3. Keluh Kesah Ibu
“Kau tidak ke sekolah?” tanya Ibu datar, yang kuyakini ditujukan kepada Kak Rahmah.
“Nanti jam sembilan, Bu. Aku mau menitipkan Rayaz di sini. Boleh, ‘kan?” sahut Kak Rahmah santai.
Aku yakin Kak Rahmah sekadar berbasa-basi. Ini bukan pertama kali dia menitipkan Rayaz kepada kami – aku dan Ibu. Biasanya, aku yang bertugas menjaga Rayaz hingga Kak Rahmah pulang.
Dia bekerja sebagai guru PNS pada sebuah SMP negeri di kampung kami. Profesi tersebut membuatnya tidak bisa selalu menemani sang buah hati selama 24 jam.
“Andai saja dulu Sakinah mau dikuliahkan di jurusan kependidikan, dia pasti tidak akan jadi pengangguran sampai sekarang.”
Aku mengernyitkan dahi mendengar keluhan Ibu. Ada-ada saja celah bagi Ibu untuk membuatku merasa tidak berguna.
“Jangan begitu, Bu. Aku juga dulu butuh waktu lama sampai lolos tes CPNS. Masing-masing anak sudah ada rezekinya.” Kak Rahmah terdengar membelaku.
Aku mengangkat muka sejenak, melemparkan tatapan terima kasih padanya. Setidaknya masih ada pihak yang mau membelaku.
“Lagi pula, waktu senggang Sakinah sekarang ada gunanya, kok. Ibu jadi tidak sendirian menjaga Rayaz,” lanjut Kak Rahmah sembari terkekeh kecil.
Aku sontak mendelik. Rupanya alasan dia menghargai keberadaanku karena menganggap diriku dapat berguna sebagai penjaga Rayaz.
Aku mencibir pelan. Tidak ingin mendengar obrolan mereka lebih lanjut, kuputuskan untuk menjauh. “Ayaz, ke warung, yuk. Hari ini main sama Bibi lagi, ya.”
Rayaz menanggapi ajakanku dengan senyuman lebar.
Aku berdiri sambil mengangkat wadah tempat penyimpanan kelor. Ingin segera meninggalkan dapur dibanding harus mendengarkan obrolan Ibu dan Kak Rahmah.
Firasatku berkata bahwa Ibu masih akan terus mengomel.
“Setidaknya Sakinah bisa honor di sekolahan kalau ijazahnya mendukung. Tapi lihat sekarang, kerjaannya cuma makan dan tidur.”
Aku menarik napas dalam demi menetralkan perasaanku yang memburuk. Kutinggalkan dapur tanpa berkata-kata lagi. Langkahku panjang-panjang hingga membuat Rayaz kesulitan menyamaiku.
“Bibi, jangan cepat-cepat!”
Aku berhenti, menoleh ke belakang. Kutarik paksa kedua sudut bibirku agar membentuk lengkungan. “Oh, iya, ternyata ada Ayaz. Anak ganteng mau lomba lari, tidak? Kejar Bibi coba!”
Langkah kaki kami terdengar menghentak lantai ubin. Kami terus berlari kecil sampai memasuki warung yang terletak di halaman depan rumah.
Suara protes Rayaz yang tak terima kekalahannya sedikit menghiburku.
“Bibi, ayo lomba lari lagi!” Rayaz masih belum puas. Dia mendekatiku yang sedang duduk di lantai kayu.
“Jangan sekarang, Bibi masih ada kerjaan. Nanti Nenek marah kalau kelornya dibiarkan begini,” dalihku.
Rayaz memajukan bibirnya, cemberut. Aku sukses gemas dibuatnya. Kutarik puncak hidung anak itu. “Sayang Bibi dulu sini.”
Dia memajukan wajah, memberikan satu kecupan di pipiku. “Belikan jajan, ya!”
Aku mendengkus. “Ayaz mau yang mana?” tanyaku pasrah. Nasib memiliki kemenakan banyak akal.
Pantas saja dia tidak protes ketika kuminta untuk menciumku di pipi. Padahal, biasanya Rayaz akan memberikan penolakan, minimal berwajah masam.
Aku mulai fokus mencabuti daun kelor saat Rayaz melihat-lihat aneka jajan. Meskipun ini adalah warung milik Ibu, tetapi Rayaz tidak dibiarkan sembarangan mengambil jualan.
Kak Rahmah cukup tegas dalam mendidik Rayaz. Bocah laki-laki itu tidak dibiarkan mengambil hak milik orang lain tanpa izin.
Terus terang, aku menyimpan kekaguman pada Kak Rahmah. Dia adalah salah satu wanita hebat yang membuatku terinspirasi.
Wanita yang usianya sepuluh tahun lebih tua dariku ini sejak dulu sudah memiliki sikap tegas dan mandiri.
Aku masih ingat momen ketika dia mengusir bapak kami dari rumah karena ketahuan selingkuh. Kak Rahmah yang kala itu masih berusia awal dua puluhan, mampu menantang pria dewasa berbadan besar.
Sekarang, setelah menikah, Kak Rahmah tidak ragu mengambil keputusan untuk berhubungan jarak jauh dengan suaminya. Pengkhianatan bapak kami kala itu seolah tidak memberikan pengaruh yang signifikan di hidupnya.
Kak Rahmah sangat berprinsip. Berpegang teguh terhadap apa yang dia yakini.
“Bibi, aku mau itu!”
Seruan Rayaz membuyarkan lamunanku. Aku memutar kepala, mengikuti ke mana telunjuk si Bocah mengarah.
Aku lantas berdiri, mengambilkan jajanan bercita rasa cokelat yang diinginkan keponakanku ini. “Nah, uangnya mana?”
Bola mata Rayaz membulat. “Bukan Bibi yang belikan?”
“Memangnya Bibi pernah bilang bakal belikan kau jajan?” Aku menaikkan alisku, sengaja menggoda Rayaz.
Keponakanku itu melengos. Terlihat sekali bahwa dia kecewa. “Tidak jadi kalau begitu,” keluh Rayaz.
Aku menyengir selama sekian detik. Kutepuk-tepuk pipinya pelan sambil berkata, “Bercanda, Sayang. Iya, Bibi belikan.”
Dia langsung menarik jajanan dari tanganku dengan tampang sok galak. Rayaz lalu berbalik, memilih selonjoran di sudut warung.
“Bilang apa coba kalau habis dikasih sesuatu?”
“Terima kasih, Bibi!”
Aku lagi-lagi tersenyum. Kehadiran Rayaz selalu mampu menghangatkan hatiku.
Beberapa menit yang lalu aku benar-benar sedih mendengar keluh kesah Ibu. Perkataan Ibu seolah menohokku tepat di jantung.
Bagaimana bisa Ibu begitu tega menyindirku sebagai anak yang tidak berguna?
Keberadaan Rayaz di sini sedikit banyak mampu mengalihkan perasaan suram yang mulai menggerogoti hatiku, lagi.
Mungkin ini salah satu alasan mengapa sepasang suami istri menginginkan kehadiran buah hati. Rupanya anak kecil dapat menenangkan hati orang dewasa yang sedang gundah.
“Ugh, tapi sepertinya tidak selalu begitu,” gumamku pada diri sendiri.
Aku ragu terhadap perasaan Ibu. Apakah mungkin dia pernah menganggapku sebagai penyejuk hatinya?
“Ayaz, dapat dari mana jajananmu?”
Aku tersentak ketika Kak Rahmah tiba-tiba muncul di ambang pintu warung. Buru-buru kutolehkan kepala ke arah Rayaz.
Bocah itu tampak asyik menikmati jajanan. “Bibi yang belikan,” sahutnya ringan.
Kurasakan pandangan Kak Rahmah berpindah kepadaku. “Iya, betul. Aku yang belikan,” terangku, membenarkan pembelaan Rayaz.
“Uang dari mana?” tanya Kak Rahmah datar.
Aku tidak tersinggung mendengar pertanyaan tersebut. Pada dasarnya, aku memang tidak bekerja. Wajar bila Kak Rahmah mempertanyakan sumber uangku.
“Kan, Kakak yang kasih.”
Kak Rahmah sontak mengangguk-angguk. “Kau bisa berhemat rupanya.”
Sering kali Kak Rahmah memang memberikan sebagian gajinya padaku. Meskipun nominalnya tidak banyak, tapi cukup untuk membuat isi dompetku tidak kosong melompong.
“Namanya juga pengangguran, Kak. Harus pintar-pintar berhemat supaya tidak makin jadi beban keluarga.”
Kulihat bola mata Kak Rahmah membesar. “Hush, sembarangan! Ucapan Ibu tidak perlu terlalu kau tanggapi. Ibu cuma ingin kau lebih semangat cari kerja.”
“Semangat yang bagaimana lagi? Memangnya aku terlihat seperti bermalas-malasan?”
Kak Rahmah diam selama beberapa saat sebelum raut wajahnya kembali datar lagi. “Iya.”
Aku refleks merajuk. Bisa-bisanya dia malah menyudutkanku. “Kalau memang aku pemalas, tidak mungkin mau duduk di sini sambil menjaga Rayaz.”
Kak Rahmah hanya terkekeh ringan mendengar pembelaanku.
Aku memutar bola mata sebal. Kakak tertuaku ini memang sedikit aneh. Dia bisa tiba-tiba tertawa sendiri tanpa alasan yang jelas. Entah apa yang sedang dia pikirkan.
“Sudahlah. Jaga kemenakanmu dengan baik, ya. Jangan sampai kenapa-kenapa!” kata Kak Rahmah tanpa memberikan penjelasan perihal alasan mengapa dia terkekeh. “Ayaz, Mama pergi ke sekolah dulu. Dengarkan ucapan Bibi sama Nenek, oke?”
“Oke, Mama!” sahut Rayaz gesit.
Tanpa menunggu waktu lama, Kak Rahmah segera berlalu.
Aku mengembuskan napas berat. Kedua tanganku bergerak menyentuh ujung-ujung daun kelor lagi.
Hah, kapan selesainya pekerjaan ini?
Kebanyakan melamun membuat pekerjaanku tertunda. Aku menggeleng kuat, mencoba menepis semua pikiran tidak penting dari benak.
Pekerjaan ini harus segera kuselesaikan. Jangan sampai Ibu mengomel lagi karena tidak kunjung melihat sayur kelor matang.
“Bibi, Bibi!”
Aku mendongak. Entah sejak kapan Rayaz sudah duduk bersimpuh di sampingku. “Ya?”
“Jajanku habis. Tambah lagi, boleh?”
Aku menepuk jidat dramatis.
Sepertinya Kak Rahmah lupa mengajari putranya agar tidak memorotiku.
Sialnya, aku tidak kuasa menolak wajah tampan dengan tatapan sok memelas dari bocah ini.
Bersambung.
Halo, semoga lapaknya masih punya peminat, ya. Lama nggak nongol di Wattpad. Doakan biar aku bisa update rutin kayak dulu lagi, huhu.
5 November 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top