Meluluhkanmu
Empat bulan Ali menjadi kadet di kapal kontainer di Singapura, selama itu juga dia tidak mendengar kabar Prilly. Dia hanya bisa menanyakan keadaan Prilly lewat Teguh. Hubungannya dengan Vanya pun tak sehangat dulu, situasi Ali saat ini yang belum bisa menemui Vanya, membuat hubungan mereka sedikit renggang.
Ketika memiliki waktu senggang, Ali memaksimalkan untuk istirahat karena pekerjaannya menguras tenaga.
Saat di kamar, sedang berbaring, sekilas Ali mengingat kejadian bersama Prilly.
Saat itu, dari asrama, Ali mengantar Prilly pulang. Musim libur semester, mereka menghabiskan waktu bersama. Nonton film, main ke tempat wisata, dan terkadang Ali seharian di rumah Prilly membaur dengan keluarganya.
Tak terasa rindu mencuak ke permukaan hatinya, ingin sekali menelepon Prilly dan mendengarkan suara manisnya. Namun, apa daya, keadaan belum mendukung.
Ketika Ali sedang sibuk memikirkan Prilly, deringan ponsel yang ada di atas perutnya mengusik. Bergegas Ali melihatnya, mustahil jika itu Prilly.
"Halo," sahut Ali lesu.
"Kamu maunya apa sih? Aku sengaja cuekin, bukannya membujuk untuk baikan malahan makin diemin!" sergah Vanya menggebu-gebu dari ujung telepon.
Ali menghela napas panjang, dia lelah ditambah harus menghadapi Vanya yang seperti ini.
"Apa sih, Van? Aku tuh sibuk kerja, maaf bukan maksud cuekin kamu. Tapi kalau aku kerja, nggak bisa pegang HP." Ali berusaha santai dan sabar menghadapi Vanya.
"Jangan-jangan kamu sibuk sama si Prilly itu, ya? Jadi nanyain kabar aku aja lupa. Kita sudah dekat, tapi kenapa malah semakin jauh. Kita begini karena ada dia."
"Kamu kenapa sih, malah nyalahin dia? Prilly di asrama, mana mungkin dia bisa hubungi aku. Sudah ah, jangan mikir macam-macam. Kapalku besok berangkat ke Cina, kalau aku nggak bisa dihubungi, itu berarti sedang di laut lepas. Kamu harus bisa terbiasa dengan keadaan ini."
"Kamu selalu belain dia!"
"Aku nggak belain siapa-siapa. Cemburumu itu tidak beralasan. Pikiranmu saja yang negatif."
"Terus kenapa kamu beberapa bulan ini berubah?"
"Berubah bagaimana sih?"
"Kamu tuh beda! Nggak seperti dulu, apa karena ada Prilly, hatimu sudah terbagi."
"Prilly lagi! Bisa nggak, kamu jangan menyangkutpautkan Prilly sama hubungan kita? Dia tuh nggak tahu ..."
"Oh, benar kan dugaanku. Dia nggak tahu kamu punya pacar dan kamu juga ngasih dia harapan. Bagus! Jadi gini?"
"Apa sih kamu ini? Orang belum selesai ngomong asal potong aja."
"Sekali selingkuh, akan terus begitu!"
"Aku nggak selingkuh!" Ali meninggikan suaranya.
Lalu dia memutuskan teleponnya. Dia menarik napas panjang, ponselnya lagi-lagi berdering. Namun, dia tak mengacuhkannya.
***
Jam menunjukan pukul 16.00 WIB, besok sudah liburan semester. Prilly pulang, sampai di rumah, dia tak sabar ingin segera menghubungi Ali.
"Pa, pinjem HP-nya dong," pinta Prilly yang menghampiri Teguh di ruang keluarga.
"Mau buat apa?" Teguh yang tadinya setengah merebahkan tubuhnya di sofa sambil menonton acara talk show di televisi, bangkit dan duduk tegap.
"Mmm ...." Prilly malu-malu, dia memainkan jarinya.
"Duduk sini," ujar Teguh menepuk sofa di sampingnya.
Prilly pun mendekat, dia duduk di sebelah Teguh.
"Kamu mau menghubungi siapa?" tanya Teguh lagi sambil mengelus kepala Prilly.
Sambil menggigit bibir bawahnya, Prilly menjawab, "Kak Ali, Pa."
"Owalah, Ali. Dia lagi perjalanan ke Cina."
Wajah yang tadinya semringah berubah masam. Dalam hati seperti ada kekecewaan yang sangat mendalam. Teguh membaca raut sedih Prilly.
"Tapi coba dulu deh, siapa tahu masih bisa dihubungi," ucap Teguh memberikan ponselnya kepada Prilly.
Perasaan Prilly sedikit lega, ada harapan meski itu kecil.
"Makasih, Pa," ucap Prilly memeluk Teguh lalu menerima ponsel itu.
Bergegas Prilly ke kamarnya. Sampai di kamar, tak sabar dia ingin segera menelepon Ali. Setelah memasang headset lalu menggeser panggilan, Prilly tengkurap di tempat tidur sambil memeluk boneka kepala Doraemon.
Jantung berdebar-debar tak keruan, senyum tak sedikit pun pudar dari bibirnya. Setelah menunggu beberapa menit, panggilan pun terjawab.
"Assalamualaikum. Ada apa, Om?"
"Waalaikumsalam."
Deg! Jantung Ali berdebar-debar kencang ketika mendengar jawaban salam suara lembut perempuan. Tak sadar bibirnya tersungging senyuman yang manis.
"Kok di rumah?" tanya Ali sudah sangat menghafal suara itu.
"Iya, lagi liburan semester. Kata Papa, Kak Ali sedang layar ke Cina, ya?"
"Iya. Ini sudah hampir sampai laut lepas. Nanti kalau tiba-tiba mati, berarti sudah nggak dapat sinyal."
"Yaaaaaah." Terdengar nada kecewa Prilly.
"Makanya, manfaatkan waktu semaksimal mungkin. Apa yang mau diobrolin, cepetan, jangan basa-basi."
"Nggak ada yang penting sih, cuma mau tanya kabar Kak Ali aja. Saya ganggu, ya?"
"Nggak kok. Saya sudah lepas tugas, sudah agak santai. Kalau kapal jalan nggak begitu sibuk, bisa santai. Kamu gimana kabarnya?"
"Alhamdulillah baik. Kak Ali di sana sehat, kan? Makannya lancar nggak?"
"Jangan pikirin waktu makan saya, di sini ada kokinya, sudah pasti bisa makan. Kamu itu yang harus jaga pola makan. Jangan malas-malasan, punya sakit mag, jangan sampai telat makan."
"Iya. Terus kapan Kak Ali balik ke Singapura?"
"Belum tahu, tergantung bongkar dan muatnya. Rencananya sih, satu minggu lagi balik ke Singapura. Memang kenapa?"
"Nggak apa-apa."
"Kalau nanti saya bisa turun ke darat, saya beliin oleh-oleh buat kamu."
"Jangan ah! Pasti mahal. Kak Ali kan, di sana masih ngadet. Uangnya disimpan saja, buat kebutuhan yang lain."
"Nggak apa-apa, kalau buat itu ada kok. Kan tiap bulan dapat uang saku sama uang makan. Terus dapat premi juga."
"Iya sudah, terserah Kak Ali aja deh. Tapi jangan yang merepotkan Kak Ali, ya?"
"Iya. Kamu kalau main jangan jauh-jauh, pilih-pilih teman, terus jangan boros."
"Idiiiiih, kapan saya boros?"
"Iya, saya kan cuma mengingatkan."
"Hehehe, iya, Kak. Begitu juga Kak Ali, hati-hati kalau kerja. Diperhatikan baik-baik apa yang harusnya dipelajari, terus jangan lupa salatnya."
"Iya, makasih ya, udah ngengitin. Kamu berapa lama liburnya?"
"Sekitar dua minggu."
"Pergunakan waktu libur sebaik-baiknya, jangan banyak main. Persiapkan buat ujian, terus tanya-tanya ke senior pengalaman ngadet di lapangan pelabuhan. Biar nggak keget entar pas terjun di lapangan."
"Iya, Kak Ali. Kira-kira saya besok ngadet di mana, ya?" Lelah tengkurap, Prilly mengubah posisinya terlentang.
"Jangan jauh-jauh, yang deket situ aja. Di Merak cukup."
"Tapi saya pengin lihat dunia luar, Kak. Pengin tahu situasi pelabuhan daerah lain."
"Jangan pikirkan itu dulu, besok kalau sudah dekat, konsultasi sama Om Teguh. Papamu lebih tahu soal itu."
Suara Ali semakin terdengar jauh, lama-lama lirih dan terputus-putus.
"Halo, Kak Ali." Prilly tak mendengar suara Ali.
"Pri, halo. Prilly." Ali dari seberang pun hanya mendengar suara Prilly yang lirih dan terputus-putus.
"Kak Ali, saya mau ke Singapura."
Ali tak mendengarnya, telanjur sinyal di tempat Ali menghilang. Prilly menghela napas dalam, sudah dipastikan jika sinyal di tempat Ali tak ada. Dia harus sabar menunggu beberapa hari agar bisa menghubungi Ali lagi.
***
Pagi tadi kapal kembali dan sandar di Pasir Panjang. Dan malam ini Ali sudah berkencan dengan Vanya di tempat makan yang tak jauh dari pelabuhan.
"Kamu mau makan apa?" tanya Vanya seolah mereka sedang tidak memiliki masalah.
"Terserah kamu saja." Tanpa Ali memandang Vanya, dia sibuk memandang ponselnya.
Beberapa kali Ali membalas pesan kepada seseorang. Vanya mencurigainya, setelah memesan makanan, Vanya bertanya kepada Ali, "Kamu dari tadi sibuk chat sama siapa sih?"
"Di grup WA keluarga."
"Coba lihat." Vanya ingin merebut ponsel Ali, tetapi dengan cepat Ali masukan ke saku celana.
"Mau ngapain?" Ali bersikap santai, padahal dari tadi dia chating dengan Prilly.
"Cuma mau tahu. Ada siapa aja di grup itu."
"Namanya keluarga, ya ada Mama, Papa, saya. Mau ada siapa lagi?"
"Prilly."
Ck! Ali berdecak, dia malas jika Vanya mengungkit Prilly. Ali tak merespons, dia sibuk melihat orang-orang yang lahap menikmati makanan di sana. Beberapa menit tak ada obrolan, dalam hati Ali risau karena ponselnya berkali-kali getar, antara mendapat chat dari Prilly atau telepon.
Ingin rasanya waktu bersama Vanya cepat berlalu dan dia bisa kembali ke kapal melanjutkan chat dengan Prilly, bahkan video call dengannya tanpa ada yang mengganggu.
Makanan pun datang, Ali buru-buru menghabiskan makannya. Selama makan, mereka saling membisu. Pikiran Ali melayang, fokus kepada Prilly.
"Habis ini kamu balik ke penginapan, ya? Besok kalau saya nggak ada kerjaan, baru kita jalan. Tapi kalau besok ada kerjaan, maaf, saya nggak bisa nemenin kamu jalan," ucap Ali di tengah menunggu Vanya menghabiskan makannya.
"Iya, nggak apa-apa. Sudah ketemu kamu gini aja aku dah seneng kok. Yang penting kamu jaga kesehatan, jangan sampai sakit. Kalau kamu sakit, siapa nanti yang nyakitin aku, hihihi." Sengaja Vanya menyindir Ali.
"Ah, alay!" cibir Ali tak suka dengan ucapan Vanya.
"Gimana kabar Prilly?"
"Ck! Prilly lagi. Mana saya tahu," dusta Ali tak ingin menimbulkan masalah lagi antara dia dan Vanya.
Vanya mencebik dan memalingkan wajah, seperti tak percaya dengan ucapan Ali.
"Apa yang kamu pikirkan, bisa benar terjadi loh," ucap Ali mengancap Vanya.
"Tergantung kamunya, kalau kamu mau dan memiliki peluang, tidak menutup kemungkinan terjadi, kan?"
Ali menghela napas dalam, sinyal berdebat sudah mulai terasa. Lebih baik diam dan mengalah daripada semakin besar masalahnya.
"Udah, habisin makannya. Saya mau bayar."
Ali bangkit lalu pergi ke kasir. Selama mengantre, dia menyempatkan membuka ponselnya. Banyak chat dari Prilly dan beberapa panggilan tak terjawab.
Maaf, tadi saya lagi makan sama teman di luar. Ini lagi bayar, mau balik ke kapal dulu. Nanti saya telepon kalau dah sampai kapal, ya?
Setelah mengirim pesan itu kepada Prilly, Ali masukkan lagi ponselnya di saku celana. Setelah membayar, Ali kembali ke mejanya. Vanya sudah menunggu.
"Ayo," ajak Ali memakai jaketnya.
Vanya pun bangkit lalu menggandeng lengan Ali. Entahlah, sejak kapan perasaan Ali terasa hambar saat bersama Vanya. Selama mereka berjalan di trotoar, Ali banyak diam dan menjadi pendengar setia Vanya yang sedari tadi ngocek banyak hal. Sesekali konsentrasi Ali buyar di tengah mendengarkan cerita Vanya, sekilas bayangan Prilly mencumbui pikirannya.
Sampai di depan penginapan Vanya, mereka berhenti.
"Masuk gih!" ucap Ali mengelus kepala Vanya tanda perhatian.
"Iya, nanti temenin aku teleponan, ya, sampai aku tidur."
Aduh! Gimana, ya? Kalau teleponan sama Vanya, terus Prilly gimana? Aku dah telanjur janji sama dia. Pasti Prilly nungguin aku. Ali galau, dia terdiam memandang Vanya dengan tatapan kosong.
"Aliiiii." Vanya melambaikan tangannya di depan wajah Ali.
"Eh, iya, Van. Maaf, saya baru ingat. Nanti malam saya jaga pelabuhan, pasti nggak bisa main HP," alasan Ali.
"Yaaaah, kan aku masih kangen kamu." Vanya bergelayut di lengan Ali.
"Iya, tahu. Tapi bagaimana lagi? Saya harus bertanggung jawab dengan tugas yang sudah dijadwalkan kapten."
"Iya sudah kalau gitu. Asal besok kita jalan-jalan, ya?"
"Insya Allah. Ya dah, kamu masuk, terus bersih-bersih dan istirahat. Saya harus cepet-cepet balik ke kapal. Takut dicariin kapten."
"Baiklah. Kamu hati-hati baliknya, ya." Meskipun berat, tetapi Vanya harus melepaskan Ali malam ini, demi tugasnya.
Dia pun masuk ke penginapan, bergegas Ali kembali ke kapalnya. Sampai di kapal, Ali langsung membersihkan diri dan bersantai di tempat tidur. Teman-temannya sibuk dengan aktivitasnya. Ali mulai menghubungi Prilly.
Punya kekasih, tetapi nyamannya dengan orang lain. Itulah yang Ali rasakan saat ini.
######
Hubungan macam apa ini? Pernah merasa begini? Hihihihihi
Makasih udah sabar menunggu.
Banyuwangi, 3 Januari 2020
Pukul : 23.20 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top