1. SACI - Pindah Masa

Perhatian! Part ini terdiri dari 4.700 kata yang di bawahnya dilengkapi dengan FAKTA SEJARAH. Oleh karena itu, dimohon untuk meramaikan lapak ini dengan VOTE & COMMENT yang membangun. Jika kalian ingin mendapatkan bacaan yang berkualitas dan penulis yang berkualitas juga, maka itu mesti dimulai dari pembaca dulu. Karena penulis itu buat cerita lihat pasar. Kalau pasar bacaan yang disukai itu lulusan SMA langsung jadi CEO, maka itu adalah bacaan yang banyak akan kalian temui di beranda wattpad🙏.

°°°

Malam hari di sebuah jembatan yang mengalir deras sungai di bawahnya. Terjadi percakapan serius diantara dua pria. Alaska berhadapan dengan seorang pria misterius yang tiba-tiba datang menghampirinya. Pria itu berpakaian serba hitam, senada dengan topi laken yang menutupi kepalanya.

"Agar lebih jelas dan kau pun tahu siapa aku, bagaimana kalau kita berjalan-jalan ke masa lalu sebentar? Biar jam itu yang menuntunmu."

"Ha?"

Alaska melongo. Tak mengerti maksud ucapan pria asing itu. Detik selanjutnya pria itu kembali bicara.

"Setelahnya kau tinggal memilih. Berusaha mempersatukan kedua orangtuamu, atau justru memecah-belah mereka."

Grep!

Secara mengejutkan pria asing itu tiba-tiba mencekik leher Alaska, sehingga membuat tubuhnya perlahan terangkat ke atas. Alaska meronta-ronta. Kedua tangannya berusaha melepaskan cengkeraman pria itu, namun tak mengendur sedikitpun. Cengkeram pria itu justru semakin mengetat.

Kepala Alaska spontan mendongak ke atas lantaran ia mendapat ribuan penglihatan hilir mudik masuk ke dalam pikirannya. Tak lama, cahaya putih terpancar dari kedua mata Alaska. Mata Alaska melebar melihat serangkaian peristiwa itu.

Byur!

Setelahnya pria itu melempar tubuh Alaska ke sungai. Air beriak tak tenang lantaran Alaska mencoba meraih permukaan. Entah mengapa semacam ada pemberat besi yang menarik tubuh Alaska untuk tenggelam ke dalam sungai sampai-sampai Alaska tak mampu bergerak lagi. Pada akhirnya tubuh Alaska benar-benar tenggelam. Permukaan air yang semula bergerak tak tenang mendadak tenang.

Melihat hal tersebut, pria asing yang baru saja mendorong Alaska tersenyum puas. Cahaya rembulan menyinari titik permukaan air di mana sebelumnya Alaska jatuh.

"Selayaknya air sungai itu, selami lah sedalam-dalamnya hikmah yang akan kau dapat malam ini. Di sana kau tidak sendiri. Kau tetap kembali ke rumah karena mereka ada. Baik buruknya peristiwa yang akan datang, biarkan hatimu yang menuntun. Walau itu merupakan titik terlemah yang dimiliki manusia, namun hati tak pernah salah dalam mengarahkan."

Setelahnya pria itu melangkah hendak pergi, namun terhenti karena merasa menginjak sesuatu di tanah. Ketika menunduk, ia menemukan sebuah jam rantai emas. Jam kuno itu milik Alaska yang terjatuh sewaktu dicekik.

Pria asing tersebut mengambil jam rantai kuno itu. Ia menatap jam tersebut dengan senyum miring tercipta.

"Jika benar darah lebih kental daripada air, mereka pasti akan mengenalimu dalam keadaan apapun."

Seusai berkata demikian, jam kuno tersebut terbakar dan berubah jadi abu di dalam genggamannya. Pria itu kemudian benar-benar pergi tanpa rasa bersalah setelah melempar orang ke sungai.

°°°

Seorang perempuan sedang memeras selembar kain yang baru saja ia rendam ke dalam air di baskom. Perempuan itu duduk di tepi ranjang, berhadapan dengan seorang pria yang terbaring dengan mata tertutup rapat. Pria itu berkulit putih, amat kontras dengan warna kulit si perempuan yang kuning langsat.

Perlahan mata laki-laki yang terbaring di ranjang terbuka. Perempuan itu sadar setelah menoleh, ada sepasang mata yang sedang memandangnya.

"Meneer! Meneer sudah sadar?!" ujar perempuan itu dengan senyum mereka. Berbanding terbalik, respons si laki-laki malah tampak kebingungan. Alisnya saling beradu menimbulkan kerutan di dahi.

Laki-laki itu tampak hendak bicara, namun satu patah kata pun tak ada yang keluar. Ia kesulitan bicara lantaran tenggorokannya terasa kering dan pedih. Perempuan itu peka kala melihat laki-laki dihadapannya menyentuh tenggorokan. Laki-laki yang ia panggil Meneer ini membutuhkannya minum.

"Saya akan ambilkan minum untuk, Meneer." ucap perempuan itu lantas beranjak, namun lelaki tersebut mencekal lengannya.

Beberapa detik mereka saling berpandangan. Selanjutnya tatapan perempuan itu mengarah ke lengannya yang sedang digenggam.

"Sebentar saja. Meneer tunggu di sini." sambung perempuan itu sambil tersenyum tipis.

Dengan perlahan ia melepaskan genggaman tangan pria itu dan melangkah pergi. Ia menuruni tangga menuju dapur. Di dapur, ia bukan hanya mengambil minum untuk si Meneer melainkan makanan.

Saat sedang mengambil lauk pauk ke piring, seorang perempuan paruh baya menghampirinya.

"Meneer wis tangi? (Meneer sudah bangun?)"

"Uwis (Sudah)." jawab perempuan itu tanpa menatap lawan bicaranya. Ia tetap melanjutkan aktivitasnya.

Beberapa saat tak ada obrolan lagi di antara keduanya. Perempuan paruh baya yang tadi bertanya hanya diam memandangi aktivitas perempuan di depannya.

"Piye? Meneer ora nesu karo kowe? (Gimana? Meneer marah ndak sama kamu?)"

Lontaran pertanyaan kali ini sukses menghentikan aktivitas si perempuan muda. Sendok yang berada di genggamannya menggantung di udara.

"Mboten, Mbak Yu. (Tidak, Mbak)." jawabnya pada akhirnya. Ia lantas kembali melanjutkan aktivitas hingga selesai.

"Oh, wislah. Amarga wingi, sampeyan nggawe dheweke kaya ngono (Oh, baguslah. Soalnya kan semalem, kamu yang buat dia jadi begitu)."

Trang!

Sendok ditangannya spontan ia banting ke meja sesaat mendengar ucapan perempuan paruh baya itu. Tatapan tajam langsung ia layangkan.

"Mbak Yu iki ngopo to? Mbak Yu isih ora pracaya marang aku? (Mbak ini kenapa sih? Mbak masih gak percaya sama aku?)"

"Oh, ya, mesthi! Sampeyan sing lungo karo Meneer. Mung mulih, kahanane koyo ngono! (Oh, ya, jelas! Kan kamu yang pergi bareng Meneer. Pas pulang keadaannya sudah kayak gitu)"

"Terserah Mbak Yu, yen ora percoyo! (Terserah Mbak Yu kalau tidak percaya)!"

Secara sepihak ia mengakhiri perdebatan dengan perempuan paruh baya itu. Dengan cepat ia menaruh piring berisi makanan dan segelas air ke atas nampan dan bergegas pergi. Sebelum benar-benar menjauh, perempuan paruh baya di dapur berteriak.

"Aku wis ngomong marang bapake. Embuh sesuk utawa suk emben, bapake mesti teka menyang rene gae tilik anake. Jogo-jogo wae kowe! (Aku sudah kasih tau Bapaknya. Entah besok atau lusa, Bapaknya pasti datang ke sini buat jenguk Anaknya. Siap-siap aja kamu!)"

Langkahnya sempat terhenti karena ucapan itu. Tapi tak berlangsung lama, ia kembali lanjut berjalan. Pergi dan tak menggubris ucapan si perempuan paruh baya barusan.

"Delok wae mengko. Meneer wae ora perduli padha kowe kok. (Lihat saja nanti. Meneer saja nggak peduli sama kamu kok.)"

°°°

Sekembalinya di kamar, perempuan itu tak menemukan siapapun di sana. Ruangan itu kosong. Meneer, lelaki yang menjadi perdebatan dirinya dengan seorang wanita paruh baya di dapur kini menghilang.

"Meneer? Loh, kok, ndak ada?"

Ia berjalan masuk lebih dalam ke kamar. Nampan yang ia bawa ditaruhnya ke atas nakas, kemudian ia berjalan menuju ruangan lain yang merupakan kamar mandi. Di sana ia juga tak menemukan sang Meneer. Melihat itu, perasaannya berubah panik.

"Meneer! Meneer!"

Perempuan itu berteriak ke sekeliling kamar. Mencari keberadaan Meneer ke sana ke mari. Sampai di luar kamar, ia berpapasan lagi dengan perempuan paruh baya di dapur.

"Ono opo (ada apa) ribut-ribut, Sabina?"

"Meneer ilang (hilang), Mbak Yu!"

°°°

Alaska sudah berhasil keluar dan kini berhenti di depan teras. Matanya melebar menengok ke sana ke mari karena mendapati lingkungan di sekitarnya sangat asing.

"What the hell, gue lagi nyasar di rumah siapa nih?"

"Wis, ojo edol koran menyang rene! Meneer bisa nesu padha kowe! Aku pun iso kena nesu! Aduh, kowe ora demen nyawa kah? (Sudah, jangan jual koran ke sini! Meneer bisa marah sama kamu! Aku pun bisa kena marah! Aduh, kamu nggak sayang nyawa kah?)"

Fokus Alaska buyar saat mendengar suara dari arah kanannya. Alaska menoleh dan menemukan dua lelaki tengah mengobrol. Yang satu memegang sapu lidi dan yang satu memegang banyak koran dengan menggendong tas berisi tumpukan koran lain.

"Mungkin gue bisa tanya ke mereka cara pulang ke rumah?" pikir Alaska di batin.

"Iki mung koran, kok Meneer nesu? (Ini kan cuma koran, mana mungkin Meneer marah?)"

"Nanging iki koran De Express! Duwe Douwes Dekker! Propaganda iku kabeh! (Tapi ini koran De Express! Milik Douwes Dekker! Propaganda semua isinya!"

"Alah, propaganda-propaganda ngono isi kabare bener kabeh kok. ( Alah, propaganda-propaganda begitu isinya bener semua kok)" Pria yang merupakan penjual koran itu menunjuk salah satu kolom berita acara.

"Delok iki! Manut info neng kene, buruh-buruh ing Surakarta sing mogok nyambut gawe wingi iku akeh-akeh anggota Sarekat Islam! Kebetulane maneh, Tuan Cokroaminoto nembe mulih soko kono. Kowe kepikiran ora? Biso wae Tuan Cokroaminoto ing mendalangi pemogokan para buruh? Yo ta? Meneer mesthi sependapat karo aku. Asih aku mlebu! Aku arep asih Meneer woco iki koran! (Lihat ini. Menurut info di sini, Buruh-buruh di Surakarta yang mogok kerja kemarin itu kebanyakan anggota Sarekat Islam! Kebetulannya lagi, Tuan Cokroaminoto baru pulang dari sana. Kamu kepikiran gak? Bisa saja Tuan Cokroaminoto yang mendalangi pemogokan para Buruh? Ya kan? Meneer pasti sependapat sama aku. Kasih aku masuk! Aku mau kasih Meneer baca ini koran!)"

"Eh, ora iso! Meneer saiki loro, oja nambahi beban pikirane! Wis, lungo! Kejaba iku urusane Bupati Solo. (Eh, tidak bisa! Meneer sedang sakit, jangan lagi kamu tambahkan beban pikiran dia! Sudah, sana pergi! Lagian ini urusan Bupati Solo.)" timpal pria satunya, gesit menghalangi penjual koran agar tak menerobos masuk.

"Iki juga urusan Meneer ngerti! Piro-piro buruh sing melu mogok iku buruh-buruh pabrik Meneer sing ono ing Solo! (Ini juga urusan Meneer tahu! Beberapa Buruh yang ikut mogok itu Buruh-buruh Pabrik Meneer yang ada di Solo!)"

Terjadi aksi dorong-mendorong di antara kedua pria itu. Di moment itu, barulah Alaska mendekat menghampiri. Sedari tadi ia hanya diam menguping pembicaraan mereka dengan maksud mendapatkan info berguna soal dirinya. Akan tetapi nihil. Tak satupun info yang Alaska dapat karena ia tak mengerti bahasa mereka.

"Permisi, Pak. Ada yang tahu ini di mana? Saya mau pulang, tapi gak tahu daerah sini."

"Meneer!!!"

Alaska terperanjat. Dua pria di depannya sontak menjerit histeris. Bukan hanya itu. Mereka bahkan serentak bersujud. Alaska yang mendapati perlakuan itu spontan mundur. Alaska menatap bingung kedua pria itu bergantian.

"Ha, kenapa nih, Pak?!"

"Bjir, malah sembah sujud cok, kayak emot-emot di Ep-ep. Please, berdiri Pak, gue gak mau menyaingi Dajjal!"

"Ngapura, Meneer. Kulo lalai ngambengi Panjenenganipun mlebet. Sapisan malih ampuni kulo, Meneer. (Mohon maaf, Meneer. Saya lalai menghalangi dia masuk. Sekali lagi ampuni saya Meneer.)"

"Pak, saya gak ngerti bahasa Jawa. Bapak bisa pakai bahasa Indonesia Raya yang baik dan bener gak?" ucap Alaska dengan nada lembut yang dipaksakan.

"Mboten saget, Meneer. (Tidak bisa, Meneer)." jawab Bapak itu, suaranya bergetar.

Alaska berdecak karena dua hal. Jengah karena Bapak itu masih memakai bahasa Jawa yang sama sekali tidak Alaska mengerti, dan Bapak itu masih setia berlutut kepadanya seolah ia adalah Raja.

"Bapak berdiri dulu deh, soalnya saya gak bisa lihat wajah Bapak. Kan kalau ngomong sama lawan bicara itu mesti tatap-tatapan. Ya, nggak?"

Nihil.

Kedua Bapak itu tak bergeming. Permintaan Alaska tadi tak dituruti. Meski demikian, Alaska masih terus mencoba sabar. Akhirnya Alaska mengalah. Ia berjongkok agar dapat lebih dekat kepada dua Bapak itu.

"Bapak gak perlu segala macem berlutut begini. Saya cuma nanya kok, setelah itu saya bakal pergi." tutur Alaska, menyentuh pundak Bapak itu.

Ketika telapak tangannya bersentuhan dengan pundak Bapak itu, Alaska merasakan getaran yang hebat. Tubuh Bapak itu gemetar. Kian bertambah ketika Alaska menyentuhnya.

"Sebenarnya mereka pada kenapa sih? Kok ketakutan banget kayak abis liat hantu." batin Alaska, menatap bergantian dua pria yang dalam posisi bersujud itu.

Di saat itulah, mata Alaska tak sengaja bertabrakan dengan salah satu tulisan kapital di halaman depan koran. Alaska langsung mengambil koran itu untuk membacanya lebih dekat.

DE EXPRESS
--------
"Arbeiders in Surakarta staken. Heeft Sarekat Islam het recht om verantwoordelijk te zijn?"

"Beneran pakek bahasa Belanda, tapi kok diperbolehkan sama pemerintah? Ini kan, bukan lagi zaman Kolonial. Yang kayak gini harusnya di proses kepolisian."

Alaska coba menerjemahkan berita yang ditulis menggunakan bahasa Belanda itu ke bahasa Indonesia. Saat tahu isi berita acaranya, Alaska semakin dibuat janggal. Koran itu memberitakan bahwa Sarekat Islam bertanggung jawab atas pemberontakan Buruh di Surakarta.


"Sarekat Islam? Namanya kayak gak asing. Siapa sih, jurnalist sinting yang ngetik koran Indonesia pakek bahasa Belanda?"

Bola mata Alaska kemudian mengarah ke sudut bagian atas koran. Di sana tertera nama penulis dan penyunting dari koran ini.

"F. E. Douwes Dekker."

Diri Alaska seketika tersentak. Nama itu sangat tidak asing saat ia eja. Seluruh kalimat-kalimat yang ia temukan di koran ini sangat tidak asing. Alaska seperti pernah mendengar kalimat ini di suatu kebetulan.

Tatkala menoleh ke arah kiri, Alaska menemukan tulisan lain yang lebih mencengangkan. Kali ini perasaan janggal yang Alaska rasakan sedari tadi terjawab sudah saat membaca tanggal koran di cetak.

"5 Agustus tahun 1912?! HAH?!"

Mata Alaska melebar. Ia memajukan koran itu lebih dekat. Barangkali ia salah lihat atau justru koran ini yang salah pengetikan. Namun setelah dilihat lebih jelas, tahun yang tertulis memang 1912.

"AAAAKKK!"

Alaska tiba-tiba menjerit, membuat dua pria yang masih bersujud tadi terperanjat. Ragu-ragu mereka mendongakkan kepala untuk melihat apa yang menyebabkan si Meneer sampai berteriak sekencang itu.

"Ini tahunnya beneran 1912?!" tanya Alaska, menunjukkan koran itu ke hadapan kedua pria tadi. Penjual koran pun menyahut mengiyakan.

"Betul, Meneer! Meneer sudah baca beritanya?! Menurut Meneer, apakah Sarekat Islam benar-benar terlibat?"

"Meneng kowe! (Diam kamu!)"

Pria satunya lagi menyikut. Memberi teguran lantaran nada suara rekannya terdengar bersemangat. Semestinya posisi mereka tetap seperti tadi, menunduk memohon ampun sampai Meneer memberi maaf atau setidaknya pergi.

"Jadi, sekarang memang tanggal 5 Agustus 1912? Gak bohong?" tanya Alaska ulang. Dua orang pria itu lantas mengangguk membenarkan, membuat Alaska lagi-lagi berteriak.

"AAAAKKK!"

"AAAAKKK!"

Teriakan Alaska yang begitu tiba-tiba, spontan saja membuat dua pria tadi jadi ikut berteriak karena kaget. Alhasil ketiganya saling berteriak. Teriakan itu berhenti ketika Alaska berhenti.

Alaska berdiri, lalu menjambak rambutnya frustasi. "Mustahil sekarang gue lagi di masa lalu. Gak mungkin! Mana mungkin perjalanan waktu itu nyata! Itu cuma ada di film-film, film Marvel! Kalopun ada, kenapa mesti gue yang kena? Dari sekian banyak orang pintar yang bisa dipilih, kenapa mesti gue?!"

"Bener, toh? Meneer bener-bener kaget woco kabare. Delok iku. Meneer nganti jambak-jambak rambute. Dheweke mesti lagi mumet mikir pabrike. (Kan, benar. Meneer benar-benar terkejut baca beritanya. Lihat itu. Meneer sampe jambak-jambak rambut. Dia pasti lagi pusing mikirin pabriknya.)" bisik penjual koran tersenyum sombong kepada temannya sebab praduganya terbukti. Sementara temannya mendengus.

Padahal tebakan mereka itu salah besar. Alaska menjambak rambut karena sulit menerima kebenaran dari peristiwa yang menimpanya. Sekalipun peristiwa ini sedang ia alami, Alaska masih sulit mempercayai.

"Bapak tua misterius itu. Ini pasti ulah dia. Gue begini karena dia dendam sama gue, tapi dia duluan yang mulai mancing emosi. Dateng-dateng main nyerocos aje! Kayaknya dia orang jadi-jadian. Gue harus bisa nemuin dia. Dia yang bawa gue ke sini, jadi cuma dia juga yang bisa bawa gue pulang dengan cara...?"

Batin Alaska terhenti sejenak. Alaska mengingat kembali kejadian terakhir sebelum akhirnya ia berakhir di sini.

"... tenggelam di sungai. Dia dorong gue setelah percakapan kami di jembatan tua--- JEMBATAN TUA! Itu dia! Mungkin jembatan itu bisa menghubungkan gue ke masa depan!"

Alaska kembali berjongkok. "Bapak-bapak tahu jembatan tua di sekitar sini?"

"Jembatan tua banyak, Meneer. Jembatan tua mana yang Meneer maksud?" pria satunya balik bertanya dengan sedikit kebingungan. Ia bingung alasan Meneer-nya bertanya soal jembatan untuk apa.

Alaska membisu mendadak. Ia terlewat satu hal penting dari serangkaian kejadian aneh yang belum ia pertanyakan.

"Ngomong-ngomong ini di mana, Pak?"

"Surabaya, Meneer."

"Aaaaakkkk, kok bisaaaa?!"

Untuk sekian kalinya Alaska berteriak tanpa aba-aba. Pria yang diajak bicara oleh Alaska sampai memejamkan mata menahan bising yang masuk ke gendang telinganya.

"Ini bukan Jakarta, Pak?"

"Jakarta itu di mana, Meneer?"

"Aaaakkk, gue beneran time travel anjiirrr!" Alaska berteriak sambil menjambak rambutnya, lagi. Setelahnya Alaska meremas kedua pundak Bapak itu dan menatapnya serius. "Cepat kasih tahu saya, Pak! Di mana jembatan tua di sekitar sini? Jembatan apa aja yang penting jembatan dan ada sungai di bawahnya!"

"Je--jembatan mer--rah, Meneer!" jawab pria itu gagu. Pasalnya Alaska mencengkeram pundaknya disertai wajah serius.

"Jembatan merah di mana?"

"Di balai kota, Meneer."

"Balai kota di mana lagiii?!" tanya Alaska greget. Alaska lalu menarik napas panjang. "Okeh, gak papa, Pak. Saya bisa tanya orang lain pas di perjalanan. Oke deh, makasih Bapak-bapak semua."

Alaska beranjak dari posisinya. Ia berdiri bersiap perg. Namun sebelum itu, Alaska memberi pesan-pesan terakhir sebagai bentuk berpamitan.

"Jalan-jalan ke pasar bareng janda."

"Ha, Meneer sekarang mau jalan-jalan dengan Janda ke pasar? Meneer bisa ketemu janda di mana?" celetuk penjual koran terkejut bukan main. Tak elak rekannya juga.

"Balas aja cakep, Pak, gak usah ribet! Cakep, bilang!" titah Alaska paksa. Kedua orang itupun menurut tanpa protes.

"Ca--cakep!"

"Pulangnya naik taksi biru. Terima kasih atas bantuannya. Saya pamit pergi dulu. Assalamu'alaikum!!!"

"Waalaikumsalam!"

Keduanya menjawab salam yang Alaska lontarkan seraya terus memperhatikan Alaska yang berlari menjauh. Penjaga koran tersenyum lebar.

"Salut aku karo, Meneer. Durung owah soyo ndadro apik. Koyo sing diomong Tuan Cokro. Hijrah. Alhamdulillah. (Salut aku dengan, Meneer. Sudah berubah semakin baik. Kayak yang dibilang Tuan Cokro. Hijrah. Alhamdulillah)"

Plak!

Tak lama satu pukulan diterima penjual koran dari rekannya. Ia mengusap kepala bagian belakangnya yang nyeri.

"Meneer bukan islam, guoblok!"

"Loh, iya! Terus tadi kenapa dia nyebut salam?"

"Guoblok!"

Percakapan antar kedua pria itu terhenti tatkala dua perempuan dari dalam rumah keluar tergesa-gesa menghampiri mereka.

"Heh, Darso! Kowe ndelok Meneer? (Hei, Darso! Kamu lihat Meneer?)"

Pria yang memberitahu letak jembatan ke Alaska menjawab ketika namanya dipanggil.

"Wau isik tas lungo, Ndoro. (Tadi baru saja pergi, Nyonya.)"

"Menopo kowe jarke Meneer lungo?! Golek saiki! Cepet! (Kenapa kamu biarkan Mener pergi?! Cari sekarang! Cepat!)"

"Ng--nggih, Ndoro!!!"

Darso berlari terbirit-birit setelah melempar sembarang sapu lidi yang ia pegang. Tersisa penjaga koran bersama dua perempuan tadi.

"Kamu juga!" bentak perempuan yang dipanggil Ndoro.

"Nanging kulo mboten abdi dalem ing kene, Ndoro. (Tapi saya bukan pekerja di sini, Ndoro)."

"Golek wae wis! (Cari saja sudah!)"

"Nggih, Ndoro! Nuwun sewu! (Baik, Ndoro! Permisi!)"

Setelah dibentak, tanpa protes lagi penjual koran langsung belari mengejar kepergian Darso. Dua orang itu mencari Meneer pemilik Pabrik yang kabur.

°°°

Alaska terdiam dengan napas terengah-engah setelah lama berlari mengikuti insting. Ia melihat sekelilingnya. Kalau memang ini Surabaya seperti yang dibilang Bapak di rumah tadi, setidaknya Alaska akan melihat beberapa gedung-gedung atau motor berkeliaran. Akan tetapi yang Alaska temui malah delman, mobil kodok, pesepeda, dan pejalan kaki.

Pakaian orang di sini pun jauh dari kata modern. Laki-lakinya menggunakan batik tapi warnanya kusam dan yang perempuan memakai kebaya janggan. Persis kebayanya seperti yang dipakai perempuan yang ia temui di kamar.

"Kayaknya semua ini nyata. Gue bener-bener time travel ke tahun 1912. Jadi, ini penampakan Surabaya di tahun 1912. Tapi, kenapa harus Surabaya?" gumam Alaska putus asa. Alaska tak dapat menepis kenyataan lagi. Semuanya sudah jelas ada di depan mata.

Beberapa detik larut dalam lamunan, Alaska menyadari orang-orang sekitar banyak menepi setelah melihatnya. Mereka menunduk dan rata-rata berucap kata yang sama.

"Alle welzijn is alleen voor Meneer. (Segala kesejahteraan hanya untuk Meneer.)"

"Buset! TBL, TBL, TBL! Takut banget loch, dari tadi gue disembah macam Tuhan! Orang jaman dulu pada kenapa sih?"

"Meneer, berhenti, Meneer! Meneer mau ke mana?! Jangan kabur!"

Alaska tersadar, sontak menoleh ke belakang. Dari kejauhan Alaska melihat Bapak-Bapak yang ia temui di rumah tadi mengejarnya.

"Bjir! Ternyata mereka ngejer!"

Menyadari itu, Alaska melanjutkan pelariannya. Terjadi aksi kejar-kejaran antara Alaska dan Bapak-bapak itu. Orang-orang yang lalu-lalang hanya dapat melihat kejadian itu dengan wajah penuh tanda tanya.

"Permisi gaes! Excuse me! Cowok ganteng Anak Tante Arabella mau lewat!" Alaska berteriak selagi melewati orang-orang.

Aksi kejar-kejaran Alaska menarik perhatian semua orang, tak terkecuali seorang pria berkumis memakai blangkon beserta anak dan istrinya. Akibat keributan yang ditimbulkan Alaska, membuat mereka yang hendak menaiki trem jadi menunda keinginan itu. Mereka memperhatikan Alaska yang baru saja melintas.

"Siapa iku?" tanya istrinya.

"Meneer Hans Frederick van de Idenburg, Ndoro." jawab sopir trem.

"Van de Idenburg?" sahut si pria berkumis, memastikan ulang. Sopir trem mengangguk.

"Nggih, Tuan Cokro."

Pria yang dipanggil Tuan Cokro itu tersenyum miring. Mendengar marga dari pria itu menimbulkan respons menarik bagi Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota. Cokroaminoto langsung mengenali raga yang Alaska tempati dari nama belakangnya.

"Gubernur Jenderal Idenburg seharusnya mengetahui kekacauan yang diperbuat Anaknya sebelum mendikte anggota-anggotaku."

Ucapan Cokroaminoto tak mendapat balasan dari siapapun, baik dari Sopir trem maupun istrinya, Suharsikin. Selain tak memiliki pengetahuan mengenai politik yang dihadapi Sarekat Islam terhadap pemerintah kolonial Belanda, mereka juga merasa sungkan.

Kemudian Cokroaminoto masuk ke dalam trem lebih dulu disusul Anak dan istrinya. Sebelum naik, Suharsikin membeli koran yang ditawarkan oleh pedagang sekitar.

Trem mulai begerak. Setelah duduk dan mengatur barang, Suharsikin pun membaca koran yang ia beli untuk melihat berita terbaru hari ini. Baru saja menengok halaman utama, Suharsikin dikejutkan dengan berita yang tercantum.

SINPO
--------
"Sarekat Islam Dalang Dibalik Pemogokan Sejumlah Buruh"

"Kangmas, ndelok iki."

Titah istrinya Cokroaminoto penuhi. Ia menengok dan membaca kolom surat kabar yang istrinya tunjuk. Setelah membaca berita itu, raut muka Cokroaminoto tampak acuh.

"Aku sudah menduga kalau Pemogokan Buruh-buruh di Surakarta akan diberitakan begini. Dari awal mereka memang sengaja mencari kesalahan Sarekat Islam agar mereka punya alasan untuk tidak menerbitkan Surat Keputusan. Akhirnya mereka menemukan celah itu dari kejadian ini."

"Menurut Kangmas, apakah tindakan para Buruh malah menghancurkan Sarekat Islam?"

"Tidak. Keputusan mereka sudah benar. Ini bukan soal organisasi, tapi murni keinginan mereka yang meminta hak mereka. Penguasa-penguasa bersikap tidak adil pada pribumi, memberi mereka upah rendah bahkan tidak sama sekali. Kebijakan Deandles rupanya masih terus diterapkan, memaksa orang bekerja tanpa diberi upah."

"Bagaimana jika Kangmas ikut terseret dalam kasus ini? Di koran, nama Kangmas banyak diungkit."

"Aku akan bertanggung jawab." cetus Cokroaminoto menatap istrinya lekat. Tak ada sedikitpun keraguan di kedua mata itu. "Jika hanya karena aku ada di Surakarta sewaktu pemogokan itu terjadi dan mereka memanggilku untuk dimintai keterangan, akan kupenuhi panggilan itu."

"Semoga semuanya baik-baik saja." ucap Suharsikin, menggenggam telapak tangan suaminya lalu menyender ke pundak lelaki itu.

°°°

Alaska akhirnya menemukan sebuah jembatan, namun ia ragu. Bentuk jembatan ini tak begitu mirip dengan jembatan terakhir kali ia jatuh. Bukan air sungai yang mengalir di bawahnya, tapi hanya kali.

"Ah, bodo lah! Di coba aja dulu, daripada gak sama sekali. Kalo bangun-bangun cacat, gue punya asuransi. Kalo mati, ya, wassalam." ucap Alaska dengan keyakinan yang dibalut keputusasaan.

Alaska mulai menaiki tembok beton jembatan itu. Sebentar lagi Alaska bersiap melompat, seseorang dengan cepat menarik lengannya sambil mengoceh dengan bahasa Belanda.

"Stom, wat ben je aan het doen?! Als je dood wilt, kom dan niet hier! Sterf gewoon door toedoen van de inboorlingen! (Bodoh, apa yang kau lakukan? Kalau mau mati jangan di sini! Mati saja di tangan pribumi!)"

"Bujubusrak! Ini siapa lagi sih yang halang-halangi gue! Mancing emosi aja!"

Alaska dengan wajah merah menahan amarah bersiap melontarkan amarah itu kepada orang yang baru saja menariknya turun. Namun setelah menoleh ke orang itu, amarah Alaska langsung pudar berganti rasa terkejut. Rasa terkejutnya kali ini bahkan lebih besar ketimbang mendapati fakta bahwa ia mengalami perjalanan waktu.

"Mama!" Alaska spontan menangkup wajah wanita yang mirip Mamanya waktu muda. "Ini beneran Mama! Mama kok bisa di sini?!"

"Wat ben je aan het doen?! Gekke man, laat los! (Apa-apaan kau ini?! Orang gila, lepas!)"

Wanita itu mendorong Alaska menjauh. Alaska sempat tercengang beberapa detik, tapi kemudian ia mendekat lagi.

"Ma, ayo kita pulang, Ma. Di sini aneh, Ma. Alaska takut."

Grep!

Seseorang tiba-tiba menarik tangan Alaska agar menjauh dari Mamanya. Tak sekedar menyeret, orang itu bahkan mendorongnya sampai terjerembab ke tanah.

"Dia sudah minta kepadamu untuk melepaskannya, bukan? Lalu kenapa kau masih menyentuhnya?"

"Buset, ini siapa sih yang emosinya melebihi gue?! Dateng-dateng main dorong, salam dulu ngapa?"

Alaska mendongak untuk menatap orang yang baru saja mendorongnya. Namun lagi-lagi Alaska dibuat terkejut melihat orang yang menghampirinya kali ini. Selain Mama, Papanya versi muda pun hadir di sini.

"Kok mereka berdua bisa ada di sini sih? Sebenarnya kejadian macam apa yang sedang menimpa gue sekarang? Tolong, kalo beneran gue lagi mimpi, cepat buat gue segera bangun!"

Belum sempat Alaska bicara, Papanya sudah lebih dulu buka suara.

"Berani sentuh dia lagi, kau mati!"

Bugh!

Kalimat itu menjadi suara terakhir yang Alaska dengar sebelum akhirnya pingsan akibat menerima tendangan Papanya.

°°°

Bersambung...

Capek banget jadi Alaska😭. Part 1 sudah ketemu aja nih sama Cokroaminoto. Siap-siap ya! Bersama Cokroaminoto, kita akan mendobrak peraturan "Orang-orang Kulit Putih". Btw, saya pakai Bahasa Jawa-nya gak lama kok. Mohon maaf bagi orang Jawa di sini semisal menemukan kalimat yang gak pas. Saya cuma dapat bantuan dari Google😁. Sorry, this is "CESUM", Cewek Sumatera!

Hehe, Saya hanya ingin semuanya masuk akal. Masa di latar tempat Surabaya, tapi orangnya-orangnya justru sering menggunakan bahasa Indonesia (serapan Melayu). Tapi kalo Cokroaminoto beneran lebih sering menggunakan Bahasa Indonesia.

Alasannya? Yok kita simak di bagian Fakta Sejarah😁.

FAKTA SEJARAH!

1. Ini sebenarnya agak rumit dan masih simpang siur ya. Tapi menurut beberapa sumber yang saya dapat, penggunaan Bahasa Melayu itu meluas di pulau Jawa sejak abad 19 dari koran-koran seperti Selompet Melayu (Berdiri sejak tahun 1859), Surat Kabar Melayu (Terbit 15 Maret 1856) di Surabaya, Bintang Melayu (Terbit 18 Februari 1856) di Padang, dan Surat Kabar Sinpo (Terbit 1 Oktober 1910) di Batavia.

Tapi berdasarkan info yang saya gali lagi, di tahun ini surat kabar kebanyakan di pegang oleh pihak Kolonial Belanda. Di awal abad 20, kesadaran politik orang-orang Indonesia mulai bangkit dengan pergerakan kaum-kaum Bumiputera (terpelajar). Penyebab ini membuat orang Indonesia mulai membangun surat kabar sendiri sebagai bentuk propaganda melawan kolonial dan pion untuk melawan narasi palsu yang turut disebarkan.

Surat-surat kabar yang bermunculan antara lain;

1. Surat Kabar Fadjar Asia (Terbit 5 Januari 1923). Perantara syiar dari Partai Serikat Islam (PSI) yang didirikan oleh Cokroaminoto, Agus Salim, dan Kartosuwiryo.
2. Medan Prijaji (Terbit tahun 1907-Maret 1912), Soenda Berita (Terbit tahun 1903), Poetri Hindia (Terbit tahun 1908), Budi Oetomo (Terbit 3 Juni 1920) di Bandung. Surat kabar berbahasa Melayu yang didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo, seorang Pribumi tulen.
3. De Expres (Terbit 1 Maret 1912) di Bandung. Media masa perantara partai politik Indische Partij yang didirikan oleh 3 serangkai: E.F.E Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara.


Masih banyak lagi sebenarnya, tapi surat kabar yang berkaitan dengan alur SACI yaitu surat-surat kabar di atas. Selain karena media massa dan kaum Bumiputera, Bahasa Indonesia dengan cepat tersebar karena faktor imigrasi. Kemudian karena media massa banyak menggunakan bahasa melayu, setiap bicara di forum-forum kaum Bumiputera menggunakan bahasa Melayu sebagai perantara sehingga bahasa inipun berkembang luas di Jawa.

2. Mengenai Gubenur Jenderal Hindia Belanda, Alexander Willem Frederik Idenburg yang dibahas Cokroaminoto waktu ngeliat Alaska lewat. Yups, kalo di Masa aslinya Alaska Anak Jenderal TNI, di masa lalu Alaska malah masuk ke tubuh Anak dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Idenburg ini paling menentang pembentukan Sarekat Islam pada masanya. Beberapa kali ia juga sempat berurusan dengan Cokroaminoto. Jadi, Gubernur Jenderal yang saya pakek bukan abal-abal dan karangan ygy😙. NYATA! BENERAN TERLIBAT DENGAN SEJARAH SAREKAT ISLAM. Saya sudah menyesuaikan dengan betul antar tokoh, latar, dan waktu di cerita ini.


3. Terkait pemogokan para buruh yang ada di Surakarta (atau sekarang Solo) di part 1 ini FAKTA ya gaes. Fakta itu saya ketahui dari E-BOOK Cokroaminoto di bawah ini. Peristiwanya beneran terjadi di awal bulan Agustus tahun 1912, tapi tanggal spesifiknya itu fiksi. Saya yang menentukan jadi tanggal 5 aja.


4. Penggunaan TREM sudah ada sejak abad 19 yagesya di Jakarta dan merambat hingga ke pelosok Hindia-Belanda, salah satunya Surabaya. Trem ini serupa bis kalo di zaman kita, sering dijadikan alat transportasi orang zaman dulu selain kereta uap😁.

5. Jembatan Merah yang dibilang Abdi Dalem Meneer Alaska, eh bukan ya? Hehe. Jadi, Jembatan Merah itu juga ada yagesya. Nyata, bukan fiksi. Ini penampakan Jembatan Merah yang ada di Surabaya pada tahun 1910. Kalo jembatan tempat Alaska lompat yang ada kalinya itu bukan Jembatan Merah ygy. Nanti di suatu part Jembatan Merah ini bakalan muncul beneran karena punya kaitan erat sama kisah ini. Hoho, penasaran gak? Kira-kira apa tuuhh😁.

Okee, mungkin segitu aja fakta sejarah yang dapat saya jabarkan di part ini. Huft, baru part 1 aja fakta sejarahnya udah sebanyak ini. Mungkin karena kisah ini mengangkat tokoh yang besar, HOS. COKROAMINOTO 🥰☝.

Tolong ramaikan SACI, jangan pelit-pelit buat vote dan ramaikan lapak dengan komentar-komentar kalian yang membangun, karena saya juga gak pelit bagi-bagi ilmu. Kita sama-sama belajar di sini, jadi mohon maaf apabila masih banyak kekurangan yang ditemukan dalam kepenulisan SACI.

❤Follow IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top