punya tekad untuk memperbaiki semuanya. "

"Lalu, atas dasar apa Tuan Hans melakukan ini? Saya hanya ingin memastikan. Tidak mungkin semuanya tergerak sesederhana itu."

"Sudah saya bilang bukan kemarin? Atas kemanusiaan yang adil dan beradab, saya ingin membantu Tuan Cokro."

Kompak Arabella dan Nasution tersentak. Keduanya saling pandang dan bicara satu sama lain membicarakan ucapan Alaska yang janggal. Pasalnya salah satu kalimat yang Alaska ucapkan sangat tidak asing bagi mereka. Ucapan Alaska barusan mengutip Pancasila sila kedua. Pada kenyataannya sila kelima pancasila itu tercetus lantaran Alaska lupa kalau orangtuanya berasal dari masa depan.

"Tapi sebelum membantu Tuan, saya haruslah melakukan pergerakan nyata untuk membuat Tuan percaya. Dengan cara ini saya membuktikannya, Tuan Cokro. Cara yang memanusiakan manusia dengan dibalut rasa keadilan yang beradab. Beradab dalam memperlakukan dan adil dalam memberi. Benar-benar sesederhana itu." sambung Alaska menatap Cokroaminoto lekat.

Beberapa saat Alaska hanya diam menatap Cokroaminoto hingga sampai di suatu detik Alaska sendirilah yang mengalihkan pandangan. Alaska kembali mengarahkan tatapannya ke Frank.

"Bacakanlah, Frank, riwayat kesehatan pekerja saya. Tanggung."

Frank mengangguk mengiyakan. Dengan disaksikan semua orang di sana termasuk para pekerja, Frank mulai membacakan buku catatan kesehatan. Alaska menyimak penuh seluruh riwayat kesehatan para pekerjanya. Setelah riwayat kesehatan selesai dibacakan, kepala Alaska lantas mengangguk-angguk.

"Sudah selesai semuanya dibacakan?"

"Sudah, Hans."

"Oke, great! Thank you, Frank." Alaska tiba-tiba berdiri membuat Sabina yang baru saja sampai tergerak. Wanita itu hendak melarang Alaska berdiri, tapi dengan satu tangannya Alaska memberi kode agar Sabina tetap diam.

Alaska menatap semua orang yang juga menatapnya penuh tanda tanya. Menunggu karena penasaran apa yang akan Alaska kerjakan.

"Bagaimana perasaannya setelah diperiksa?"

Hening. Tak ada yang menjawab pertanyaan Alaska barusan. Para pekerja hanya saling pandang untuk beberapa saat.

"Baik, Meneer."

Alaska tersenyum senang. Pada akhirnya para pekerja mau merespons.

"Tadi sudah dengar semua kan, penyampaian riwayat kesehatan masing-masing dari Dokter Frank?"

"Sudah, Meneer."

Kepala Alaska mengangguk menanggapi. "Ada yang gula darahnya tinggi, asam uratnya tinggi, tapi rata-rata kalian punya problem yang sama. Ternyata pekerja saya rata-rata darah rendah. Aduuhh, ckckck. Kurang tidur ya?"

Alaska berdecak berkali-kali sembari kepalanya menggeleng ke kanan dan ke kiri. Ucapan Alaska itu pun ditanggapi negatif oleh Nasution lewat bisikan ke Arabella.

"Apa-apaan pertanyaan dia? Para pekerjanya toh berpenyakit karena kesalahannya sendiri. Dasar tebal muka, tidak sadar diri."

"Hush, Nas! Sempat-sempatnya kau mengajakku ghibah." cerca Arabella sedetik setelah ia menendang kaki Nasution.

"Ini bukan ghibah Bel, tapi fakta."

"Ya, kan sama saja ngomongin orang." balas Arabella melotot geram.

Beralih kembali ke Alaska. Dengan diiringi tawa kecil, pria itu melontarkan pertanyaan lain.

"Atau kurang uang?"

Alaska terlihat berbisik ke Sabina. Obrolan tertutup itu diakhiri dengan anggukan kepala Sabina dan setelahnya perempuan tersebut melenggang pergi.

"Semuanya boleh berbaris dulu tidak? Ayo, ayo, berbaris yang rapih sebentar."

Semua orang melempar tatapan satu sama lain. Bertanya lewat mata atas tujuan Tuannya itu memerintah mereka untuk berbaris. Meski penasaran, para pekerja tetap memenuhi perintah. Mereka berbaris rapih di hadapan Alaska.

Tak membutuhkan waktu lama, Sabina kembali datang dengan membawa banyak kantung di nampan rotan. Kehadiran benda-benda itu semakin menimbulkan rasa penasaran di setiap benak orang-orang.

Semua menyaksikan Alaska mengambil satu buah kantung kemudian menyerahkannya ke perempuan tua yang berdiri di barisan pertama. Perempuan tua itu menerima dengan wajah keheranan.

"Opo iki, Meneer?"

"Kalau penasaran, boleh dibuka."

Perempuan tua itu diam sejenak sebelum membuka kantung di tangannya lantaran ia ragu. Namun rasa penasaran dalam dirinya lebih mendominasi. Akhirnya ia membuka kantung tersebut. Baru terbuka sedikit, tiba-tiba kantung yang berada di genggaman perempuan itu lepas dari tangan. Akibatnya orang-orang menyaksikan sepuluh koin emas gulden berserakan di lantai.

"Gusti Allah, dhuwit opo iki, Meneer? Akeh tenan! (Ya Allah, uang apa ini, Meneer? Banyak sekali!)" jerit perempuan itu suaranya gemetar.

Alaska dengan cepat mengutip koin-koin yang berjatuhan di lantai dengan dibantu Sabina. Koin-koin itu kembali Alaska masukkan ke dalam kantong. Sewaktu Alaska hendak menyerahkan lagi kantong itu, perempuan tua tersebut menolak.

"Terima, ini bonus Ibu. Bonus kalian semua."

"Bonus kados punapa puniku, Meneer? Kakathahen, setara sami gaji ingkang kula tampi. Kulo dados ngeri ambilipun."

"Laillahaillallah, kalo abjad-nya udah lebih dari 15 karakter, gue gak bisa paham lagi."

Alaska menoleh ke Sabina lalu bersuara pelan. "Sabina, tolong terjemahkan Ibu itu ngomong apa. Kamu kan tahu saya tidak paham bahasa Jawa, apalagi itu kayaknya si Ibu pakai bahasa Jawa halus."

Mulut Sabina hampir terbuka hendak mengartikan, tapi kedahuluan oleh Cokroaminoto.

"Ibu itu merasa bonus yang Tuan Hans beri terlalu banyak, setara dengan gajinya. Oleh sebab itu ia menolak. Ibu itu takut."

Seusai mendengar penjelasan Cokroaminoto, sorot mata Alaska beralih lagi ke Ibu tua itu untuk meminta pembenaran. Dan Ibu itu mengangguk. Seketika Alaska menghela napas berat.

"Dengar, tidak perlu takut. Uang yang saya berikan ini memang milik kalian. Baiklah, begini. Ingat waktu Ayah saya ingin membagikan bonus awal bulan ke kalian? Yang hanya satu gulden itu? Tapi tidak jadi lantaran saya buat keributan?"

Seluruh pekerja mengangguk. Mereka masih mengingat jelas kejadian menegang itu.

"Ini adalah bonus kalian yang tak jadi Ayah saya berikan tempo lalu."

"Tapi, jumlahnya berlebih, Meneer."

Salah seorang pekerja bersuara. Celetukan pekerja tersebut membuat para pekerja lain serentak mengangguk membenarkan. Keraguan masih tercetak jelas di wajah para pekerja. Alaska pun diam berpikir mencari alasan lain untuk meyakinkan mereka.

"Selebihnya bonus atas dedikasi kalian selama mengabdi kepada saya dan ketersediaan kalian dalam pemeriksaan kesehatan tadi. Jadi, pemeriksaan kesehatan ini akan dilakukan rutin setiap awal bulan, bersamaan dengan itu pula kalian akan mendapat bonus. Jumlahnya pun juga sama, sepuluh gulden."

Jeda beberapa saat, Alaska kembali melanjutkan ketika matanya tak sengaja menangkap salah seorang pekerja ingin protes lagi.

"Dan tolong, jangan pernah menolak sesuatu yang sudah seharusnya menjadi hak kalian dan tanggung jawab saya."

Setelahnya Alaska tak berucap apa-apa lagi. Ia langsung menutup pidatonya secara sepihak. Dalam keadaan membisu, Alaska lanjut membagi bonus tanpa memperdulikan orang-orang yang termangu menatapnya.

°°°

Alaska duduk berhadapan dengan Cokroaminoto, ditemani Mamanya di sebelah. Sementara Papanya memilih berdiri, padahal terdapat kursi kosong yang sengaja Alaska minta Sabina persiapkan. Benak Alaska mengira Papanya enggan duduk berdekatan dengan Cokroaminoto, saingannya. Posisi mereka kini berpindah ke Gazebo untuk membicarakan alasan Cokroaminoto diundang kemari.

"Maaf karena urusan tadi membuat Tuan Cokro jadi menunggu lama. Padahal perjanjian awal tidak begini. Saya sudah berbuat kesalahan fatal. Apa waktu Tuan masih tersisa untuk saya?"

"Jam berapa sekarang? Jam saya ketinggalan di rumah." ujar Cokroaminoto menimbulkan lipatan kecil di dahi Alaska. Alaska tak mengerti mengapa Cokroaminoto malah menanyakan waktu, tapi permintaan itu tetap Alaska penuhi. Alaska pun menengok jam rantainya.

"Pukul dua belas siang."

Kepala Cokroaminoto mengangguk tipis. "Masih ada waktu sebelum adzan zuhur."

Seketika terbit seulas senyum di bibir Alaska.

"Benar." balas Alaska masih mempertahankan senyumannya. "Bisa kita mulai obrolannya sekarang?"

"Kapanpun yang Tuan Hans ingatkan. Tadi sudah saya bilang bahwa waktu saya masih ada lebih kurang setengah jam lagi sebelum waktu zuhur tiba."

"Alright! Bel, siapkan buku dan pena! Catat semua poin penting dari diskusi kami!" Alaska menjentikkan jari ke Mamanya bersamaan memberi titah. Perintah dadakan itu sukses membuat Arabella kalang-kabut. Ia bergegas mencari alat tulis di dalam tas.

"Sabina," Alaska tiba-tiba menoleh ke Sabina yang berdiri tepat di sebelahnya. Tampak perempuan itu sudah siap siaga berpikir Alaska juga ingin memberi perintah kepadanya, namun rupanya tidak.

"Kenapa kamu tidak duduk? Pilihan saya masih sama. Duduk di kursi atau di pangkuan saya."

Semua orang terbelalak tanpa terkecuali. Mereka kian melotot kala melihat Alaska terang-terangan menepuk pahanya dengan mata tertuju ke Sabina.

"Sa--saya sudah duduk, Meneer." Sabina langsung mendaratkan dirinya di kursi kosong. Sudut bibir Alaska terangkat sedikit melihat Sabina salah tingkah.

Sorot mata Alaska kemudian beralih sepenuhnya ke Cokroaminoto. Diskusi siap ia mulai.

"Saya yakin Tuan Cokro sebenarnya sudah tahu alasan saya mengundang Tuan. Ini soal pemogokan Buruh di Surakarta. Kita punya masalah yang sama. Oleh karena itu saya ingin mengajak Tuan Cokro bekerjasama untuk menyelesaikan masalah tersebut."

"Tuan ingin Bekerjasama dengan saya atau Sarekat Islam?"

"Dua-duanya, Tuan Cokro."

"Itu dua hal yang berbeda, Tuan. Buruh-buruh yang melakukan aksi mogok kebanyakan diduga adalah anggota Sarekat Islam, karena itu organisasi ini terseret dalam masalah. Dan nama saya ikut terseret karena saya yang notabenya ketua Sarekat Islam cabang Surabaya kebetulan berkunjung ke Surakarta tepat saat malam pemogokan para Buruh. Oleh sebab itu orang-orang berspekulasi saya adalah dalang yang mengerahkan para Buruh untuk melakukan aksi mogok."

"That's whole point! (Itu intinya!)" Alaska berseru serentak jarinya menjentik. "Tuan Cokro adalah pelakunya, objeknya. Sementara Sarekat Islam adalah wadahnya. Memang dua hal yang berbeda, tapi antara Tuan dan Sarekat Islam saling berkesinambungan, sebab itu saya mengajak Tuan bekerjasama. Terlebih lagi, kantor pusat Sarekat Islam ada di Surakarta. Pengaruh penyelesaian masalah ini akan lebih mudah kita selesaikan karena kita berada dekat di aksesnya."

Mata Cokroaminoto memicing menatap Alaska lekat. Otak Raja Jawa tanpa Mahkota itu tengah memikirkan satu hal.

"Jika saya tanya atas dasar apa Tuan membantu saya, pasti jawaban Tuan tetap sama seperti kemarin. Atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab."

Pernyataan Cokroaminoto dibenarkan oleh Alaska. Cokroaminoto lantas melanjutkan.

"Tapi alasan itu sejujurnya belum menjawab rasa penasaran saya terhadap alasan Tuan mengajak saya bekerjasama."

Alaska mengangguk lagi. "Saya mengerti. Susah memang mengobati trust issue yang sudah beratus tahun terjadi."

Dengan berat hati, Alaska mengeluarkan surat kesepakatan yang telah ia siapkan. Di sana sudah tertera tanda tangan Idenburg, tinggal tanda tangan Cokroaminoto namun rencana Alaska berakhir gagal sebelum memulai.

Akan tetapi surat kesepakatan yang baru saja Alaska letakkan di meja, tiba-tiba Cokroaminoto ambil. Laki-laki itu mengambil pena di tangan Arabella dan menggoreskan tanda tangannya di sana.

Tindakan Cokroaminoto barusan membuat Alaska terkejut. Alaska menatap heran Cokroaminoto yang tengah mendekatkan kembali surat itu kepadanya setelah menandatangani.

"Tuan Cokro tidak setuju, tapi kenapa menandatangani surat itu?"

"Adakah saya bilang tidak setuju? Saya hanya mempertanyakan alasan Tuan mengajak saya. Beberapa alasan Tuan belum meyakinkan saya, jadi... Saya menyetujui kerjasama ini agar Tuan dapat menunjukkan alasan Tuan secara nyata. Tunjukkan lagi tindakan kemanusiaan yang adil dan beradab kepada saya, seperti sebelumnya."

Seketika mengembang senyum lebar di bibir Alaska. Alaska tahu tindakan sebelumnya yang Cokroaminoto maksud. Pemeriksaan kesehatan para pekerjanya berhasil membuat Cokroaminoto setuju. Alaska senang sekali Cokroaminoto bersedia dengan tawarannya.

Telapak tangan Alaska terulur.

"Siap bekerjasama, Tuan Cokroaminoto?"

Cokroaminoto menerima uluran tangan Alaska. Kedua pria itu saling berjabat tangan. Di detik itu juga Alaska langsung membuat keputusan untuk rencana mereka selanjutnya.

"Semuanya, sampai jumpa di stasiun lusa."

°°°

Waktu berlalu. Hari rencana yang ditentukan Alaska tiba. Ramai orang berlalu-lalang di stasiun. Di tengah keramaian itu ada Arabella dan Nasution. Keduanya mesti memecah lautan manusia agar sampai di lokasi yang telah disepakati. Persis dekat kereta api menjadi titik temu mereka. Sebab itu mata Arabella lekat menatap ke seberang untuk mencari sosok Hans.

"Ayo, cepat, Nas! Jalanmu jangan lambat-lambat!"

"Hei, kau yang membuat kita terlambat! Dandan sampai setengah jam!" amuk Nasution tidak terima disalahkan.

"Ih, kan supaya keliatan cantik makanya lama."

"Apanya yang cantik? Mukamu tidak ada yang berubah pun."

"Nas, mulutmu ngomong kayak tidak mengenal budi pekerti! Matamu itu yang salah, ada perubahannya gini kok. Lebih Shining, shimmering, splendid." Arabella tersenyum lebar disertai matanya berkedip-kedip berpose di hadapan Nasution.

Nasution tersenyum remeh menatap tingkah Arabella itu. Ia membuang muka lantas geleng-geleng kepala. Respons Nasution yang demikian membuat Arabella mencebik. Wanita itu memukul dada Nasution untuk melampiaskan rasa kesalnya. Setelah itu Arabella berbalik lagi menatap seberang. Tak lama menoleh, ia menemukan sosok Hans, pembantu perempuannya, Arabella lupa namanya, dan Cokroaminoto.

"Hah, Nas, itu mereka! Itu Hans, di sana!" Arabella menepuk berkali-kali lengan Nasution agar laki-laki itu menatap juga ke arah yang ia lihat. "Aaaa, sudah ada Cokro juga Naasss!"

Alis Nasution spontan terangkat melihat perubahan sikap Arabella yang mendadak. Kini perempuan itu dilanda rasa salah tingkah sampai memukul-mukul gemas lengannya.

"Jangan senang dulu, kau tidak lihat perempuan di sebelahnya."

Dengan tangan sendirinya, Nasution memutar kepala Arabella. Dari yang awalnya mengarah kepadanya, jadi menoleh searah ke Cokroaminoto. Rupanya Cokroaminoto membawa istrinya juga.

"Aaakkk, kenapa dia membawa perempuan itu jugaaa!" teriak Arabella kesal. Pukulan gemas di lengan Nasution tadi sekarang berubah menjadi pukulan keras.

"Wajar perempuan itu ikut serta, dia istri sahnya Cokroaminoto." timpal Nasution, sengaja menekan kata istri sah.

"Kau merusak hariku, Nas! Aku membencimu!"

Bugh!

Setelah menayangkan satu pukulan di dada, Arabella kemudian berbalik melenggang pergi seorang diri. Napas Nasution tertahan. Mencoba sabar menghadapi tingkah perempuan semacam Arabella yang sering berubah-ubah.

"Siapapun yang menjadi suaminya, mesti punya stock sabar yang tak terhingga. Kasihan pria itu." keluh Nasution menggeleng miris.

Kaki Nasution pun mulai melangkah mengejar kepergian Arabella. Tapi di perjalanan, Nasution tak sengaja menabrak bahu seseorang. Menyebabkan ia refleks menoleh ke pria itu. Nasution menatap lekat punggung sosok yang baru saja menyenggolnya. Perlahan mata Nasution membulat. Nasution menyentuh sakunya yang terdapat jam rantai miliknya di sana. Sekarang jam itu bereaksi. Mengeluarkan cahaya sewaktu ia dan pria itu bertabrakan.

Kejadian itu lantas membuat Nasution berbalik mengejar pria itu. Di tengah perjalanannya, Arabella sempat menoleh ke belakang untuk melihat apakah Nasution mengikutinya apa tidak. Namun ketika melihat Nasution malah berbalik arah, Arabella spontan mengejar kepergiaan pria itu.

"Nas, kau mau ke mana?! Nas!" Arabella berhasil menarik tangan Nasution. "Hei, kau mau ke mana, Nas?!"

"Mengejar pria itu." jawab Nasution tanpa mengalihkan pandangannya. Ia terus menatap pria yang baru saja menabraknya. "Kau duluan saja, aku akan menyusul."

"Mana bisa begitu!" Arabella menarik lagi tangan Nasution saat pria itu hendak pergi.

"Aku ingin mengejar pria itu, Bel!" bentak Nasution kelepasan dan di balas bentakan pula dengan Arabella.

"Buat apa?! Kenapa kau ingin mengejarnya?!"

"Dia Resitor!"

Arabella terdiam sejenak. Nada suaranya setelah itu memelan.

"Terus? Kenapa, Nas? Bukankan hal biasa ada satu resitor dalam satu waktu?"

"Betul, dan itu artinya orang pilihan yang ia bawa ada di sekitar sini."

Deg!

Arabella tersentak. Wajahnya yang semula tenang berubah tegang. Kalimat Nasution selanjutnya lebih membuat Arabella terkejut.

"Resitor tak pernah jauh memantau orang pilihan yang ia bawa, Bel."

"Orang pilihan itu ada di sini. Orang dari masa depan. Tapi, siapa?"

Tatapan Arabella mengedar ke sekeliling. Matanya nanar menatap awas orang-orang. Sampai di suatu ketika, sorot matanya dan Nasution mengarah ke orang yang sama.

Tuan kopi yang tersohor seantero Hindia Belanda, Hans Frederick van de Idenburg.

°°°

Bersambung...

Nasution ketemu Wisnu versi muda bakal gimana ya? Atau Arabellanya? Tapi kira-kira mereka bakal bisa ketemu gak?

FAKTA SEJARAH!

1. Cokroaminoto di tahun 1912 belum jadi ketua inti, tapi masih jadi ketua cabang SI Surabaya karena dia baru masuk di tahun itu. Ketua Central SI masih dipegang Samanhoedi.

2. Kantor pusat Sarekat Islam ada di Surakarta karena tempat tinggal ketuanya, Samanhoedi ada di sana. Nanti setelah Cokroaminoto terpilih jadi ketua central, kantor pusat SI bakal ikut pindah ke Surabaya.


Walaupun publishnya telat, tolong jangan lupa tekan VOTE & tinggalkan KOMENTAR-KOMENTAR positif di sini ya! Ramaikan lapak ini terus kayak MTAL supaya diriku punya alasan untuk bertahan namatin cerita ini😞. Lop yu tomat deh❤🍅.

❤Follow IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top