Dokter Hali.
Halilintar nampak duduk di atas ranjang Taufan, di sisi empunya ranjang yang menggigil karena demamnya. Sudah dua lapis bedcover digunakannya untuk menyelimuti si adik, tapi tetap saja Taufan menggigil.
"Hali ... aku ... kenapa ya?" Taufan mendesah bertanya sembari berusaha merapatkan lapisan bedcover itu pada lehernya. Hanya Kepala Taufan saja yang terlihat menyembul dari gundukan bedcover tebal itu.
"Entah, aku bukan dokter," jawab Halilintar singkat sembari mengambil handuk kompresan yang bertengger di kening adiknya untuk dibasuh ulang. "Gimana demamnya, sudah mendingan?" tanya sang kakak tertua sembari menempelkan handuk kompresan itu dengan hati-hati diatas kening si adik.
Taufan mengangguk pelan. "Ngga sehebat tadi ..."
"Kutinggal kebawah sebentar ya. Siapa tahu ada obat paracetamol." Halilintar berdiri dari duduknya setelah Taufan mengangguk setuju.
"Hali," panggil Taufan lembut.
"Ya?"
"Terima ... kasih." Taufan mencoba tersenyum di tengah-tengah sakit kepalanya yang masih belum reda.
Halilintar hanya mengangguk saja sebelum berbalik badan dan melangkah keluar dari kamar.
"Tumben sekali Hali begitu perhatian padaku," gumam Taufan yang meringkuk dibawah lapisan bedcover dan selimut tebal. Belum beberapa menit berlalu sejak demamnya sedikit reda dan sekarang demamnya kembali meninggi. "Aduuuh," keluhnya sembari meringkukkan badannya yang menggigil menjadi semakin kecil lagi.
Halilintar kembali beberapa menit kemudian dengan membawa sebuah ember berukuran sedang yang mengepul-ngepulkan uap. "Kamu mau mandi? Biar kubasuh badanmu. Siapa tahu jadi lebih nyaman."
'Apa? Hali mau memandikanku?!' jerit Taufan dalam hati. "Ngga ah, aku malu."
"Memang kenapa, Fan? Kenapa harus malu?" tanya Halilintar yang secara mendadak menarik paksa bedcover yang menyelimuti Taufan sebelum adiknya itu sempat bereaksi. "Kamu harus mandi," tegas sang kakak.
Secara refleks Taufan mencicit sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada, seakan dirinya sedang telanjang ketika selimut dan bedcover itu meninggalkan badannya
Mati-matian Halilintar berusaha untuk tidak tertawa melihat kelakuan adiknya. Semoga saja Taufan tidak terlalu memperhatikan bibir Halilintar yang berkedut-kedut menahan tawa.
"Ngga, Hali, aku ngga mau dimandikan begitu ... Malu," ketus Taufan sembari melirik tajam. Namun karena kondisinya yang sedang sakit, lirikannya malah menjadi sayu, tidak terfokus dan membuat Taufan terlihat seperti memelas.
"Aku memaksa," desis Halilintar yang kini menatap galak kepada adiknya itu. Tanpa persetujuan si adik, Halilintar langsung membuka jaket berwarna biru yang selalu dikenakan adiknya itu. Berikutnya adalah kaus armless berwarna putih yang biasa dipakai Taufan dibawah jaketnya.
Taufan melipat kedua tangannya di depan dada sementara tubuhnya yang sudah setengah terbuka menggigil semakin hebat ketika baju dan jaketnya tidak lagi menyelimuti dirinya. Ia berharap apapun yang Halilintar akan lakukkan tidak memakan waktu lama.
Halilintar mencelupkan sebuah handuk baru ke dalam ember yang mengepulkan uap itu. Dengan hati-hati diperasnya handuk itu sebelum digosokkan pada punggung Taufan yang terasa panas.
"Uuhh," Taufan melenguh pelan ketika handuk hangat itu menempel di punggungnya. Benar kata kakaknya itu, badannya terasa lebih nyaman.
"Terlalu panas?" tanya Halilintar ketika melihat reaksi Taufan.
Taufan menggelengkan kepalanya. "Ngga."
Halilintar tersenyum kecil sembari merendam handuk itu, memerasnya dan kembali menggosok punggung dan tengkuk Taufan. Dengan telaten, sang kakak menggosok dan mengusapi seluruh bagian punggung dan tengkuk si adik sampai bersih. "Sini, kemarikan tanganmu."
Kali ini Taufan tidak menolak. Tangan kanannya diulurkan kepada Halilintar yang langsung mengusapnya dari telapak tangan, punggung tangan, lengan, ketiak dan turun ke pinggang si adik. Perlakuan yang sama diberikan kepada tangan dan lengan kiri Taufan.
"Hali, biar aku saja," ujar Taufan ketika Halilintar hendak mengusap bagian dadanya.
"Sudah, kamu diam saja, nanti biar kamu sendiri yang membersihkan bagian bawah itu," tolak Halilintar yang kini mengusap dada Taufan dengan handuk yang basah dengan air hangat.
Tanpa sadar, Taufan meneguk ludahnya ketika ia merasakan kehangatan yang berbeda di daerah lehernya.
"Kenapa mukamu merah, Fan?" tanya Halilintar yang melihat adiknya merona.
Taufan langsung menundukkan kepalanya sembari mengalihkan pandangannya. "Malu," cicitnya dengan suara yang teramat kecil.
"Kenapa harus malu, coba?" tanya sang kakak yang kembali mengusap-usap bagian dada Taufan. "Kamu 'kan lagi sakit."
"Ah ... Aku ngga pernah dimandikan begini ... Apalagi sama kamu, Hali," bisik Taufan yang tidak berani menatap langsung kakaknya itu. "Ngga biasanya baik seperti ini padaku."
Halilintar meletakkan handuk itu ke dalam ember dan melipat kedua tangannya di depan dada. Sorotan manik netra merah rubi sang kakak tertua kini tertuju sepenuhnya kepada Taufan. "Ka-karena aku ngga bisa membiarkan kamu yang sakit begitu saja," ucap Halilintar dengan sedikit terbata-bata
Walaupun sedang sakit dan dengan fokus yang mengabur, Taufan masih tetap bisa merasakan adanya sesuatu yang tidak biasa dalam kata-kata si kakak yang baru saja mampir di indera pendengarannya. Yang lebih mencolok dan menarik perhatian Taufan adalah Halilintar yang langsung membuang muka setelah memberikan jawaban.
Sebuah cengiran jahil pun mengulas di bibir Taufan selama kurang dari sedetik. Walaupun sedang sakit, tetap saja nalar dan daya pikir Taufan tidaklah luntur. "Ngga biasanya kamu perhatian padaku. Aku kira tadi itu kamu bakal membiarkan aku tiduran di sofa ..."
Halilintar meneguk ludahnya. Gerak-gerik bahasa tubuh si kakak tertua itu menjadi semakin gelisah seakan tengah menduduki seekor landak. "Ma-mana bisa aku membiarkan kamu di sofa!" ujar Halilintar dengan bernada protes seakan ia sedang diragukan. "Ma-mandinya sudah selesai. I-ini handuknya. Cepat keringkan badanmu." Buru-buru Halilintar menyerahkan sebuah handuk bersih kepada Taufan.
Taufan menaikkan sebelah alis matanya. Bahasa tubuh Halilintar itu malah semakin menggelitik rasa penasarannya. "A-aku lagi sakit ... Tolong handuki ...," ucap Taufan dengan suara lembut dan lirih.
Mendadak Halilintar langsung berdiri dan menggaruki kepalanya. "Agh! Jangan manja begitu!" gerutu Halilintar sembari membuang muka. Hal terakhir yang Halilintar inginkan adalah rona merah yang mulai merambat dari lehernya terlihat oleh Taufan.
"Tolonglah Haliii." Tidak menyerah begitu saja, Taufan pun mulai merengek dengan suara yang lirih.
Merasa tidak punya pilihan lain, Halilintar pun menuruti permintaan si adik. Tentu saja Halilintar menggerutu bersungut-sungut selagi ia membantu Taufan mengeringkan tubuhnya.
Kembali sebuah senyuman mengulas di wajah Taufan yang tidak terlihat oleh Halilintar. "Terima kasih Hali," ucap Taufan dengan nada riang walau pun masih terdengar lemah akibat demam yang dideritanya.
"Agh! Kamu mengerjai aku!" dengkus Halilintar sembari memasang tampang cemberut.
Tidak bisa tidak, Taufan pun terkekeh sendiri melihat reaksi Halilintar. Dia menggelengkan kepalanya sembari mengambil sebuah handuk di dalam ember yang berisikan air hangat dan membasuh kedua kakinya serta bagian bawahnya itu. "Dasar Tsundere ...," komentarnya setelah selesai membasuh bagian bawahnya.
Bahkan Taufan bisa melihat sekujur tubuh Halilintar mendadak gemetar ketika si kakak itu disebut tsundere. Namun sebelum Taufan sempat berkomentar, kepalanya terasa mendadak berdenyut seperti dihantam sebuah godam. Demikian nyeri yang terasa di keningnya sampai membuat Taufan kembali menggeletak di atas ranjang. Tidak hanya nyeri, Taufan merasakan seluruh tubuhnya mendadak diliputi oleh gelombang hawa dingin yang luar biasa.
"Ta-Taufan?" Tampang cemberut Halilintar mendadak lenyap. Kedua kelopak netra merah rubinya membelalak penuh kekhawatiran. "Ka-kamu kenapa?" Bahkan suara yang keluar dari tenggorokan Halilintar diliputi kepanikan.
Taufan tidak menjawab. Dia langsung menarik bedcover yang ia jadikan selimut dan meringkukkan tubuhnya di bawah tebalnya dua lapis bedcover. "De-demamnya kumat," lirih Taufan. Suaranya yang sempat terdengar riang kini bertukar menjadi lemah.
Halilintar menghela napas panjang. Wajahnya yang sempat diliputi ketakutan dan kekhawatiran perlahan mengendur. "Sebaiknya kamu kutemani dulu, Fan ...," ucap Halilintar sembari meletakkan handuk kompres air dingin di atas kening adiknya. "Jangan kumat dulu jahilmu ... Nanti betulan kutinggal kamu sendirian di kamar."
"I-iyaa ..." Taufan menganggukkan kepalanya sembari di dalam hatinya bersumpah untuk tidak mengomentari sifat tsundere si kakak ...
Setidaknya sampai demamnya reda kembali ...
.
.
.
Tamat.
Tunggu, Omake sedikit ...
Gempa yang sudah kembali sejak tadi menemukan Taufan tengah tertidur dengan memeluk Halilintar dengan erat bagaikan bantal guling pribadinya. "Akhirnya akur juga," bisik Gempa sembari tersenyum dan membiarkan keduanya saling berangkulan."Bukan begitu, Blaze?"
"Iyap, bisa juga Kak Hali dan Kak Taufan akur, terbaik," bisik Blaze sembari reflek mengacungkan jempolnya.
"Nah, ayo bantu aku membuat sup ayam untuk Taufan ... dan kopi untuk Halilintar."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top