Suka Duka

Satu tahun usia pernikahan mereka. Prilly harus rela ditinggal Ali setiap saat. Risiko menjadi istri pelaut, tidak setiap hari bisa didampingi. Prilly masih bekerja sebagai SDM. Jika Ali cuti, dia pulang ke kontrakan.

"Pril, tolong siapkan power point buat presentasi besok, ya? Bahannya nanti saya kirim."

"Baik, Pak Agus."

Sekilas tak ada yang berbeda, semua masih berjalan seperti biasanya. Hanya saja sekarang Prilly sudah bersuami.

"Pril, saya mau ke syahbandar dulu, nanti mau ada tamu, suruh nunggu saya di ruang meeting, ya?" Agus mengambil tas dan kunci sepedanya di meja kerja.

"Iya, Pak."

Setelah kepergian Agus, Prilly sibuk mengerjakan tugasnya. Di tengah fokusnya, ponsel Prilly berdering. Nama 'hubby' tertera di sana.

"Halo, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," balas seseorang di seberang. "Lagi apa?"

"Lagi kerja dong. Kamu?"

"Habis bongkar minyak, mau mandi, terus tidur bentar."

"Makan dulu."

"Iya, Sayang. Nanti aku makan. Ya sudah, aku mau mandi dulu."

"Hati-hati, Hubby."

"Iya, Sayang."

Panggilan itupun berakhir. Prilly meletakkan ponselnya di meja. Bibirnya tersungging senyum tipis. Dia masih belum percaya, ternyata jodoh dia tidak jauh dari kehidupannya.

Satu tahun ini dia belajar menerima Ali kembali. Meski cintanya tak sesempurna dulu, tetapi Prilly bisa mencintai Ali.

"Pril, makan yuk!" Gisel masuk ke ruang SDM.

"Hmmm ... makan apa, Kak?" tanya Prilly bingung.

Begitulah, kalau setiap hari makan yang monoton, sampai bingung mau makanan.

"Aku juga bingung. Itu lagi, itu lagi! Apa, ya, Pril?" Gisel berpikir sambil berdiri di depan meja kerja Prilly.

"Aku pengin yang segar, Kak," ujar Prilly bersiap, memasukan dompet dan ponselnya di tas cangklong.

"Kita cari bakso atau soto, gimana?"

"Wah, boleh tuh! Ayo!" Prilly beranjak dari tempatnya lalu menggandeng lengan Gisel. Mereka keluar dari ruangan itu.

Kalau mengingat Gisel, sebenarnya agak lucu rasanya. Dulu terlihat sangat tidak menyukai Prilly karena dia menyukai Al, sedangkan yang dia suka justru mencintai wanita lain yang baru hadir dalam hidupnya.

Kadang cinta itu aneh! Dia tak memandang seberapa lama kita bersama. Meski baru, kalau hati bergetar, kita bisa apa?

Sampai di kantin, mereka membungkus sotonya. Lalu makan di kantor. Prilly khawatir jika tamu yang ditunggu Agus datang, dia tak ada di tempat.

Saat mereka makan di ruangan Prilly, beberapa kali dering panggilan masuk. Prilly melihat ponselnya.

"Iya, Hubby. Apa?" sahut Prilly setelah menerima panggilan itu.

"Enggak apa-apa. Aku enggak bisa tidur."

"Kenapa?"

"Kangen sama kamu. Pengin cepet cuti."

Prilly terkekeh, dia meletakkan sendok lalu bersandar di kursi. Sedangkan Gisel cuek dan melanjutkan makannya.

"Sabar, kan bentar lagi cuti."

"Makanya itu, aku enggak sabar."

"Emang mau apa siiiih? Kok sampai enggak sabaran gitu?"

"Biasaaaa, Sayang. Kebutuhan batin," ujar Ali lalu disusul kikihan Prilly.

"Astagaaaa, Hubby. Ih, kamu tuh, ya? Awas macam-macam!" ancam Prilly sedikit khawatir.

Wajar jika dia cemas memikirkan hal itu. Dia jauh dari suami, tiga bulan sekali baru bisa bertemu, karena jatah cuti Ali tiga bulan sekali, kebutuhan berahi pastilah ada.

"Tenang, Sayang. Aku masih bisa menahannya sampai ketemu kamu."

"Bener, yaaa? Awas macam-macam kamu!"

"Iyaaaa, hahahaha. Takut, yaaaa, aku diambil orang." Ali malah menggodanya."

"Enggak gitu, Hubby. Seandainya ada yang mau ambil kamu, silakan, aku kasih, kalau itu jauh lebih baik dariku."

Siapa yang tahu isi hati seseorang? Bibir berkata demikian, tetapi hati terdalam beda. Mana ada istri yang rela suaminya diambil wanita lain?

"Enggak, Sayang. Bercanda. Eh, kamu lagi apa?"

Tak ingin menjadi perdebatan, Ali mengalihkan topik pembicaraan mereka.

"Lagi makan. Kamu jadi makan tadi?"

"Belum, aku tuh sebenarnya cape, ngantuk, pengin tidur tapi malah kebayang kamu."

"Terus aku harus gimana?"

"Enggak usah gimana-gimana. Bisanya gini, ya sudah, gini aja dulu."

"Emang kapan kamu mau pulang?"

"Insyaallah dua minggu lagi, ya?"

"Oke."

"Ya sudah, lanjutin makannya. Aku mau tidur dulu. Aku cinta kamu, istriku."

"Aku juga, Hubby. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Panggilan berakhir, Prilly meletakkan ponselnya lalu melihat Gisel yang sedang makan sambil senyam-senyum.

"Iiiih, kamu kenapa senyam-senyum?" tanya Prilly menegakkan badannya lalu mengangkat sendoknya lagi.

"Enggak apa-apa. Ternyata kamu bucin juga, ya? Hehehe." Gisel mengerling sambil tersenyum jahil.

"Yaaaaa, gitu deh! Nanti kalau kamu udah nikah, bisa merasakannya."

Mereka terkekeh lalu melanjutkan makan siangnya.

***

Tengah malam saat Prilly hendak berbaring, pintu kontrakan terketuk. Walhasil dia urungkan niatnya dan melihat orang yang menggangu tengah malam begitu.

Prilly tak langsung membuka pintu, tetapi dia melihat lebih dulu dari jendela. Setelah memastikan tamunya aman dan dia kenal, barulah dia bukakan pintu.

Setelah pintu terbuka, orang itu langsung memeluk Prilly sambil menciumi pipinya.

"Aku rindu," bisik orang itu.

"Aku juga," balas Prilly memeluknya erat. "Masuk yuk!" Prilly meregangkan pelukan mereka.

"Kok kamu belum tidur?" tanya Ali melepas Prilly lalu masuk dan mengunci pintunya.

"Tadi aku lagi nyiapin bahan buat presentasi besok. Kok kamu tumben sih sampainya tengah malam?" ujar Prilly sambil berjalan ke dapur.

Ali meletakkan ranselnya lalu menghempaskan tubuh di sofa, depan televisi. Dari tempatnya rebahan, dia melihat Prilly sedang membuatkan teh panas di dapur.

"Kapal sandar di Lembar. Tadi sore lepas tugas aku langsung pulang naik bus." Terdengar Ali menghela napas berat. Maklum, pasti dia kelelahan.

"Kenapa enggak besok aja pulangnya?"

"Pengin cepet ketemu kamu, Sayang."

Prilly membawa teh hangat mendekati Ali. Lalu dia berikan kepadanya. Ali bangkit dan menerima teh itu, perlahan dia seruput. Setelah perutnya terasa hangat, dia meletakkan cangkir itu di meja.

"Aaaaah!" Ali melepas lelah, dia kembali rebahan, kali ini kepalanya jatuh di pangkuan Prilly.

Prilly menglus rambut Ali. Beberapa detik hening, Ali mengamati istrinya. Dia membelai wajah Prilly sampai leher. Sejenak mata Prilly terpejam saat Ali mencium tangannya hingga leher.

"Pindah kamar yuk!" ajak Ali melepas ciumannya.

Mereka pun masuk ke kamar. Ali langsung memeluknya dan menciumi leher Prilly. Dia membaringkan Prilly di tempat tidur lalu ditindih. Mereka sama-sama menikmati malam ini. Saling melepas rindu sekaligus beribadah.

Hampir dua jam mereka bergulat di tempat tidur. Lelah sekaligus puas! Napas mereka masih memburu, Ali memeluk Prilly.

"Sayang, udah waktunya kita program hamil deh," ujar Ali setelah napasnya teratur.

"Iya, besok kita konsultasi ke dokter kandungan, ya?"

"Kamu pengin punya anak berapa?" tanya Ali yang merasa perlu membahasnya. Ini harus mereka bicarakan agar bisa mempersiapkan segalanya mulai saat ini.

"Aku sama kamu kan, anak tunggal. Jadi, aku pengin punya anak banyak. Lima, gimana?"

"Hah! Ngaco kamu, Sayang. Jangan dong, kasihan kamu."

"Emang kenapa sih, Hubby? Kan banyak anak banyak rezeki."

"Iya, aku tahu. Tapi kasihan tubuhmu. Kamu enggak sayang sama rahimmu? Aku enggak pengin kamu sakit. Pasti juga repot, Sayang. Dua anak saja kerepotan, apalagi lima? Seperti anjuran pemerintah, dua anak cukup."

"Iya deh, aku ngikut kamu. Tapi jaraknya kalau bisa jangan terlalu jauh, ya?"

"Kenapa?"

"Biar mereka bisa main bareng, terus si kakak juga bisa jagain adiknya. Kalau jarak terlalu jauh, takutnya mereka enggak akur. Pasti iri-irian."

"Iya, besok kita konsultasi sama dokter yang berpengalaman. Sekarang kita tidur, aku cape banget, Sayang." Ali mencium kening Prilly lalu mempererat pelukannya.

Akhirnya, mereka pun lelap. Begitulah, sebaiknya pasangan muda yang baru menikah harus membahas rencana kehamilan.

***

Keesokan harinya, Prilly sibuk di dapur. Tadi selesai salat Subuh, mereka ke pasar. Hari ini Ali minta dimasakan tumis kangkung dan tempe goreng.

"Sayang, aku bantuin apa?" tanya Ali memeluk Prilly dari belakang.

Prilly yang sedang mengiris bumbu menyahut, "Tolong potong-potongin tempenya, ya?"

"Oke deh, siap!" Ali melepas pelukannya lalu mengambil pisau.

Mereka saling membantu, apa yang Ali bisa lakukan, dengan senang hati dia mengerjakannya. Selesai memasak, Prilly menyajikan semua di meja depan televisi. Sambil sarapan, mereka menonton acara ceramah tokoh agama di televisi.

"Habis ini aku mau mandi, terus berangkat kerja," ucap Prilly selesai makan.

"Ya sudah, tinggal saja. Nanti aku yang bersihin rumah sama nyuci perabotan dapur yang kotor."

"Bener?"

"Iya, Sayang. Tenang saja, kamu pulang kerja, rumah bersih. Dijamin puas!"

Prilly terkekeh. "Ya sudah kalau gitu, aku mandi dulu."

Sembari Prilly bersiap-siap kerja, Ali mencuci peralatan dapur yang kotor. Setelah siap, Prilly keluar dari kamar.

"Hubby." Prilly mencari Ali ke dapur. Ternyata Ali masih membereskan alat dapur yang sudah bersih ke tempatnya. "Aku berangkat dulu, ya?"

"Hati-hati." Ali mencium keningnya lalu Prilly menjabat tangan Ali tak lupa juga mencium punggung tangannya.

Begitulah kehidupan mereka sekarang, saling mengerti dan bekerja sama dalam hal apa pun. Meski memiliki banyak uang, bukan berarti mereka bisa berfoya-foya. Lebih baik hidup sederhana dan pasti ada daripada hidup sok mewah selalu diusahakan ada.

#####

Haloooooo ... maaf, ya, ngetiknya lama, hehehe. Nyambi ngerjain yang lain soalnya.

Menuju ending.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top