Lamaran
Hai, lagi apa?
Menunggu beberapa menit tak kunjung mendapat balasan dari Prilly.
"Ali," panggil Lesti sambil mengetuk pintu kamar.
"Iya, Ma."
Bergegas Ali bangkit dari rebahannya lalu membuka pintu.
"Ayo turun. Sarapan dulu."
Ali pun mengikuti Lesti ke ruang makan. Herman sudah menunggu di sana.
"Pagi, Pa," sapa Ali lalu duduk di seberang Herman.
"Pagi, Li," balas Herman sambil tersenyum lebar. "Gimana rencana kamu besok malam?"
"Nah, itu dia, Pa. Masalahnya Prilly dari kemarin belum kasih jawaban. Kan, aku jadi bingung." Ali menarik napas dalam lalu mengembuskan kasar.
Lesti dan Herman ikut berpikir. Sambil menyantap sarapan, otak mereka terus berputar mencarikan Ali solusi.
"Mama punya ide!" Tiba-tiba Lesti mengejutkan Ali dan Herman, yang tadinya suasana hening, sibuk dengan pikirannya masing-masing, kini semua menatap Lesti.
"Apa, Ma?" tanya Ali berhenti mengunyah makanannya.
"Biar dia mau datang ke restoran yang sudah kamu siapkan itu, sekalian aja undang Om Teguh sama Tante Juwita buat makan malam. Pasti Prilly mau datang."
"Bener kata mamamu, Li. Papa setuju."
Sejenak Ali berpikir, lantas dia menjawab, "Boleh juga ide Mama. Nanti aku telepon Om Teguh."
Senyum mengembang di bibir Lesti dan Herman.
***
Semua sibuk dengan obrolannya masing-masing. Lesti dan Juwita asyik mengobrol tentang makanan di restoran itu. Herman dan Teguh fokus membahas kelanjutan kerja sama mereka yang rencananya akan mendirikan perusahaan pelayaran.
Prilly tersenyum mendengar pembahasan Juwita dan Lesti. Namun, dia hanya menyimak, tak ikut nimbrung.
"Pril, ikut saya yuk!" ajak Ali menjawil lengan Prilly.
"Ke mana, Kak?"
"Ayo, ikut aja." Ali berdiri lebih dulu lalu Prilly mengikutinya.
Sampai di mini panggung, yang biasa digunakan untuk live music, Ali meminta grup band yang sedang tampil menyanyikan lagu Cinta Putih milik Glenn Fredy.
Lalu Ali menggandeng Prilly ke depan panggung. Mereka menjadi pusat perhatian, termasuk keluarganya. Ali berlutut dengan satu kaki dan mengeluarkan cincin dari saku jaketnya.
"Maaf, saya tidak pandai merangkai kata indah." Ali menggenggam tangan kiri Prilly. "Perjalanan kita menjadi pelajaran berharga untuk saya. Pernah kegilangan kamu, membuat hidup saya hampa. Tapi, meski begitu, saya punya rencana masa depan bersama kamu. Semua yang saya persiapkan dan saya kerjakan saat ini, demi bisa membangun rumah tangga bersama kamu. Delmora Prilly Fortuna, saya mohon, terimalah lamaran ini."
Bukan memberikan pilihan dengan kata 'maukah', tetapi kali ini Ali langsung memintanya tanpa memberi Prilly celah untuk menolak.
Bibir Prilly kelu, dia menoleh ke meja tempat orang tuanya berada. Dari tempat duduk, Juwita mengangguk, mendukung. Teguh tersenyum lebar. Lalu dia menatap Ali yang masih berlutut menjulurkan cincin dengan mimik mengiba.
Ya Allah, aku harus bagaimana ini? Prilly galau, dia mematung.
Melihat putrinya bergeming, Juwita mendekat dan merangkulnya.
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Juwita sambil membelai rambut Prilly.
"M-m-ma, a-a-aku belum bisa menjawab," ucap Prilly lirih sambil menunduk.
Ali yang mendengar itu menarik napas dan sejenak memejamkan mata menetralkan perasaannya yang tak keruan.
"Sayang, apa yang kamu tunggu. Hidup terus berjalan. Kamu perlu membuka duniamu lagi."
"Tapi, Ma ... biarpun aku kembali sama Kak Ali, cintaku tidak sebesar dulu lagi."
Secara tidak langsung, Prilly mengakui pernah mencintai Ali. Mendengar itu, hati Ali menghangat.
"Mama tahu, setidaknya kamu bisa mencintai Ali dengan caramu, walaupun enggak akan sama seperti dulu."
Sejenak Prilly menunduk melihat Ali yang setia menunggu jawabannya. Melihat kerja keras Ali selama ini yang berusaha mendekati, meluluhkan hatinya kembali, Prilly pun membuka kesempatan untuk Ali.
"Iya, saya mau," ucap Prilly meski dengan setengah hati.
Bibir Ali tersungging lalu dia memasang cincin di jari manisnya. Tepuk tangan menguasai tempat itu, Ali sangat bahagia.
Meskipun kembali, tetapi tak akan sama seperti dulu. Karena hati yang pernah remuk tak akan bisa mungkin kembali sempurna.
***
"Aku, kan, pernah bilang, 'Sailor never say good bye.' Sekarang terbukti, kan?" ujar Ali saat jalan santai bersama Prilly di taman kota sore itu.
Prilly hanya tersenyum simpul. Hatinya ada yang mengganjal. Entahlah, dia benar-benar merasa dipaksa oleh keadaan. Apa dia yakin, menerima lamaran Ali adalah pilihan yang tepat?
Di sini seperti hanya Ali yang berjuang dan mencintai. Prilly? Hatinya masih ragu.
"Kak Ali, apa Kak Ali sudah yakin memilih saya?" tanya Prilly hanya ingin memastikan bahwa Ali serius dengannya.
Seketika Ali berheti melangkah, begitu juga Prilly. Mata mereka bertabrakan, saling memandang ke dalam pupil. Ali meraih kedua tangan Prilly lalu digenggamnya.
"Pril, apa aku perlu membelah dada biar kamu percaya kalau cintaku serius sama kamu."
Prilly menggeleng.
"Terus apa yang harus aku lakukan biar kamu percaya kalau aku benar-benar serius sama kamu?"
Prilly sendiri pun bingung.
"Apa karena dulu aku enggak pernah jujur sama kamu soal ...."
"Enggak, Kak Ali." Prilly dengan cepat menyahut agar Ali tidak salah paham. "Ini karena saya. Jujur saja, sebenarnya saya masih belum yakin dengan perasaan saya sendiri. Masalahnya di saya, bukan Kak Ali."
Terdiam, sedih mendengar hal itu. Ali menarik napas dalam lantas mengembuskan perlahan. Dia melepas kedua tangan Prilly lalu mengusap wajahnya.
"Kak, maaf sebelumnya, sampai saat ini saya belum bisa meyakinkan diri saya untuk membuka hati kembali."
"Terus bagaimana caranya biar aku bisa meyakinkan kamu? Dari sapaan saja, aku sudah berusaha santai dan mengubah sapaan 'saya' jadi 'aku'. Sedangkan kamu, masih saja pakai 'saya'. Itu yang bikin kita merasa ada jarak, Pril. Aku belum menjadi orang spesialmu." Suara Ali meninggi dan menggebu.
Kali ini Ali benar-benar kesal, dia berlalu meninggalkan Prilly. Dari tempatnya berdiri, Prilly melihat punggung Ali yang semakin jauh darinya. Tak pernah Prilly melihat Ali ngambek seperti itu. Rasa bersalah merasuki hatinya.
Apa yang harus aku lakukan? Ya Allah, aku harus bagaimana sekarang? Prilly bingung mencari cara supaya Ali tidak lagi marah padanya.
Ali benar-benar meninggalkan dia sendiri di teman itu. Segera Prilly berjalan ke luar taman mencari taksi. Setelah dapat, Prilly naik. Di dalam taksi Prilly menyandarkan kepalanya, mencari cara supaya Ali tidak marah lagi padanya.
"Pak, tolong antar saya ke supermarket, ya?" ujar Prilly kepada sopir taksi.
"Baik, Neng."
Taksi itu pun melaju ke supermarket terdekat.
Selesai belanja bahan yang dia butuhkan, Prilly tak langsung pulang ke rumah, melainkan pergi ke rumah Ali.
"Hai, anak mantu," sapa Lesti bahagia saat membukakan pintu dan ternyata yang datang Prilly.
"Assalamualaikum, Tan." Prilly menyalami Lesti, tak lupa mencium punggung tangannya.
"Waalaikumsalam."
"Tante, boleh enggak saya masak di sini? Saya mau masakin makan malam buat Kak Ali."
"Boleh dong. Ayo, kita masuk." Lesti menggandeng tangan Prilly dan menutup pintunya kembali.
Mereka langsung ke dapur, Prilly tak melihat Ali sejak dia masuk ke rumah.
"Tan, Kak Ali ke mana?" tanya Prilly sambil mengeluarkan bahan dari plastik yang dia bawa.
"Tadi habis jalan sore sama kamu langsung ke kamar. Bersihin badan mungkin. Kok enggak bareng ke sininya?"
"Hehehe, iya, Tan. Sengaja mau bikin kejutan buat Kak Ali."
"Uwu sekali." Lesti mengerling, membuat Prilly tersipu.
"Ah, Tante bisa aja."
"Ya sudah, Tante bantu apa nih?" Lesti bersiap ingin mengambil bumbu untuk membantu Prilly.
"Mmm ... Tante punya cabai besar merah enggak? Tadi saya mau beli sudah habis."
"Ada dong, Cantik. Emangnya mau bikin apa sih?" ujar Lesti sambil membuka kulkas dan mengeluarkan cabai merah besar.
"Mau bikin seafood saus padang, Tan. Padahal Kak Ali kalau habis makan seafood suka gatal-gatal, tapi dia paling suka makan seafood. Kan, saya jadi bingung, Tan." Prilly sedikit mengeluhkan hal itu.
"Makanya itu, Tante juga bingung, Pril. Tapi memang itu makanan favoritnya. Mau gimana lagi?"
"Iya, Tan. Enggak apa-apa, ya, Tan, saya masakin seafood."
"Enggak apa-apa dong. Ini cabainya." Lesti memberikan cabai merah yang sudah dia cuci dan potong.
"Makasih, Tante."
"Terus apa lagi?"
Akhirnya mereka pun saling membantu. Prilly meracik bumbu, ART yang membantu mereka membersihkan udang, cumi, kepiting, dan lobster. Sedangkan Lesti menanak nasi untuk makanan utamanya.
Ali belum tahu kalau Prilly di rumahnya. Dia masih kesal karena Prilly seperti tidak menghargai perasaannya.
"Aku sudah berjuang sejauh ini, dia belum juga bisa membuka hatinya. Apa yang masih kurang? Keseriusan sudah aku tunjukan. Kepastian sudah aku berikan. Cinta? Jangan ditanya lagi, sudah jelas aku mencintainya." Ali menggerutu sendiri di kamar sambil merapikan stik PS yang berserakan di lantai.
Mengingat dia meninggalkan Prilly di taman sendiri, Ali agak keterlaluan memang. Dia seperti pria tak bertanggung jawab. Tadinya mengajak Prilly jalan santai ke taman kota, malah ditinggal. Ali jadi kepikiran. Bergegas dia mencari ponselnya dan menelepon Prilly.
Ponselnya berdering terus-menerus. Namun, Prilly tak menggubris. Sebenarnya dia mendengar ada telepon masuk, yakin saja kalau itu Ali. Karena sebelum pergi ke rumah Ali, dia sudah izin kepada orang tuanya, tidak mungkin jika mereka menelepon dan mencarinya.
"Ada telepon tuh. Diangkat dulu," kata Lesti yang berdiri di depan kompor sedang menggoreng kerupuk.
"Biarin, Tan. Paling juga Kak Ali," jawab Prilly sibuk mengaduk saus padang yang sudah dicampur seafood.
Di kamar, Ali gelisah. Dia merasa bersalah sudah meninggalkan Prilly begitu saja.
Setelah semua masakan siap, Lesti dan Prilly menyajikan di meja makan.
"Tan, Om Herman jam segini kok belum pulang sih?" tanya Prilly selesai meletakkan piring di meja, tepat di depan tempat duduk.
"Om Herman lembur, Sayang. Enggak usah ditunggu, biasanya dia sudah makan di luar. Soalnya menjamu makan malam klien yang dari Kualalumpur."
"Oooh, gitu. Mmm ... Tan, saya pinjam mukena, ya, buat salah Magrib."
"Iya. Salat di kamar Tante saja yuk!"
"Iya, Tan."
Setelah meja makan penuh dengan hidangan, karena azan sudah berkumandang, mereka pun melaksanakan salat Magrib dulu.
Lepas itu, Lesti memanggil Ali ke kamarnya. Sedangkan Prilly di dapur mengambil nasi dari rice cooker.
Lesti menuruni tangga diikuti Ali. Tampak terkjut wajah Ali saat melihat Prilly sibuk menyiapkan makan malam di ruang tamu.
"Li, ternyata Prilly jago masak loh. Ini semua masakan Prilly. Dia bela-belain masak seafood saus padang buat kamu," ujar Lesti sesampainya mereka di ruang tamu.
Tertegun, Ali bingung. Dia hanya bisa menatap Prilly yang melempar senyuman manis padanya. Prilly mendekati Ali yang mematung di samping kursi.
"A-a-aku ... minta maaf," ucap Prilly sedikit canggung saat mengucap 'aku'. Dia belum terbiasa, pastilah sedikit aneh.
Tanpa menjawab, Ali hanya mengangguk. Dia sok stay cool. Padahal dalam hati sudah jingkrakan saking bahagianya mendengar permintaan maaf Prilly dan mendengar sapaan 'aku' dari bibir tipisnya.
Segera Ali duduk lalu Prilly mengambilkannya nasi.
"Aku enggak usah nasi," ucap Ali menahan tangan Prilly saat ingin mencentong nasi.
"Terus?" tanya Prilly bingung.
"Seafood masakan kamu saja. Aku lagi mengurangi kalori sama karbohidrat."
"Oooh, oke."
Prilly pun mengambilkan seafood yang tadi dia masak bersama Lesti. Setelah mengambilkan Ali, dia juga tak lupa mengambilkan Lesti. Setelah itu baru untuk dirinya sendiri.
Makan malam kali ini spesial buat Ali. Dia sangat menikmatinya. Dimasakin Prilly, makan ditemani, berasa sudah menikah. Kira-kira seperti itu jika nanti mereka sudah berumah tangga. Betapa bahagianya Ali jika setiap saat bisa makan masakan Prilly.
Kadang memang kita perlu ngambek agar dia bisa memahami yang kita rasakan. Ngambek bukan berarti marah, ini hanya cara kita protes pada pasangan agar dimengerti.
#######
Kaaaaan, pada seneng. Maaf, ya, agak lama cerita ini. Dulu bisa satu cerita satu bulan selesai. Sekarang ngetik satu bab saja beberapa hari karena dicicil. Maklum, ya, sekarang punya kesibukan lain di dunia nyata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top