Impian yang Terwujud

Termenung, sekilas Ali memikirkan Vanya. Rutinitas Ali sekarang setiap malam ngapel ke rumah Prilly. Memaksimalkan waktu cuti sebelum kembali disibukkan dengan pekerjaan.

"Kenapa melamun?" tanya Prilly datang membawakan Ali minum ke ruang tamu.

Ali menegakkan duduknya, lalu menerima cangkir yang Prilly berikan. Setelah menyeruput teh hangat itu, dia letakkan di meja. Prilly duduk di sampingnya, menaikkan dan melipat satu kaki di sofa, menghadap Ali.

"Kalau aku ngomong, kamu enggak akan marah, kan?"

"Tergantung."

"Ya sudah, enggak jadi."

"Kok gitu?"

"Daripada aku ngomong jujur, malah entar bikin kamu marah. Mending enggak usah ngomong."

"Iya deh, aku enggak akan marah."

"Janji?" Ali mengangkat kelingkingnya.

"Iya, janji." Prilly menautkan kelingkingnya ke kelingking Ali.

"Aku enggak tahu, Vanya dapat nomor baruku dari mana. Tapi, tadi sore tiba-tiba dia telepon. Minta tolong aku."

"Terus?" Wajah Prilly sudah tampak masam.

"Aku tolak."

"Emang dia minta tolong apa?"

"Antar kontrol ke dokter."

"Kenapa kamu tolak?"

"Karena aku menjaga perasaanmu." Ali mencolek hidung Prilly.

Hati Prilly tersanjung, dia senyum malu-malu.

"Tapi, kamu tadi waktu di mal janji sama dia loh," ujar Prilly mengingatkan Ali.

"Janji apa?" Ali mengerutkan dahi.

"Mencarikan solusi untuk dia."

Ali menepuk dahinya. "Aku lupa."

"Emang kamu punya solusi apa?"

"Entah!" Ali mengedik.

"Hmmm ... takutnya dia mengharap loh. Dipikir kamu bakalan bantu dia."

"Apa yang bisa aku lakukan? Cowok yang hamili dia aja aku enggak tahu yang mana. Tapi aku heran ...," ucap Ali menggantung.

"Heran kenapa?"

"Aku kenal Vanya, orangnya itu berprinsip dan punya pendirian kukuh. Ada yang ganjal, kenapa dia bisa hamil di luar nikah, ya?" Ali berpikir keras soal itu.

Prilly mengedik. "Aku kan, enggak kenal dekat sama dia. Mana aku tahu?"

"Udah ah, jangan bahas orang lain kalau kita lagi berdua."

"Yang tadi bahas duluan siapa?"

"Iya, ya, aku." Ali mengelus pipi Prilly dengan punggung telunjuknya. "Entar kalau kita nikah, mau pakai acara pedang pora, enggak?"

"Boleh. Emang kamu punya tabungan berapa? Cukup buat acara itu?"

"Wah, menghina kamu. Ali gitu loh! Sudah mempersiapkan jauh hari." Ali mengambil ponselnya di meja, lalu membuka m-banking. "Lihat nih." Dia memamerkan saldonya kepada Prilly.

Sambil mencebik, Prilly berkata, "Campur uang kotor pasti itu," canda Prilly mengerling.

"Enak aja. Enggaklah! Beda itu, kalau uang begitu buat seneng-seneng. Masa mau buat hal baik pakai duit kotor." Ali meletakkan lagi ponselnya di meja.

Tawa Prilly pecah, lalu Ali menutup mulutnya.

"Jangan keras-keras. Rahasia ini."

"Rahasia apaan? Rahasia umum? Semua juga tahu kali!"

"Ceperan, Sayang. Nanti kamu juga ngerasain." Ali menaik-turunkan kedua alisnya.

"Ogah ah! Mau ngasih nafkan keluarga pakai duit ceperan."

"Biarpun ceperan, itu hasil jerih payah loh. Kalau lagi perbaikan, ngelas, kami ngumpulin plat baja. Kalau lagi bersihin minyak, kami kumpulin sisanya. Itu namanya uang tambahan di luar gaji."

"Iya, tapi, itu uang kotor."

"Kalau pas nerima uangnya tangan penuh oli, namanya uang kotor. Kalau sudah cuci tangan, namanya uang bersih." Ali terus membantah dan membela diri sambil diiringi candaannya.

"Iiiiih, bukan itu." Prilly memukul Ali dengan bantal sofa.

Ali terkekeh, menghalangi wajahnya dengan kedua lengan.

"Udah, udah, udah," ucap Ali, Prilly pun menghentikan aksinya. "Buat besok gimana?"

"Enggak gimana-gimana."

"Iiih, ditanya serius." Ali mencubit hidung Prilly.

"Aw, sakiiiiit," ucap Prilly manja, suaranya dibuat seperti anak kecil.

Lantas Ali melepas hidung Prilly.

"Pasti merah." Prilly mengerucutkan bibir sambil mengusap hidungnya yang merah.

"Uluh, uluh, uluh, mana yang cakit?" Ali melihat hidung Prilly, lalu dia tiup. "Dah, sembuh." Dia kecup singkat hidung Prilly.

Saat itu juga rasanya darah Prilly mengalir cepat dari ujung kaki ke ujung kepala. Ini kali pertama Ali menciumnya, walau hanya ujung hidung, tetapi rasanya masih sedikit canggung baginya.

"Dah, ah. Aku mau pulang." Ali mengambil ponselnya lalu berdiri diikuti Prilly.

"Hati-hati, jangan ngebut," ucap Prilly mengantar sampai teras.

"Iya. Salam buat Tante sama Om."

"Iya, nanti aku sampaikan."

"Jangan lupa salat Isya, terus bobo." Ali membelai wajal Prilly.

"Siap, Bos!"

"Sampai jumpa besok malam, kamu tak lamar. Dandan yang natural aja, jangan menor-menor, entar dikira mau ngelenong, hehehehe."

"Kamu tuh, ya ..." Prilly mencubit kecil perut Ali, "suka banget godain aku."

"Habis kamu gemesin sih." Ali menarik kepala Prilly agar bersandar di dadanya. "Ya dah deh, aku pulang dulu." Dengan cepat Ali mencium kening Prilly lalu melepaskannya. "Dadaaaah." Dia berjalan sambil melambai.

"Hati-hati," pesan Prilly membalas lambaiannya.

Ali masuk mobil lalu menjalankannya ke luar pelataran rumah. Setelah itu, Prilly masuk dan mengunci pintu.

***

Setelah lamaran itu, mereka tidak langsung menikah. Ali dan Prilly kembali ke Banyuwangi. Dua bulan mempersiapkan pernikahan di tengah kesibukan Prilly sebagai SDM dan Ali yang berlayar, tidak mudah.

Mereka sering berselisih paham, salah satu harus mengalah, kadang tidak satu frekuensi dalam pemikiran bahkan menentukan hal sepele, contohnya suvenir.

Namun, semua bisa dilewati. Yang dinanti tiba, karena kondisi new normal, mereka tidak bisa mengadakan pesta besar-besaran. Hanya mengundang keluarga besar, teman dekat, dan tetangga sekitar rumah.

Prosesi ijab kabul pagi, siang lanjut dengan upacara pedang pora langsung resepsi. Malam ini tinggal lelahnya.

"Hah!" Ali melepas napas berat. Dia menghempaskan tubuhnya di tempat tidur.

Prosesi acara berlangsung di ballroom salah satu hotel. Selesai acara, Ali dan Prilly masuk ke kamar pengantin yang sudah disiapkan pihak hotel khusus untuk mereka.

"Kamu enggak mandi dulu?" tanya Prilly melepas aksesorisnya di depan meja rias.

"Iya, ini aku mau mandi." Bergegas Al bangun lalu masuk kamar mandi.

Prilly membersihkan make up-nya, mengganti kebaya pengantin dengan piyama yang lebih nyaman. Sambil menunggu Ali selesai mandi, dia membuka pesan dari teman-teman yang mengucapkan selamat padanya.

Sedih, enggak bisa datang😔.

Tulis Fahira. Karena dia bekerja jauh, di Batam, walhasil malam ini dia tak bisa menghadiri acara spesial salah satu sahabatnya itu.

Enggak apa-apa, Fahira. Saya memahami kok. Insyaallah kalau kamu sudah balik ke Jakarta, pas saya juga di Jakarta, saya traktir kamu, hehehe.

Tapi saya pengin lihat kamu menikah. Ah, nasib ditempatkan jauh.

Hei, kamu enggak boleh bicara begitu. Sudah risiko orang kerja, kan? Alhamdulillah tadi acaranya lancar.

Saya iri sama Ira dan Dea, mereka bisa mengikuti upacara pedang pora pernikahan kamu. Tadi mereka pamerin ke saya😔. Ah, Prilly, cepat sekali kamu menikah.

Hehehehe, iya, Fah. Alhamdulillah sudah menemukan yang pas dan serius. Kamu kapan nyusul?

Entahlah, Pril. Doi belum ngasih kepastkan.

Sabar, Fah. Mungkin dia sedang nabung. Tunggu saja.

Iya, Pril. Makasih. Selamat, ya? Semoga jadi keluarga bahagia dunia akhirat.

Aamiin. Makasih, Fah. Saya kangen sama kamu.

Sama, Pril. Saya juga kangen sama kamu.

Terdengar suara gagang pintu diturunkan. Ali keluar dari kamar mandi sudah tampak segar. Rambut basah, hanya mengenakan kaus putih polos dan celana pendek.

"Kamu mandi dulu sana," titah Ali sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.

"Iya." Prilly meletakkan ponselnya lalu masuk ke kamar mandi.

Sambil menunggu Prilly selesai mandi, Ali membuka ponselnya. Seharian tadi dia sibuk, tidak sempat membuka.

Ali membalas pesan dari teman-temannya. Di tengah pesan itu, ada juga dari Vanya.

Enggak nyangka, ya, kita yang pacaran lama, sempat LDR-an, pernah sama-sama menahan rindu, dan pernah punya rencana masa depan bersama, tapi jodohmu orang lain. Apa pun itu adalah masa lalu kita. Aku ikut bahagia atas pernikahan kamu. Selamat, ya?

Jodoh rahasia Allah. Kita sudah berusaha, sekeras apa pun kita mengikat, kalau belum jodoh akan lepas juga. Terima kasih, Vanya. Doa terbaik kembali padamu, semoga kamu selalu dalam lindungan Allah dan juga selalu bahagia.

Setelah mengirim pesan itu, Ali menarik napas panjang lalu mengembuskan kasar. Ini bukan saatnya memikirkan mantan, ada hal yang jauh lebih penting, yaitu istri dan rumah tangganya.

Dia bersandar di kepala ranjang, sambil melihat story Whatsapp keluarganya yang dpenuhi dengan video maupun foto pernikahannya. Ali tersenyum, tak hanya dia dan Prilly yang bahagia, ternyata semua turut berbahagia atas pernikahannya.

"Hayoooo, kenapa senyam-senyum?" tanya Prilly yang baru keluar dari kamar mandi dan melihat Ali tersenyum sambil menatap ponselnya.

"Lihatin ini loh." Ali menunjukan ponselnya.

"Oooh," ujar Prilly singkat lalu ke meja rias.

"Kamu ngapain malah di situ?" tanya Ali yang sebenarnya sudah menunggu dari tadi.

"Mau pakai krim malam dulu. Kalau kamu mau tidur, duluan aja," ucap Prilly cuek sambil mengolesi wajahnya dengan krim.

"Pura-pura polos," gumam Ali lantas berdiri.

"Aaaaa!" pekik Prilly terkejut karena Ali tiba-tiba mengangkatnya. "Iiiih, krimku belum rata." Prilly memukul dada Ali.

Perlahan Ali menurunkan Prilly di tempat tidur. Saat wajah Ali sangat dekat dengan wajah Prilly, spontan tangan Prilly menahan bibir Ali.

"Sebentar, aku deg-degan," ucap Prilly menarik napas dalam lalu mengeluarkan perlahan.

"Kayak mau apa aja, deg-degan segala."

"Iyalah, ini kan, pertama kali. Belum terbiasa."

"Makanya, cepetan dimulai, terus dibiasakan. Biar enggak deg-degan."

"Tapi aku malu." Pipi Prilly memerah.

"Ck! Ada aja alasannya." Ali beranjak lalu memadamkan penerangan di ruangan itu. "Sudah enggak kelihatan, masih malu?"

Prilly tak menjawab, Ali menindih setengah tubuh Prilly. Dia menurunkan ciumannya di bibir Prilly. Awalnya tidak ada sambutan, tetapi lama-lama ciumannya dibalas Prilly.

Di tengah kegelapan, mereka merajut cinta. Desahan menguasai ruangan itu, peluh membanjiri tubuh mereka.

########

Stop! Maaf, entar aku khilaf cerita 21+😅☺. Aku, kan, udah tobat.

Huuuuft, akhirnya sampai di ujung cerita. Mungkin part selanjutnya sudah ending. Kalau sempat, aku bikin extra part, misalkan enggak sempat, mohon dimaafkan, hehehehe.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top