Not Me

"Setelah meremukkan bagian belakang kepala Dr. Reagan Harper dengan patung kuda dari perunggu, pelaku sempat mencekik Elyse Harper sampai korban tidak sadarkan diri."

Aku mendengar Jaksa Penuntut membacakan pernyataannya. Tanpa bisa dicegah, benakku kembali mengingat perasaan mengerikan ketika ban leher yang dingin mengelilingi leherku selama beberapa hari.

Pembantu rumah tangga yang bahkan telah bekerja padaku sejak aku kecil, Mrs. Louise, bergerak-gerak gelisah di kursi Terdakwa. Aku memandanginya dengan simpati, dan berharap setengah mati bukannya terlihat curiga. Bagaimanapun, beliau telah menggantikan peran Ibuku sejak lama. Aku sangat memercayainya. Fakta bahwa aku tak dapat mengingat bagaimana kedua tangannya yang selalu hangat dan beraroma dapur –gambaran menyenangkan tentang dirinya lama setelah Ibuku meninggal- mencekik leherku hingga menyebabkan kerusakan urat saraf tukang belakang, pipa pernapasan dan pembuluh darahku, cukup menenangkan. Namun entahlah.

Lima belas menit setelah Hakim menjatuhkan hukuman sepuluh tahun penjara, Mrs. Louise dibawa dengan tangan terbogrol ke mobil yang akan mengantarnya menuju Baltimore Prison, Lembaga Permasyarakatan Wanita.

***

Sepuluh setengah tahun kemudian...

"... Memang saya akui semua bukti sangat memberatkan. Dan saya ingin mengatakan pada Anda semua bahwa tak peduli bukti menyatakan begitu, dengan segenap jiwa saya yakin bahwa saya tidak mampu melenyapkan nyawa orang lain. Saya tahu mungkin ketidakbersalahan saya tidak bisa dibuktikan. Tapi saya bersumpah akan membuktikannya. Selama itu belum terjadi, saya tidak akan menemukan kedamaian... Saya akan menemukannya..."

"Apa yang kau lakukan?" Suara Veena membuat perhatianku teralih dari layar teve dan dari tatapan tidak menyenangkan yang dilemparkan oleh Mrs. Louise. Apa yang ada di pikiran perempuan itu ketika menghadap kamera para wartawan? Apa yang membuatnya merasa bahwa dia mungkin tidak bersalah?

"Seperti yang kau lihat," gumamku dan tetap menatap teve saat Veena menaruh piring kecil berisi sepotong cake stroberi di meja.

"Tampaknya pernyataan Mrs. Louise mengganggumu."

"Sangat."

Aku menunduk. Kelihatannya cake itu enak. Tapi aku tidak suka stroberi.

Seolah membaca pikiranku, Veena bertanya, "Sejak kapan kau tidak suka cake stroberi?"

"Aku tidak ingat pernah menyukainya."

Veena tertawa seraya mengacungkan sendok mungil yang berlumuran krim gula. "Aku tidak pernah mau memercayai ingatanmu. "

Veena benar. Aku punya masalah yang cukup serius soal ingatan. Dan masalah itu kian menjadi-jadi tepat di malam suamiku terbunuh.

"Kupikir sudah seharusnya kau menemukan seseorang untuk mengatasi masalah waktu-waktu yang dicuri itu."

Apa maksudnya? Apa dia mulai meragukan kewarasanku? Well, semua orang tentunya, Elyse, mulai meragukan kewarasanmu. Bahkan aku sendiri sekalipun. Oh, aku mengerti.

"Menurutmu, ada kemungkinan aku yang membunuh Reagan?"

"Tidak!" semburnya cepat. Kelewat cepat hingga terlihat seolah ia sedang ketakutan. "Itu tidak mungkin. Maksudku, ya walau ada sketsa-sketsa aneh itu. Tapi orang selembut kau? Tidak mungkin."

Tentu saja, ya, sketsa-sketsa. Kalian mungkin bertanya-tanya bagaimana rasanya terbangun di pagi hari lalu menemukan puluhan sketsa pensil memenuhi dinding kamarmu sampai ke sisi yang sulit dicapai sekalipun. Gambar-gambar itu hanyalah coretan biasa, beberapa tidak jelas karena tiap garis saling tumpang tindih, tampak dibuat dengan tergesa-gesa. Namun jika diperhatikan lekat-lekat, setiap gambar menimbulkan kengerian tersendiri. Jendela-jendela pecah, sepasang mata atau patung kuda yang tergeletak di genangan darah. Tapi aku sudah membakar semuanya.

"Itu sudah lama dan sudah kulupakan."

"Baiklah, terserahmu," ucap Veena sambil lalu. Ia menghabiskan cake-nya dan ganti meraih piring cake-ku, kemudian mengemasi lembar-lembar foto yang tersebar di atas meja.

"Sampai jumpa di galeriku, El."

Aku tersenyum dan mengangguk. Sepatu berhak tinggi milik Veena mengetuk-ngetuk paving halaman depan rumahku. "Tuk tuk," gumamku menirunya.

Dengan perginya Veena, maka aku sendiri lagi di rumah ini. Keheningan ini mengerikan untuk orang yang tak pernah bisa memahami diri sendiri sepertiku. Dulu masih ada Mrs. Louise dan Bronze yang selalu mengawasi dan memberitahuku jika aku mulai mengalami masalah yang tidak bisa kutangani sendiri. Tapi kini mereka berdua tidak ada.

Ketika memutuskan untuk membuat makan malam, aku mendengar pintu depan diketuk dengan keras dan cepat.

***

Aku ingat pernah terbangun dengan sensasi yang sama persis seperti ini. Disorientasi. Namun setelah mendengar kerincing samar dari manik-manik penangkap mimpi buruk yang di pasangkan Reagan di kepala ranjang, aku baru sadar kalau ini kamarku. Sepuluh setengah tahun berlalu dan aku masih belum terbiasa dengan dinginnya sisi ranjang di sebelahku? Mengenaskan. Reagan sering pulang terlambat dan terbangun lebih awal dariku. Tapi setidaknya aku masih bisa merasakan lengannya membelai kepalaku jika aku mulai merasa tidur adalah serangkaian mimpi buruk yang seolah tidak memiliki akhir. Atau mendengar dengkurannya yang mirip kucing, sampai pernah terlintas di pikiranku untuk memotong daging yang menggantung tepat di atas kerongkongannya agar ia berhenti mendengkur.

Aku dan Reagan memiliki kesamaan dalam banyak hal. Dia membenci keramaian, hal-hal yang tidak teratur dan tidak tertata, sama sepertiku. Jika memilih desain dan warna furnitur rumah, kami selalu sependapat. Dia menyukai seni nyaris sebesarku. Kami berdua bahkan sepakat untuk tidak memiliki anak. Enam tahun yang kelewat damai bersamanya membuatku bertanya-tanya bagaimana rasanya berselisih pendapat.

Namun entah bagaimana, sesuatu di sudut benakku berkata bahwa aku pernah berselisih dengan mendiang suamiku. Entah kapan. Aku tidak ingat. Atau tidak mau ingat?

Di antara hari-hari baik, ada juga hari-hari buruk. Seperti saat kudapati Reagan lebih memilih tidur di ruang kerjanya, mengelak dari pembicaraan mengenai ingatanku dan kepergok memandangku dengan takut-takut seolah aku ini apalah. Walaupun terus mendesaknya, aku mesti kembali menelan rasa penasaranku dan hanya bisa memendamnya. Kenyataan bahwa tak ada seorang pun yang cukup berani mengungkapkan kebenaran apa saja tentangku, adalah hal yang mengerikan. Ada banyak kesimpulan sementara yang bisa kutarik dan semuanya bukan pernyataan yang enak didengar.

Aku berguling ke tepi kasur dan sempat menyadari bahwa aku tertidur masih dengan pakaian tadi. Sesuatu berkeresak. Bunyinya menimbulkan perasaan tidak nyaman yang seperti berasal dari ingatan-ingatan lama. Aku ingat pernah mendengarnya. Di sini, di kamarku. Tanganku bergeser lalu sehelai kertas melayang ke lantai.

Mendadak rasa mual menaiki kerongkonganku. Aku membekap mulut sambil melompat turun dari kasur. Kertas-kertas sketsa berhamburan ke lantai. Rasanya hampir tak tertahankan. Aku terbatuk-batuk di wastafel sampai mataku panas dan berair. Tidak ada yang bisa kumuntahkan selain cairan kekuningan yang terasa amat pahit di lidahku.

Tapi rasanya, ada yang...

Aku memukul-mukul perutku seraya berpegangan pada pinggiran wastafel dengan sebelah tangan. Kemudian sesuatu meluncur melewati kerongkonganku, terjatuh dengan bunyi seperti benda lunak di dasar wastafel.

Sepotong lidah.

***

Aku belum bisa makan apapun saat ini tanpa yakin tidak bakal kembali memuntahkannya. Tidak sebelum bayangan mengerikan itu menghilang dari benakku. Dan bisa kupastikan itu sulit terjadi. Akal sehatku hanya berani menggumam dengan suara lemah di sudut benakku. Tidak bisa berhenti berucap, 'lidah siapa... lidah siapa itu...'

Melihat kondisiku, Veena tampak ragu-ragu. Setelah meneleponnya dengan suara yang terdengar begitu ketakutan –aku tidak ingat pernah setakut ini sebelumnya- ia langsung memacu mobilnya ke rumahku. Dan di sanalah ia sekarang, berdiri di dekat jendela. Menjaga jarak. Aku bahkan belum bercerita apa-apa padanya selain tentang kertas-kertas sketsa yang kini bertebaran di meja di hadapanku. Apa yang dia pikirkan di saat seperti ini? Tidakkah dilihatnya aku begitu kacau?

"Kau takut padaku, bukan?"

Veena menggeleng. Namun tatapannya menghindari mataku. Beberapa detik menghilang sementara atmosfir di sekeliling kami mulai terasa menghimpit.

Wanita berambut oranye yang dipotong rata sedagu itu berjalan mondar-mandir di depanku seraya mencengkeram lengannya sendiri. Sepatu stiletto tujuh belas senti miliknya mengetuk-ngetuk lantai marmer. "Elyse, ada seseorang lain dalam dirimu yang muncul sewaktu-waktu."

"Seseorang di dalam diriku?" Bagaimana bisa ada orang di dalam diriku, selain aku?

"Kau tahu betapa sulitnya bagiku untuk memercayai itu. Tapi aku melihatnya sendiri. Kau tidak ingat pernah memukul-mukul jendela dan berteriak ketakutan hanya karena pintu yang tertutup, kan?" Aku hanya diam jadi ia melanjutkan. "Kau pernah mengumpat-ngumpat mengenai Reagan dan-" Tiba-tiba sebelah tangan Veena membekap mulut, tampak terkejut oleh ucapannya sendiri.

"Reagan dan...?!" ulangku dengan suara yang melebihi perkiraanku.

Bunyi tuk-tuk yang keras kembali mengisi keheningan. Sesuatu dalam kepalaku menjerit meminta agar bunyi itu berhenti.

Veena kembali berbicara, namun suaranya bergetar. "Waktu itu kau tampak begitu marah. Aku belum pernah melihatmu marah. Dulunya aku yakin kau tipe perempuan yang tidak bisa marah."

Aku memang tidak bisa marah. Itu mengingatkanku pada emosi-emosi negatif yang selalu kutekan dan kupendam dalam-dalam. Aku selalu berakhir dengan memaafkan mereka. Aku benar-benar orang yang pemaaf.

"Ja-jadi sekali waktu aku pernah berpikir bahwa mungkin... dia yang berada di dalam dirimu itu yang... Tapi itu tidak bisa menjelaskan memar parah dari cekikan Mrs. Louise di lehermu."

Itu tidak mengejutkanku entah bagaimana. "Tuk tuk," gumamku samar, mengikuti langkah kaki Veena. Sahabatku itu terus berbicara.

"Suaranya kecil, kekanak-kanakkan. Dia juga mengungkapkan banyak hal mengerikan. Aku takut, namun tidak bisa berhenti menanyaimu. Maksudku... menanyainya."

Di luar, hujan deras memukul-mukul kaca jendela. Suara Veena nyaris tenggelam, tapi tidak dengan bunyi ketukan itu. Aku menggigil di sofa. Ujung jemariku membeku.

"Dialah yang menggambar sketsa-sketsa itu. Ia bilang gambar buatannya lebih bagus daripada buatanmu."

Sulit bagiku untuk mendengar kalimat terakhir. Pikiranku terfokus pada hal lain. Aku hanya ingin bunyi ketukan itu berhenti.

"Elyse?"

Aku beranjak dari sofa dengan kaku. Sepasang mata abu-abu Veena mengerjap cepat. Bibirnya membuka hendak mengatakan sesuatu. Namun terlambat. Ia hanya sempat mengeluarkan pekikan terkejut ketika kedua lenganku mendorongnya hingga terjatuh ke lantai.

Tersengal-sengal ketakutan, gadis berisik itu nampak terlalu terkejut karena benturan pada kepalanya. Berat tubuhku menekannya di lantai sementara tanganku menghampiri kedua sisi kepalanya. Astaga kepala ini susah sekali diam. Jemari Veena dengan kuku-kukunya yang panjang mencakar-cakar ke arah wajahku. Aku membiarkan ibu jariku meluncur menuruni keningnya yang licin karena keringat. Terus hingga mencapai mata yang tadi menatapku dengan penuh curiga.

"He-hentikan, Elyse! Apa yang mau kau lakukan?!"

Tekan, terus tekan ke dalam lubang itu, ia memerintah di dalam kepalaku. Veena benar soal suaranya yang kekanak-kanakkan. Well, Veena benar dalam banyak hal. Kini mulut gadis itu menganga, mengeluarkan erangan terputus-putus yang mengingatkankanku pada suaraku sendiri ketika tercekik. Tubuhnya mengejang di bawahku. Aku merasakan ibu jariku kian melesak menembus materi lunak dari bola matanya. Cairannya meletup lalu mengalir bercampur darah ke sisi kepala, membentuk genangan kecil di lantai. Sekarang ibu jariku telah masuk sepenuhnya ke rongga mata Veena. Rasanya hangat dan lengket.

Juga terasa menyenangkan.

Aku bangkit lalu mengamati sahabat menyedihkanku itu merangkak putus asa di lantai, menyeret diri di genangan darahnya sendiri. Sepasang matanya tinggalah rongga gelap yang etrus mengalirkan darah. Tanpa pikir panjang aku meraih sepatu stiletto dari kakinya. Ia selalu mengenakan sepatu-sepatu berhak tinggi untuk menyamarkan tinggi badannya. Bertahun-tahun aku hidup dengan memendam kebencian yang teramat besar pada bunyi yang ditimbulkan oleh sepatu ini. Aku ingat bunyi tuk tuk cepat yang bergema di lorong rumah sakit, di koridor rumah dan Reagan ada di sana.

Benar, Veena Wright dan Reagan Harper. Mereka memiliki hubungan di belakangku. Mrs. Louise tahu apa yang tidak aku tahu. Tentu saja mereka merahasiakannya dariku. Demi Tuhan, bagaimana aku bisa tahan hidup dengan begitu optimis? Aku sudah berusaha. Namun tetap saja kali ini berakhir pada tepi di mana aku tidak bisa memaafkan mereka.

Dia, siapapun dia yang mencuri waktu-waktuku, adalah penyelamatku. Tanpanya mungkin aku akan membusuk dalam asumsi bahwa Reagan mencintaiku, Mrs. Louise menyayangiku seperti anaknya dan Veena adalah sosok sahabatku yang sebenarnya.

Aku membalikkan tubuhnya dengan sekali sentak lalu menatap wajah yang berlumuran darah itu. Kupikir aku mendengar suara isakan teredam hujan. Tapi aku sudah kehabisan belas kasihan.

Ujung hak yang runcing itu kuletakan di pangkal lehernya, tepat di lekukan di antara tulang selangka. Hanya perlu menekannya kuat-kuat sampai menembus lehernya. Lakukan!

Maka kulakukan.

Bunyi gemeretak tulang memasuki pendengaranku sampai pada titik di mana aku tidak bisa menekan hak runcing itu jauh lebih dalam. Darah merembes, berkilat-kilat. Namun tidak sebanyak darah Reagan ketika aku menghantamnya dengan patung kuda. Atau ketika aku memotong-motong tubuh Mrs. Louise yang berlemak hingga bagian terkecil. Aku masih bisa mengingat gumpalan lengket berwarna kekuningan yang menempel di pisau dagingku.

Ia mulai berhenti bergerak. Belum mati. Namun jika dibiarkan terus, ia akan mati kehabisan darah.

Siapa yang membunuhnya? Aku atau dia? Mungkin pernyataan 'kami yang membunuhnya', lebih tepat.

_End_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top