Tak Keruan

Sisa liburan satu minggu, kebetulan Teguh ada pertemuan dengan kolega di Pasir Panjang. Prilly tak menyia-nyiakan kesempatan, dia ikut bersama Teguh.

"Pa, boleh nggak aku nemuin Kak Ali?" tanya Prilly satu jam setelah sampai di penginapan.

"Boleh, nanti Papa telepon dia dulu."

"Jangan. Aku mau bikin kejutan."

"Ya sudah, nanti bareng sama Papa ke pelabuhan peti kemas. Papa mau ketemu kolega di sana."

Senyum mengembang di bibir Prilly. "Makasih, Pa." Prilly memeluk Teguh sangat riang.

Waktu menunjukan pukul 14.00 waktu setempat. Teguh dan Prilly sampai di Pasir Panjang.  Sekitar lima menit mereka menunggu kolega Teguh, akhirnya datang juga. Sebelum Teguh dan koleganya pergi ke kantor, mereka mengantar Prilly lebih dulu ke kapal tempat Ali ngadet.

Setelah mendapat izin nakhoda, Ali diizinkan menemui Teguh dan Prilly di darat. Ali berlari di dermaga, ke arah Teguh yang sudah menunggunya bersama Prilly. Sampai di depan Teguh, Ali langsung menjabat tangan dan menciumnya.

"Om, apa kabar?" tanya Ali setelah menegakkan tubuhnya.

"Alhamdulillah, Om baik, Li. Ali bagaimana? Kerasan di sini?" Teguh memegang kedua bahu Ali dan meneliti tubuhnya.

"Kerasan, Om." Ali tampak sehat dan baik-baik saja.

"Oh, iya. Om nitip Prilly dulu, ya?" Teguh merangkul Prilly yang sedari tadi bersembunyi di balik tubuh kekarnya.

Dada Prilly berdegup kencang, dia gugup ketika menatap wajah Ali. Perasaan rindu bercampur bahagia mengaduk-aduk hatinya hingga rasanya tak keruan. Ah, Prilly benar-benar dimabuk cinta. Baru juga empat bulan tidak bertemu sudah seperti 40 tahun berpisah. 

Beberapa detik pandangan mereka bertemu, debaran dada Ali pun tak kalang kencangnya dengan Prilly. Namun, Ali pintar menyembunyikan kegugupannya, dia tetap bersikap santai dan tenang. Perasaan ini sangat berbeda saat dia bertemu Vanya di bandara waktu lalu. Kali ini begitu spesial dan seperti sesuatu yang sudah dia nantikan lama.

"Loh, Om mau ke mana?" tanya Ali menyadarkan diri saat dunianya teralihkan hanya pada Prilly.

"Itu ..." Teguh menunjuk koleganya yang sedang berbincang dengan petugas pelabuhan, "mau ada bisnis sama Beliau."

"Itu Mister Philip, kan, Om?" tanya Ali sedikit terkejut karena Teguh mengenal pemilik perusahaan kapal yang saat ini tempat dia ngadet.

"Iya." Teguh tersenyum lebar, memastikan jawabannya.

"Wah, Om hebat. Bisa kenal sama pemilik perusahaan kapal besar," puji Ali bangga.

"Ah, itu hal yang wajar kalau kamu melihat dunia ini luas. Apalagi kamu bisa terjun ke dunia pelayaran lebih dalam, pasti bisa. Diuntungkan dengan jabatan, itu bisa membantu kita punya relasi lebih luas."

"Saya pengin kayak Om sama Papa."

"Belajarlah jadi orang jujur, bekerja keras, rendah hati, dan ulet. Satu lagi yang buat orang bisa nyaman sama kita, yaitu supel. Menjadi orang supel itu gampang-gampang susah, bisa menyesuaikan diri seperti bunglon yang bisa melindungi diri, asal jangan menjadi mawar yang indah tapi berduri. Kamu mengerti, kan?"

"Iya, Om. Saya paham."

"Nanti Om ajari kamu berbisnis juga, tapi tetap jangan sia-siakan ijazah kamu."

"Siap, Om!"

"Mister Teguh, come here! We went to my office," ajak Philip melambai kepada Teguh.

"Wait a minute, Mister," pekik Teguh lalu berpesan kepada Ali, "Nanti kalau sudah selesai meeting, Om telepon kamu, Li."

"Baik, Om."

"Papa tinggal dulu, ya?" pamit Teguh mengelus kepala Prilly lalu berjalan lebar mendekati Philip.

Beberapa menit Ali dan Prilly diam, saling menunduk. Ali menarik napasnya, menetralkan perasaannya yang sulit diartikan.

"Ayo!" Ali menarik tangan Prilly, diajaknya masuk ke kapal.

Setiap berpapasan dengan ABK, Ali tak luput dari godaan dan ledekan. Komunikasi sehari-hari mereka menggunakan bahasa Inggris karena mereka berasal dari berbagai negara. Ada dari Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Cina.

Ali mengajak Prilly ke kamarnya, satu kamar berisi empat orang. Sampai di kamar, Ali menarik kursi untuk Prilly.

"Kamu di sini dulu, ya? Aku mau ke anjungan, tadi ada tugas dari kapten."

Prilly mengedarkan pandangannya, kamar itu agak sempit dan kurang nyaman untuk dia. Apalagi di kamar itu semua pria yang belum Prilly kenal, pikiran negatif pun merasuki otaknya. 

"Saya ikut boleh, nggak?" Prilly menatap Ali mengiba.

Setelah berpikir, meski merasa terpaksa, akhirnya Ali mengajak Prilly. Sampai di anjungan, Ali meminta izin nakhoda agar Prilly diizinkan duduk dan menunggunya di sana.

Nakhoda pun mengizinkan, selama Ali menjalankan tugasnya, Prilly mengobrol dengan teman-teman Ali yang juga sedang ngadet di sana, bahkan Prilly membaur dengan ABK dan bertanya banyak hal kepada nakhoda. Mereka tidak merasa terganggu dengan kehadiran Prilly, justru senang.

Di tengah obrolan, Ali datang mengajak Prilly turun ke darat setelah dia meminta izin nakhodanya. Izin pun dikantongi Ali, bergegas dia dan Prilly makan tak jauh dari pelabuhan.

"Kak Ali, HP-nya bunyi terus tuh," kata Prilly saat mereka sedang menunggu pesanan.

"Biarin aja, nggak penting kok."

"Tapi dari tadi bunyi terus. Siapa tahu penting."

Ali menarik napas panjang, terpaksa dia beranjak dan menjauh dari Prilly untuk mengangkat telepon itu.

"Halo," jawab Ali setelah menerima telepon itu.

"Kamu ke mana aja sih? Kenapa lama banget ngangkatnya," omel Vanya terdengar sangat kesal.

"Maaf, HP aku tinggal di kamar. Aku di anjungan."

"Jadi nggak kita jalan-jalan?"

"Maaf, kayaknya nggak bisa deh. Aku nggak diizinin turun nakhoda."

"Iiiiih, sebel banget deh! Aku dah nunggu kamu dari tadi tahu!"

"Maaf Vanya, mau gimana lagi? Aku di sini masih praktik, apa pun yang aku lakukan sesuai perintah nakhoda. Ayooolah, kali ini aja pahami aku."

"Ck! Ya dah deh!"

"Jangan ngambek dong. Nanti malam kalau saya diizinkan turun, kita jalan." Ali sengaja merayu agar Vanya tidak marah padanya.

"Aku nggak marah." Meski menjawab tidak, tetapi terdengar kekecewaan.

"Saya usahakan turun ke darat."

"Janji, ya?"

Ali beberapa saat terdiam lalu menoleh Prilly yang menunggunya sambil tersenyum manis. Ali membalas senyuman itu lalu menyahut Vanya, "Insya Allah. Udah dulu, ya? Nanti saya telepon, saya masih ada tugas."

"Iya, kamu hati-hati."

"Hari ini kamu jangan keluar-keluar dulu, cuaca mendung."

"Iya, aku di penginapan kok. Ini lagi ngerjain tugas."

"Oke, jangan lupa makan."

"Kamu juga."

Panggilan pun diakhiri Ali, lantas dia kembali ke kursinya.

"Kenapa nggak dimakan?" tanya Ali karena pesanan sudah lengkap di meja, tetapi belum disentuh Prilly sama sekali.

"Nungguin Kak Ali. Lama banget teleponnya."

"Iya, dari Bu Dani. Biasa, kan pembimbing saya Bu Dani."

"Ooooh, nanyain perkembangan pratik lapangan, ya?"

"Iya," dusta Ali, dalam hati dia merasa bersalah sudah membohongi Prilly. Maaf, Pril, saya belum siap jauh dari kamu. Entah mengapa hati saya menjadi seperti ini, tapi saya nyaman saat bersama kamu. Ali melamun menatap Prilly yang berbicara padanya.

"Kak Ali." Prilly melambai di depan wajah Ali. "Kok malah ngelamun sih? Kenapa? Lagi ada yang dipikirin?"

Ali terkejut, "Eh, nggak kok. Ayo makan."

Segera Ali menggeser piringnya, dia menutupi sedikit kegugupannya dengan menyuapkan nasi ke mulut. Prilly tersenyum manis lalu menyantap makanannya.

"Kak Ali, kata Papa, Om Herman menang tender di PT Jembatan Nusantara, ya?" tanya Prilly di tengah santap malamnya.

"Iya, alhamdulillah. 30% sahamnya sekarang jadi milik Papa. Kasihan, perusahaannya sudah di ujung tanduk. Kalau tidak terbantu, mau dikemanain itu karyawan, kan?"

"Iya juga sih, apalagi itu salah satu perusahaan kapal penyeberangan terbesar di Indonesia. Kok bisa hampir bangkrut gitu, ya, Kak?" tanya Prilly heran sambil menatap Ali yang asyik menikmati makanannya.

"Mungkin manajemennya yang kurang baik atau bisa juga banyak 'tikus' di dalam perusahaan."

"Hmmm ... mungkin. Semoga saja nanti bisa berjalan sebagaimana mestinya, ya, Kak?"

"Aamiin. Sudah, habisin makannya sebelum Om Teguh telepon."

Mereka pun menikamti makanannya. Sekitar 10 menit mereka selesai makan, Teguh menelepon Ali, memintanya mengantar Prilly ke penginapan.

Sampai depan penginapan, mereka sama-sama canggung dan bingung bersikap. Akhirnya keduanya hanya bisa saling diam, tetapi dalam hati ingin melakukan lebih dari itu. Namun, apa daya, terbatas oleh status.

"Mmmm ... makasih, Kak Ali, sudah antar saya."

Ali mengangguk dan salah tingkah. Ketika Prilly ingin membalikkan badan, Ali memanggilnya, "Pril."

Dengan cepat Prilly memutar tubuhnya. "Iya."

Andai saya jujur sesuatu, apakah kamu akan menerimanya? Sayang sekali ucapan itu tak sampai di bibir, hanya terucap dalam hati. "Kapan balik ke Indonesia?"

"Insya Allah besok lusa, Kak. Nunggu urusan Papa selesai."

"Besok saya ajak jalan-jalan mau?"

Hati Prilly seperti ada bunga bermekaran, bibirnya hanya bisa tersenyum lebar dan mengangguk.

"Saya malam ini jaga sampai besok pagi. Sebelum kita pergi, saya istirahat dulu. Agak siang, ya, kita jalannya?"

"Iya, Kak. Nggak apa-apa kok."

"Ya sudah, kamu masuk gih. Pasti udah ditungguin Om Teguh."

"Makasih, ya, Kak. Dadah, hati-hati di jalan." Prilly melambaikan tangan sambil berjalan ke arah pintu penginapan.

Ali tersenyum sambil membalas lambaiannya. Setelah memastikan Prilly masuk, Ali pun mengecek ponselnya. Banyak panggilan tak terjawab dari Vanya. Lantas dia pun menelepon Vanya.

"Kamu ke mana aja siiiiih?" tanya Vanya setelah mengangkat teleponnya.

"Maaf, ini lagi jalan mau ke penginapan kamu. Belum makan, kan?" tanya Ali melangkah ke arah penginapan Vanya.

"Belum. Aku dari pagi mager di kamar. Ya sudah, aku tunggu di lobi, ya?"

"Oke. Tunggu sekitar 10 menitan, ya?"

"Sip. Aku siap-siap dulu."

Panggilan pun berakhir, Ali melangkah lebar. Sampai kapan Ali main kucing-kucingan seperi itu? Rintikan kecil mulai turun, Ali menutupkan hoody-nya ke kepala. Sesekali dia berlari kecil, air yang turun dari langit pun semakin deras. Namun, Ali berusaha menepati janjinya kepada Vanya, dia menerobos hujan.

Sampai di penginapan Vanya, Ali langsung berteduh di lobi. Bajunya sedikit basah, tak berapa lama Vanya datang.

"Ali, kamu nekat banget sih. Kenapa nerjang hujan?"

"Nggak apa-apa, udah janji sama kamu. Kasihan kalau kamu nunggu lama," ucap Ali sambil mengibaskan rambutnya yang setengah basah.

"Ya sudah, kita pesan makan di sini aja, ya?"

"Saya minum saja, soalnya tadi sudah makan."

Vanya menatap Ali curiga, dengan cepat Ali mencari alasan. "Jangan menatap begitu. Tadi makan di kapal, koki masak ayam panggang. Kami makan bareng-bareng, sungkan kalau saya nggak ikut makan, kan?"

"Ooooh, ya sudah. Aku pesenin teh atau kopi nih?"

"Cappucino panas saja."

"Oke. Yuk, duduk dulu." Vanya menggandeng lengan Ali. Namun, hati Ali tak bergetar seperti dulu. Ada apa dengan perasaan Ali kepada Vanya? Kenapa getaran itu lenyap? Ali pun bingung.

Setelah mereka duduk di sofa lobi penginapan, Vanya memesan makanan online. Sambil menunggu mereka mengobrol. Ali menjadi pendengar setia, Vanya bercerita banyak hal. Di tengah mendengarkan cerita Vanya, Ali melamun.

Vanya, kamu wanita baik. Sangat berdosa saya sudah membohongi kamu. Tapi saya tidak mengerti dengan perasaan ini, kenapa tiba-tiba berubah. Ali terus memerhatikan Vanya, dalam lamunannya, perasaan berdosa menjalar ke sekujur tubuh.

"Vanya," ucap Ali sadar dari lamunannya.

Vanya yang tadinya ceriwis sekejap diam. "Hm, apa, Li?"

"Mau dibawa hubungan kita?" Wajah Ali berubah serius.

"Menikah. Tapi setelah aku mencapai semua rencanaku."

"Memang kamu punya rencana apa?"

"Aku pengin jadi dokter spesialis bedah. Mungkin sekitar lima atau enam tahun lagi."

"Hah!" Ali terkejut dan langsung menegakkan tubuhnya.

"Kenapa?"

"Jadi, kita menikah setelah kamu jadi dokter bedah, gitu?"

Sambil tersenyum manis, Vanya mengangguk yakin. Tubuh Ali lemas, dia menyandarkan diri di sofa sambil menyisir rambutnya ke belakang dengan jari.

"Terus saya harus menunggu kamu selama itu?" tanya Ali lesu.

"Kenapa? Kamu nggak mampu?"

"Van, coba kamu pikir sekarang. Usia kita sekarang 21 tahun, enam tahun kita 27. Iya itu kalau kamu langsung dapat kerja, kalau nggak? Berapa lama lagi saya menunggu?"

"Aku punya target menikah di usia 30 tahun."

"Apa!" Ali menegakkan tubuhnya, napasnya tiba-tiba tersengal.

"Kenapa sih? Kita masih muda, kenapa udah bicarain nikah. Kita jalani aja dulu."

"Saya sekali punya hubungan sama cewek, ya ... harus serius. Tujuannya menikah, kalau kita begini, apa tujuan hubungan kita?"

"Santai dulu kali, Li. Kita masih muda, perjalanan masih jauh. Cita-cita masih di angan-angan, belum tercapai. Ngapain mikirin nikah sekarang, nanti juga sampai sendiri kalau dah waktunya." Vanya terlalu menyepelekan hubungannya dengan Ali.

"Bukan begitu, Van ..."

"Udah ah, jangan dibahas lagi. Aku malas bahas itu."

Terdiam, Ali mempertimbangkan hubungannya bersama Vanya. Apakah dia bisa menunggu Vanya selama itu?

######

Ayooo Mas Aliiii. Semangat! Aku di belakangmu. Hihihihihi

Kira-kira apakah Mas Ali bakalan nunggu Vanya selama itu?

Banywangi, 5 Januari 2020

Pukul : 21.50 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top