2. Hari yang Monoton
Januari 2021
“Sakinah, bangun!”
Aku mendesah malas. Ibu dan kebiasaannya yang menyebalkan. Dia tidak pernah membiarkanku menutup mata barang sejenak di pagi buta.
“Anak gadis macam apa yang belum bangun jam begini, huh?”
Aku memutar tubuh, berbaring telentang. Kubuka mata perlahan dan wajah sebal Ibu langsung menyambutku. “Aku begadang tadi malam, Bu,” kilahku mencoba mengemukakan pembelaan.
“Begadang bikin apa? Memangnya kau punya kerjaan?”
Aku mengatupkan mulut rapat. Tidak ada gunanya melanjutkan pembicaraan ini. Ibu hanya akan semakin mencecarku dengan segudang kalimat menyakitkan jika aku tetap berargumen. “Iya, aku bangun.”
Terdengar dengusan keras darinya. Wanita dengan rambut yang mulai memutih itu melepas gelungan di atas kepala. “Kau jaga warung, Ibu ada urusan di rumah Pak Kades.”
“Sepagi ini?”
Alih-alih menjawab, Ibu malah mendelik padaku. Dia melangkah lebar ke arah jendela besar di dekat lemari pakaian. “Sepagi ini kau bilang?” tukasnya galak sambil menyibak gorden. Kilau cahaya masuk melalui kisi-kisi jendela, aku agak terkejut dibuatnya. Rupanya di luar sudah sangat terang. “Susah memang kalau cuma menganggur. Orang lain sudah sibuk pergi kerja, kau masih asyik di atas kasur.”
Aku menendang selimut demi menyalurkan rasa kesal di hati. Sial sekali karena apa yang Ibu katakan benar semua. Tidak dapat kubantah sedikit pun. “Ibu mau bikin apa di rumahnya Pak Kades?”
“Nanti Ibu kabari kalau berhasil,” jawabnya singkat lalu berjalan meninggalkan kamar, “jangan lupa memasak. Ikan ada di dalam kulkas. Bikin sayur bening saja, petik kelor di belakang,” tambahnya sebelum benar-benar menghilang di balik pintu.
Aku bangkit dari kasur lalu berusaha meregangkan badan yang terasa kaku. Kuambil ponsel di atas meja kayu berwarna cokelat kusam. Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Pantas saja Ibu marah karena tampaknya dia sudah mencoba membangunkanku sedari tadi.
Awalnya aku hanya ingin memejamkan mata sejenak usai salat Subuh, tetapi ternyata kebablasan sampai jam begini. Tadi malam aku begadang karena keasyikan membaca cerita perjuangan para lulusan baru di jurusanku, Ekonomi Pembangunan. Aku butuh motivasi tambahan agar mampu melalui hari-hariku ke depannya.
Entah sudah berapa banyak lamaran kukirimkan secara membabi-buta lewat portal online. Agak menyedihkan karena sampai sekarang tidak satu perusahaan pun mau menerimaku. Sebagian tidak memberikan respons, sisanya hanya berhenti pada tahap wawancara.
“Sakinah, kau tidur lagi?” Suara Ibu kembali terdengar karena tidak kunjung melihatku muncul di dapur.
Aku menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata agak lama, lantas mengembuskan napas keras. “Sebentar, Bu, masih bersih-bersih kamar!”
Aku mengambil sapu lidi di bawah meja untuk kemudian memakainya menebah kasur sekuat tenaga. Kutarik seprei berwarna merah dengan motif bunga-bunga agar terpasang rapi di sudut-sudut kasur. Sebagai penutup, aku melipat selimut berbentuk persegi panjang lalu membentangkannya di sisi ranjang agar tampak seperti penataan di kamar hotel.
Selesai dengan urusan kamar, kuraih ikat rambut yang tergantung di belakang pintu. Kugelung rambut ke atas untuk mengurangi rasa gerah. Cuaca desa ini memang nyaris tidak pernah bersahabat bahkan di pagi hari.
“Kukira Ibu sudah di rumahnya Pak Kades,” sindirku saat melihat Ibu sedang mencuci beras di wastafel.
“Susah mau harapkan anak gadis dalam rumah, terlalu lelet.”
Aku hanya meringis. Ibu tidak mau kalah, padahal dia yang semula memburuku agar segera bangun. “Warung sudah dibuka, Bu?”
“Sudah, mau tunggu anak gadis dalam rumah, pembeli keburu kabur ke warung lain.”
Aku menjilati bibirku yang kering. Sindiran ini sepertinya tidak akan berakhir sampai dia puas mengomeliku. Lebih baik aku mencuci muka terlebih dahulu.
“Mau ke mana kau? Pergi petik kelor di belakang.”
“Kamar mandi, Bu,” sahutku ala kadarnya dan segera kabur ke kamar mandi tanpa menunggu persetujuan. Letaknya ada di area penghubung antara ruang keluarga dengan dapur. Terdengar bunyi berderit saat aku berpijak di atas lantai. Memang tidak semua bagian rumah ini terbuat dari beton.
Kami menyebutnya rumah induk dan rumah sambungan. Rumah induk dibangun menggunakan material kukuh seperti pasir dan bata, sementara rumah sambungan mengandalkan papan kayu. Ada empat kamar di rumah induk ditambah ruang tamu dan ruang keluarga, sedangkan rumah sambungan berisi kamar mandi, dapur, serta sebuah gudang.
Aku mempercepat aktivitas di kamar mandi sebelum Ibu kembali bersuara. Setelah merasa lebih segar, kulangkahkan kaki ke luar menuju kamar. Setelan rok plisket dan baju kaos garis-garis berlengan panjang menjadi pilihanku pagi ini. Kututupi kepalaku menggunakan kerudung instan berwarna jingga, kemudian menyempurnakan penampilanku dengan kaos kaki.
Aku memutar badan, berjalan ke dapur. Kulirik Ibu yang rupanya telah mengeluarkan ikan dari kulkas. Kuhela napas berat. Dia sungguh tidak bisa dibiarkan menunggu.
Aku melangkah hati-hati, khawatir suara derit kayu mengusik Ibu. Kubuka pintu dapur yang menghubungkan kebun di halaman belakang. Selain pohon kelor, kami juga menanam jambu biji, pisang, pandan, serai, dan kadang-kadang singkong menyesuaikan musim. Ukurannya tidak luas tetapi cukup untuk dijadikan ladang beragam tanaman.
“Bu, galah di mana?” tanyaku agak berteriak setelah memutar pandangan ke berbagai penjuru.
“Di kolong rumah, makanya mata itu dipasang baik-baik!”
Aku sekali lagi menjilat bibir lalu menggigitnya agak kuat. Tidak bisakah Ibu menjawab pertanyaanku secara baik-baik?
Aku membungkuk demi memasuki kolong rumah. Satu hal yang aku syukuri sampai sekarang, Ibu adalah seorang maniak kebersihan. Area ini bahkan tampak bersih seperti ditinggali seseorang.
Aku mendongak ke atas, sebuah galah menyangkut pada tiang-tiang penyangga rumah panggung ini. Mudah saja bagiku untuk meraihnya meski posturku hanya 158 cm karena puncak tiangnya berada pada ketinggian 130 cm dari permukaan tanah.
“Sakinah, kelornya mana?”
Aku sontak mengucap istigfar lirih. “Sabar, Bu!”
“Cepat! Kenapa lama sekali?”
Aku buru-buru menegakkan badan, lupa bahwa kolong rumah ini tidak lebih tinggi dariku. Alhasil, kepalaku terantuk sudut balok kayu tempat melekatnya lantai. Rasanya sungguh menyakitkan sampai membuat mataku berkaca-kaca.
Aku berusaha keluar dari kolong sambil mengusap-usap puncak kepala menggunakan tangan kiri, sementara tangan kanan sibuk mempertahankan galah. Aku merapal istigfar berulang kali karena merasa amarah mulai merasuki hatiku.
Kuusap air mataku. Perih masih belum hilang dari kepala, tetapi aku memaksa mendongak agar bisa memetik daun kelor. “Satu, dua, tiga ....” Sengaja kuhitung tangkai kelor yang jatuh untuk mengalihkan emosi negatif. Setelah dirasa cukup, aku menyandarkan galah pada batang pohon begitu saja, lalu berbalik melewati pintu dapur.
“Kau kenapa?” tanya Ibu seolah menodongku.
“Bukan apa-apa.” Aku menarik baskom plastik di rak piring besi.
“Bukan apa-apa bagaimana? Itu matamu merah.”
“Sudahlah, Bu, ini kelornya,” jawabku ogah-ogahan, sesekali masih mengusap puncak kepala. Sakitnya terantuk kayu belum juga hilang.
“Kau suruh Ibu yang masak?” Ibu memelototiku.
“Tidak, Bu.” Aku meletakkan baskom plastik di atas lantai lalu duduk bersila. Jari-jariku mulai fokus mencabut daun kelor dari tangkainya.
Suasana di antara kami seketika hening. Hanya ditemani bunyi pisau yang beradu dengan talenan kayu setiap kali Ibu memotong-motong tubuh ikan.
“Kan bisa mencabuti daun kelor di warung. Nanti kau tidak dengar pas ada yang beli.”
Aku mengangguk kaku. Perasaanku belum membaik setelah terantuk kayu. Kesal pada Ibu yang selalu menuntutku untuk bekerja segesit mungkin. Setiap aktivitasku rasanya tidak pernah benar di matanya.
“Nak, Nak, kau itu sudah dewasa. Masa hal begini saja tunggu diperintah? Sulitkah untuk berinisiatif sendiri?” Kutahu pertanyaannya hanya retorika yang dimaksudkan untuk menyuarakan keluhan.
Aku ingin menyahut, tetapi niatku urung saat mendengar suara cempreng mengucapkan salam. “Assalamu’alaikum, Nenek, Bibi!”
Aku diam-diam mengembuskan napas lega. Itu Rayaz, keponakanku yang sebentar lagi akan berumur tujuh tahun. Sudah menjadi kebiasaannya untuk mengucapkan salam setelah memasuki rumah. Tentunya dia hanya bertindak seperti itu jika di rumah orang tuanya atau di sini.
Tak butuh waktu lama, Rayaz sudah muncul di ambang pintu bersama Kak Rahmah – mamanya. “Assalamu’alaikum, Bibi, Nenek!” panggil bocah itu riang.
Aku mengulum senyum. Kelegaan meletup-letup di dadaku. “Wa’alaikumussalam, Ayaz.”
“Kau tidak ke sekolah?” tanya Ibu datar, yang kuyakini ditujukan kepada Kak Rahmah.
Bersambung.
Mari kenalan dulu dengan emak-emak rempong dan keponakan menggemaskan.
26 Mei 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top