Tabah
"Teman-teman, saya butuh kalian." Prilly melakukan video call bersama ketiga sahabatnya.
"Pril, kamu kenapa?" tanya Fahira melihat wajah Prilly yang murung di layar ponselnya.
Tiba-tiba air mata Prilly mengalir tanpa bisa terbendung. Tadi pagi dia dan Teguh sampai di Indonesia. Begitu sampai di rumah, Prilly langsung mengunci diri di kamar dan menumpahkan sesak yang sejak kemarin malam dia tahan.
Setahu Teguh dan Juwita, Prilly kelelahan dan langsung beristirahat. Padahal Prilly menangis sejadi-jadinya di tempat tidur sambil memeluk guling sangat erat. Dia termasuk wanita tangguh, dapat menahan air mata serta mengendalikan emosi di muka umum, bahkan di depan papanya.
"Pril, kamu kenapa?" Dea sangat mengkhawatirkan keadaan Prilly yang terlihat kacau.
"Teman-teman, kita ke rumah Prilly yuk!" usul Ira yang tak tega melihat kondisi Prilly tampak lemas dan murung.
"Boleh tuh," sahut Fahira.
"Prilly, kami ke rumah kamu, ya?" pinta Ira dan dibalas Prilly dengan anggukan lemah.
Video call mereka pun berakhir, Prilly mengecek layar ponselnya, pada barisan ruang pesan WhatsApp, paling atas dengan nama 'Kak Ali' sengaja Prilly abaikan. Ada 10 pesan yang Ali kirim dan sengaja tidak Prilly buka. Air mata Prilly seakan tak dapat terbendung setiap ingat Ali, air bening selalu menetes di pipinya. Hatinya pun nyeri bahkan Prilly sudah berusaha melupakan Ali, tetapi justru hatinya semakin sakit.
***
Puas liburan di Pasir Panjang dan beberapa hari bisa dekat dengan Ali, pagi tadi Vanya kembali ke apartemennya karena besok dia sudah harus menyerahkan tugasnya ke kampus. Sambil bersantai di balkon apartemen, Vanya melakukan video call bersama Lesti.
"Tante, aku nggak suka deh lihat Ali dekat sama Prilly." Vanya mengadu kepada Lesti dengan suara dibuat sok merengek manja.
Begitulah Vanya, saking dekatnya dengan Lesti, dia tidak sungkan mengadukan persoalan hubungannya dengan Ali kepada Lesti. Bahkan jika Ali tidak sengaja menyinggung hatinya atau membuat Vanya marah, tidak butuh waktu lama Lesti tahu dan akan langsung menegur Ali.
"Memangnya kenapa sih? Mereka berteman sejak kecil. Wajar, kan, kalau Ali sama Prilly dekat? Ali sudah anggap Prilly seperti adiknya kok."
"Masa sih, Tan? Aku nggak yakin deh."
"Iya, Vanya. Mereka itu sejak bayi sudah main bareng. Kamu jangan terlalu cemburu begitu dong. Ali kan cintanya sama kamu, kenapa kamu jadi ragu sih?"
"Gimana nggak ragu sih, Tan. Prilly itu kalau sama Ali kayak cewek kegenitan gitu, kayak cari perhatian Ali terus. Aku sebel lihatnya, apalagi di HP Ali banyak foto mereka berdua, Tan. Kesel deh aku, Tan!"
Sepertinya Vanya memang sengaja mengadu tentang hal ini supaya Lesti bisa membantunya untuk menjauhkan Ali dan Prilly. Vanya mengompor-ngompori Lesti supaya tidak menyukai Prilly.
"Masa sih Prilly begitu? Setahu Tante dia gadis baik dan bisa jaga sikap."
"Ah, itu kan di depan Tante, pasti sok-sokan sopan biar dipikir gadis baik-baik. Pokonya Tante kasih tahu Ali biar bisa jaga persaanku. Ali pikir hatiku batu, nggak cemburu lihat dia deket sama cewek lain."
"Iya, nanti Tante bilangin Ali, ya? Ya sudah, kamu jangan terlalu memikirkan itu. Fokus kuliah saja biar cepat lulus dan jadi dokter."
"Iya, Tante. Ya sudah, aku mau cari makan dulu."
"Iya, Vanya," jawab Lesti sangat lembut.
Setelah video call mereka berakhir, Vanya tersenyum miring. Tampak kepuasan dalam raut wajahnya.
"Aku mau tahu, sejauh mana pertahanan kalian," gumam Vanya yang berpikir Ali dan Prilly berselingkuh di belakangnya.
***
Di hari yang sama, setelah menunggu sekitar satu jam lebih, akhirnya Dea, Fahira, dan Ira sampai di rumah Prilly. Juwita yang membukakan pintu menyambut mereka dengan senyum ramah.
"Kalian langsung ke kamar Prilly saja. Ketuk saja pintunya, dari tadi pagi belum keluar kamar. Kecapaian mungkin," ucap Juwita setelah mempersilakan mereka masuk.
"Iya, Tan. Kami naik, ya, Tan," izin Dea sopan.
Juwita mengangguk dan tersenyum manis. Mereka sudah sering datang bahkan menginap. Jadi, Juwita langsung mempersilakan mereka menghampiri Prilly ke kamar.
"Permisi, Om," ucap Dea, Fahira, dan Ira saat melewati ruang keluarga dan di sana ada Teguh sedang bersantai menonton berita di televisi.
"Iya, silakan," sahut Teguh sabil tersenyum tipis.
Mereka pun naik ke lantai dua dan langsung menuju kamar dengan pintu bercat putih, tempat biasa mereka menginap di rumah itu.
Tuk tuk tuk
"Pril, ini kami," seru Ira mewakili teman-temannya mengetuk pintu.
"Yaaaa." Terdengar suara lemah dari dalam.
Tak lama kunci pintu diputar dan knopnya turun. Ketika daun pintu terbuka, mereka terkejut melihat keadaan Prilly yang kusam, rambut berantakan, hidung merah, mata sembap, dan masih ada sisa air mata di wajah cantiknya.
"Prilly." Mereka langsung berhamburan memeluk Prilly, seolah ingin menguatkan hatinya.
Justru Prilly menangis terisak-isak, saking pedih hatinya, tangisannya tak bersuara. Hanya air mata yang deras dan bahu naik turun.
"Udah dong, kamu kenapa? Ayooo kita duduk dulu." Fahira menyeka air mata Prilly dengan telapak tangannya.
Mereka memapah Prilly yang lemas ke tempat tidur.
"Pril, cerita dong. Kamu sebenarnya kenapa? Kok bisa kacau begini sih?" tanya Ira sangat khawatir setelah mereka duduk di ranjang yang luas, cukup untuk mereka berempat tidur.
Sambil terisak Prilly menjawab, "Ter-nya-ta ... hiks ... Kak Ali, su-su-sudah punya pa-pacar."
"Hah!" Sontak mereka terkejut sampai membulatkan mata. Mereka saling pandang tak percaya.
"Kamu dikasih tahu siapa? Jangan asal percaya omongan orang lain," tanya Ira langsung menarik Prilly dalam dekapannya, membiarkan sahabatnya itu menumpahkan air mata di dadanya.
"Sa-saya tahu sendiri dan ceweknya kenalang lang-sung di depan mata saya."
"Kamu yang sabar, Pril." Dea mengelus kepala Prilly.
Meski napasnya tersengal karena isakannya, Prilly menceritakan kejadian semua saat dia di Singapura. Mulai dia ketemu Ali sampai tahu jika lelaki yang selama ini diam-diam dicintainya sudah memiliki kekasih.
Tanpa mereka tahu, ternyata Juwita yang tadinya ingin mengantar camilan dan minuman mendengar semua dari balik pintu yang setengah terbuka. Juwita dapat merasakan sakit hati putri semata wayangnya itu, dia mengetahui rahasia Prilly yang selama ini dipendam sendiri tanpa mencurahkan kepadanya.
Padahal selama ini hal apa pun Prilly ceritakan kepada orang tuanya, terutama kepada Juwita. Namun, tentang perasaannya kepada Ali, baru kali ini Juwita tahu, itupun secara tidak sengaja.
"Prilly, sudah jangan nangis lagi. Kamu harus kuat, terima kenyataan. Memang sakit, Pril, tapi lihat di sekitarmu, masih banyak yang sayang dan cinta kamu. Ada saya, Fahira, Dea, orang tua kamu. Ayo Prilly, semangat." Ira menegakkan tubuh Prilly lalu menghapus air matanya.
"Jangan lupa cara tersenyum meskipun hatimu terluka." Dea menarik dua ujung bibir Prilly sampai membentuk lekukan senyum.
"Hai, apakah Tante mengganggu?" Juwita mendorong pintu dengan lengannya---karena dia membawa penampan---agar terbuka lebar.
Buru-buru Prilly menyeka air matanya dan memasang senyum. Padahal dari raut wajah masih terlihat bekas menangis.
"Diminum dan dicemil, yaaaa?" ucap Juwita meletakkan penampan itu di meja set dengan sofa di pojok kamar.
"Terima kasih, Tante," sahut mereka bersamaan.
"Sama-sama." Juwita tersenyum manis.
Sengaja dia menahan diri agar tidak bertanya apa pun kepada Prilly. Tak tega melihat wajah sedih putrinya, Juwita pun segera berlalu dari kamar.
"Ayo, pindah sana," ajak Prilly.
Mereka pun pindah ke sofa, tetapi Dea dan Ira memilih duduk di karpet agar mudah menggapai camilan dan minumnya.
"Jadi, selama ini Kak Ali membohongi kamu dong, Pril," tukas Fahira sembari membuka bungkua cokelat koin.
"Mungkin salah saya juga terlalu berharap lebih sama dia. Kebaperan sama perlakuan dia, padahal dia baik, perhatian, dan sering membantu saya karena memang sejak kecil kami main bersama. Kak Ali menganggap saya seperti adiknya."
"Ya Allah, Prilly, kamu harus tabah dan kuat. Tanpa Kak Ali, kamu masih tetap bisa melanjutkan hidup kok." Dea menyemangati Prilly, dia tidak ingin melihat sahabatnya itu terpuruk.
"Prilly, ayo move on!" pekik Ira lalu ditertawakan Fahira dan Dea.
"Apaan sih, Ra?" celetuk Dea mengerutkan dahi sambil menonyor kepala Ira pelan.
"Kamu tuh kenapa sih, Ra," tegur Dea mengacak rambutnya.
"Minyimingiti Piyi lih," sahut Ira mengganti huruf vokal dengan i semua.
Tawa pun semakin pecah, tak kuat menahannya, Prilly pun ikut tertawa. Suasana mencair, untuk menghibur Prilly mereka rela menjadi pelawak dadakan.
Begitulah sahabat yang baik, ada di saat kondisi apa pun dan bisa mencairkan suasana. Jika kita dalam kondisi tidak baik, sahabat adalah tempat curahan hati dan pelarian yang tepat. Mereka akan mendengar keluh kesah dan menampung kesedihan kita. Setelahnya, sahabat akan menghibur agar kita melupakan beban pikiran yang mengganggu.
Orang baik akan dikelilingi orang-orang baik juga. Jadilah magnet positif, biarpun di sekitar negatif, tetapi kamu tetap menjadi daya tarik dan sebarkan hal positif kepada mereka.
***
Sore setelah bekerja, Ali ke kamarnya untuk beristirahat sambil menunggu antrean kamar mandi. Dia mengecek ponselnya, pesannya tak dibuka Prilly. Ali menghela napas panjang, hatinya gelisah, lantas dia memberanikan diri menelepon Prilly.
Satu kali tak ada jawaban, dua kali pun sama, hingga kedelapan kali panggilannya terjawab.
"Halo."
Awalnya hati Ali sedikit lega, setelah mendengar suara orang lain, hati Ali kembali risau.
"Halo, siapa ini?" tanya Ali sedikit meninggikan suaranya.
"Dea, Kak Ali."
"Dea? Kok HP Prilly bisa sama kamu?"
"Iya, Kak. Maaf saya lancang, habisnya dari tadi Kak Ali telepon terus. Saya pikir mungkin penting."
"Terus sekarang Prilly di mana?"
"Prilly sama Fahira lagi keluar, Kak, ke mini maket cari jajanan."
Padahal Prilly dan Fahira di sana, tadi sengaja Prilly menyuruh Dea mengangkat teleponnya. Dia malas berbicara dengan Ali.
"Oh, kira-kira jam berapa mereka kembali?"
"Wah, kurang paham kalau itu, Kak."
"Ya sudah, tolong sampaikan saja sama Prilly, suruh buka chat saya."
"Baik, Kak."
"Terima kasih."
Panggilan pun diakhir Ali. Kepalanya pusing memikirkan Prilly. Entah bagaimana dia akan menjelaskan kepada Prilly, yang ada dalam pikiran Ali sekarang, dia harus segera meluruskan masalah ini.
Ketika akan meletakkan ponselnya di laci samping tempat tidurnya, dering panggilan masuk. Bergegas Ali melihat, berharap itu Prilly. Namun, ternyata Lesti.
"Halo, ada apa, Ma?" jawab Ali lesu.
"Ali, bagaimana keadaan kamu di sana? Kamu sudah makan?" Suara lembut Lesti sedikit menenangkan hatinya.
"Sudah tadi, Ma. Alhamdulillah sehat. Mama sama Papa sehat, kan?"
"Alhamdulillah, kami sehat. Oh iya, Li. Tadi Vanya telepon Mama."
Mendengar hal itu, Ali sudah dapat menebak apa yang akan dibicarakan Lesti, pasti Vanya mengadu yang tidak-tidak kepada mamanya. Sebenarnya Ali sangat malas mendengar nasihat Lesti mengenai hubungannya bersama Vanya. Ali merasa Lesti terlalu menyetirnya supaya tunduk pada Vanya dan terlalu ikut campur.
"Apa lagi sih, Ma?" dengus Ali malas sambil merebahkan tubuhnya di kasur.
"Li, kamu tahu, kan, hubungan kalian itu sudah lama, kedua keluarga juga sudah tahu dan hubungan kalian sudah direstui. Jangan main-main terus. Vanya itu dari keluarga baik-baik, gadis mandiri, pintar, calon dokter lagi. Kurang apa sih, Li? Kamu harusnya bersyukur bisa bertemu Vanya."
"Iya, Ma. Siapa juga yang main-main."
"Kamu sama Prilly sudah dewasa. Kalian bukan anak kecil lagi. Mulai jaga jarak dong Li sama Prilly. Nggak pantas dilihat orang kalau anak perawan nempel-nempel sama jejaka."
"Mama ini apaan sih, kok sampe bawa-bawa Prilly. Memang apa salahnya? Kami biasa saja. Maksud Mama nempel-nempel itu yang gimana?" Ali tersinggung, amarahnya terpancing.
"Mama cuma ngingetin kamu, Li. Jaga perasaan Vanya, biarpun kalian berjauhan. Ingat, Li, jaga kepercayaan orang tua Vanya. Jangan macam-macam loh, Li, sekarang papa kamu sedang menjalin bisnis sama papanya Vanya. Jaga hubungan kamu sama Vanya, biar bisnis Papa juga berjalan baik sama bisnis papanya Vanya, ya?"
Jika bisnis sudah disangkutpautkan dengan urusan cinta, jelas ini tidak akan sehat. Ali berpikir keras, kenapa dia merasa seperti dimanfaatkan?
"Ya dah deh, Ma. Aku mau mandi dulu. Assalamualaikum."
Tanpa menunggu jawaban Lesti, Ali menutup panggilannya. Dia tidak ingin mendengar mamanya berbicara panjang lebar, bukan maksud Ali menjadi anak pembangkang. Namun, kalau yang dibahas semakin membebani pikiran, mending disudahi, bukan?
Kepalanya semakin pusing, sekarang apa yang harus Ali lakukan. Menjelaskan kepada Prilly, bagaimana caranya? Apa itu perlu? Lalu apa gunanya dia menjelaskan kepada Prilly? Mereka tidak memiliki hubungan spesial, apakah penjelasan Ali dinanti Prilly? Pikiran Ali semakin kalut.
Ali bangkit dari rebahannya, dia duduk di tepi ranjang sambil menunduk dan meremas rambutnya frustrasi. Sesekali tedengar dia menarik napas dalam dan berdengus kasar.
"Li, kenapa?" tanya Harsan, ABK kapal itu yang juga berasal dari Indonesia. Harsan berasal dari Jawa Tengah.
"Pusing, Mas," jawab Ali mengusap wajahnya.
"Sudah minum obat?" Harsan duduk di sebal Ali dan ingin memijat bahunya.
"Nggak usah, Mas." Ali menolak pijatan Harsan, dia sungkan karena Harsan lebih tua darinya 10 tahun. "Pusingnya beda ini, Mas," lanjut Ali.
"Beda bagaimana?"
Karena merasa tidak mampu lagi menampung beban pikirannya sendiri, Ali pun bercerita kepada Harsan. Di kapal itu, teman dari Indonesia yang dekat dengan Ali hanya Harsan. Dia yang peduli dan perhatian kepada Ali, sudah menganggap Ali adik. Sebenarnya ada ABK lain yang dari Indonesia, tetapi Ali tidak begitu dekat.
"Oooh, jadi begitu masalahnya. Terus siapa yang sebenarnya kamu cintai, Li? Vanya atau Prilly?"
"Jujur saja, Mas. Sekarang aku lebih nyaman sama Prilly dan aku merasa bahagia kalau sama dia. Aku menyukai semua tentang dia, sekalipun itu kebiasaan buruknya. Apa mungkin karena kami sudah sejak kecil sering main bareng, jadi aku merasa biasa mengetahui semua hal tentangnya. Kalau sama Vanya, sekarang banyak yang aku tidak suka dari sikap bahkan sifatnya, bikin aku ilfeel."
Harsan yang sudah berkeluarga dan memiliki dua anak, pastilah punya pengalaman. Dia hanya tersenyum dan menepuk punggung Ali.
"Li, cinta itu nggak bisa dipaksa. Namanya cinta, harus menerima semuanya. Baik dan buruknya, kalau kamu sudah tidak bisa menerima satu saja keburukan pasangan, akan menjadi bumerang dalam rumah tanggamu nanti. Yang ada malah rasa tidak nyaman dan hadirlah pemikiran ingin mencari yang lain. Akan berdampak lebih fatal, kan?"
"Terus aku harus bagaimana, Mas? Keluargaku sama keluarga Vanya sudah telanjur menjalin bisnis bareng. Nanti kalau sampai aku sama Vanya putus, bagaimana bisnis mereka?"
"Rumah tangga itu bukan bisnis, Li. Rumah tangga itu harus dipondasi dengan cinta dan kejujuran pasangan. Kalau di awal sudah tidak cinta dan saling bohong, buat apa membangun rumah tangga. Malah yang ada setelah dibangun akan roboh karena pondasinya saja tidak kuat. Membohingi perasaan sama dengan membohongi dirimu sendiri. Kamu saja berani berbohong pada dirimu sendiri, bagaimana dengan orang lain? Belajarlah jujur dari dirimu sendiri dulu."
"Aku masih bingung, Mas."
Harsan tersenyum tipis dan menepuk punggung Ali.
"Salat Istikharah, minta petunjuk sama Allah biar ditunjukan pilihan yang benar dan tepat. Sudah mandi sana, jangan banyak pikiran, sakit malah repot kamu." Harsa beranjak, mengacak rambut Ali lalu ke luar kamar.
Ali memikirkan semua ucapan Harsa, dia mematung dan melamun.
######
Selamat hari Senin. Bantu Ali memilih dan memecahkan masalahnya dong. Kasihan aku, nggak tega lihatnya😁😅. Terima kasih atas vote dan komentarnya.
Banyuwangi, 17 Februari 2020
Pukul : 22.11 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top