10. Sengit

Happy Reading

*****

Takut terjadi hal-hal tak terduga seperti sebelumnya, Zoya memundurkan kursi. Lalu, menatap lawannya. "Ingat, ya, Vin. Aku sudah punya calon suami. Kamu nggak berhak mencampuri urusan pribadiku."

Pergi begitu saja meninggalkan Arvin yang menjadi patung, Zoya menghentakkan kakinya. Kesal sekali dengan sikap diktator lelaki itu.

"Memangnya dia siapa? Ayah saja nggak pernah kayak tadi. Dia itu cuma anaknya tukang kebun di rumah ini. Berani-beraninya sok kuasa. Apa jadinya kalau aku sampai nikah sama dia tadi," gerutu Zoya sepanjang perjalanan menuju kamar.

Sepeninggal Zoya, Arvin merutuki dirinya sendiri. Kenapa begitu ceroboh hingga membuat Zoya marah. "Dia pasti makin membenciku padahal, sikapnya sudah mulai melunak. Bodoh kamu, Vin," umpatnya pada diri sendiri.

Sampai di kamar, Zoya menghubungi Bara kembali. Namun, panggilannya tak terangkat, gadis itu mencoba beberapa kali melakukan panggilan yang terjadi malah nomor Bara tidak aktif. Capek dengan segala aktivitasnya hari ini, perlahan mata Zoya terpejam.

*****

Silau cahaya mentari pagi mengenai wajah Zoya melalui jendela kaca yang gordennya tidak tertutup sempurna. Tangannya meraba-raba mencari ponsel untuk melihat jam.

"Astagfirullah," ucap Zoya ketika jam di ponselnya menunjuk angka enam lebih lima menit. Segera turun tanpa mengganti baju, gadis itu berlari ke musala kecil di halaman samping rumahnya. Namun, langkahnya terhenti ketika melewati dapur.

Arvin yang mengenakan celemek dan sedang memotong sesuatu terlihat menarik hatinya. Zoya pun tersenyum tanpa disadari. Ketika lelaki itu mengongakkan kepalanya, dia cepat-cepat melanjutkan langkahnya menuju musala.

"Mau ke mana dia? Terburu-buru seperti melihat hantu saja," gumam Arvin.

"Mas, aku bantu, ya? Mau masak apa?" tanya Adeeva dari arah samping. Perempuan itu sudah berdiri tepat di sebelah Arvin bahkan jaraknya begitu dekat. Dilihat sekilas, keduanya seperti pasangan yang saling membantu.

Memiringkan badan, Arvin berkata, "Nggak usah, Deev. Aku cuma masak sop ayam. Sebentar lagi matang. Kamu siap-siap ke kantor saja. Gimana keadaan gudang kemarin?" Melanjutkan membuat masakan yang disebutkan tadi, lelaki itu jelas terlihat menghindari Adeeva.

"Aman, Mas. Stock produksi untuk minuman terbaru kita, buahnya sudah siap semua. Stock beras yang akan dikirim ke Kalimantan juga melimpah. Nggak perlu khawatir," jelas gadis yang masih mengenakan pakaian tidur berbahan satin dan cukup pendek tanpa lengan.

"Bagus kalau gitu. Cepatlah bersiap, masakannya sebantar lagi matang. Jangan menggunakan pakaian seperti itu saat keluar kamar." Arvin tak menoleh lagi pada Adeeva membuat perempuan itu kesal. Lalu, adik tiri Zoya itu berjalan dengan menghentakkan kakinya.

"Ojo terlalu sadis gitu kalau ngomong sama Mbak Deeva, Le," ucap Maryam yang baru saja menghampiri dapur dan langsung menuju wastafel cucian piring.

"Eh, Ibu. Nggak usah dicuci, Bu. Biar Arvin saja." Lelaki itu segera menyingkirkan tangan Maryam dari wastafel. "Kalau nggak sadis, dia nggak bakalan ngerti, Bu. Kalau sampai ada cowok lain di rumah ini yang melihat pakaiannya seperti tadi, Deeva nggak bakalan selamat, Bu."

"Yo, tapi omongannya jangan kasar gitu." Maryam kembali menepis tangan putranya supaya tidak mencegahnya mencuci peralatan yang kotor. "Vin, kamu ini cowok nggak pantes di dapur terus. Aminah cuti bukan berarti kamu harus menggantikan posisinya," ucapnya.u

"Bu, Arvin cuma nggak mau Ibu capek. Ibu baru sembuh, nggak boleh kerja terlalu berat. Kalau cuma masak, aku masih bisa mengatasinya."

Dari pintu yang menghubungkan dapur dengan halaman samping, Zoya mendengar semua percakapan Ibu dan anak itu. "Sekalinya diktator tetap saja diktator. Apa yang kamu kehendaki, orang lain harus menuruti. Dasar!" umpatnya.

Semua makanan sudah siap, Arvin juga sudah rapi dengan setelan kemeja dan celana panjang. lelaki itu memanggil anggota keluarga lainnya untuk sarapan bersama. Dari bawah tangga, lelaki itu melihat Zoya dan Adeeva turun. Matanya tak bisa berkedip ketika putri sulung keluarga tersebut turun dengan mengenakan dress di bawah lutut. Zoya tampak lebih memukau dengan dress bunga tersebut. Rambut dibiarkan tergerai, hanya jepit kupu-kupu yang tersemat sebagai hiasannya. Dia tampak lebih muda tanpa riasan tebal seperti kemarin. Sangat berbeda dengan tampilan Adeeva yang begitu mencolok.

"Ayo, Mas." Adeeva langsung melingkarkan tangannya pada pergelangan Arvin. Sementara lelaki itu masih terpaku menatap Zoya.

"Sepertinya, matamu minta dicolok," ucap Zoya memperingatkan Arvin.

Segera menepis tangan Adeeva, Arvin berjalan cepat menuju meja makan.

"Mulutmu bisa nggak bicara lebih lembut, Mbak?" kata Adeeva.

"Kenapa? Pacarmu yang mulai duluan. Tolong jaga matanya supaya nggak melirik cewek lain." Melengos, Zoya meninggalkan Adeeva.

"Kegeeran kamu, Mbak. Mungkin saja Mas Arvin lihat lainnya."

"Terserah. Mungkin matamu sudah dibutakan cinta." Berjalan ke meja makan. Setelah sampai, Zoya tidak melihat sosok Arvin padahal biasanya mereka makan bersama.

"Kata Arvin, Mbak Zoya dan Mbak Adeeva berangkat sendiri, ya, kerjanya. Dia sudah duluan berangkat, ada tamu yang menunggunya di pabrik." Maryam menyiapkan memasukkan nasi ke piring dua perempuan itu.

"Saya bisa ngambil sendiri, Bu. Ayo sarapan bareng di sini," pinta Zoya mengabaikan perkataan Maryam sebelumnya.

"Ibu di belakang saja bareng Bapak, sarapannya, Mbak. Monggo dilanjut." Maryam meninggalkan keduanya.

"Nggak mau sama anaknya, tapi kok caper sama ibunya," cibir Adeeva.

Zoya meletakkan sendok dengan keras. "Mulutmu cukup berbisa ternyata." Dia pergi meninggalkan saudara tirinya.

Tujuan utama adalah pabrik. Sebelum turun untuk sarapan tadi, Zoya menyempatkan diri menelepon Sekar untuk mengetahui keadaan Arsyad. Hal pertama yang ditanyakan adalah lelaki yang diakui sebagai kekasihnya. Oleh karena itulah, Zoya sedikit sewot ketika Adeeva malah menambah beban pikirannya.

Baru turun dari mobil, ponsel Zoya berdering. Secepatnya, jempol perempuan itu menekan ikon hijau teleponnya.

"Kamu niat nggak sih nikahin aku?" kata Zoya dengan nada ketus.

"Kok, marah-marah, Sayangku ini. Kirim alamatmu."

"Kamu ada di mana sekarang?"

"Suruh ngirim alamat malah tanya posisi. Sudah cepat kirim, biar kangennya ilang. Jadi, nggak marah-marah lagi."

"Awas saja kalau hari ini nggak datang."

"Malah ngancam. Cepat kirim, aku tunggu sedetik." Lelaki itupun memutus sambungannya.

Zoya sempat mengumpat karena Bara seenaknya saja memutus sambungan ponselnya. Tanpa diketahui si gadis, Arvin sudah memperhatikannya sejak tadi.

"Jadi, cowok itu beneran ada?" ucap Arvin pelan. Mengabaikan Zoya, dia melewati gadis itu begitu saja.

"Vin, tunggu!" cegah Zoya ketika si lelaki tak menyapanya.

Arvin terpaksa menghentikan langkah, dia menatap Zoya sengit. "Ada apa?" ucapnya dingin.

"Nih, kata Bu Maryam. Kamu nggak sempat sarapan." Mengulurkan paper bag warna cokelat.

"Kamu yang buatin bekal ini?" Sorot mata dan suara Arvin mulai berbinar.

"Bukan, ibumu yang buatin."

"Sayang," panggil seorang lelaki, keras.

Zoya dan Arvin sama-sama menoleh ke sumber suara. Mereka berdua sama-sama terkejut dengan kedatangan lelaki yang memakai kaos polo warna biru muda itu.

"Lha, kok sudah di sini?" Setengah berlari, Zoya menghampiri lelaki itu.

"Siapa, Ay?" tanya Arvin, dingin dengan wajah datar.

"Kenalin, dia Bara. Pacar sekaligus calon suamiku?"

Arvin menatap lelaki di depannya dari ujung kaki hingga kepala. "Yakin dia akan menikahimu? Jangan-jangan, dia cuma memberimu harapan palsu."

"Yakinlah. Iya, kan, Sayang?" tanya Zoya. Tangannya sudah bergelayut manja di lengan Bara.

Bukannya menjawab, Bara malah menatap Arvin sengit. "Bisa jaga mulutnya? Kamu anaknya salah satu pegawai di rumah Zoya, kan? Apa hakmu mencampuri urusan Zoya?"

Arvin mendengkus, membalas tatapan Bara dengan tajam. "Karena aku tahu siapa kamu. Nggak mungkin kamu menikahi Zoya," ucapnya meremehkan.



*****
Banyuwangi, 24 September 2024


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top