1. Seharusnya Aku Bahagia

Aku mengerjap lambat, mencoba menghalau perih yang mulai merambat di bola mataku. Rasanya seperti ada ombak menghantam punggungku telak, sakit. “Apa?”

“Aku akan menikah dengan Pak Guru Senyum Manis,” sahut perempuan di hadapanku dengan pandangan berbinar. Listiana Ziyadah, sahabat karibku. Jelas sekali dia sedang bahagia.

Seharusnya aku juga ikut bahagia, tetapi tidak, kenyataannya dadaku kini terasa sesak.

Kujilat bibir sebelum kembali berucap, “Kenapa bisa?” Pak Guru Senyum Manis adalah julukan yang kami berikan kepada sesosok anak adam berprofesi guru SD. Kami menyebutnya demikian untuk alasan sederhana; lelaki itu punya senyuman yang mampu membuatmu mendadak salah tingkah.

“Ini semua berkat kau, Kin,” jawab perempuan berhijab krem ini. Sorot matanya diliputi rasa terima kasih.

Aku mengalihkan pandangan. “Kenapa bisa?”

“Ingat apa yang kaukatakan padaku saat kita membahas tentang kesetaraan dalam menyukai seseorang?”

Aku mencerna ucapannya. Kami sudah menghabiskan waktu bersama hampir seumur hidup sehingga cukup sulit untuk mengidentifikasi kalimat mana yang dia maksud secara cepat.

Listi — begitu aku memanggilnya — membenahi ujung kerudung segi empatnya karena tertiup angin. Satu lembar daun kersen kering jatuh di atas kepala Listi, tetapi kubiarkan saja. Udara sore ini terasa lebih menyengat dari biasanya, entah karena hatiku yang terasa panas atau cuaca memang sedang tidak bersahabat.

Aku menggeleng. Menyerah karena otakku tampaknya sedang enggan bekerja. Hanya butuh klarifikasi secepatnya atas kabar yang dia sampaikan.

Listi sontak mencibir. Perempuan ini memang selalu begitu. Bibirnya akan maju beberapa senti saat merasa kesal atau mengambek. “Kau pernah bilang bahwa, laki-laki dan perempuan setara dalam hal menyukai. Siapa yang jatuh cinta duluan, maka dialah yang seharusnya inisiatif mendekat.”

Ah, sekarang aku ingat. Itu adalah salah satu topik yang pernah kami bahas ketika menghabiskan waktu bersama sambil menanti senja.

Entah bagaimana persisnya, tetapi tiba-tiba saja kami berdiskusi soal kesetaraan laki-laki dan perempuan saat jatuh cinta. Mungkin bermula dari rasa muak yang kualami terhadap anggapan sosial di masyarakat pedesaan. Perempuan dipandang tidak pantas mengungkap rasa lebih dahulu dan hanya boleh menunggu didekati.

“Oke, lalu?”

“Aku mengajukan proposal pernikahan padanya dan dia menerimaku.”

Bola mataku membulat, terkejut. “Kau ... melamarnya?”

Dia mengangguk malu-malu. “Tolong jangan bilang-bilang ke orang lain, ya. Sebenarnya aku agak malu, kautahu sendiri bagaimana tanggapan orang soal perempuan yang melamar duluan. Aku memberi tahumu karena kita sahabat.”

Aku menelan ludah susah payah. Jadi, maksudnya, aku telah menginspirasi Listi untuk maju mendekat kepada Pak Guru Senyum Manis?

“Orang tuaku bahkan tidak kukabari detail ceritanya. Mereka cuma tahu kalau dia menyukaiku, lalu kami ta’aruf.”

Aku bungkam, tidak tahu harus merespons bagaimana. Sejauh ingatanku, Listi senang menjaga image. Aku kerap menyebutnya si Tukang Jaim, berbeda denganku yang dia juluki Cewek Bar-bar karena straight forward dalam bersikap.

“Aku bikin kaget, ya?”

Namun, bukan soal itu yang terlampau mengagetkanku. Kenyataan bahwa perasaan Listi diterima sungguh menghantamku telak. Bagaimana bisa?

Sebenarnya dari mana semua ini bermula? Kenapa sahabatku tiba-tiba akan menikah, padahal sampai tiga hari lalu kami masih melewati sore dengan berenang di laut? Kenapa pula dia harus menikahi lelaki itu?

“Aku juga sebenarnya tidak menyangka. Sebelum yakin mengajukan proposal, aku lebih dahulu menyiapkan hati atas penolakan.”

Aku sudah tidak mendengar lagi penjelasan dari perempuan bertubuh agak tambun ini. Pandanganku tertuju jauh ke balik punggungnya, pada air laut yang tampak berkilau karena ditimpa cahaya matahari.

Pikiranku penuh, dadaku berdentum-dentum menyesakkan. Masih tak menyangka akan kabar yang baru saja kudengar. Kenapa bisa?

“Kin, kenapa menangis?”

Aku tidak mau memercayai pengakuan itu. Seperti ada tangan-tangan gaib yang memaksa masuk ke dalam dadaku, merenggut jantungku. Ini terkesan lebay, tetapi aku sungguh-sungguh sakit hati. Kenapa bisa?

“Kina!”

Kurasakan air mengalir melalui pipiku hingga menyentuh sudut mulutku, asin. Aku menggigit bibir, menahan diri agar tidak terisak.

“Sakinah Almahyra!”

Aku tersentak karena Listi mengguncang bahuku cukup kuat. “Kau kenapa?”

Aku menatap matanya. Tidak ada lagi binar cerah, berganti dengan kekhawatiran. Seketika hatiku diliputi rasa bersalah.

Listi tulus memercayaiku. Sengaja mengabariku soal rencana pernikahannya karena ingin berbagi kebahagiaan. Namun sial, bukannya turut senang, aku bahkan tidak sanggup hanya untuk sekadar mengucapkan kata selamat.

“Kausakit?”

Aku menggeleng lemah. “Maaf, aku cuma terkejut.”

Dia mengangkat alisnya. “Ya, memang salahku karena mendadak minta ketemu lalu bilang mau menikah.”

Aku menggeleng semakin kuat. Kupegang tangannya yang masih menggantung di bahuku. “Selamat, ya. Aku ... kayaknya terlalu senang sampai menangis begini.” Pendusta. Kurasakan lidahku pahit karena sadar betul sedang membohongi salah satu orang terdekatku.

“Terima kasih, Kin,” sahut Listi kembali berwajah ceria, lantas memelukku. Dia tampaknya sudah tak peduli pada pintu-pintu rumah tetangga yang terbuka lebar dan bisa saja melihat kami. “Siapa sangka Pak Guru Senyum Manis akan menikah dengan salah satu dari kita.”

Aku hanya mengeluarkan gumaman yang tak jelas. Aku juga setuju dengan pendapatnya. Betul-betul tak menyangka si Pak Guru kesayangan anak-anak SD itu akan menerima sahabatku. Bagaimana bisa?

Kenapa harus Listi? Ada begitu banyak perempuan di desa ini atau kenalannya di luar sana, tetapi mengapa menerima sahabatku?

Tangisku pecah, terisak. Sebenarnya apa yang salah? Seharusnya tidak berakhir seperti ini.

“Sudah dong, jangan menangis lagi. Aneh kalau ada yang lihat. Nanti kita dikira sedang bertengkar.” Listi menepuk-nepuk punggungku. “Meski sebetulnya, aku juga pengin menangis.” Tidak lama kemudian, kudengar napasnya mulai berat.

Sekonyong-konyong kami menangis bersama walau dengan alasan berlawanan. Dia bahagia, sedangkan aku tidak sama sekali. Orang lain yang mungkin melihat pose kami sekarang akan terheran-heran.

“Aku lega sekali, Kin, masih belum percaya perasaanku berbalas.”

Kalimat demi kalimat yang diucapkan Listi hanya semakin melukaiku. Cukup! Ingin kuserukan satu kata itu agar dia mau menutup mulutnya. Aku tidak suka mendengar cerita lengkap kisah ta’aruf mereka.

“Aku juga.” Aku juga tidak percaya. Kenapa dia mau memilihmu?

“Padahal, awalnya kita cuma sama-sama kagum pada visualnya, tapi malah jadi begini.” Listi mengurai dekap, menatapku lurus. “Ingat tidak, dulu aku pernah bilang bahwa, eksistensi Pak Guru Senyum Manis hanya untuk dikagumi, bukan dimiliki?”

Aku mengangguk singkat.

“Lalu aku mengikuti saranmu untuk menyatakan perasaanku pada orang yang kusuka. Ingat kejadian itu juga?”

Aku membelalak. Sekarang aku ingat semuanya. Rupanya kami tidak tiba-tiba berdiskusi tentang kesetaraan gender dalam hal mencintai. Topik tersebut muncul saat Listi menceritakan kerisauannya soal seorang lelaki. Lantas, aku mendorongnya untuk mengajukan proposal pernikahan lebih dahulu jika memang telah siap membangun rumah tangga.

“Ja-jadi, maksudmu, lelaki itu ... Pak Guru Senyum Manis?” Listi menyengir sambil mengusap sisa-sisa air mata pada pipi chubby-nya. “Kenapa tidak bilang sejak awal?”

“Malu lah. Kau pasti akan sering mengejekku.”

Aku menunduk, menggigit bibir bawah. Ini menyesakkan. Sial,sial, sial!

“Bagaimanapun, awalnya kan perasaan kagum itu cuma kita jadikan lelucon, tapi lama-lama aku benaran jatuh hati. Alhamdulillah, ternyata dia juga suka, makanya aku baru berani cerita sekarang.”

“Sejak kapan?”

“Apa?”

“Sejak kapan kau benaran jatuh hati ke dia?”

“Entah kapan pastinya, tapi karena kami ketemu hampir setiap hari, aku jadi sadar kalau dia mengagumkan bukan cuma karena visualnya.” Listi menarik sudut-sudut bibir, terlihat bangga sekali. “Dia itu ....”

Lalu, dimulailah ulasan impresi positif tentang kepribadian Pak Guru Senyum Manis. Listi berkisah dengan antusias meskipun aku tidak lagi menunjukkan minat.

Aku menerawang jauh ke balik punggungnya, kembali pada kilau matahari yang memantul di atas permukaan laut. Semilir angin hangat membuat mataku semakin perih.

Persis pada bulan September 2021, untuk pertama kalinya aku ingin segera pergi dari hadapan Listi. Aku tidak bisa ikut tersenyum melihat wajah cerahnya. Tidak di saat hatiku baru saja patah setelah mengetahui kenyataan bahwa, lelaki yang aku cintai justru mencintainya.

Bersambung.

Gimana chapter pembuka ini?

Aku kembali dengan cerita berbeda. Semoga kalian betah baca sampai akhir, ya! Sankyu.

24 Mei 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top