[🌏] 19 - Meraih Bintang
Tanganku bergerak maju,
ingin meraihmu
yang begitu dekat,
namun aku ragu.
Dan kamu,
tanpa sedikit pun bimbang,
meraihku.
🌏
Hasil wawancara kemarin harus dirangkum ke dalam sebuah artikel pendek yang akan dimuat ke dalam dua halaman majalah sekolah, Aksara. Ghea ditugasi membuat artikel itu, dengan tetap diawasi oleh Nadira. Sementara itu, Thalia yang akan membuat desainnya, dipandu oleh Orion.
Ghea menemukan kegiatan yang tidak dia kira akan sangat menyenangkan---membuat artikel seperti ini nyaris sama asyiknya dengan membuat cerita fiksi. Dia sudah takut saja kalau bahasa yang dia gunakan terlalu fiktif, tapi Nadira sudah menyetujui artikel itu, sehingga dia tinggal menyerahkannya pada Thalia.
Thalia mengajaknya ikut membuat desain artikel itu di kelasnya sepulang sekolah. Ghea terpaksa menyetujui, walaupun itu berarti dia nggak bisa pulang cepat dan tidur siang. Surya juga nggak bisa menunggunya karena harus segera pulang. Kecemasan di wajahnya membuat Ghea khawatir, tapi dia membiarkan Surya pergi.
Ghea bergegas ke kelas Thalia seusai bel pulang berbunyi. Thalia sedang berkutat dengan laptopnya saat Ghea mendekatinya.
"Thal, apa yang bisa gue bantu?"
"Hai, Ghe," balas Thalia tanpa menoleh dari laptopnya. "Sebenernya gue nggak butuh lo sih, tapi gue pengin aja lo ikut ngelihat. Siapa tau lo punya ide."
"Oh, oke. Dikasih gambar apa gitu kek, yang ada hubungannya sama fisika."
"Katrol atau apa gitu, ya?"
Ghea mengangguk. "Boleh."
"Jangan terlalu ramai. Fokusnya tetap ke artikel dan foto Bara."
Suara Orion mengejutkan Ghea. Cowok itu sudah ada di belakang Ghea, entah sejak kapan. Ghea otomatis bergeser. Duh, dia lupa Orion wajib membantu Thalia mendesain.
"Iya, Kak, paling buat hiasan atau apalah di deket foto, biar nggak sepi banget," balas Thalia santai. "Nanti gue gambar sendiri aja."
"Emang konsep lo kayak apa?"
Thalia lalu menjelaskan konsepnya pada Orion, sementara Ghea mengirim pesan pada Surya untuk bertanya apakah cowok itu sudah pulang. Pesannya yang lama tak berbalas menunjukkan bahwa Surya sudah di jalan.
Astaga, sangat canggung.
Ghea lalu diam di sana, memperhatikan Thalia mendesain artikelnya. Orion sesekali berkomentar, tapi selebihnya dia diam saja. Ghea beberapa kali---banyak kali, sebenarnya, bukan cuma beberapa---melirik pada Orion.
Dari jarak lumayan dekat, Orion tampak menawan. Dia bukan tipe cowok yang cewek-cewek kagumi karena keahliannya di lapangan, juga bukan karena kekerenannya di atas panggung. Orion menawan karena dia punya kesan misterius yang menyembunyikan kepintarannya. Biasanya, di balik kependiamannya, orang seperti Orion punya banyak cerita untuk dibagikan.
Oh, Ghea tidak tahu pasti soal itu. Dia hanya menebak-nebak, membayangkan Orion sebagai salah satu tokoh cerita yang cool dan Ghea sebagai cewek yang menghangatkan hatinya. How typical.
"Gue oke kalau konsepnya kayak gini aja. Lo gimana, Ghe?"
Pertanyaan Orion yang ditujukan padanya membuat Ghea menghentikan imajinasinya. Dia melihat konsep desain yang sudah dibuat Thalia. "Boleh. Gue nggak ngerti desain."
"Oke, gini aja!" seru Thalia puas. "Gue lanjut di rumah aja, deh. Besok gue kirim, Kak."
"Oke," balas Orion singkat.
"Ghe, lo pulangnya gimana?" Thalia menoleh pada Ghea. "Maaf ya, lo malah gabut gini."
"Nggak apa-apa, gue bisa naik bus kok. Atau naik ojek." Ghea berdiri. "Duluan ya, Thal, Kak."
Ghea lalu meninggalkan kelas Thalia sambil membuka aplikasi ojek. Dia sedang akan menekan tombol pesan saat sebuah notifikasi muncul dari bagian atas layar ponselnya.
Orion Gamma Laksana
Gue anter lo pulang.
Astaga, Ghea pasti bermimpi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top