Pertimbangan
Dua hari di Banyuwangi, Ali kesulitan menemui Prilly. Sejak kejadian malam yang lalu, ketika Ali berniat mengajaknya menikah. Teleponnya diabaikan, chat-nya pun tidak dibuka.
"Pril, makan dulu yuk!" ajak Agus beranjak dari tempatnya.
"Iya, Pak Agus. Duluan saja, saya masih ada kerjaan. Setelah ini saya cari makan."
"Ya sudah, saya duluan, ya?"
"Iya, Pak.
Agus pun keluar dari ruang SDM. Beberapa menit kemudian, akhirnya pekerjaan Prilly selesai. Hubungannya dengan Gisel sudah lebih baik. Sikap Gisel berubah, tak seperti dulu yang iri kepada Prilly.
"Pril, kenapa enggak istirahat?" tanya Gisel menjengukkan kepalanya di pintu.
"Iya, Kak. Masih ada kerjaan."
"Aku mau ke kantin, kamu pengin makan apa? Sekalian, aku sama Hana."
"Mungkin minum aja deh, Kak. Aku lagi malas makan."
"Heh, jangan gitu. Nanti kamu sakit." Hana datang menyela obrolan mereka.
"Ya sudah kalau gitu, aku minta tolong titip nasi bungkus aja."
"Ya Allah, Pril. Nasi bungkus mah dikit isinya. Emang kenyang?" sahut Gisel.
"Kenyang, Kak. Aku lagi mengurangi porsi makan, hehehehe."
"Ih, dasar kamu, Pril. Ya udah deh, entar aku beliin," ujar Hana lalu menggandeng lengan Gisel.
"Kami pergi dulu, ya?" pamit Gisel melambaikan tangan sambil berlalu.
Setelah kepergian mereka, Prilly menjatuhkan diri ke sandaran kursi. Dia teringat ucapan Ali malam itu.
"Ya Allah, jika memang Engkau mengizinkan aku bersamanya, dekatkanlah. Jika Engkau tak mengizinkan, segera jauhkan kami. Hamba tidak ingin merasakan sakit hati pada orang yang sama seperti dulu lagi." Lalu Prilly memejamkan mata.
Kenangannya bersama Ali saat dulu mereka masih kecil sampai kuliah terbayang-bayang. Dia galau, jika Prilly membuka hati untuk Ali, bagaimana dengan keluarga Al. Yang membuat Prilly sulit, dia takut kehilangan kasih sayang Margaret.
Selama ini, Prilly sudah menganggap Margaret sebagai ibu keduanya. Dia juga tidak mau hubungan kedua keluarga yang selama ini sudah terjalin baik, jadi renggang.
Prilly menarik napas dalam lalu mengembuskan kasar. Dia mengambil ponselnya dan membaca pesan dari Ali. Banyak yang Ali tulis, akhirnya Prilly membalas pesan itu.
Nanti malam, kalau Kak Ali enggak sibuk, bisa kita bertemu di depan pelabuhan Ketapang? Ada yang ingin saya bicarakan.
Setelah itu, Prilly meletakkan ponselnya di meja. Dia sudah mempertimbangkan dan memikirkannya.
***
Sore setelah Herman pulang dari kantor, dia dan Lesti pergi ke rumah Teguh. Mereka sudah kencan dengan Margaret dan Dodi di sana.
Sampai di rumah Teguh, setelah mengobrol dan bercanda di ruang tamu, waktunya mengutarakan niat utama.
"Mbak, Mas, tanpa mengurangi hormat kami kepada kalian, ada sesuatu yang ingin kami utarakan," ucap Herman menatap Teguh dan Dodi.
Sebelumnya Herman sudah menyampaikan ini kepada Teguh melalui telepon kemarin malam.
"Silakan, Mas Herman. Utarakan saja," kata Teguh memberi waktu Herman.
"Jadi, anak kami, Ali, berniat ingin meminang Prilly. Jika Mas Dodi dan Mbak Margaret tidak keberatan, izinkan anak kami meminangnya."
Dodi tersenyum lebar, begitupun Margaret. Tiga wanita satu generasi duduk di sofa yang sama, Margaret di tengah Lesti dan Juwita.
"Kalau saya mah, semua kembali ke Prilly. Bagaimana baiknya saja. Saya menyetujui kalau memang Prilly setuju," ujar Margaret. "Toh, dia juga butuh membina keluarga dan melanjutkan hidupnya. Bukan begitu, Mbak Juwita?"
"Iya." Juwita mengangguk, memegang tangan Margaret.
"Terima kasih atas pengertiannya, Jeng," ucap Lesti, lalu memeluk Margaret.
"Iya, Jeng. Anak-anak kita butuh bahagia. Tidak mungkin juga saya selalu mengikat Prilly, kenyataannya anak saya sudah tidak ada."
"Alhamdulillah. Jadi, tinggal menunggu kabar dari anak-anak kita saja ini," ujar Teguh terdengar lega.
Semua mengangguk dan melanjutkan obrolannya lagi.
***
Jam menunjukan pukul 20.00 WIB. Ali baru selesai bekerja. Dia masuk kamar dan mengecek ponselnya. Saat membaca pesan Prilly, dia terlonjak.
"Astogfirulloh," ucap Ali mengusap wajahnya.
Segera dia menelepon Prilly. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya diangkat.
"Halo, kamu di mana sekarang?" tanya Ali khawatir jika Prilly di luar rumah dan menunggunya.
"Di kontrakan. Kenapa, Kak?"
"Maaf, saya baru selesai kerja dan baca chat kamu."
"Iya, enggak apa-apa kok. Saya paham."
"Kamu enggak marah, kan?"
"Ngapain harus marah, Kak Ali?"
"Karena saya telat buka chat kamu."
"Enggak apa-apa kok. Saya enggak marah, paham sama kerjaan Kak Ali."
"Alhamdulillah. Kamu sudah makan?"
"Nanti saja, saya baru selesai menyelesaikan pekerjaan."
"Enggak usah keluar. Share lokasi kamu."
"Buat apa? Kalau Kak Ali mau ke sini, jangan sekarang. Saya tidak pernah menerima tamu di kontrakan, cewek maupun cowok, selalu saya temui di luar."
"Enggak kok. Saya juga paham, Pril. Saya enggak bisa turun, malam ini air laut pasang. Kami yang di kapal tidak bisa turun, nunggu air surut, mungkin besok pagi."
"Oooh. Gitu? Iya, nanti saya share lokasi."
"Oke deh. Saya mau mandi dulu. Saya tunggu lokasimu."
"Iya, Kak."
Prilly menutup teleponnya lalu mengirimkan lokasinya kepada Ali.
Setelah menerima alamat Prilly, Ali memesan makan melalui aplikasi Gofood. Lalu dia meletakkan ponselnya di laci dan ke luar kamar untuk membersihkan diri.
Prilly yang sedang malas keluar mencari makan berniat ingin membuat mi instan. Baru saja menyalakan api ingin merebus air, bel rumah bunyi.
"Siapa malam begini bertamu," gumam Prilly matikan kompornya lalu ke depan mengintip dari jendela, sebelum membuka pintu.
Dahinya mengerut. "Perasaan enggak pesan Gofood. Kenapa ada ojol di depan?"
Karena bel terus dipencet ojol, Prilly terpaksa membuka pintu.
"Maaf, benar ini atas nama Prilly?"
"Iya, saya sendiri."
"Ini, Mbak, pesanannya."
"Saya merasa enggak pesan apa-apa deh, Mas." Prilly bingung sambil menerima plastik putih yang diberikan ojol.
"Tadi saya telepon orang yang memesan, atas nama Ali."
"Oooh. Makasih, Mas."
"Baik, Mbak. Saya permisi dulu."
"Iya."
Setelah ojol itu pergi, Prilly mengunci pintunya kembali. Dia mencari ponselnya untuk menanyakan kepada Ali.
Kak Ali mesenin saya makan, ya?
Belum ada balasan, tetapi Prilly tidak bingung, dia paham, mungkin Ali sekarang sedang mandi. Sebelum mendapat balasan dari Ali, Prilly tidak berani membuka bungkusan itu.
Sambil menunggu Ali membalas chat-nya, Prilly menonton acara komedi di televisi. Hiburannya kalau di rumah hanya itu. Kadang dia juga merasa kesepian kalau sedang bosan di rumah.
Hampir satu jam menunggu, ponselnya berdering tanda panggilan masuk. Prilly melihatnya, Ali melakukan video call. Setelah Prilly menggeser tombol hijau ke atas, terlihat wajah Ali yang sudah segar, bersih, dan rambutnya setengah basah.
"Udah makan?" tanya Ali lalu tersenyum sangat manis.
"Belum."
"Loh, kenapa?"
"Karena Kak Ali belum jawab pertanyaan saya. Kalau salah kirim gimana?"
"Hahaha, kamu ada-ada saja, Pril. Enggaklah! Udah, maka dulu sana."
"Kak Ali sudah makan?"
"Ini mau ke dapur, lihat koki masak apa." Sambil berjalan ke luar kamar, Ali melakukan video call.
"Selamat malam, Chief."
"Iya, selamat malam."
Setiap melewati kamar ABK yang terbuka, sapaan demi sapaan harus Ali jawab. Khusus perwira, satu kamar diisi satu orang. Sedangkan ABK, satu kamar berisi empat orang.
Prilly duduk di lantai, ponselnya disandarkan ke vas bunga. Dia membuka kotak putih berisi nasi goreng, telur dadar, acar timun, dan kerupuk udang.
Sampai di ruang makan, Ali melihat menu makan malam. Gulai ikan tongkol.
"Kok, tumben sepi. Ke mana yang lain?" tanya Ali saat melihat koki membersihkan ruang makan.
"Mancing, Chief. Mau makan di sini atau di kamar, Chief?"
"Sini aja, Kok." Ali menyandarkan ponselnya di tembok.
Dari layar ponsel Prilly, dia melihat Ali mengambil piring, mencentong nasi, dan mengambil ikan. Lalu Ali duduk di depan ponselnya.
"Enak nasi gorengnya?" tanya Ali juga bersiap menyantap makan malamnya.
"Enak," jawab Prilly lalu menggigit kerupuk udang.
"Besok siang saya lepas tugas. Kamu istirahat jam berapa?"
"Seperti biasa, jam 12 sampai jam satu siang. Kenapa, Kak?"
"Ketemu di depan pintu keluar pelabuhan penyeberangan Ketapang, ya?"
"Tapi enggak tahu deh, Kak, bisa keluar atau enggak. Soalnya mau ada tes repit, dibuka untuk umum, di pelataran pelabuhan. Takutnya enggak bisa lewat karena pasti banyak orang dan kendaraan."
Wajah Ali langsung datar, dia kecewa. Kenapa sekarang sulit sekali menemui Prilly?
Prilly lalu berkata, "Tapi, saya usahakan, Kak." Karena merasa enggak enak hati melihat perubahan wajah Ali.
"Bener, ya?" Meskipun tak terlihat senyum di bibir Ali, setidaknya dia punya sedikit peluang untuk bisa menemui Prilly lagi.
"Insyaallah."
Malam itu obrolan menjadi panjang. Mereka banyak berbagi cerita, Ali mulai bisa menempatkan diri dan berusaha mengisi kekosongan hati Prilly.
Sampai larut malam, Prilly berbaring di tempat tidur, Ali tidak mau mengakhiri video call mereka. Hingga tak terasa Prilly pun ketiduran.
Hati Ali bahagia, walau hanya lewat seluler, setidaknya dia bisa mengobrol panjang seperti dulu lagi bersama Prilly. Semoga ini awal yang baik, harapan Ali.
########
Yeaaaa ... titik terang mulai terlihat. Aku sudah persiapkan cerita baru. Artinyaaaaa, cerita ini akan selesai.
Terima kasih, ya, buat yang sudah setia menunggu cerita ini. Senang loh, masih ada sekitar 200 vote lebih. Berarti sebanyak itu orang yang setia menunggu cerita ini.
Makasih banyaaaaak. Hanya kalian yang bisa membangkitkan semangatku dan setiap merasa lelah maupun ada keinginan menyerah, tidak mau melanjutkan cerita, aku selalu kepikiran kalian.
Kasihan 200 orang lebih yang menunggu cerita ini. Akhirnya aku semangat lagi melanjutnya ngetik.
Makasiiiiiih banyaaaak, yaaaa? Love you all. Kalian memang luar biasaaaaa. Aku bangga sama pembaca yang setia seperti kalian.
Kangen perang komen seperti dulu lagi. Hahahahaha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top