Mundur

Hati mana tak bahagia jika hal pertama membuka mata, dering telepon pujaan hati yang terdengar. Prilly tersenyum lebar saat pagi buta Ali sudah membangunkannya dan mengingatkan salat.

"Habis salat Subuh, kita ketemu di depan kedai pintu masuk pelabuhan, ya?"

"Baik, Kak."

Prilly beranjak dari tempat tidur, sedangkan Teguh masih nyenyak bergelut dengan selimut tebalnya.

"Ya dah deh, saya mau siap-siap juga. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Panggilan pun berakhir. Perasaan Prilly berbunga-bunga, dia bersemangat melakukan aktivitas apa pun pagi ini.

Salat Subuh selesai, Prilly sangat hati-hati membangunkan Teguh. Sekali mengguncangkan tubuhnya, Teguh pun membuka mata.

Melihat Prilly sudah rapi, Teguh bertanya, "Sepagi ini mau ke mana?" Sambil beranjak dari tempat tidur.

"Mau lari pagi sama Kak Ali, Pa. Sekalian nanti mau cari sarapan," ucap Prilly duduk di sofa singgle dekat jendela sambil menalikan sepatunya.

"Oh. Nanti kalau Papa nggak ada di kamar, berarti Papa sedang meeting. Kamu tunggu saja, ya? Soalnya malamnya kita balik ke Indonesia."

Rasanya tidak rela Prilly kembali ke Indonesia. Kalau boleh, dia ingin sekali di Singapura saja, dekat dengan Ali.

"Ya," jawab Prilly lesu.

Teguh masuk ke kamar mandi, lalu Prilly mengunci tas pinggangnya lantas keluar dari kamar.

Jarak dari hotel ke tempat yang mereka janjikan tidak jauh, mungkin hanya 10 menit. Sambil berlari kecil Prilly menuju ke sana.

Dari jarak sekitar dua meter, jantung Prilly berdetak tak keruan. Dia melihat seorang pria berdiri membelakanginya. Prilly sangat menghafalnya. Langkah demi langkah, Prilly mendekati Ali yang sudah menunggunya.

"Hayoooo!" Prilly mengagetkan Ali dari belakang dengan memegang pundaknya.

Ali terlonjak lalu menoleh ke belakang.

"Ngagetin aja," ucapnya sambil mengelus rambut Prilly yang diikat satu seperti ekor kuda.

"Hehehe, maaf. Kakak udah lama?"

"Nggak kok, barusan," ucap Ali diakhiri senyuman yang sangat manis, hal itulah yang meluluhlantakkan hati Prilly. "Oh, iya. Kata Om Teguh kalian pulang malam ini, ya?" ucap Ali sambil mengajak Prilly berjalan santai.

"Huum." Prilly mengangguk lesu.

Mereka berjalan berdampingan sambil bercanda tawa. Tinggi Prilly yang hanya sebahu Ali, terkadang kalau mereka bercanda, Ali suka mengapit kepala Prilly di ketiaknya.

"Kak Ali belum mandi, ya, bau acem," ledek Prilly menjepit hidungnya dengan jari. Padahal Ali sudah wangi dan Prilly menyukai aroma parfumnya.

"Enak aja. Saya tuh bangun tidur langsung mandi. Kalau nggak begitu, antre panjang. Tahu sendiri, kamar mandi di kapal terbatas."

"Hehehehe, macak ciiiih?" Prilly menggoda dengan suara dibuat seperti anak kecil, mebuat Ali gemas lalu menarik Prilly ke bawah ketiaknya lagi.

Sambil berjalan santai mereka cekikikan. Prilly minta ampun, lalu Ali melepaskan kepala Prilly dan berubah merangkulnya.

"Kak Ali kapan balik ke Indonesia?" tanya Prilly meski terlihat santai, tetapi jantugnya berdegup kencang karena Ali berjalan sambil merangkulnya.

"Insya Allah sih, kalau boleh, saya minta dipercepat praktiknya. 10 bulan."

"Bukankah harusnya 12 bulan? Emang boleh? Nanti sijil di buku pelaut bagaimana? Kan sekarang semua online."

"Makanya itu, saya masih bingung."

"Mending jalani sesuai syarat aja, Kak."

"Iya. Emang kenapa kamu tanya begitu? Takut, ya, jauh dari saya?" Ali mengerling.

Sebenarnya iya, batin Prilly lalu mengelak, "Hidih, nggak kok. Cuma tanya aja. Nggak boleh?"

Tak terasa sampai juga di taman dekat pantai yang setiap pagi banyak orang beraktivitas dan olahraga. Ada yang berlari santai membawa anjing peliharaannya, ada yang benar-benar lari sampai mandi peluh, ada juga yang bersepeda santai bersama keluarga, dan sebagainya. Suasana taman yang asri ditambah udara sejuk, membuat Prilly ingin berlama-lama di sana.

Prilly menghirup udara dalam-dalam. "Hmmm ... sejuk, ya, Kak," celetuknya merentangkan kedua tangan.

"Beda, ya, sama Jakarta."

"Banget! Di Jakarta mah susah kalau pagi cari suasana begini. Yang ada padat kendaraan dan macet. Polusinya sudah parah banget."

"Eh, lari yuk!" ajak Ali mengulurkan tangan.

Prilly mengerutkan dahi, dengan isyarat alis tebalnya yang dinaikturunkan Ali ingin Prilly menggapai tangannya. Sambil malu-malu Prilly pun menerima uluran tangan Ali. Mereka berlari kecil sambil bergandengan tangan.

Selesai berlari, mereka beristirahat sambil menurunkan suhu panas dalam tubuh dan minum air mineral di kursi taman yang menghadap pantai. Setelah itu Ali mengajak Prilly sarapan bubur kacang hijau di kedai dekat pelabuhan. Karena Ali izin turun hanya untuk berolahraga, setelah makan, dia tak sempat mengantar Prilly balik ke hotel.

"Nggak apa-apa bener nih?" tanya Ali tak enak hati kepada Prilly.

"Iya, serius Kak Ali. Saya nggak apa-apa. Sudah sana, Kak Ali buruan balik ke kapal. Nanti kalau melampaui batas waktu yang dikasih nakhoda, bisa dimarahin loh."

"Iya sudah kalau gitu. Maaf, ya?"

"Iya, Kak Ali. Hati-hati kalau kerja."

Hati Ali terasa tentram dan sejuk saat Prilly memberinya perhatian. Apalagi dia berucap sambil tersenyum sangat manis. Bertambahlah semangat Ali hari ini.

"Makasih, ya?" Ali mengelus rambut Prilly disusul senyumannya yang manis, membuat hati Prilly terasa ingin loncat dari tempatnya.

"Iya, Kak Ali."

"Ya dah, saya masuk dulu. Dadah." Ali setengah membalikan badan sambil melambai. Hatinya seperti tak rela berpisah dengan Prilly.

"Dadah." Prilly membalas lambaian Ali sambil tersenyum lebar.

Punggung Ali tak terlihat lagi, dia pun kembali ke hotel dengan perasaan berbunga-bunga. Senyum tak pudar sedetik pun dari bibirnya.

***

Malam pun tiba, sebelum balik ke Indonesia, nanti pukul 23.00 waktu setempat, Teguh mengajak Prilly makan malam di kedai olahan hasil laut. Mereka memilih tempat makan yang dekat dengan hotel. 

Teguh menyapu pandangannya, mencari meja yang kosong. Tempat itu cukup ramai, sulit mencari meja kosong. Jika memang tak ada yang kosong, terpaksa pembeli akan bergabung satu meja dengan orang asing. Ketika sibuk mencari-cari, mata tajam Teguh menangkap sosok yang dia kenal.

"Loh, itu Ali, kan, Pril?" tunjuk Teguh ke salah satu meja pojok dekat dengan jendela.

Prilly mengerutkan dahi, bukan Ali yang menjadi fokusnya, tetapi seseorang yang duduk membelakanginya. Rambut panjang, sudah dipastikan itu wanita. Namun, siapa dia? Rasa penasaran Prilly menguat ketika melihat Ali berbincang sambil tersenyum manis kepada wanita itu. Bahkan wanita itu berani mengambil ponsel Ali dan berswafoto.

"Yuk, kita ke sana," ajak Teguh berjalan lebih dulu.

Dada Prilly berdetak cepat, selangkah demi selangkah dia mendekati meja Ali. Entah mengapa firasatnya tidak enak. Dia terus memerhatikan punggung wanita yang sedang asyik mengobrol dengan Ali.

"Hai, Li." Teguh menyapa Ali ketika sudah di samping mejanya.

Ali sangat terkejut mendapati Teguh di sana bersama Prilly yang berdiri di belakang tubuh tegap Teguh sambil menatap Ali aneh. Seketika jantung Ali seperti merosot sampai perut. Ali gagap ketika ingin menjawab sapaan Teguh dan melihat raut wajah penuh tanda tanya Prilly.

"Ha-ha-hai, Om. Kok di sini, Om?" tanya Ali kebingungan menatap Teguh dan Prilly bergantian.

"Om sama Prilly mau makan dulu sebelum kami balik ke Indonesia," jawab Teguh disusul seulas senyum ramah dan anggukan sapaan kepada wanita yang sedari tadi menatapnya bingung.

Membaca raut wajah penasaran Teguh, meski perasaannya saat ini kalut, Ali berdiri menjabat tangannya lalu memperkenalkan Vanya kepada Teguh, "Kenalkan, Om. Ini Vanya."

Vanya berdiri lalu mengulurkan tangan sambil tersenyum manis.

"Temannya Ali?" tanya Teguh melirik, setengah menggoda Ali dan Vanya.

Prilly yang berdiri di belakang Teguh menunggu jawaban dari Ali ataupun Vanya.

"Hehehehe, temen deket, Om," jawab Vanya melirik Prilly, seolah dia ingin membuat Prilly, gadis yang baru pertama kali ini dia temui dan dia tahu dekat dengan Ali, cemburu.

"Wah, artinya pacar dong," tegas Teguh melirik Ali agar meberikan pernyataan jujur.

Ali hanya memberikan seulas senyum, tidak membenarkan ataupun menyangkal. Dada Prilly seperti dihantam beban yang sangat berat. Nyeri bercampur perih, rasanya dia sulit bernapas. Sekujur tubuhnya tiba-tiba panas dan lututnya lemas. Ingin menangis, tetapi tertahan di tenggorokan. Hanya sesak dan sakit yang dirasakan saat ini.

Jika memang kamu sudah punya cinta, kenapa kamu memberiku peluang? Kenapa kamu buatku berharap? Tidakkah kamu punya rasa kasihan padaku, yang sudah berharap lebih dan sekarang aku harus menelan pil pahit. Kenapa kamu tega melukaiku? Pagi tadi kamu buat aku bahagia, di hari yang sama pun kamu buat aku patah hati dan terluka. Ibarat, kamu menerbangkanku ke awan, sekejap itu juga kamu hempaskanku ke dasar jurang yang berduri tajam. Sangat sakit, Kak Ali, batin Prilly berkecamuk.

"Ya sudah, kami cari meja lain saja. Takut mengganggu kalian," kata Teguh ingin mengajak Prilly pergi.

Namun, Vanya mencegahnya, "Tidak usah, Om. Jika Om berkenan, boleh bergabung bersama kami. Di sini masih ada dua kursi kosong, makanan kami juga belum datang kok."

Sengaja Vanya lakukan itu, ingin melihat reaksi Ali ketika bersama Prilly saat ada dia. Sejauh ini Teguh belum menyadari perubahan sikap Prilly. Dia tidak tahu tentang perasaan Prilly kepada Ali. Yang Teguh tahu, Ali dan Prilly dekat sekadar teman biasa karena dia dan orang tua Ali sudah bersahabat. Apalagi mereka menjalin bisnis bersama. Wajar bagi Teguh dan Herman jika anak-anak mereka dekat.

"Bagaimana, Prilly?" tanya Teguh menoleh ke belakang.

"Kita cari meja lain saja, Pa. Takutnya gangguin orang pacaran," ucap Prilly sambil melirik Ali sambil menakan kata 'orang pacaran'.

Yang dilirik merasa tersinggung, dia membalas lirikan Prilly. Ada sesuatu yang Ali sadari dari sikap dan ucapan Prilly.

Pril, apa itu artinya kamu sedang cemburu? Batin Ali berkecamuk.

"Baiklah. Lain waktu saja kita makan bersama, ya, Vanya. Kami duduk di meja lain saja," ucap Teguh menolak secara halus.

Sebelum pergi, lirikan Ali dan Prilly bertabrakan dan Vanya melihatnya.

"Hm!" Vanya berdeham, lantas Ali mengalihkan pandangan ke arah lain. "Jadi dia?" ucap Vanya sinis setelah Teguh dan Prilly menjauh.

"Apaan sih!" Ali mengelak, dia tidak nyaman dengan situasi sekarang.

Vanya melirik Prilly yang duduk berjarak dua meja sebelah kanan dari tempatnya duduknya. Dia tersenyum masam lalu berucap, "Apa spesialnya dia dibandingkan aku, sampai kamu bisa berpaling dariku demi dia?"

Terdiam seribu bahasa. Ali kebingungan ingin menanggapi pertanyaan Vanya.

"Soal bodi, aku jauh lebih sempurna daripada dia. Isi otak, kelihatannya dia tidak terlalu pintar."

Kamu salah, Van. Dia anak yang cerdas dan memang soal fisik, kamu lebih sempurna daripada dia. Tapi dia yang membuat hatiku nyaman. Dia juga yang bisa buat jantungku selalu berdetak cepat saat bertemu. Hanya dapat terucap dalam hati Ali, dia tidak mau ribut di muka umum.

Ali menghela napas panjang, ini salah satu yang Ali tidak suka dari sifat Vanya, menyombongkan diri dan terlalu percaya diri sehingga di mata Vanya, orang lain selalu berada di bawahnya.

"Van, jangan mulai deh," tegur Ali menatapnya tajam.

Namun, Vanya keras kepala, dia tak acuh dengan tatapan Ali. "Memang benar, kan? Dia pendek, tidak terlalu cantik."

"Terserah kamu!" Ali geram, tetapi hanya dapat ditahan. Dia berusaha bersikap santai meski dalam hati ingin sekali menjelaskan sesuatu kepada Prilly.

Pril, saya mohon jangan marah. Saya ingin menjelaskan semuanya. Saya ingin mengatakan sejujurnya tentang perasaan ini kepada kamu. Tolong, tunggu saya, Prilly. Ali membatin dan berharap suara hatinya dapat Prilly dengar.

#####

Kurang geregeeeeet. Tenang, masih pemanasan, hehehe. Sudah kangen belum?

Banyuwangi, 15 Februari 2020

Pukul : 21.18 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top