Don't Say
Sore ini Prilly bersiap akan kembali ke asrama. Masa liburnya sudah selesai, waktunya menjalani pendidikan lagi.
Namun, sebelum itu dia sempatkan membalas pesan Ali agar tidak menjadi beban pikiran selama nanti dia di asrama. Wajar saja karena Prilly tak akan lagi bisa berhubungan dengan Ali jika sudah di asrama.
"Maaf, Kak Ali. Apa pun alasan Kak Ali, saya tidak bisa menunggu." Prilly berucap tegas walau hatinya sangat sakit.
"Pril, beri saya waktu untuk menyelesaikan hubungan dengan Vanya. Saya janji tidak akan lama, tunggu sebentar. Tolong bersabar."
"Kak Ali, cukup saya yang merasa sakit. Jangan lagi menyakiti hati wanita mana pun, termasuk Kak Vanya. Jaga hatinya, jangan jadi pria pencundang. Saya tidak mau begini, Kak."
"Pril, tolong mengerti keadaan ini. Cuma kamu yang bisa mengerti saya."
"Saya tidak mau digantung apalagi dipermainkan."
"Saya tidak mempermainkan dan tidak ada niat menggantung kamu. Cuma saya minta waktu agar bisa menyelesaikan masalah sama Vanya."
"Tapi saya tidak bisa menunggu."
"Kenapa?"
"Karena Allah dengan mudah membolak-balikan perasaan seseorang. Saya tidak mau berjanji apa pun kepada Kak Ali sebelum kita punya komitmen jelas." Prilly harus berani mengambil keputusan agar tidak menjadi beban pikirannya.
"Terus sekarang mau kamu bagaimana?"
Semalaman Prilly menata hati dan benteng pertahanan agar tidak goyah diterpa bujuk rayu Ali. Dia harus berani memutuskan dan mengambil sikap. Dia bukan wanita gampangan, oleh sebab itu Prilly harus kukuh pada pendiriannya.
Sekali tarikan napas Prilly berkata, "Goodbye, Kak Ali. Kak Vanya have the right happy. For she happy."
"Don’t have to say goodbye to a sailor because sailor never say goodbye."
"Maaf, Kak Ali. Lebih baik kita jangan lagi komunikasi demi kenyamanan hubungan Kak Ali bersama Kak Vanya. Saya takut menjadi yang ketiga di antara kalian. Semoga Kak Ali sukses."
"Prilly, pegang omongan saya ini. Biarpun kita berpisah dan berjahuan, saya berkomitmen, sejauh apa pun saya pergi, kembalinya ke pelukanmu juga. Karena saya yakin kamu adalah rumah saya dan hanya kamu yang bisa buat saya nyaman."
"Hati-hati, Kak Ali. Jaga kesehatan. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Prilly menghela napas panjang, haruskah dia percaya dengan kata-kata Ali? Entahlah, Prilly tak ingin lagi memikirkan itu. Semalam dia sudah menyusun rencana masa depannya. Dia akan menyelesaikan satu per satu targetnya. Masalah jodoh, Prilly pasrahkan kepada Tuhan. Dia percaya, Tuhan akan memilihkan orang yang terbaik untuknya kelak.
Dua minggu di asrama, Prilly berangsur membaik. Dia sudah mulai terbiasa dengan kesibukannya bersama teman-teman dan kegiatan di kampus. Bahkan Prilly tak lagi ingin mengingat Ali, meskipun bohong jika dia sudah melupakan. Namun, dia tampak kuat dan bisa mengendalikan emosinya.
***
Enam bulan kemudian
Suasana baru dan beberapa waktu akan jauh dari keluarga. Kini saatnya mencari pengalaman dan teman baru. Prilly berpisah dengan sahabat-sahabatnya, dia mendapat tempat prala di ujung Jawa Timur, tepatnya di pelabuhan Ketapang, Banyuwangi.
"Sayang, kamu yakin bisa sendiri di sini?" tanya Juwita ragu karena ini kali pertama mereka akan berjauhan beberapa bulan ke depan.
"Ma, beri Prilly kesempatan untuk berkembang dan menjelajah pengalaman baru. Kalau kamu kekepin terus, kapan anak kita bisa maju?" sela Teguh mengelus kepala Prilly yang duduk bersanding dengan Juwita di tepi tempat tidur indekos selama dia di sana.
"Bukan gitu, Pa. Mama itu cuma khawatir, namanya juga anak satu-satunya, cewek lagi." Juwita menyisihkan rambut sebahu Prilly ke belakang.
"Maaaa, jangan berlebihan. Insya Allah aku bisa mandiri di sini." Prilly tersenyum sambil menggenggam kedua tangan Juwita dan memastikan dia akan baik-baik saja selama di sana sendiri.
"Pril, di sini belum ada air minum dan camilan. Mending kamu ajak mamamu ke minimarket depan pelabuhan situ. Papa mau nemui manager tempatmu praktik. Ada yang mau Papa bicarakan."
"Iya, Pa."
Indekos Prilly termasuk yang mahal, fasilitas memadai. Kamar mandi dalam, tempat tidur springbed, AC, wifi, dan dekat dengan kantor tempatnya praktik. Keluar dari gang sudah jalan raya, mini market dekat dan jika tengah malam kelaparan pun banyak warung makan di pinggir jalan.
Selagi Teguh menemui temannya yang kebetulan menjadi manager tempat Prilly praktik, Juwita dan Prilly ke Indomaret mencari camilan dan beberapa kebutuhan yang lain.
"Pril, Ali tahu kamu praktik di sini?" tanya Juwita saat mereka sedang memilih sabun mandi.
"Aku nggak akan kasih tahu, Ma."
"Kenapa?"
"Udah deh, Ma. Jangan dibahas lagi. Toh dia bentar lagi tunangan sama pacarnya, kan?"
"Tahu dari mana kamu? Sok tahu kamu."
Sebenarnya Juwita juga sudah mendengar kabar itu, tetapi dia berusaha menutupi dari Prilly agar putrinya tidak lagi sakit hati karena Ali. Juwita menjaga perasaan Prilly.
"Aku denger dari Papa. Pas kemarin Papa jemput aku di asrama, dia bilang katanya mau bantu Om Herman pesan undangan buat tunangan Kak Ali sama pacarnya."
Wajah Prilly terlihat baik-baik saja, tetapi jika dibelah dadanya, hati Prilly porakporanda. Dia berusaha menelan kenyataan pahit itu.
"Dasar si Papa!" gumam Juwita lirih, terdengar samar dan tidak jelas di telinga Prilly.
"Mama ngomong apa?" tanya Prilly karena penasaran.
"Nggak apa-apa. Kita cari roti tawar sama selai yuk. Buat isi perut kalau pagi-pagi sambil minum teh hangat."
Ketika mereka belok ingin pindah ke barisan rak lain, tidak sengaja Prilly menabrak pria tegap, jangkung, berparas tampan, kulit putih, hidung mancung, dan bibir tipis nan merah.
"Maaf," ucap Prilly setengah membungkuk dan menunduk.
"Tidak apa-apa." Suara ngebas yang khas dan terkesan maco menarik perhatian Prilly.
Dia mendongak lalu memastikan orang itu. Senyumnya mengembang menyapa pria itu.
"Pak Al," ucap Prilly tersenyum ramah.
***
Hati Ali gelisah karena tidak bisa menghubungi Prilly. Pertunangannya akan dilaksanakan di Singapura, ini permintaan dari keluarga, bukan dari Ali dan Vanya. Alasan keluarga selain agar menjaga hubungan mereka tetap utuh, juga ingin mengeratkan bisnis.
"Ma, apa nggak terlalu cepat?" kata Ali saat dia menemui orang tuanya di penginapan.
"Menurut Mama tidak, Li," jawab Lesti sambil membuatkan minuman hangat untuk Ali dan Herman yang duduk di sofa.
"Tapi ..."
"Li, kamu sudah lama pacaran sama Vanya. Apa lagi yang kamu tunggu? Tujuan kamu pacaran apa?" Herman langsung menyela sebelum Ali meneruskan sanggahannya.
Dua lawan satu, untuk saat ini melawan pun akan sia-sia. Pasrah! Ali pun mengalah dengan keputusan orang tuanya. Sambil mencari waktu untuk menjelaskan perasaan yang sesungguhnya.
Ali menyandarkan punggungnya, dia menghela napas panjang. Otaknya terus terngiang Prilly. Tak sedetik pun Ali, melupakan Prilly meski jarak dan waktu memisahkan mereka. Raga boleh terpisah, tetapi hati tetap terpatri, bukankah begitu?
***
Awal yang baru bagi Prilly. Mulai hari ini dia akan beraktivitas layaknya bekerja di kantor ASDP. Hanya saja yang membedakan dia tetap memakai seragam kebanggaan kampusnya. Biarpun ini praktik, tetapi Prilly harus sungguh-sungguh mempelajari banyak hal demi menyelesaikan skripsinya dan persiapan terjun ke dunia kerja.
PT ASDP Indonesia Ferry merupakan salah satu BUMN di Indonesia yang bergerak dalam jasa angkutan penyeberangan dan pengelola pelabuhan penyeberangan untuk penumpang, kendaraan, dan barang.
Sambutan pertama ketika Prilly masuk kantor adalah senyuman Al. Tak sengaja ketika Prilly membuka pintu kaca kantor, Al berdiri di depan pintu resepsionis.
"Selamat pagi, Pak Al," sapa Prilly ramah.
"Pagi, Pril. Sudah siap membantu saya?" tanya Al juga tak kalah ramahnya.
"Insyaallah siap, Pak."
"Oke, ke ruangan saya. Tugas pertamamu sudah menunggu di sana."
"Siap, Pak."
Mereka pun ke ruangan yang cukup luas. Tak hanya Al yang ada di ruang itu. Sebagai SDM di kantor, Alfian, bertanggung jawab atas seluruh karyawan, baik di darat maupun yang bekerja di atas kapal. Alfian bertugas memanajemen sumber daya manusia agar bekerja maksimal sesuai SOP. Dia dibantu Agus sebagai asistennya dan kini Prilly pun di tempatkan sebagai asisten kedua.
"Pril, minta tugas pertamamu di Pak Agus," titah Al lantas dia duduk di kursi kebesarannya.
"Baik, Pak."
Walaupun usia Al masih mudah, 25 tahun, tetapi dia disegani dan dihormati semua karyawan dan ABK kapal. Sikapnya yang sopan, ramah, supel, dan dapat menempatkan diri membuatnya berwibawa di usia muda.
Jabatan tinggi tidak memandang usia. Asal dia bisa mengemban tugas dengan baik, setinggi apa pun itu tidak masalah, bukan?
"Pak Al, ini ada ABK yang sakit di kapal. Sudah tiga hari tidak bisa bekerja," ujar Agus melaporkan sesuai informasi yang dia dapatkan dari nakhoda salah satu kapal mereka yang berlayar di Ketapang-Gilimanuk.
Al yang tadinya sedang fokus menatap komputer lalu beralih kepada Agus yang sudah berdiri di depan meja kerjanya.
"Kapalnya layar atau off?"
"Off, Pak. Sekarang sudah tender di lanal Tanjung Wangi."
"Ya sudah, tolong kamu jemput terus antar dia ke rumah sakit."
"Baik, Pak."
Bergegas Agus mengambil jaketnya lalu ke luar ruangan itu. Prilly terkesikap melihat cara kerja mereka yang cekatan. Dia duduk di samping kursi kerja Agus sambil memegang map yang berisi daftar nama ABK yang sertifikat layarnya butuh perpanjangan.
"Prilly, tolong hubungi nakhoda ABK yang namanya terdata di situ. Mereka perlu memperpanjang sertifikat layarnya," perintah Al dari tempat duduknya.
"Iya, Pak Al."
Jarak meja kerjanya dan Agus sekitar satu meter. Di ruangan itu dikelilingi lemari besar membentuk U, tempat menyimpan data-data pelaut yang bekerja di kapal penyeberangan Gilimanuk-Ketapang dan file penting lainnya.
Beberapa saat di ruangan itu hening, mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
"Pak Al, teleponnya pakai HP ini?" tanya Prilly takut salah.
"Iya, Pril. Itu operasional kantor, tapi kalau telepon pusat pakai telepon rumah, ya?"
"Iya, Pak Al."
Mereka kembali sibuk. Beberapa saat setelah menelepon, Prilly masih bingung dengan tugas selanjutnya. Dia menunggu perintah Al. Dalam diam, Prilly memerhatikan Al yang serius bekerja.
Wajahnya yang meneduhkan, hidung mancung, bibir merah nan tipis, dan rahang kukuh.
Ya Allah, Pak Al sangat mengagumkan. Masih muda, pekerja keras, cerdas, dan tidak sombong. Masya Allah, ternyata masih ada anak muda yang fokus seperti Beliau.
Tak sengaja Prilly terus menatap Al tanpa berkedip. Yang ditatap tidak terasa, dia terlalu fokus bekerja.
"Pril." Al menoleh sambil memanggil Prilly.
Prilly terkesiap dan sadar dari lamunannya. Dia gugup langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain dan sok sibuk merapikan rambutnya ke belakang.
"Pekerjaanmu sudah selesai?" tanya Al tanpa beranjak dari tempatnya.
"Sudah, Pak Al."
"Bisa minta tolong belikan saya makan? Saya belum sempat sarapan."
Prilly melirik jam dinding, ini sudah pukul 10.
"Mmm ... maaf Pak Al, ini kan sudah pukul 10, kok baru mau sarapan?" tanya Prilly heran.
Biasanya orang sarapan itu pukul enam atau pukul tujuh. Ini sudah hampir makan siang baru mau sarapan.
"Iya, sudah biasa sarapan sekaligus makan siang. Pagi nggak biasa sarapan, paling cuma minum kopi."
"Oooh, begitu, Pak? Biasanya beli di mana, Pak?"
"Saya orangnya nggak rewel kalau soal makan. Nasi bungkus yang dijual keliling di pelabuhan juga tidak masalah."
Prilly tercengang. Nasi bungkus yang biasa dijual seharga lima ribuan hanya berisi nasi sedikit, sambal, dan lauk ayam atau ikan laut kecil begitu masa bisa mengenyangkan? Sekelas SDM mau makan nasi bungkus? Bagi Prilly ini adalah hal yang jarang sekali.
"Prilly, kok malah bengong. Mau nggak?" tanya Al menunggu jawaban Prilly yang masih bengong keheranan.
"Iya, Pak. Saya belikan." Prilly langsung berdiri.
Al mengeluarkan dompetnya lalu mengeluarkan uang 50 ribuan. Sambil mengulurkan ke arah Prilly, dia berkata, "Beli tiga bungkus, buat saya, kamu, sama Pak Agus, ya?"
"Iya, Pak."
Setelah menerimanya, Prilly pun ke resepsionis. Bertanya makanan apa yang biasa dipesan atau biasanya orang-orang membelikan untuk Al. Dia takut salah beli lauk yang Al alergi. Namun, ternyata hampir semua orang berkata sama, makanan yang wajar, apa pun itu Al selalu makan habis. Asal halal dan bisa dimakan.
Rasa kagum Prilly semakin bertambah. Selain cerdas dan wibawa, ternyata Al juga sederhana. Sangat berbeda dengan background pekerjaannya, sepertinya dia orang yang semua harus wah dan sempurna.
Itulah kenapa kita tidak boleh menilai seseorang dari pekerjaannya dan hanya dari penampilan. Karena semua itu belum tentu seperti kepribadiannya.
##########
Kangen bangeeeeet. Maaf, yaaaa? Aku beberapa waktu lalu sakit, ngetik jadi kepending. Terus sibuk beresin kerjaan di dunia nyata.
Terima kasih yang sudah sabar menunggu.
Banyuwangi, 7 April 2020
Pukul : 10.3 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top