Usaha

Letih seharian bekerja, Prilly menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Dia mengecek ponselnya sambil rebahan. Notif chat masuk dari Ali.

Lagi apa, Pril?

Sebenarnya Prilly malas menjawab, tetapi dia telanjur membuka pesan itu. Tidak enak jika mengabaikan pesan senior, pikirnya.

Lagi istirahat, Kak. Baru saja pulang. Ada apa, ya?

Tak ada balasan, Prilly tak ambil pusing. Dia tak peduli. Setelah meletakkan ponselnya di tempat tidur, Prilly beranjak ke kamar mandi dan membersihkan diri.

Pukul 17.00 WIB sambil menunggu azan Magrib, Prilly menonton televisi sambil mengecek ponselnya. Ada dua panggilan tak terjawab dari Ali dan satu pesan darinya. Namun, Prilly abaikan. Dia justru sibuk balas chat di grup WA bersama Fahira, Dea, dan Ira.

Dea
Eh, Pril, denger-denger Kak Ali gagal nikah, ya?

Fahira
Masa sih, De? Denger dari siapa kamu?

Ira
Dea mah, kalau gosip cepet, hahaha.

Dea
Saya denger dari Kak Hesti. Udah rame dan jadi trending topik di obrolan angkatannya. Ih, kasihan, ya?

Prilly yang membaca chat grup tercengang. Pasalnya dia tak tahu menahu tentang kabar itu.

Prilly
Saya malah enggak tahu.

Fahira
Emang kamu udah enggak komunikasi lagi sama Kak Ali, Pril?

Ira
Perasaan dari dulu kamu yang deket sama dia, Pril. Keluarga kalian juga deket, kan? Kok malah enggak tahu sih.

Prilly
Saya masih komunikasi baik. Cuma emang enggak pernah tanya-tanya soal pribadi dia.

Fahira

Oh, gitu?

Ira
Coba kamu tanya, Pril.

Prilly
Enggak ah! Itu bukan urusan saya.

Setelah itu Prilly menyudahi chat-nya. Dia mengabaikan ponselnya dan bersiap salat Magrib karena azan sudah berkumandang.

***

Jam menunjukan pukul 04.45 WIB. Setelah salat Subuh, Prilly menyempatkan diri lari kecil di komplek kontrakannya. Bertegur sapa dengan tetangga dan beramah tamah dengan orang-orang yang berpapasan dengannya.

"Mbak Prilly!"

Prilly berhenti berlari kecil, dia menghampiri wanita paruh baya yang berdiri di depan pagar rumah.

"Ada apa, Bu RT?" tanya Prilly setelah sampai di depannya.

"Saya mau tanya, soalnya ini jadi berita simpang siur."

"Oh, boleh, Bu. Ada apa, ya?"

"Jadi, ibi-ibu di sini itu pada penasaran, Mbak. Sebenarnya suami Mbak Prilly itu ke mana?"

Dahi Prilly mengerut dalam. Suami? batin Prilly.

Melihat wajah kebingungan Prilly, wanita itupun langsung menegaskan, "Itu loh, Mas Al. Kok enggak pernah kelihatan. Biasanya ramah, baik, dan mau gotong royong sama warga sini. Saya itu kagum sama dia, Mbak. Setiap Jumat manis, kan, musala sini selalu mengadakan santunan yatim piatu, dia selalu ikut nyantuni. Masyaallah, baik bener anaknya."

Hati Prilly bergetar, terenyuh, dia tak tahu kebiasaan Al itu. Ternyata diam-diam dia melakukan amal jariah.

"Mmm ... kalau boleh, saya mau melanjutkan kebiasaan Mas Al itu, Bu. Bisa?"

"Tentu bisa. Emangnya Mas Al ke mana?"

Prilly tersenyum, menahan nyeri di dada. "Minta doanya, ya, Bu. Semoga Mas Al tenang di sana."

Wanita berambut pendek di depan Prilly itu langsung menutup mulut dengan kedua tangannya, dia tampak sangat terkejut.

"Innalillahi wa innalillahi rojiun. Ya Allah, sejak kapan?"

"Sudah beberapa bulan yang lalu."

"Ya Allah, Mas Al. Padahal waktu itu sebelum balik ke Jakarta pamit sama saya. Dia kelihatan bahagia, bilang mau menikah. Saya pikir Mas Al sibuk kerja, jadi enggak pernah kelihatan." Dia menghapus air matanya dan mengelus dada berulang kali.

"Minta doanya, ya, Bu RT."

"Pasti saya doakan, Mbak Prilly."

"Ya sudah, Bu RT, saya mau lanjut olahraga sekalian mau cari sarapan."

"Iya."

Suasana hati Prilly kembali diselimuti kesedihan. Dia tak jadi melanjutkan olahraga, melainkan pulang ke kontrakan. Setelah menutup pintu rumah, Prilly menumpahkan air matanya yang tertahan.

"Aku kangen kamu ... bagaimana aku bisa melewati ini tanpa kamu." Air mata Prilly semakin deras. Dia perlahan duduk di sofa ruang tamu, menumpahkan sesak di dada.

***

Pukul 20.00 WIB, orang tua Ali datang ke rumah Prilly. Merasa lama tak bersilahturahmi, rasanya agak sedikit canggung. Setelah turun dari mobil, dahi Lesti mengerut sambil melihat ke ruang tamu.

"Kok rame, ya, Pa?" tanya Lesti menjinjing plastik putih berisi kue lapis sebagai buah tangan.

"Mungkin mereka lagi ada tamu, Ma."

"Ya sudah, kita besok-besok saja ke sini lagi."

Ketika mereka ingin membalikkan badan, Teguh tak sengaja melihat dari kaca jendela rumah yang tembus ke luar. Bergegas dia berdiri, mengejar Lesti dan Herman sebelum mereka kembali masuk ke mobil.

"Mas Herman!" panggil Teguh dari teras mencegah kepergian mereka.

Lesti yang tadinya sudah bersiap ingin naik ke mobil, tidak jadi. Mereka menoleh. Teguh mendekati.

"Mau ke mana?" tanya Teguh sambil mengulurkan tangan menyalami Herman dan Lesti bergantian.

"Tadinya kami mau pulang. Sepertinya kamu sedang ada tamu," kata Herman.

"Oh, itu Mas Dodi, Mbak Margaret sama putrinya. Biasa, kami sering ngumpul. Ayo, masuk." Teguh mengajak mereka masuk ke rumah.

Meski terasa canggung, Lesti dan Herman berusaha bersikap baik. Dalam hati mereka merasa menyesal dan bersalah, Herman sudah berburuk sangka dengan sahabat baik seperti Teguh.

"Assalamualaikum," ucap Lesti dan Herman hampir bersamaan ketika melangkah masuk ke ruang tamu.

"Waalaikumsalam," jawab mereka yang ada di ruang tamu.

"Eh, Jeng Lesti." Juwita yang tadinya asyik mengobrol dengan Margaret terhenti begitu melihat Lesti masuk rumah. "Mbak, ini sahabatku sejak kami muda dulu," kata Juwita kepada Margaret, memperkenalkan Lesti kepadanya.

Margaret berdiri menyalami Lesti dan Juwita memeluk tak lupa mencium pipi kanan dan kiri Lesti, seperti dulu lagi.

"Ayo, Jeng, silakan duduk." Juwita kembali duduk di sebelah Margaret. Setelah meletakkan buah tangannya di meja, Lesti pun duduk di sofa samping Juwita.

"Jeng, Mbak Margaret ini mamanya Al."

"Oooh, besan," jawab Lesti. "Maaf, ya, waktu itu aku sibuk banget, enggak bisa hadiri pernikahan Prilly," lanjut Lesti yang memang benar-benar belum tahu kejadiannya.

Juwita dan Margaret saling memandang, mereka hanya melempar senyum.

"Pernikahannya belum terlaksana, Jeng," ucap Margaret meski bibirnya tersenyum, tetapi wajahnya tampak sedih.

"Loh, kenapa?" Lesti memegang dadanya, menatap Juwita dan Margaret bergantian.

Ruang tamu yang tadinya ramai, saling mengobrol, menjadi hening. Juwita menggenggam tangan Margaret erat, seolah dari itu dia menyalurkan kekuatan.

"Al kecelakaan dan dia meninggal ...."

"Maaf, saya tidak tahu. Maaf sekali," ucap Lesti memotong ucapan Margaret, dia sudah paham maksudnya, lalu menutup mulut karena merasa bersalah.

Dia mendekati Margaret dan mengelus bahunya.

"Tidak apa-apa, Jeng. Ini sudah suratan takdir-Nya. Insyaallah kami sudah ikhlas."

Juwita menarik napas dalam, suasana berubah menjadi sedih dan hening. Tak ingin larut dalam kesedihan, dia pun berusaha mencairkan suasana.

"Oh, iya, Mas Heman, saya buatkan kopi, ya?" ujar Juwita kepada Herman yang duduk di sebelah Teguh, sedang mendekatkan diri dengan teman baru, Dodi.

"Boleh," sahut Herman mengangguk.

"Jeng Lesti masih suka ngeteh, kan? Saya buatkan juga, ya? Tunggu sebentar," ucap Juwita lalu ke dapur.

Mereka melanjutkan obrolannya. Lesti dan Margaret pun saling mengakrabkan diri, begitu juga Herman dan Dodi yang kembali bercerita tentang bisnis mereka.

***

Hari berganti, kesibukan Prilly semakin padat. Tak ada waktu memikirkan pribadinya, otaknya terkuras untuk memikirkan pekerjaan.

Pulang bekerja, dia langsung membersihkan diri dan makan. Setelah itu membuka laptop dan melanjutkan pekerjaannya. Ponsel dia abaikan beberapa hari terakhir. Hanya merespons jika orang tuanya menelepon.

Walau sahabat-sahabatnya menelepon, Prilly tak mengangkat. Bukan maksud sombong, hanya saja jika sudah mengobrol dengan mereka, Prilly akan lupa waktu dan pasti pekerjaannya terbengkalai.

Panggilan masuk, Prilly awalnya tak menggubris, tetapi panggilan itu terus mengganggu, akhirnya dia melihat ponselnya. Segera Prilly mengangkat telepon itu saat nama 'Pak Agus' tercantum di layarnya.

"Halo, Pak."

"Pril, besok pagi tolong kamu ke syahbandar, ngurus buku pelaut ABK, ya?"

"Baik, Pak."

"Oke, gitu aja. Selamat malam."

"Selamat malam, Pak Agus."

Setelah menutup telepon, Prilly mengecek pesan masuk. Banyak orang yang mengirimnya pesan. Namun, ada pesan dari Ali yang membuatnya tertarik untuk membaca.

Saya turut berdukacita atas meninggalnya Kak Al. Kenapa kamu tidak pernah cerita soal itu?

Kedua alis Prilly beraturan. Tahu dari mana dia? batin Prilly.

Prilly tak ambil pusing, dia menutup halaman percakapan lalu kembali ke pekerjaannya.

Pukul 23.00 WIB, pekerjaannya selesai. Mata sudah terasa sangat berat. Tanpa menunggu lama, akhirnya Prilly terlelap.

"Tak ada yang abadi, cinta, aku dan kamu."

Suara itu seperti nyata berbisik di telinga Prilly. Sekejap Prilly membuka mata, rasa kantuknya lenyap. Dia beristigfar sambil mengelus dada. Rasanya baru sebentar dia tertidur, tetapi jam sudah menunjukkan pukul 03.00 WIB.

Bergegas dia pergi berwudu dan melakukan salat Tahajud. Dalam doanya tak pernah luput nama Al, tersisip doa khusus untuk dia.

Selesai salat dan membaca Alquran beberapa halaman, Prilly kembali ke tempat tidur. Dia kepikiran ucapan yang seperti nyata di telinganya tadi.

Dia mengambil ponselnya, mengecek beberapa pesan yang diabaikan beberapa hari belakangan dan membalas satu per satu. Terakhir pesan dari Ali.

Kamu kenapa enggak balas WA saya? Saya salah apa sama kamu? Ayo, kita bicara baik-baik.

Setelah berpikir panjang, akhirnya Prilly membalas.

Maaf, Kak Al. Saya sibuk banget, pekerjaan saya menumpuk. Memang sengaja HP jarang saya pegang biar fokus ke kerjaan. Kak Ali enggak salah apa-apa kok.

Setelah itu Prilly meletakkan ponselnya dan berbaring, kembali tidur.

######

Hah! Akhirnya bisa dibuka. Kemarin beberapa hari aku coba buka Wattpad susah. Hari ini baru bisa kebuka. Bagaimana kabarnya?

Banyuwangi, 27 Juni 2020
Pukul: 21.50 WIB.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top