Kebetulan

Setiap Sabtu pagi, sebulan sekali, Prilly mengusahakan pulang ke Jakarta. Meskipun berat di ongkos karena harga tiket pesawat dari Banyuwangi ke Jakarta lumayan mahal. Itu tetap dilakukan karena permintaan Juwita dan Teguh.

Hari ini dia berkencan dengan Dea, Fahira, dan Ira di salah satu pusat perbelanjaan. Kebetulan Fahira yang sekarang bekerja di Batam sedang cuti. Sedangkan Ira dan Dea bekerja di Jakarta. Mumpung ada waktu luang, mereka ingin menghabiskan waktu bersama.

"Pril, kita tunggu Ira sama Dea di sana aja yuk," ajak Fahira menunjuk kafe terbuka.

"Boleh."

Lantas mereka pun ke sana. Prilly dan Fahira menyapu pandangan, mencari kursi yang nyaman dan kosong. Namun, mata Prilly menyipit, dia melihat seseorang yang dikenal.

Bukankah itu Kak Vanya? batin Prilly menajamkan pandangannya. Dia melihat Vanya bersama orang yang sama pada saat mereka bertemu di bandara beberapa waktu lalu.

"Pril, kita duduk di sana yuk!" Fahira menemukan kursi kosong yang berada dekat dengan kolam buatan.

Mereka pun ke sana, merasa tak ingin berurusan dengan Vanya, Prilly bersikap tak acuh. Dia asal lewat dan pura-pura tak melihat.

Mata Vanya melebar ketika melihat Prilly lewat di depannya, meski Prilly bersikap sok tidak kenal. Namun, Vanya tampak gelisah.

"Roy, kita balik yuk," ajak Vanya buru-buru memasukkan ponselnya ke tas.

"Kenapa?" tanya pria yang bersama Vanya.

"Enggak apa-apa. Ada panggilan mendesak dari rumah sakit," dusta Vanya.

Dari tempatnya, Prilly melihat Vanya pergi buru-buru bersama orang itu. Dia mengerutkan dahi, merasa heran.

"Kenapa, Pril?" tanya Fahira melihat ke arah pandang Prilly.

"Enggak apa-apa, kayak lihat seseorang yang saya kenal. Tapi kayaknya saya salah orang deh," ujar Prilly malas berurusan dengan Vanya.

"Ooooh, ya sudah. Kamu mau pesan apa?"

"Samakan saja sama pesanan kamu, Fa."

Akhirnya sambil menunggu Ira dan Dea mereka pun memesan minuman dan camilan.

***

Jam menunjukan pukul 20.00 WIB, Prilly baru saja sampai rumah. Tak terasa hampir sehari ini dia berkeliling bersama sahabatnya. Andai saja dia punya lebih banyak waktu, Prilly akan puas-puaskan bermain bersama  mereka. Apa daya, dini hari nanti jadwal penerbangan dia kembali ke Banyuwangi.

Selesai membersihkan badan, Prilly merebahkan tubuh di tempat tidur sambil mengecek ponselnya. Ada pesan masuk dari Ali.

Hai, Pril. Lagi apa?

Tanpa ada perasaan apa pun dan tak ada niat memberi peluang kepada Ali, Prilly membalasnya.

Lagi santai, Kak. Apa kabar?

Tak lama balasan pun masuk.

Alhamdulillah, baik. Saya sudah sampai Jakarta tadi sore.

Wah, cuti, ya, Kak?

Iya. Kapan nih bisa ketemu?

Sejenak Prilly berpikir. Jujur saja, tidak ada niat dan terbesit dalam pikiran Prilly ingin bertemu Ali.

Insya Allah, nanti kalau sudah ada waktu, Kak.

Jawab Prilly sekenanya. Dia malas berurusan dengan Vanya. Mulutnya sekali bicara menyakiti hati. Itulah yang membuat Prilly tidak nyaman berbincang dengannya.

Bener, ya?

Setelah membaca balasan Ali, Prilly tak lagi minat membalas. Dia menutup ponselnya lalu menajamkan mata.

Pukul 07.20 WIB pesawat landing di Banyuwangi. Bergegas Prilly mencari taksi agar cepat sampai di kontrakan. Beberapa kali Agus meneleponnya, meminta supaya Prilly datang ke kantor lebih awal karena akan ada meeting bersama dishub dan syahbandar.

Begitu sampai kontrakan, Prilly ganti seragam lantas berangkat ke kantor. Sampai kantor Agus sudah siap di ruang SDM.

"Maaf, Pak Agus, sudah menunggu saya," ucap Prilly tergesa-gesa meletakkan tasnya.

"Enggak apa-apa, Pril. Ya sudah yuk, kita ke ruang meeting."

Mereka pun pergi ke ruang meeting.

***

Pukul 11.00 WIB Ali ingin pergi ke rumah sakit menemui Vanya dan mengajaknya makan siang. Sebelumnya, dia mampir ke toko sepatu langganan Vanya, membelikan Vanya hadiah kecil karena Ali tak sempat membawakannya oleh-oleh.

Ali membuang gengsinya jauh-jauh demi membahagiakan Vanya kali ini. Saat dia sedang memilih sepatu sesuai selera Vanya, kedua matanya menangkap pasangan masuk ke toko itu juga.

Sengaja Ali bersembunyi dari mereka, dia berdiri di balik rak-rak tinggi. Dari celah sepatu yang berjejer, Ali mengintip dan mengamati mereka. Mereka tampak akrab dan tertawa lepas sambil memilih hak tinggi.

Ali pun mengeluarkan ponselnya lalu menelepon Vanya. Tak ada jawaban, sengaja Vanya mengabaikan. Lalu Ali mengirimkannya pesan.

Kamu di mana?

Sambil menunggu, Ali terus mengintai. Tak berapa lama pesannya pun dibalas.

Di rumah sakit. Kenapa?

Saya jemput ke rumah sakit, ya?

Mau ngapain?

Ngajak makan siang.

Kamu sekarang di mana?

Sudah di jalan.

Harus ya, sekarang?

Kenapa? Kamu sibuk, ya?

Iya nih. Lagi banyak kerjaan, enggak bisa keluar.

Oh, gitu? Ya sudah deh. Lain kali saja.

Oke.

Ali menggenggam ponselnya erat, dia menarik napas panjang lalu mengembuskan pelan. Dia bersembunyi sampai intaiannya keluar dari toko itu.

Napasnya memburu, tanpa menyapa Herman dan Lesti yang duduk di ruang tengah, Ali langsung naik ke kamarnya. Amarahnya meluap-luap, dia sangat kecewa.

Apa yang dia lakukan di belakangku selama ini? batin Ali menatap tajam cermin di depannya yang menampakkan pantulan wajahnya yang keras.

***

Senyum Lesti tak pernah pudar sejak Vanya datang ke rumah sore tadi. Dia senang calon menantunya itu datang membawa jajanan dan makanan yang dibeli dari restoran.

Rencananya malam ini Vanya ikut makan malam di rumah Ali. Sikap Ali dingin, banyak yang dipertanyakan mengenai Vanya selama dia tinggal. Namun, entah mengapa Ali tak dapat mengutarakan semua pertanyaan yang mengusik otaknya dua hari ini, sejak melihat Vanya bersama  seorang pria di toko sepatu.

"Kok kamu dari tadi diem saja sih?" Vanya menghempaskan pantatnya di sebelah Ali yang sedang duduk bersantai menatap televisi.

Memang matanya melihat acara di televisi, tetapi otaknya berputar-putar tentang Vanya.

"Enggak apa-apa," jawab Ali bersikap cuek sambil menggonta-ganti channel.

Vanya bersikap sok manja, dia menyandarkan kepalanya di dada Ali.

"Bentar, saya mau ambil minum." Ali merasa risih, dia menghindar, pura-pura mengambil air di dapur.

Meski begitu, Vanya tetap membuntutinya. Lesti menyiapkan makan malam di ruang makan dibantu asisten rumah tangga. Melihat Vanya terus nempel pada Ali, dianggap Lesti wajar, dia pikir itu karena Vanya kangen.

"Habis makan malam kita keluar yuk," ajak Vanya setelah Ali minum.

"Mau ke mana?" Ali meletakkan gelas bekasnya minum lalu pergi ke ruang makan.

"Ke mana saja." Vanya membuntutinya.

"Males ah!" tolak Ali menghempaskan pantatnya di kursi ruang makan.

Bibir Vanya manyun, Lesti melihatnya, lantas menegur Ali, "Ajak ke mana gitu dong, Li. Emang enggak kangen sama Vanya? Udah lama ditinggal layar, pasti dia kangen."

"Masa sih kangen?" Ali sengaja menyindir.

"Kangen dong. Masa jauh dari tunangan enggak kangen sih," sahut Vanya bersikap seolah sedang menyembunyikan sesuatu agar Ali tidak mencurigainya.

"Kalau kangen, kenapa kemarin lusa saya mau ajak makan siang, kamu enggak bisa?" Ali melirik Vanya, ingin melihat reaksinya.

"Aku kan sibuk di rumah sakit?" dusta Vanya manja menutupi kegelisahannya.

"Yakin?" Ali melirik tajam.

Tampak Vanya gelagapan. "Iya," sahutnya agak meninggikan suara.

"Kenapa saya ke rumah sakit kamu enggak ada?" Ali sengaja berbohong, dia ingin tahu, apakah Vanya akan jujur padanya atau dia memang menutupi sesuatu darinya.

"Iiiih, Tante, Ali kenapa sih jadi enggak percayaan gitu? Padahal aku beneran ada kok di rumah sakit." Vanya mencari pembelaan.

"Udah, udah, udah. Jangan berdebat lagi. Mending kita makan sekarang," sela Lesti yang tak ingin ikut campur masalah mereka. "Vanya duduk dulu, Tante mau manggil Om." Lesti pun pergi dari ruang tamu.

Kini tinggallah Ali dan Vanya yang di ruang makan. Tatapan Ali tajam terus tertuju kepada Vanya. Yang ditatap justru salah tingkah.

"Kenapa menatap begitu?" tanya Vanya berusaha bersikap biasa saja, tetapi gelagatnya tidak bisa berbohong jika saat ini dia tidak nyaman.

Dia tak berani menatap mata Ali. Beberapa kali Vanya sengaja menghindar.

"Kenapa bohong?" tanya Ali dengan wajah serius.

"Bohong apa?" Suara Vanya meninggi.

"Orang kalau enggak salah itu jawabnya santai, ngapain kamu nyolot?"

"Aku enggak nyolot. Kamu yang mulai, nuduh-nuduh aku bohong."

"Emang, kan?"

"Bohong apa sih? Aku enggak pernah bohong."

"Yakin?" Lirikan Ali semakin dalam, gelagat Vanya pun bertambah gelisah.

Vanya menunduk, Ali sudah bisa membaca gerak-geriknya setiap dia berbohong.

"Saya jadi pacar kamu itu enggak satu atau dua tahun doang, Van. Kita itu sudah lebih tujuh tahun, sejak SMA sampai sekarang kamu jadi koas. Jadi, jangan berusaha menutupi sesuatu dari saya," ujar Ali tegas dan kali ini tidak main-main. "Kita pernah merasakan LDR, pernah kamu memergoki saya selingkuh? Enggak, kan? Karena saya selalu berpegang teguh sama prinsip."

"Iya, memang kamu enggak pernah ketangkap basah selingkuh. Tapi hati kamu yang sudah berpaling," bantah Vanya kali ini berani membalas tatapan Ali.

"Kamu tahu itu dan kamu juga tahu alasannya. Tapi kenapa kamu tidak mau saya lepas? Bukankah itu justru menyiksamu? Kalau memang sudah bosan, jangan begitu caranya."

"Maksud kamu apa sih?"

"Kamu pikir saya enggak tahu, dua hari lalu saat saya ajak makan siang, kamu pergi sama siapa dan di mana?"

Jantung Vanya seperti merosot sampai ke perut. Sekujur tubuhnya berdesir. Darahnya mengalir cepat, jantung berpacu abnormal.

"Van, saya enggak akan marah kalau kamu itu jujur. Kamu sudah tahu tentang perasaan saya sekarang bagaimana. Dipaksa bagaimana pun, tidak akan bisa berubah. Saya sayang sama kamu, tapi untuk cinta, jangan lagi meminta karena kamu tahu kepada siapa saya jatuh cinta."

Vanya menunduk, dia memutar otak. Ingin membalikkan fakta dan menyalahkan Ali? Tidak mungkin karena Ali sudah jujur tentang perasaannya sekarang.

"Jujurlah, siapa dia?"

Sekejap Vanya mengangkat kepalanya menatap Ali. Bibirnya kelu, wajahnya tampak kebingungan.

"Saya enggak marah, kalau kamu jujur. Saya bisa memahami kok."

Dalam masalah ini, Ali bersikap dewasa. Dia berusaha bijak.

"Ini semua salah kamu," ucap Vanya dengan suara bergetar menahan tangis. "Kalau kamu enggak jatuh cinta duluan sama Prilly, aku enggak akan mencari pelarian. Kalau kamu bisa bersikap adil kepadaku, aku enggak akan mencari perhatian kepada orang lain."

Kali ini Ali diam, dia menerima semua tuduhan Vanya. Dia akan mendengar semua alasan Vanya.

"Awalnya aku enggak tahu kenapa bisa senyaman itu sama dia. Ini mengalir begitu saja. Kamu jarang hubungi aku, aku merasa kesepian, aku ngerasa kamu udah berubah, enggak lagi peduli kayak dulu lagi. Salah kalau ada orang yang lebih peduli sama aku dan jauh perhatian daripada kamu?" Air mata Vanya lolos.

Dia setengah kesal kepada Ali. Vanya tidak ingin sepenuhnya disalahkan. Tadinya Lesti dan Herman ingin ke ruang makan, tetapi setelah mendengar pembicaraan Ali dan Vanya yang serius, mereka urungkan. Dari ruang tengah, Lesti dan Herman menguping  pembicaraan mereka.

"Posisi kita imbang sekarang. Sudah tahu kan, rasanya menjalin status tanpa rasa cinta? Nyaman enggak selalu berpura-pura bahagia?"

Vanya menggeleng lemah.

"Saya tidak menyalahkan kamu, karena saya pernah merasa di posisimu. Teruskan, saya yang akan bertanggung jawab kepada keluarga kita."

"Tapi ...." Vanya menatap Ali dengan tatapan bersalah.

"Masih mau terbelenggu dengan pura-pura cinta? Sampai kapan, Vanya? Sebelum telanjur kita melangkah jauh."

Tangis Vanya pecah, dia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tak tega, Ali pun beranjak dari tempatnya lalu memeluk Vanya.

"Sudah, jangan merasa bersalah. Kamu melakukan hal yang benar," ujar Ali mengelus punggung Vanya.

"Maaf," ucap Vanya memeluk pinggang Ali dan menumpahkan air matanya di depan perut Ali.

Lesti menatap Herman, dari tatapan itu seolah mereka berbicara.

"Iya, nanti aku akan bicara sama orang tua Vanya," ujar Herman kepada Lesti. Dia menghargai keputusan putranya.

Sebagai ibu, Lesti akan selalu mendukung apa pun keputusan putranya. Dia menyadari, mungkin selama ini Lesti yang salah, terlalu terobsesi ingin memiliki menantu dokter. Jadi, dia tidak terlalu peduli dengan perasaan putranya.

Sekeras apa pun kita mempertahankan hubungan, jika hati sudah tidak ada cinta, cepat atau lambat pasti akan hancur. Lebih baik diakhiri lebih awal daripada berakhir penyesalan. Bukankah begitu?

######

Huuuuuuft, maaf, ya, aku ngetiknya nyicil-nyicil. Hehehe

Banyuwangi, 7 Mei 2020
Pukul : 04.50 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top