Hal Tak Disangka

Di mana pun berada, pro dan kontra pasti ada. Begitulah kehidupan ini, ada yang menyukai dan juga membenci.

Gisel, yang bekerja sebagai operator di kantor ASDP, sudah menjadi rahasia umum jika dia menyukai Al. Namun, Al tidak menggubrisnya karena memang dia tidak memiliki perasaan apa pun padanya. Daripada memberi peluang, tetapi akhirnya menyakiti, bukahkah lebih baik sejak awal menjaga jarak?

Ketika Prilly sedang membuatkan kopi di pantry untuk Agus, tiba-tiba orang berbicara padanya.

"Jangan dipikir Pak Al mau sama kamu, ya? Dia baik sama kamu, itu sebagai tanggung jawabnya menjaga semua kadet yang praktik di ASDP. Mulai sekarang mending mundur deh, jangan terlalu berharap. Pak Al nggak mungkin mau sama bocah."

Dahi Prilly mengerut dalam. Kenal saja tidak, ini kali pertama dia berbicara dengan orang itu, tetapi langsung menohok ke ulu hati.

"Maaf, ya, Kak. Maksudnya apa bicara begitu? Memangnya kenapa kalau saya dekat dengan Pak Al? Toh kami dekat sebatas patner kerja. Nggak lebih."

"Yakin? Kenapa aku lihatnya nggak begitu, ya? Kamu terlalu lemah, sok cari perhatian sama Pak Al. Makanya dia kasihan sama kamu."

Rasanya dada Prilly sesak, hatinya membara, sendok teh yang dia pegang tergenggam erat, menyalurkan amarahnya.

"Maaf, saya merasa tidak seperti itu. Dan saya tidak punya urusan dengan Anda," ketus Prilly sangat malas melihat wajah orang itu.

"Jangan belaguk kamu. Baru juga jadi kadet, sudah sombong. Kita lihat saja, Pak Al sebentar lagi juga nggak akan peduli sama kamu."

"Anda yakin? Lihat saja nanti. Semoga Kakak tidak patah hati." Prilly sangat sebal, dia menyeringai sinis.

Wajah orang itu semakin kesal kepada Prilly dan itu membuat Prilly merasa menang.

"Oke, kita lihat nanti."

Dari wajah wanita itu tercetak jelas rasa sebal, benci, dan marahnya kepada Prilly.

"Pril, sudah belum?" Suara itu menyelamatkannya.

"Iya, sudah kok, Pak."

Agus datang tepat waktu.

"Bawa kopinya. Ada yang menunggu kamu di ruang tamu. Tapi sekarang lagi ngobrol sama Pak Budi."

"Oh, baik, Pak." Prilly sudah menduga seseorang itu.

Tanpa menoleh kepada Gisel, wanita berwajah judes itu, Prilly membawa secangkir kopi yang Agus pesan. Di ruang SDM sudah ada Al yang duduk serius mengutak-atik komputer.

"Pak Al, sudah sembuh?" tanya Prilly meletakkan cangkir kopi itu di meja Agus.

"Alhamdulillah, sudah bisa jalan tegak. Tiga hari cukup untuk istirahat," jawab Al tersenyum sangat manis.

Padahal lukanya belum betul-betul kering. Namun, Al tidak bisa lama-lama meninggalkan pekerjaannya.

"Toh juga kalau Pak Al lama libur, kita jadi kalang kabut, Pril," sahut Agus lalu menyeruput kopinya. "Aaah, mantap! Sebelum kerja, ngopi dulu, Pak Al," ujar Agus kembali menyeruput kopinya pelan.

Al hanya tersenyum menanggapi Agus. Hal biasa baginya melihat Agus setiap pagi ngopi.

"Hehehe, iya sih, Pak Agus." Prilly cengengesan sambil menggaruk kepalanya. "Apalagi kalau kepala cabang datang, minta laporan harus cepat. Terus ABK yang melanggar aturan dan nggak dengerin teguran kita. Sebel banget, kan, Pak Agus?"

"Iya, Pril. ABK dan karyawan itu takluknya sama Pak Al. Kalau kita yang negur mereka, dianggap angin lalu," timpal Agus.

"Ah, itu perasaan kalian mungkin," ujar Al tidak ingin terlena dengan pujian-pujian Agus dan Prilly.

"Serius, Pak Al. Tapi Prilly ini hebat loh, Pak Al. Sekali dijelaskan paham. Jadi, dia ini salah satu calon ..."

"Istri yang baik," sahut Al lalu disusul tawanya yang renyah.

"Wah, wah, wah, wah ...." Agus melirik Prilly sambil tersenyum jahil.

Mata Prilly melotot kepada Al, pipinya bersemu merah, antara tersanjung dan malu.

"Ciyeeee, pipinya merah, hahahaha." Agus semakin gencar menggodanya.

Tawa Al kian pecah, Prilly semakin dibuat malu dengan dua pria di depannya itu.

"Wah, asyik bener nih pagi-pagi dah ketawa keras." Pria paruh baya datang ke ruang SDM.

Tawa Agus dan Al sekejap berhenti lalu mereka bersikap tegap. Al berdiri menyambut manajer ASDP cabang kantor Ketapang - Gilimanuk.

"Silakan duduk, Pak," ucap Al sopan.

"Makasih, Al. Ini ada tamu dari Jakarta, dia menunggu putrinya di ruang tamu. Kamu temani kadet ini ke sana ya. Ada hal yang juga ingin Beliau diskusikan sama kamu." Manajer itu menunjuk Prilly.

Mata Prilly berbinar, dia sangat senang papanya datang. Senyum terukir manis di bibirnya.

"Baik, Pak."

Manajer itu lalu pergi.

"Ehem! Camer datang nih," sindir Agus kepada Al sambil melirik Prilly.

"Pak Agus nih kenapa sih? Demen banget godain saya sama Pak Al," protes Prilly malu digoda Agus terus.

"Suka aja, Pril. Daripada sepi. Kalau beneran, ya ... syukur. Saya senang, hahahaha."

"Ngacok kamu." Al memukul Agus pelan dengan map kertas yang dia ambil dari meja di depannya. "Ayo, Pril. Jangan dengerin orang stres," seloroh Al ditimpali kikihan Prilly.

"Iya, Pak Al yang bikin saya stres," pekik Agus disusul tawanya.

Sebenarnya Al mendengar, tetapi dia sudah ke luar ruangan bersama Prilly. Entah mengapa jantungnya berdebar kencang. Tidak seperti tamu pada umumnya, kali ini Al sangat tegang.

"Pak Al," panggil Prilly ketika mereka hampir sampai di ruang tamu.

"Iya." Al menoleh dan berhenti berjalan.

"Mmm ... nggak jadi."

Sambil tersenyum manis, Al mengerutkan dahi.

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa."

"Ya sudah, ayo."

Sebenarnya ada hal yang ingi Prilly jelaskan kepada Al. Namun, waktunya mepet dan tidak memungkinkan. Sebelum sampai di ruang tamu, Al menarik napas dalam. Teguh tak sendiri, ada pemuda yang bersamanya. Ketika Al dan Prilly masuk ke ruang tamu, Teguh dan pemuda itu berdiri.

"Maaf menunggu lama, Pak Teguh," ucap Al sembari mengulurkan tangan.

"Oh, tidak apa-apa, Pak Al." Teguh menerima tangan Al. Mereka berjabat tangan hangat dan saling melempar senyum lebar.

Pandangan Al beralih ke samping Teguh, dia melempar senyum. Namun, tak dapat balasan. Mereka berjabat tangan, Al menggenggamnya sedangkan orang itu biasa aja.

Ini pertemuan Al dan Teguh yang kesekian kali. Awal mereka kenal, saat itu Al bertugas di pelabuhan Tanjung Priok dan Teguh menjabat sebagai kepala syahbandar. Al sering bolak-balik ke syahbandar untuk mengurus sijil buku pelaut ABK. Keakraban mereka cukup baik, image Al di mata Teguh sangat baik.

"Papa." Prilly langsung memeluk Teguh. "Kapan sampai sini? Kok nggak ngasih kabar kalau dah sampai?" tanya Prilly melepas pelukannya.

"Maaf, Papa pikir mending langsung datang ke kantor saja. Tadi pukul delapan sampai di Blimbingsari, langsung ke sini. Janjian sama Pak Budi, ngobrol sebentar di sini tadi."

"Oh, gitu? Mama nggak ikut?"

"Ikut penerbangan siang. Nanti menyusul."

"Asyiiiik, Mama datang," seru Prilly girang.

Wajah Prilly berubah masam saat memandang Ali yang melempar senyum manis, tampak kerinduan dari sorot matanya. Beda dengan Prilly yang terlihat tidak nyaman.

"Silakan duduk, Pak Teguh," ucap Al lalu duduk di kursi berseberangan dengan mereka.

Prilly memilih duduk di sebelah, Al. Meski dadanya berdegub-degub, tetapi Al berusaha bersikap santai.

"Bagaimana kabarnya, Pak Al? Anak saya merepotkan tidak?" tanya Teguh mengawali perbincangan pagi menjelang siang itu.

"Sejauh ini, Prilly cepat menangkap apa pun penjelasan dari kami, Pak. Dia anak yang cerdas dan pintar," puji Al menyangjung hati Prilly.

Ini adalah pujian pertama yang Prilly dengar dari bibir Al. Walau tidak langsung, tapi sukses membuat hatinya senang.

"Sejak kapan Pak Al pandai memuji begini?" bisik Prilly menempelkan bahunya di bahu Al.

Al hanya melirik dan tersenyum. Ali yang melihat hal itu cemburu. Rasanya tidak rela jika Prilly tersenyum dengan pria lain. Namun, Teguh hanya tersenyum simpul penuh arti.

"Begini, Pak Al. Saya datang ke sini ingin meminta bantuannya," ucap Taguh kali ini lebih serius.

"Bantuan apa, Pak?" jawab Al menegakkan duduknya.

"Tadi saya sudah bicara dengan Pak Budi mengenai ini. Namun, Beliau meminta saya untuk berdiskusi dengan Anda. Sebagai SDM cabang Ketapang, mungkin Anda bisa membantu. Jadi, saya sedang mencarikan kapal di sini untuk Ali bekerja. Ali sudah saya anggap seperti anak sendiri, ayahnya dan saya sudah lama bersahabat."

Senyum tengil tersungging di bibir Ali, dia merasa satu langkah lebih depan daripada Al.

"Tapi maaf sebelumnya, Pak, untuk menerima ABK dan karyawan saya harus berdiskusi dengan SDM pusat. Saya tidak berjanji, tetapi saya akan berusaha," ujar Al bersikap bijak.

Namun, Prilly langsung mencengkeram lengan Al. Dia tidak setuju jika Al menempatkan Ali di Ketapang. Dia tak akan nyaman adanya Ali di dekatnya.

"Apa?" Al sedikit berbisik sambil menoleh Prilly.

"Bisa kita bicara?"

"Tidak untuk saat ini, Prilly."

"Please." Prilly menarik lengan Al, tetapi Al tetap bertahan duduk.

"Prilly, ada apa?" tanya Teguh bingung membaca gerak-gerik Prilly.

"Nggak apa-apa, Pa," jawab Prilly cemberut.

"Pak Al, boleh minta waktunya sebentar? Saya mau bicara sesuatu dengan Anda," ucap Teguh sangat mengejutkan Ali bahkan Al sendiri. Ada suatu hal yang membuat Prilly gelisah ketika papanya menatap Al serius.

"Mmm ... boleh, Pak." Jatung Al semakin berdebar tak keruan.

"Ali, Prilly, beri kami waktu untuk mengobrol," pinta Teguh.

"Baik, Om." Ali senang karena merasa punya banyak waktu untuk mengobrol berdua dengan Prilly.

Sebelum meninggalkan ruangan, Prilly menatap Al gelisah. Ada sesuatu yang Prilly sembunyikan dari Al. Sampai di luar, Ali tak menyia-nyiakan kesempatan.

Dia menarik Prilly keluar dari kantor. Sampai di jalur khusus pejalan kaki, Prilly memberontak.

Bayangin dulu tempatnya, biar tidak bingung.

Dari gambar di atas, genting biru itu jalur khusus pejalan kaki yang mau naik maupun turun kapal.

Foto orang-orang turun dari kapal melewati jalur tersebut.

Lihat, ada dua jalur. Khusus kendaraan dan pejalan kaki.

"Kak Ali, tolong lepasin!" Prilly mengayunkan tangannya kasar agar lepas dari cengkeraman Ali.

Rambut Prilly berantakan terhempas angin. Deburan ombak terdengar syahdu. Batu besar di bawah jembatan memecah ombak.

"Jujur sama saya, apa kamu masih mencintai saya?" Ali menatap ke dalam mata Prilly.

Bibir Prilly sangat berat saat ingin menjawab. Hati dan pikirannya tidak sejalan. Batin berkat iya, logika berkata tidak. Prilly galau.

"Kalau kamu diam, saya anggap ..."

"Tidak! Saya sudah melupakan perasaan yang memang dulu sempat ada untuk Kak Ali. Tapi sekarang rasa itu memudar." Prilly berbohong, padahal dalam hati terdalam rasa cintanya kepada Ali masih tersimpan.

"Kenapa? Apa karena orang tadi?" sergah Ali tak terima. Matanya melotot  dan rahangnya mengeras.

Prilly menunduk, dia tak tahan menatap mata Ali yang sendu. Ada luka di balik lebarnya matanya.

Sekali tarikan napas Prilly berucap, "Maaf, Kak Ali. Hati saya sudah beralih kepada Pak Al."

Bibir dan hatinya tidak sama. Sambil menunduk Prilly meneteskan air mata. Dia sangat sedih membohongi Ali dan dirinya sendiri. Bagaimana bisa Prilly melakukan itu?

"Pril, rumah tangga jika dibangun tidak saling cinta, akan berakhir bencana." Ali belum bisa menerima bahwa cinta yang Prilly miliki untuknya sudah hilang.

Dia akan terus meyakinkan Prilly, bahwa mereka sesungguhnya saling mencintai. Hanya saja keadaannya yang membuat rumit. Ditambah Prilly kukuh pada pendiriannya, tidak ingin merusak hubungan Ali dan Vanya.

"Kak Ali, maafin saya. Tapi, tolong berikan saya ruang untuk bahagia. Jangan atur hidup saya karena Kak Ali tidak punya hak untuk melakukan itu. Kak Ali berhak bahagia bersama Kak Vanya," ucap Prilly lantas meninggalkan Ali sambil menyeka air matanya.

Tak sedikit pun Ali beranjak dari tempatnya. Dia menatap nanar kepergian Prilly. Hatinya kalut, bagaimana bisa dia bahagia dengan Vanya, sedangkan hatinya terbelenggu pada Prilly.

Sampai di ruang SDM, Prilly langsung duduk di tempatnya. Dia terus menunduk, menyembunyikan wajah bekasnya menangis.

"Kenapa?" tanya Agus menjenguk wajah Prilly yang setia menunduk.

Lalu Agus mencabut tisu di depannya. "Ingusnya keluar tuh, dilap dulu."

Prilly mendongak menatap Agus, dia panik dan malu. Buru-buru Prilly mengambil tisu yang Agus ulurkan dan mengusap hidungnya.

"Jangan cengeng gitu ah, biasanya kamu ceria." Agus mencolek hidung Prilly yang merah.

"Pak Agus, saya bingung."

"Bingung kenapa?"

Belum juga Prilly menjawab, Al masuk ke ruangan itu.

"Pak Agus, sudah makan?" tanya Al lalu duduk di kursinya.

"Sudah tadi pagi, Pak. Pak Al mau saya belikan makan?" tawar Agus yang sudah hafal jadwal Al biasa makan.

"Tolong belikan, ya?" Al mengambil dompetnya dari saku celana.

"Siap, Pak." Agus menerima uang dari Al lalu keluar.

Sepeninggalan Agus, ruangan senyap. Al dan Prilly saling membisu. Prilly melanjutkan pekerjaan yang sedang Agus kerjakan tadi. Tiba-tiba Al menghampirinya lalu duduk di kursi Agus. Jantung Prilly berdegub kencang, perasaannya semakin kalut, dan dia menunduk semakin dalam.

"Ehem!" Al sengaja berdeham keras sebelum bicara. "Ada yang mau kamu jelaskan kepada saya, Pril?" tanya Al sedikit menggeser kursinya agar lebih dekat dengan Prilly.

Perlahan Prilly mendongak, tatapannya pada Al penuh penyesalan.

"Pak Al marah?" Prilly menggigit bibir bawahnya.

"Kenapa kamu lakukan itu?"

"Maaf, Pak. Habis saya bingung. Kak Ali terus ngejar-ngejar saya. Dia tidak mau berhenti mengganggu hidup saya."

"Apa kamu pikir dengan mengaku menjadi pacar saya masalah kamu dapat selesai?" Al menatap Prilly serius, wajahnya mengeras.

"Maaf, Pak Al. Saya akan jelaskan yang sebenarnya kepada Papa dan Mama." Prilly menyesali keputusannya.

Dua hari lalu saat Ali terus mengganggu dan meneleponnya, dia terpaksa mengaku sudah memiliki pacar, yaitu Al. Ali mengadu pada Teguh dan Juwita. Walhasil orang tuanya pun meminta penjelasan. Bodohnya Prilly, dia semakin jauh menjalankan permainannya sendiri. Prilly mengaku sudah ingin serius dengan Al. Sekali berbohong, akan terus berbohong untuk menutupi kebohongannya.

"Tidak perlu," ujar Al menarik napas panjang.

"Kenapa?" sahut Prilly heran dan mengerutkan dahi.

"Saya sudah menyetujui semua ucapan papa kamu."

"Soal?"

"Keseriusan sama kamu."

"Hah!" Bola mata Prilly melotot sempurna.

"Ma-ma-maksud, Pak Al ...?"

Al menarik kursi Prilly agar berhadapan dengannya. Kedua tangan Al bertumpu pada ujung kursi Prilly. Walhasil tubuh Al sedikit menyondong ke depan Prilly.

"Pertama, kamu tidak berdiskusi dulu dengan saya tentang permainan kamu ini. Kedua, secara tidak langsung kamu memaksa saya masuk dalam hidupmu. Ketiga, sekarang saya terlibat dalam masalah hidupmu."

"Pak Al, maafin saya. Waktu itu saya kalut dan bingung mencari alasan. Saya nggak tahu akibatnya akan fatal begini."

"Sudah telanjur."

"Memangnya apa yang Papa katakan sama Pak Al?"

"Seperti orang tua pada umumnya, pastinya dia khawatir tentang kamu. Apalagi kamu jauh dari pantauannya saat ini. Hal pertama yang papamu tanya, apa saya serius sama kamu. Jawaban saya iya. Kamu tahu, Pril, saat ini bukan waktunya saya mencari pacar. Hidup saya selama ini dipenuhi dengan karier, kerja, dan keluarga."

"Maaf sudah bikin Pak Al terlibat jauh dalam masalah saya." Prilly menunduk, tak berani menatap wajah Al.

Sekian detik mereka saling diam, Al memikirkan sesuatu. Setelah mengembuskan napas kasar, Al berucap, "Kita jalani dulu saja. Sampai mana permainan kamu akan berakhir. Tapi, dalam hidup saya tidak ada kata main-main, Prilly. Pilihannya hanya dua, kamu mundur mulai sekarang atau mau tetap melanjutkan bersama saya. Jika kamu mundur, saya akan membantu kamu menjelaskan kesalahpahaman ini kepada orang tuamu. Apabila lanjut, saya tidak mau main-main. Suatu hubungan tujuannya menikah. Kamu tahu itu, kan?"

Kata-kata Al jelas dan tegas, sikap dewasanya mengagumkan. Prilly tak berkutik, dia menatap Al serius, meneliti setiap inci wajah tampannya. Tidak terlihat raut bercanda dalam diri Al, justru wajah serius yang dia dapatkan.

Prilly memberanikan diri menatap kedua hazel Al. Debaran jantung mereka sama-sama bagaikan genderang. Sangat kencang dan tak terkontrol.

Sekali tarikan napas Prilly menjawab, "Saya memilih yang kedua."

Terkejut setengah mati, mata Al terbelalak. Dia tak menyangka Prilly akan menyetujui pilihan kedua, yang baginya sendiri belum siap menjalani. Pacaran? Bertahun-tahun Al tidak menjalaninya. Bahkan dia lupa cara memperlakukan wanita selain mamanya. Apa Al bisa membahagiakan Prilly?

"Pikir-pikir dulu, jangan asal memutuskan. Nanti nyesel loh. Saya tipe orang yang sekali memiliki tidak akan pernah saya lepaskan," ucap Al lalu berdiri, kembali ke kursinya.

Sekilas Prilly menatap Al gelisah, entah apa yang membuat Al seperti itu. Namun, hati Prilly yakin bahwa Al pria yang baik dan bertanggung jawab. Soal cinta? Pikir Prilly mudah, itu akan terjadi seiring berjalannya waktu. Bagaimana dengan Al? Apa dia mencintai Prilly? Itulah yang harus Prilly tahu. Karena mencintai sendiri itu tidak asyik.

#######

Puyeng dah! Kapok nggak? Kamu suka aku ngebut gini nggak? Hehehehe
Atau ada yang ketinggalan membaca karena keseringan update?

Banyuwangi, 12 April 2020
Pukul : 09.14 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top