1. Serangan Jantung

Cerita Baru yang aku ikutkan event di Samudera Printing.

Happy Reading

*****

Suara heels yang dikenakannya membuat seorang lelaki yang paling dia benci menatap ke arahnya. Khanza Zoya Aresha, memutar bola matanya, malas.

"Kenapa harus kamu yang menjemput?" tanya perempuan berlesung pipi dengan pakaian rapi khas perempuan kantoran.

"Mau siapa lagi?" Si lelaki langsung menarik koper yang dibawa perempuan itu. Walau tahu Zoya sangat membencinya, tetapi perlakuan Arvin tetap baik.

"Nggak usah," ucap Zoya. Menarik kembali koper yang direbut Arvin.

"Kamu nggak berubah sama sekali. Sudah bertahun-tahun nggak ketemu juga."

"Diam. Di mana mobilnya?" bentak Zoya.

Arvin menunjuk kendaraan roda empat berwarna maroon. Mobil itu adalah milik Zoya pribadi yang tak boleh seorang pun mengendari tanpa seijinnya.

"Lancang. Kenapa kamu berani menggunakannya tanpa ijin dulu." Menghentakkan kaki keras dengan tatapan membunuh pada lawan bicaranya.

"Nggak perlu banyak omong. Pak Arsyad dan Bu Sekar menunggumu di rumah sakit." Perkataan Arvin makin sinis.

Sedikit keras, Arvin menarik koper Zoya. Memasukkannya ke bagasi. Setelahnya, lelaki itu membukakan pintu tengah supaya si gadis masuk. Tanpa berkata apa pun lagi, Arvin menjalankan kendaraan tersebut dengan kecepatan di atas rata-rata bahkan lampu merah saja, dia terobos.

"Kalau nggak bisa nyetir nggak usah bawa mobil. Membahayakan nyawa saja. Kalau terjadi kecelakaan karena melanggar lampu merah, kita juga yang rugi," amuk Zoya ketika mengetahui Arvin menerobos lampu merah dan diklakson banyak pengguna jalan lainnya. Beberapa bahkan ada yang mengumpat dan memaki tindakan ceroboh lelaki itu.

"Bisa diam, nggak," bentak Arvin. Wajahnya semakin tegang ketika ponselnya berdering.

Lelaki itu makin mengeraskan laju kendaraannya. Arvin seperti kesetanan saat menyetir. Disentak dengan kata-kata yang cukup keras, nyali Zoya menciut. Belum pernah sekalipun dia mendengar Arvin berkata cukup keras seperti sekarang.

Memilih diam, Arvin pada akhirnya memelankan laju kendaraan ketika sampai di halaman parkir sebuah rumah sakit. Cepat-cepat turun untuk membukakan pintu Zoya, lelaki itu membungkuk.

"Maaf. Aku nggak bermaksud memarahimu," ucap Arvin tulus pada Zoya.

Sang gadis telanjur jengkel, dia cuma membalas dengan gumamam. Lalu, berjalan cepat meninggalkan Arvin.

"Dasar. Sudah dewasa juga. Kelakuan masih sama seperti anak SD."

Arvin terpaksa mengikuti langkah Zoya dengan cepat karena sang gadis salah jalan.

"Bukan di UGD. Bapak sudah dipindahkan ke paviliun," ucap Arvin ketika berhasil menyejajarkan langkahnya dengan Zoya.

"Kenapa nggak ngomong dari tadi," bentak Zoya yang diacuhkan oleh Arvin.

Keduanya sudah sampai di pintu ruangan yang ditempati oleh Arsyad, orang tua Zoya.

"Aku tunggu di luar, kamu masuklah. Bapak sudah menunggumu," ucap Arvan penuh dengan ketegasan dengan mimik muka serius.

"Kamu nggak berhak memerintahku," ucap Zoya. Memutar handle pintu untuk masuk.

Suara alat penunjang kehidupan yang terpasang di badan Arsyad terdengar oleh indera pendengaran Zoya. Seketika, kabut di matanya mengelap. "Ayah, kenapa sampai begini?" ucapnya memilukan. Tangis Zoya pun pecah.

Lelaki yang tengah berbaring tak berdaya itu membuka mata ketika suara sapaan putri tunggalnya terdengar.

"Siapa yang jemput tadi," ucap Arsyad terbata dan tertahan oleh alat bantu pernapasan yang terpasang di bibir sampai hidungnya.

"Ayah ngomong apa?" Zoya mendekatkan telinganya pada bibir Arsyad. Namun, suara lelaki paruh baya itu tetap tak terdengar. "Kita ngobrol setelah Ayah membaik. Sekarang, Ayah harus istirahat, ya. Zoya sudah di sini, Ayah tenang."

Setelah membenarkan letak selimut ayahnya, Zoya menatap perempuan yang telah dinikahi Arsyad. "Kenapa Ibu nggak pernah cerita kalau Ayah punya riwayat darah tinggi. Harusnya, kita bisa mengontrol tensi beliau supaya nggak sampai kena serangan jantung dan stroke seperti sekarang."

"Kenapa harus menyalahkan Ibu? Bukankah kamu sendiri yang begitu keras kepala. Nggak mau pulang dan mengurus semua usaha ayahmu?" bentak Sekar, ibu sambung Zoya.

"Selalu nggak mau disalahkan. Padahal jelas-jelas tahu alasan kenapa aku nggak mau pulang. Bukankah ini yang ibu harapkan?"

"Mbak Zoya, Ibu, kenapa kalian berdebat? Ini rumah sakit, nggak baik kalau didengar orang lain. Lagian, ayah butuh ketenangan," ucap Adeeva. Di belakang perempuan itu, ada Arvin yang berdiri tegak bak seorang bodyguard.

Zoya mendengkus, pemandangan seperti ini sudah biasa dia lihat. Setiap kali ada Adeeva, Arvin selalu terlihat. Lelaki itu menempel seperti lintah pada sang perempuan.

"Kakakmu sudah kembali, jadi antar Ibu pulang. Biar dia yang menjaga ayahnya," ucap Sekar pada putrinya.

"Tapi, Bu." Jelas terlihat wajah Adeeva keberatan dengan permintaan Sekar.

"Selama ini, dia nggak pernah merawat Ayah. Jadi, biarkan dia mengambil semua tanggung jawab sebagai putri tertua keluarga ini," kata Sekar keras.

Adeeva memajukan bibir dan memasang muka cemberut.

"Nggak usah bantah," ucap Sekar, "Vin, sebaiknya kamu temenin Zoya. Malam ini, kamu menginap di sini."

"Inggih, Bu," jawab lelaki yang sejak tadi berdiri walau semua orang sudah duduk.

Setelah mendengar jawaban Arvin, Sekar memegang pergelangan putrinya. Setengah menyeret, perempuan paruh baya itu mengajak Adeeva pergi.

"Aku ada di luar. Kalau butuh apa-apa panggil saja," ucap Arvin sepeninggal Sekar dan Adeeva.

"Jangan pergi," ucap Arsyad lirih, tetapi Zoya dan Arvin bisa mendengarnya.

"Ayah," panggil Zoya. Dia mendekatkan kembali telinganya pada bibir lelaki yang tengah berbaring di ranjang kesakitan.

Gemetar, tangan Arsyad yang terbebas dari selang infus mencoba membuka alat di bibirnya.

"Yah, jangan lakukan ini," cegah Zoya.

Arvin sendiri terpaksa mengurungkan niatnya untuk keluar. Dia juga mendekat pada lelaki yang selama ini begitu baik padanya dan keluarga. "Jangan melepaskan alat ini supaya Bapak cepat sehat," ucapnya.

Arsyad menggeleng-gelengkan kepalanya. Zoya menatap Arvin, bola matanya bergerak-gerak. Memberikan kode pada pria muda itu untuk tetap membujuk sang ayah.

"Hmm," ucap Arsyad masih dengan gelengan kepala.

"Pak, njenengan harus sehat. Katanya mau lihat Mbak Zoya nikah."

Zoya membulatkan mata. "Nggak usah aneh-aneh," bentaknya pada Arvin.

Memberi kode untuk diam, Arvin menggelengkan kepala ketika memandang Zoya.

"Vin," ucap Arsyad, setelah alat yang terpasang di bibirnya sedikit terangkat.

"Nggih, Pak?" Arvin terpaksa menghentikan semua pergerakan tangannya.

"Nikahi Zoya," ucap Arsyad tak begitu jelas.

"Nopo, Pak?" Arvin menatap serius pada Arsyad. Walau suara lelaki paruh baya itu tidak jelas terdengar, tetapi dia bisa melihat gerakan bibirnya. Namun, Arvin butuh kepastian bahwa apa yang dimaksud Arsyad sama dengan pikirannya.

"Nikahi Zoya." Kali ini, suara Arsyad begitu jelas terdengar.

"Ayah! Jangan berkata aneh-aneh," protes Zoya tanpa sadar berteriak pada Arsyad.

"Sebelum Ayah mati, menikahlah," ucap Arsyad menyedihkan.

"Nggak. Aku nggak mau," bentak Zoya.

Arvin segera memasang kembali oksigen pada Arsyad supaya lelaki itu tidak banyak bicara.

"Setelah Bapak sehat, kita bicarakan masalah ini lagi," ucap Arvin.

Arsyad menggelengkan kepalanya. "Kalian harus menikah besok," ucapnya tersendat-sendat.










*****
Banyuwangi, 15 September 2024

 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top