11. Perjuangan
Happy Reading
*****
"Sejak kapan kamu kenal Bara?" tanya Zoya, "bertemu saja baru kali ini. Iya, kan, Sayang?" Menatap ke arah Bara.
"Iya, aku baru kali ini datang ke kotamu, Sayang." Bara merangkul Zoya di hadapan Arvin dengan tatapan permusuhan.
Garis bibir Arvin terangkat sebelah. Satu tangannya dimasukkan ke saku dan mengepal. Lelaki itu menyatukan gigi-giginya dengan kuat.
"Oh, ya? Mungkin karena tanggal 19 Juni bulan lalu di hotel Minak Jinggo, aku nggak sempat memberimu ucapan selamat secara langsung. Jadi, kamu nggak tahu siapa aku," ucap Arvin ambigu.
Mendongakkan kepalanya menatap sang kekasih, Zoya bertanya melalui tatapan mata.
"Nggak tahu maksudnya apa, Sayang. Tanggal 19 Juni, aku ada meeting yang membuat kita membatalkan kencan kita waktu itu. Kamu ingat, kan?" ucap Bara. Suaranya mulai sedikit bergetar.
Zoya melepas rangkulan Bara. Tangannya beralih memegang pergelangan sang kekasih. Lalu, gadis itu berjalan menjauhi Arvin. Akan tetapi, sebelumnya dia sempat berkata, "Nggak usah sok tahu dan sok kenal. Kenyataannya, Bara itu nggak mengenalmu sama sekali."
Mempererat pegangannya pada tangan sang kekasih, Zoya melangkahkan kakinya. "Ayo, Sayang. Kita ke ruanganku saja."
Menatap kepergian pasangan itu dengan mata membulat sempurna. Tangannya mulai membuka layar ponsel. Lalu, menekan kontak seseorang dan mengetikkan sesuatu. Tak lama berselang, ponsel Arvin pun berdering.
"Tumben, nih," ucap seseorang di seberang sana ketika Arvin sudah mengucapkan hallo.
"Ada yang perlu diluruskan. Cepat kirim."
"Dih, lagi naik tensi kayaknya. Ngomong dikit aja wis ngegas."
"Aku tutup. Kirim semua foto yang aku minta tadi," tegas Arvin.
"Hadeh, dasar cowok diktator. Emang pantes jadi pemimpin." Lawan bicara Arvin tertawa keras.
"Oke. Aku tunggu kiriman fotonya." Langsung mematikan sambungan telepon. Arvin berjalan meninggalkan lobi pabrik sambil menunggu foto-foto yang dimintanya tadi.
Baru akan membuka pintu ruangannya, langkah Arvin terhenti karena panggilan Hasbi.
"Mas, cowok yang sama Mbak Zoya beneran calon suaminya?" Kedua mata Hasbi menuntut jawaban cepat.
"Bukan," jawab Arvin singkat, padat, jelas dan sinis.
"Hahahaha," tawa Hasbi menggema. "Nggak usah sewot gitu mukanya. Makanya, kalau cinta itu langsung ungkapkan. Nggak usah muter-muter kayak kitiran sawah. Malah sok-sok berkuasa. Kena tikung gini, bingung sendiri."
"Ada banyak laporan keuangan yang harus kamu koreksi. Ambil sana di mejaku," suruh Arvin. Wajahnya menggelap karena ucapan Hasbi.
"Dih, sok bossy." Walau demikian, Hasbi tetap menuruti perintah Arvin yang sudah dia anggap sebagai saudara sendiri.
Masuk ruangan, Arvin menghempaskan tubuhnya di kursi kebesaran. Berkali-kali menarik napas panjang seolah banyak beban dipundaknya.
"Kalau mau cerita, ngomong aja, Mas. Aku siap mendengarkan," ucap Hasbi. Dia duduk diam di depan Arvin.
"Apa aku nggak pantas jadi suaminya, Bi? Dia bahkan lebih memilih lelaki seperti itu."
"Lelaki seperti apa, Mas?" selidik Hasbi.
Arvin menunjukkan foto di ponselnya. "Gimana menurutmu?"
"Eh, ini beneran cowok yang sama Mbak Zoya tadi. Kok, bisa gini?" Hasbi menggelengkan kepalanya. "Mas, kamu harus ngasih tahu ini sama Mbak Zoya. Dia bukan perempuan bodoh yang dibutakan cinta. Kalau sampai Mbak Zoya ketemu sama Pakde terus beliau setuju dengan rencananya, kamu nggak punya kesempatan, Mas."
"Yo, nggak mungkin itu terjadi, Bi. Aku pasti mencegahnya, tapi gimana perasaannya Zoya kalau tahu orang yang dicintainya begini." Arvin menatap lurus ke depan, seperti membayangkan sesuatu.
Tangisan Zoya beberapa tahun lalu, sempat menghancurkan hatinya. Walau tidak tahu persis apa yang terjadi, tetapi Arvin pernah berjanji pada dirinya sendiri tidak akan membuat gadis itu menangis lagi.
"Lebih baik sakit sekarang, Mas. Daripada Mbak Zoya tahunya pas sudah nikah."
Di saat keduanya tengah asyik mengobrol, Zoya dan Bara sedang berdebat. Pasangan itu mempertahankan pendapat masing-masing.
"Kamu sebenarnya niat nggak sih buat nikahin aku?" tanya Zoya setelah cukup lama berselisih pendapat dengan sang kekasih.
"Niat, lah, Sayang. Kit sudah selama ini bersama. Masak iya aku nggak mau nikah sama kamu. Cuma, dalam waktu dekat ini, aku belum bisa. Tabunganku masih belum cukup untuk pesta resepsi." Tangan Bara mulai aktif menyusuri wajah Zoya. Namun, segera ditepis oleh sang pemilik.
"Aku nggak minta pesta megah untuk resepsi. Aku cuma minta, kamu melakukan akad di hadapan Ayah supaya dia jauh lebih tenang dan fokus sama pengobatannya. Sayang, kalau memang tabunganmu belum cukup, pake aja uangku."
Bara diam, tatapannya kosong.
"Sayang," panggil Zoya. Tak mendapat respon, perempuan itu menggeser posisi duduknya. Lalu, menatap sang kekasih.
"Apa mungkin benar perkataan Arvin tadi. Kamu nggak akan bisa menikahiku?" ucap Zoya dalam hati.
"Bara," ucap Zoya sedikit keras, sekali lagi manggil sang kekasih.
"Iya, Sayang."
"Ayo temui Ayah setelah aku tanda tangan berkas ini."
"Tapi, Sayang. Aku nggak bisa menikahimu sekarang."
Ingin marah, tetapi Zoya berusaha menahan. "Iya, nggak masalah. Aku bakalan ngomong ke Ayah. Terpenting, kamu kenalan dulu sama beliau."
"Terima kasih atas pengertiannya, Sayang." Bara mendekat, merentangkan kedua tangannya sambil memajukan bibir. Akan tetapi, Zoya cuma tersenyum menyambutnya. Gadis itu terlihat enggan memeluk sang kekasih.
Satu jam kemudian, pasangan itu keluar. Arvin dengan jelas melihat tangan mereka yang bergandengan disertai senyuman kebahagiaan.
"Aku harap kamu nggak sakit hati setelah mengetahui semua kebenarannya." Melanjutkan langkah menemui salah satu rekannya.
*****
Sama seperti keadaan sebelumnya, Arsyad masih terbaring lemah dengan alat penunjang kehidupannya. Lelaki paruh baya itu memejamkan mata ketika sang istri tengah sibuk dengan ponselnya. Namun, ketika serit pintu terdengar, inderanya terbuka sempurna.
"Zoya," kata Sekar sedikit terkejut. Dia segera meletakkan ponselnya sembarangan.
Reflek, Arsyad menoleh pada benda pipih itu. Layarnya yang menyala membuatnya bisa melihat aktifitas sang istri tadi. "Jadi, kamu masih berhubungan dengannya?" kata Arsyad dalam hati.
"Maaf, Bu. Aku nggak sempat menghubungi. Begitu Mas Bara datang, aku langsung ingin mengenalkannya pada Ayah." Keduanya mendekat pada Arsyad. Menyentuh telapak tangan lelaki paruh baya itu, Zoya tersenyum sambil berkata, "Yah, aku datang. Kenalin, ini Mas Bara, pacarku."
Wajah Arsyad seketika menegang. Bibirnya mulai bergerak-gerak seperti ingin mengatakan sesuatu.
"Kalau begitu, suruh dia menikahimu saat ini juga, Ay," sahut Sekar, "Ceritakan juga semua kekuranganmu."
"Kekurangan apa maksudnya, Bu?" sela Bara tak lagi bisa menahan pertanyaan.
"Bu. Aku bisa jelaskan nanti padanya. Terpenting, kesehatan Ayah membaik. Ayah nggak khawatir lagi dengan pernikahanku karena aku sudah punya calon yang lebih baik dari Arvin," kata Zoya. Wajahnya terlihat kesal ketika menatap ibu tirinya.
"Arvin itu, lelaki yang kita temui di pabrikmu tadi, kan?" Pertanyaan Bara penuh selidik. Sebenarnya, dia tidak menginginkan kejadian seperti ini terjadi. Kedatangannya menemui Zoya, hanya untuk meyakinkan perempuan itu. "Jadi, dia berniat menikahimu. Pantas kata-katanya sinis."
"Iya, itu aku," kata Arvin dari ambang pintu, "sekarang, aku menantangmu untuk menikahi Zoya kalau kamu memang benar-benar mencintainya."
"Arvin, jaga batasanmu!" sentak Zoya.
"Aku akan jaga batasan kalau lelaki di sampingmu ini mau jujur mengungkap statusnya. Jangan sampai kamu patah hati karenanya, Ay." Tatapan Arvin begitu tajam menguliti Bara.
"Status apa? Aku masih single. Aku memang akan menikahi Zoya, tapi nggak sekarang," sahut Bara.
"Yakin masih single. Lalu, foto-foto ini, apa?"
Semua mata, kini tertuju pada layar ponsel milik Arvin.
*****
Banyuwangi, 25 September 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top