Rencana

Di akademi pelayaran, lama pendidikan antara 8-14 semester. Normal atau standart 8 semester. Ali mengmbil jurusan program diploma IV nautika. Di mana semester satu sampai empat wajib mengikuti pelajaran teori dan praktik di kampus.

Sekarang Ali sudah masuk semester lima, waktunya dia akan menjalani praktik lapangan di kapal niaga selama satu tahun penuh. Artinya selama semester lima dan enam, Ali akan menjadi kadet di kapal. Kadet adalah sebutan untuk pelajar / taruna sekolah yang sedang mengikuti praktik calon perwira. Sedangkan untuk semester tujuh sampai delapan nanti wajib mengikuti materi kuliah diploma IV dan materi kuliah teori untuk kompetensi ANT-II.

Hasil rundingan beberapa waktu lalu bersama orang tuanya serta orang tua Prilly, memutuskan Ali akan ngadet di kapal celullarship bisa dikatakan juga containership (peti kemas).

"Pril, kamu kenapa sih? Lesu begitu?" tanya Fahira yang sedari tadi memerhatikan Prilly merenung di depan meja belajar.

"Nggak apa-apa," jawab Prilly lesu.

Ira dan Dea saling menatap, mereka tadinya sedang sibuk membaca buku pelajaran di tempat tidur. Maklum saja, selama tinggal di asrama, mereka tidak diperbolehkan membawa ponsel.

"Cerita dong, Pril. Kami, kan, teman kamu." Dea turun dari tempatnya lalu memeluk Prilly dari belakang.

Diikuti Fahira dan Ira yang juga memeluknya. Mungkin dengan pelukan, perasaan Prilly akan membaik.

"Saya sedih, Dan Ali akan ngadet jauh."

Banyak orang yang tahu jika Prilly dan Ali dekat. Padahal mereka tidak pacaran, ada beberapa yang mengira mereka pacaran.

"Emangnya mau praktik di mana?" tanya Ira melepas pelukannya disusul Dea dan Fahira.

Dea berdiri di belakang Prilly, sedangkan Fahira dan Ira bersandar di tembok, depan Prilly.

"Di Singapur."

"Wuih, keren," puji Fahira dengan mata berbinar.

"Bagus dong, Pril. Jarang loh, bisa ngadet di luar negeri," ucap Ira.

"Iya, tapi kapan saya bisa ketemu dia? Dan Ali balik ke kampus, angkatan kita gantian pergi praktik. Kita balik ke kampus, Dan Ali sudah selesai." Prilly semakin risau.

"Pril, saya boleh tanya sesuatu?" kata Dea sangat hati-hati, takut menyinggung perasaan Prilly.

"Tanya apa, De?" Prilly menatap Dea, menantikan pertanyaannya.

"Mmm ... tapi jawab jujur, ya? Sebenarnya kamu sama Dan Ali itu pacaran atau sebatas kakak-adik? Hehehe, maaf, saya penasaran."

Fahira dan Ira pun menanti jawaban Prilly. Mereka juga ingin mengetahui kebearannya.

"Saya bingung, De." Wajah Prilly semakin sedih.

"Loh, kok bingung, Pril?" tanya Ira mengerutkan dahi.

"Gimana, ya? Dibilang pacaran, belum, soalnya Dan Ali nggak pernah nembak saya. Tapi, perhatiannya ke saya, kayak orang pacaran. Posesif dia, kadang bikin saya merasa jadi wanita spesialnya."

"Perasaan kamu ke Dan Ali gimana?" tanya Ira yang tadinya berdiri bersandar tembok pindah duduk di tepi tempat tidur.

"Saya .... mmm ...." Prilly bingung.

"Nggak apa-apa, jujur saja, Pril. Saya juga pernah kok ngalami di posisi kamu. Penah baper sama cowok yang perhatiannya lebih, kita juga sudah anggap lebih, dia cuma anggap adik. Huft!" Dea menunduk sedih.

"Nggak enak jadi cewek, kalau suka sama orang, nggak bisa langsung bilang, bisanya cuma nunggu," ujar Fahira menekuk wajahnya.

"Kita hampir mengalami hal sama kok. Dulu saya juga pernah begitu pas SMA. Anaknya baik, selalu perhatian sama saya. Eh, jadiannya malah sama teman saya. Sakiiiit." Ira menekan dadanya yang merasa nyeri jika mengingat hal itu.

Perasaan Prilly menjadi ragu kepada Ali. Selama ini, Ali tidak pernah bilang sayang bahkan mengikat komitmen bersama.

"Nggak enak digantungin. Lihat dia ngobrol sama cewek, kita nggak berhak cembur bahkan marah saja tidak boleh. Huft! Dasar cowok, seenaknya sendiri," ujar Dea langsung ditatap teman-temannya tajam. "Saya salah ngomong, ya?" tanya Dea dengan wajah sok bodoh.

Tawa pun pecah, secepat mungkin mereka langsung menutup mulut dan mengecilkan suaranya.

"Jalani saja deh, Pril. Kalau memang jodoh, nggak akan ke mana. Lautan luas, lebih luas dari daratan. Kita hidup di lingkungan yang sama, tidak menutup kemungkinan takdir mempertemukan lagi, kan?" ujar Fahira menyemangati Prilly.

"Because sailor never say goodbye," ucap mereka tak sengaja bersama disusul kikihan.

"Ssssst, ini sudah malam. Ayo tidur. Daripada nanti kita kena hukuman," ajak Fahira naik ke kasur di atas Ira.

Disusul Dea yang naik di kasur atas tempat tidur Prilly.

"Jangan lupa nyalain alarm." Ira mengingatkan Prilly sebelum dia beranjak dari duduknya.

Alarm disetel pulul 03.00 WIB, bergegas Prilly menyusul teman-temannya yang sudah berbaring.

Di asrama putra, Ali duduk merenung di tempat duduk kayu sambil melihat jam tangannya.

"Dan, belum tidur?" tanya Ridwan yang baru saja masuk kamar dari kamar mandi.

"Belum," jawab Ali meletakkan jam tangannya di meja belajar.

Ridwan duduk di tepi ranjang. Di kamar itu berisi empat orang; Ali, Ridwal, Camal, dan Mail.

"Jadi, Dan?" tanya Ridwan.

"Insya Allah, jadi, Wan. Paspor sudah diurus."

"Terus kenapa wajah kamu kayak nggak seneng gitu? Beruntung kamu bisa ngadet di Singapur."

"Ada yang bikin pikiran saya nggak tenang, Wan."

"Prilly?" Ridwan menebak.

Ali menatap Ridwan, seperti mengiyakan.

"Dia tuh aslinya manja, Wan. Kalau orang belum mengenalnya, dia sok-sokan tangguh. Padahal hatinya rapuh."

"Kalau Dan Ali sayang, kenapa nggak bilang aja sih? Kenapa kalian tidak mengikat komitmen?"

"Belum waktunya, Wan."

"Terus mau nunggu apa lagi, Dan? Jangan nyesel loh, kalau ada orang lain yang lebih dulu berani nyatain cinta ke dia."

"Ah, nggak mungkin."

"Jangan bilang nggak mungkin, Dan. Apa pun bisa terjadi, cewek itu butuh kepastikan. Kalau begini, dia ngerasa digantungin. Kelamaan digantung, dia bisa ragu dan berpaling ke yang lain loh."

Sekejap Ali terdiam mencerna ucapan Ridwan itu. Namun, ada sesuatu yang masih membebani hatinya.

"Masalahnya, saya masih nunggu dia. Saya punya janji sama dia."

"Dan, orang yang sudah lama pergi, apa kamu yakin bakal kembali?"

"Bisa jadi. Kita tidak tahu masa depan seperti apa, Wan."

"Kalau Dan Ali begitu, berarti harus siap jika Prilly dimiliki orang lain."

Hati Ali nyeri, seperti dicubit. Sakiiiiiiit sekali mendengar pernyataan Ridwan.

"Kalau dia nggak mau, nggak masalah, kan, Wan?" ujar Ali meski dalam hati menahan sakit.

"Denger-denger nih, Dan. Danpol Firman tuh, suka loh sama Prilly."

"Oh, ya?" Ali terkejut dan langsung melebarkan matanya menatap Ridwan. "Tahu dari mana kamu?"

"Danpol sendiri yang waktu itu bilang pas kami lagi di ruang makan. Malahan dia sudah mendekati Prilly."

"Kok Prilly nggak cerita, ya?"

"Hubungan kalian apa, Dan? Apa hak Dan Ali tahu segalanya tentang Prilly? Pacar bukan, cuma anggap adik, kan, kata Dan Ali waktu itu?"

Tertegun, Ali menatap Ridwan kosong. Dia memikirkan sesuatu, tak lama lamunannya buyar ketika Camal dan Mail masuk kamar.

"Loh, orangnya di sini," tunjuk Camal kepada Ali.

"Kenapa?" tanya Ali menatap Camal yang berjalan ke tempat tidurnya.

"Tadi dicariin Pak Agus," sahut Mail yang sudah naik di atas tempat tidur Camal.

"Waktunya ngontrol, Dan. Keluar gih, keburu Pak Agus ke sini." Camal mengingatkan Ali.

Bergegas Ali keluar dari kamar dan menemui pembina asrama putra.

***

Saat di kampus, suasana pagi masih riuh sebelum apel pagi. Berbagai aktivitas taruna-taruni tersebar di sana. Ada yang di tengah lapangan sedang berlatih baris-berbaris, ada yang sekadar mengobrol. Firmah menghampiri Prilly yang sedang sendiri menghafal di depan kelas. Teman-temannya sibuk sendiri.

"Pagi, Pril," sapa Firman langsung duduk di sampingnya.

"Pagi, Dan." Prilly membalas sapaannya sambil tersenyum ramah.

"Hafalin apa? Kok dari tadi saya perhatiin serius sekali?"

"Nanti ada ujian pengelolaan pelabuhan, Dan."

"Jangan dihafalin, dibaca, lalu dipahami. Nanti pas ujian, kamu bisa menjelaskan dengan kata-katamu sendiri. Biar nggak dikira nyontek. Kalau hafalan, jawaban kamu bisa sama persis sama di buku. Sini saya bantu." Firman meminta buku Prilly.

Meskipun mereka mengambil jurusan berbeda, Prilly jurusan Ketatalaksanaan Angkutan Laut dan Kepelabuhanan atau yang biasa disingkat KALK sedangkan Firman Program Diploma Teknika, pelajaran mereka ada beberapa yang sama.

"Kamu sudah baca yang akan diujikan hari ini, kan?" tanya Firman sambil membaca sedikit materi yang tadi sedang Prilly hafalkan.

"Iya, Dan. Sudah."

"Saya kasih kamu pertanyaan, ya? Nanti jawab sebisanya, dengan begini kamu akan mudah mengingat."

"Iya, Dan."

Firman pun mulai memberikan Prilly pertanyaan, beberapa kali Prilly tidak bisa menjawab, Firman membantunya menjelaskan walau dia membaca dulu. Banyak yang sudah Prilly ingat dari sekian yang Firman tanyakan.

Dari kejauhan, Ali memerhatikan mereka. Melihat perhatian Firman kepada Prilly, membuat sekujur tubuhnya panas. Hati Ali terasa seperti tersayat sembilu.

Lonceng satu menandakan apel staf batalion nyaring terdengar ke penjuru kampus.

"Saya apel dulu, Pril. Ini buku kamu, semangat!" ucap Firman bergegas lari ke lapangan.

Sementara staf batalion apel, semua taruna masuk kelas menunggu giliran lonceng apel mereka. Sudah menjadi tradisi, apabila staf batalion sedang apel, seluruh taruna masuk kelas, tidak ada satu pun yang berani di luar apalagi melihat apelnya.

Selesai apel, staf batalion membubarkan diri. Selisih lima menit, lonceng dibunyikan dua kali, tanda apel untuk seluruh taruna. Berbondong-bondong mereka menempati barisan sesuai kelas dan jurusan masing-masing. Staf batalion menyebar di belakang setiap barisan, pagi ini pemimpin apel Ali, selaku komandan batalion.

#####

Part kedua bagaimana? Hehehehe
Makasih sudah vote dan komen, ya? Minggu ini kamu ngapain aja?

Banyuwangi, 17 November 2019
Pukul : 12.50 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top