Tumbang.
Tidak ada yang berbeda pada hari Jumat sore yang indah ini. Bagaimana tidak? Besok adalah akhir pekan, tentu saja semua orang sangat antusias menyambut hari libur itu. Sayangnya sebuah insiden kecil menimpa Taufan dan sebagai kakak tertua, Halilintarlah yang bertanggung jawab untuk merawat Taufan.
Disclaimer dan Author Note:
-Karya tulis ini adalah fiksi. Kesamaan tokoh dengan kelompok atau individu nyata baik hidup atau tidak adalah kebetulan belaka
-Seluruh karakter yang terkandung di dalamnya adalah milik pemegang hak cipta (Monsta) kecuali disebutkan berbeda.
-Tidak ada keuntungan materi yang saya dapatkan dari fanfic ini.
-Dalam fanfic ini umur karakter utama adalah sebagai berikut :
-BoBoiBoy Halilintar: 18 tahun
-BoBoiBoy Taufan: 18 tahun.
-BoBoiBoy Gempa: 18 tahun.
-BoBoiBoy Blaze: 17 tahun.
-BoBoiBoy Thorn: 17 tahun.
-BoBoiBoy Ice/Ais: 16 tahun.
-BoBoiBoy Solar: 16 tahun.
Chapter 1. Tumbang
.
.
.
Bel berbunyi, menandakan usainya hari sekolah di sore hari itu. Tanpa perlu disuruh, semua murid-murid yang tersisa langsung berhamburan keluar sekolah dengan wajah yang berseri-seri. Banyak yang sudah pulang sejak siang tadi, namun ada juga yang tetap berada di sekolah untuk kegiatan ekskul atau sekadar berkumpul bersama teman.
Besok adalah hari Sabtu, awal dari akhir pekan, kesempatan untuk bersantai setelah seminggu penuh berkutat dengan mata pelajaran sekolah.
Begitu pula dengan Blaze dan Thorn, dua kakak-beradik termuda dari lima BoBoiBoy bersaudara kembar.
Keduanya nampak sedang berjalan pulang ke rumah dengan menyusuri trotoar. Langkah ringan mereka diiringi suara Blaze yang terdengar bernyanyi-nyanyi kecil.
"Andai dipisah ... laut dan pantai ..." Terdengar suara lembut Blaze yang menggumamkan sebuah lagu.
"Tak akan goyah ... gelora cinta" Thorn menyambung lagu yang tengah dinyanyikan Blaze.
"Kamu tahu lagu itu?" tanya Blaze dengan heran ketika adik kembarnya itu menyambung nyanyiannya.
"Thorn tahu. Lagu lama banget kan itu?" jawab si adik. "Thorn suka lagu itu."
"Pasti gara-gara Kak Taufan yang sering memutar lagu itu di ponselnya?"
"Ya, lagu pundungnya Kak Taufan," ujar Thorn sambil cekikikan.
"Pundung di bawah pohon sambil memandang langit ... Kak Taufan banget dah!" Blaze ikutan cekikikan.
"BLAZE, THORN, AWAS!" Panjang umur, yang sedang digosipi muncul di belakang mereka menaiki skateboard biru-kuning kesukaannya.
Blaze dan Thorn langsung memucat dan melotot horror ketika dilihat mereka sang kakak yang digosipi mengejar dengan skateboard.
Namun ada yang aneh. Taufan bukan sedang mengejar kedua adiknya itu karena ia mengibaskan tangan sebagai isyarat bagi Blaze dan Thorn untuk minggir.
Blaze sempat melihat wajah kakaknya ketika melintas di depannya. Wajah Taufan terlihat pucat dan lesu.
"THORN, KEJAR KAK TAUFAN!" Blaze berteriak panik. Ia menduga ada sesuatu yang tidak beres dengan Taufan.
Benar saja. Taufan nampak terhuyung kehilangan keseimbangan di atas skateboardnya dan terjatuh. Bersyukurlah jatuhnya dia itu masih di atas trotoar, bukan jalanan yang dilalui mobil dan sepeda motor.
"Kak Taufan!" Teriak Blaze yang langsung berlutut di sisi kakaknya. Terlihat jelas wajah Taufan yang pucat dan lehernya yang agak merah. "Wah, demam tinggi," gumam Blaze ketika tangannya meraba kening sang kakak.
"Terus bagaimana? Kita gendong Kak Taufan pulang?" saran Thorn yang terlihat agak panik. "Sudah ngga jauh dari rumah."
.
.
.
Halilintar, sang kakak tertua dari kelima kembar bersaudara itu nampak sedang menutup buku tulisnya seusai mengerjakan PR sekolahnya. Daripada ditunda-tunda dan merusak acara libur akhir pekan, Halilintar memutuskan untuk menyelesaikan semua PR sekolahnya yang kebetulan tidak terlalu banyak
'Urusan PR selesai, sekarang waktunya santai,' batin Halilintar sembari beranjak bangun dari kursi meja belajarnya. Badannya dihempaskan keatas ranjangnya yang masih berkasur kapuk. Satu-satunya kasur yang masih berisikan kapuk di dalam kamar yang dihuni oleh dirinya, Gempa, dan Taufan.
Baginya kasur kapuk lebih nyaman daripada springbed yang membal-membal seperti kasur milik Taufan, atau kasur busa yang mblesek seperti kasur milik Gempa.
Jarang-jarang Halilintar bisa bersantai apalagi kalau ketiga adiknya; Taufan, Blaze, dan Thorn sedang berada di rumah. Ada alasannya mengapa ketiga adiknya itu dikenal dengan sebutan Trio Troublemaker. Baik dirumah ataupun di sekolah, ketiganya terkenal sebagai tukang rusuh.
Baru saja Halilintar memejamkan matanya ketika ia mendengar pintu rumah dibuka dan namanya dipanggil
"Kak Hali!" Sesampainya dirumah Thorn langsung memanggil kakaknya sementara Blaze membaringkan Taufan yang dipapahnya keatas sofa ruang tengah rumahnya.
"Thorn?! Kenapa teriak-teriak sih?!" ketus Halilintar yang balik bertanya dari ambang pintu kamarnya yang berada dilantai kedua rumahnya.
"Kak Taufan pingsan!" Teriak Blaze yang sedang meraba kening sang kakak.
'Apa? Taufan pingsan?' batin Halilintar. Tanpa membuang waktu, ia langsung berlari jinjit menuruni tangga.
Sesampainya di lantai bawah, Halilintar langsung menghampiri Taufan yang sudah direbahkan oleh Blaze dan Thorn di atas sofa panjang di ruang tengah. "Blaze, ambil baskom, isi dengan air es, Thorn ambil handuk kecil!" perintah Halilintar ketika disentuhnya kening Taufan yang demam tinggi.
Kedua adiknya yang disuruhnya langsung menurut. Mereka bisa tahu dari nada suara Halilintar itu serius.
"Hali ..." Taufan berusaha untuk membuka kedua kelopak matanya. Tatapannya yang selalu riang dan ceria itu kini memudar. "Tolong ... selimut ... dingin."
Biasanya permintaan seperti itu akan dijawab dengan penolakan ketus oleh Halilintar. Tapi tidak kali ini karena Halilintar bisa merasakan demamnya Taufan yang tidak main-main.
Bahkan sebuah bed cover yang tebal dijadikan selimut untuk Taufan yang terlihat demam sampai menggigil
"Thorn, coba kamu telpon Gempa, bilang disuruh aku untuk tutup kedai, Taufan demam tinggi," perintah sang kakak.
"Apa yang kamu rasakan, Fan? Sejak kapan kamu demam begini?" tanya Halilintar sembari mencelupkan handuk kecil yang diambil Thorn k edalam sebaskom air es yang dibawa Blaze.
"Dingin," jawab Taufan dengan rahang yang terlihat gemetaran. "Kepalaku ... sakit ... sejak ... semalam." Ditatapnya sang kakak yang terlihat khawatir dan sedang mengompres keningnya. 'Beda sekali, ngga seperti biasanya... Tatapan mata Hali lembut.'
"Ayo, kamu tidur di kamar saja," saran Halilintar sembari mengamit dan menarik tangan adiknya. 'Wah, ini sih sakit betulan,' batin Halilintar ketika dirasakannya tangan Taufan yang lemah dan hangat.
Taufan menggelengkan kepalanya. "Aku ... tiduran disini dulu," ujarnya sembari meringkuk dan membalikkan badannya yang terasa nyeri-nyeri karena demamnya yang tinggi.
Halilintar menghela napas panjang. "Ayo sekali-kali nurut!" ujar sang kakak sebelum digendongnya si adik yang terbaring lemah.
"Eh? Ja-jangan, ngga usah," protes Taufan yang buru-buru mendorong dirinya menjauh dari gendongan sang kakak. Namun tidak ada tenaganya untuk menjauhkan diri dari kakaknya yang sudah memangkunya. "Ngga usah... Hali," lirih Taufan yang tidak ingin merepotkan Halilintar dan tidak ingin dirinya terlihat seperti anak manja.
Halilintar tidak peduli dan Taufan tidak mampu melawan. Apalagi kepalanya yang terasa berdenyut kencang membuat Taufan langsung kehabisan tenaga.
"Biar kubawakan baskom kompresnya," ujar Blaze menawarkan diri untuk menolong. Si adik yang biasanya jahil pun terlihat khawatir. Wajar saja Blaze khawatir, karena Taufan adalah kakaknya yang paling dekat dengannya. Blaze, Thorn dan Taufan nyaris tidak bisa terpisahkan dan selalu mengerjakan sesuatu secara bersamaan.
Taufan akhirnya hanya bisa pasrah saja ketika dirinya ditarik ke dalam dekapan sang kakak. "Terima ... kasih ... Hali," gumam Taufan yang menyandarkan kepalanya pada dada sang kakak.
Taufan menyadari lehernya berasa hangat dan hangatnya itu bukan karena demamnya. 'Sesadis-sadisnya Hali, dia bisa lembut juga kepadaku,' batin Taufan yang berusaha menyembunyikan rona merah pada wajahnya dengan membiarkan dirinya terlelap dalam pelukan Halilintar.
.
.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top